Chapter 3: Inched Away From The Death

"Minggir, minggir! Tolong menjauh dari garis polisi, Pak!" teriak seorang petugas polisi yang tengah menenangkan kerrumunan wartawan dan warga sipil yang berkerumun. Orang-orang tersebut benar-benar liar, memaksa dan mendorong petugas malang yang jelas-jelas kalah jumlah.

Risa melambatkan mobilnya, mengobservasi keadaan dari jarak beberapa meter sebelum masuk ke dalam kerumunan. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi kesal begitu melihat banyaknya wartawan dan orang-orang tidak berkepentingan yang berkerumun disana. Inspektur itu langsung menghentikan mobilnya dan berlari sembari menarik orang-orang yang mengganggu jalannya.

Risa melewatkan wartawan tersebut dan terus berjalan mendekati beberapa petugas lain yang berdiri menutupi mayat yang ditutupi kain merah. Di sekitar mayat terlihat jelas genangan darah yang begitu banyak sehingga membuatnya tak kunjung kering. Tak berpikir panjang, Risa memasang sarung tangannya dan menyibak kain merah yang menutupi mayat.

"Urgh..."

Risa telah melihat banyak sekali mayat. Entah itu korban kecelakaan, pembunuhan ataupun bunuh diri. Pengalamannya sebagai penyidik selama ini sudah cukup untuk membuatnya mati rasa ketika melihat berliter-liter darah dan baunya yang mengerikan. Tapi kali ini, Risa bahkan tak dapat mendeskripsikannya lagi, mayat kali ini benar-benar membuatnya memalingkan wajah begitu melihat.

Kain penutup mayat, yang mana Risa mengira benda tersebut berwarna merah rupanya adalah kain putih yang terkena darah. Risa berdiri disana, diam dan ling-lung. Berusaha menenangkan pikirannya yang mengkerut ketakutan karena melihat mayat. Bagaimana tidak? Pelaku membunuh korban dengan sangat brutal. Dibalik kain tersebut ia melihat manusia yang hancur berantakan, sama sekali tidak berbentuk. Kepala korban dipenggal sebagian sehingga masih menyisakan batang tenggorokan yang menyerupai selang air.

Pergelangan tangan kiri korban dipotong dan dimasukkan dengan paksa ke dalam mulut. Bagian tubuh lain juga sama mengerikannya. Kedua kaki korban juga dipotong dan dibiarkan begitu saja. Hanya tangan kanan korban yang masih melekat pada tubuh, sisanya? Dipotong, atau mungkin lebih tepatnya disayat. Seperti tukang kayu memotong balok kayu dengan gergaji.

Apakah ini... Risa menarik napas dan menahannya di dalam tenggorokan. Tangannya gemetar saat jemarinya menyentuh dan mulai membuka kain penutup. Bau-bau amis, busuk.. benar-benar mengganggunya. Dihempaskannya udara dari mulut bersamaan dengan tangan kanannya yang menarik keluar potongan tangan tersebut.

Brengsek. Benar-benar brengsek. Manusia macam apa.. ia menyumpah, mengutuk perbuatan biadab sang pembunuh karena begitu ia menarik potongan tangan tersebut, terdapat sebuah kertas yang digulung dan dimasukkan ke dalam tenggorokan korban. Saat ia membaca isi surat, isinya kurang lebih sama dengan surat-surat yang ditemukan bersamaan dengan korban lain.

Surat ini.. aku dapat merasakan dia menulisnya dengan penuh emosi. Tapi kenapa? Bukankah ia berhasil mendapatkan mangsa, kenapa harus marah? Ia memasukkan surat tersebut ke dalam kantung plastik dan menyimpannya ke dalam saku mantel. Ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan? Apa ini belum cukup?

Lamunan Risa terbuyarkan ketika seorang petugas mendatanginya dengan tergesa. "Kami berhasil mendapatkan file rekaman cctv semalam, Inspektur. Kami ingin anda membawa kopiannya untuk keperluan penyelidikan." Petugas itu memberikan sebuah flashdisk kepada Risa sebelum membungkukkan badan dan ikut membantu menertibkan massa.

Risa mengeratkan genggamannya pada flashdisk. Ketegangan membuat segala gerak-geriknya terlihat kaku—tidak termasuk ekspresi wajahnya yang berubah menjadi gelap. Seperti ia akan siap menembak siapapun yang menghalangi. Didatanginya salah satu mobil patroli, menggunakan video device yang ada disana untuk memutar video tersebut.

"Berisik sekali, sial." Ia membanting pintu mobil dengan keras dan kembali fokus dengan video.

Pada awal video tidak menunjukkan apapun yang mencurigakan. Tak ada orang yang lewat dan mobil yang masuk-keluar dari area parkir. Itu berlanjut selama 7 menit—Risa bahkan tidak mau melewatkan tiap detiknya—hingga akhirnya nampak satu orang keluar dari dalam gym. Orang tersebut memakai mantel coklat dengan masker hitam menutupi wajahnya. Orang tersebut memakai sesuatu berwarna putih di kedua tangan, seperti gulungan perban.

Tipikal orang aneh yang memakai benda-benda seperti itu diluar gym.

Risa membesarkan tampilan video agar fokus kepada orang bermantel coklat yang berjalan mendekati mobil. Bola matanya mengikuti pergerakan orang tersebut, hingga akhirnya Risa menyadari bahwa ia hafal betul pemilik mobil berplat nomor itu.

Mobil itu adalah mobil milik Yui, dan kemungkinan orang bermantel coklat itu adalah dirinya. Perihal perban putih yang membebat kedua tangannya.. apakah wanita itu mencederai dirinya lagi? Risa menggelengkan kepalanya, mengalihkan segala hal yang bersifat pribadi dari pekerjaan. Ia telah mengetahui siapa pemilik mobil dan orang tersebut, berarti ia telah mendapatkan saksi.

Setelah beberapa lama, mobil Yui tak kunjung menyala. Hanya diam disana meskipun sang pemilik telah berada di dalam. Risa bertanya-tanya, apa yang ia lakukan disana? Mengapa ia tak menyalakan mobilnya? Risa mengubah view video menjadi seperti semula untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih baik.

"Tunggu. Apa itu?" gumamnya. Ia mendekatkan wajahnya pada layar, lebih tepatnya pada sesosok manusia berpakaian gelap yang tiba-tiba masuk ke dalam jarak pandang cctv.

Orang tersebut pada awalnya hanya berdiri diam dan memperhatikan mobil dari jarak jauh. Kepalanya sesekali menoleh ke samping seperti mencari-cari sesuatu, atau mungkin memastikan keadaan sekitar. Sedetik kemudian, orang tersebut mengambil langkah lebar dan mengeluarkan benda mencurigakan dari dalam jaketnya.

Palu. Orang mencurigakan itu mengeluarkan sebuah palu dan melangkah mendekati mobil Yui.

Risa menegang. Ketika orang tersebut hanya berjarak dua meter saja dari mobil Yui, mobil tersebut tiba-tiba menyala dan meluncur dengan kecepatan tinggi dari tempat parkir. Meninggalkan si pelaku yang berbalik pergi, dan menghilang di balik kegelapan bangunan. Penyidik itu menyandarkan tubuhnya ke belakang, berusaha mengontrol emosi.

Si pelaku marah karena tak berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Sehingga ia membunuh orang lain dan menghancurkan jasadnya. Ini pembunuhan berencana, dan Yui telah berada dalam pengawasan psikopat itu selama beberapa hari terakhir.. Risa mengacak rambutnya dengan frustasi. Dia... telah ditandai oleh pembunuh berantai. Dan binatang brengsek itu jelas tidak akan berhenti begitu saja.

Video berlanjut dan menampilkan pria yang keluar dari gym. Orang tersebut berjalan santai sembari memainkan ponselnya seolah ia yakin bahwa ia benar-benar seorang diri disana. Sesaat kemudian hal yang Risa takutkan terjadi. Si pelaku memukul bagian belakang pria tersebut berkali-kali, tepat di depan cctv, menunjukkan bahwa si pelaku ingin tindakannya terdokumentasi dengan baik. Kedua orang tersebut kemudian menghilang dari tangkapan kamera saat si pelaku menyeret korban di balik salah satu mobil.

Risa terdiam. Bukti di depannya benar-benar jelas menunjukkan bagaimana pelaku mengeksekusi korbannya. Bagaimana ia mengayunkan palunya ke kepala korban... seperti yang pernah ia lakukan saat itu. Tidak, jangan pernah memikirkan hal itu lagi. Risa menggeram kecil, punggung tangannya bergerak mengusap peluh yang membasahi dagu.

Ternyata hanya ini saat pelaku membunuh dan mengabaikan pola yang ia buat. Risa mencabut flashdisk dari video device dan berjalan masuk ke dalam mobilnya sendiri. Dalam surat Yamasaki, si pelaku menuliskan nama terangnya—Yamasaki Ten—itu berarti pelaku menguntit, mempelajari tingkah laku dan kebiasaan calon korbannya.

Risa mengambil ponsel dari dalam saku, dengan cepat ia membuka daftar kontak dan menelepon rekan satu timnya. "Panggil dan tanyai semua orang yang berada di gym dari rentang pukul delapan hinggal dua belas malam, jangan biarkan mereka pergi sebelum aku datang."

"Risa, kami menemukan mobil yang sama persis dengan yang ada di tiga pembunuhan sebelumnya. Mobil itu ditinggalkan empat blok jauhnya dari gym."

"Apa—"

"ARGH, sial! APA INI?" Risa menepikan mobilnya untuk berputar ke lokasi yang Ozeki maksud. Mendengar Ozeki berteriak panik seperti itu... menandakan bahwa ia menemukan sesuatu yang mengerikan dan ia harus melihatnya sendiri. "ada mayat dan tengkorak manusia utuh disini."

"Bagaimana kondisi mayat?"

"Hei, bagaimana?" Ozeki bertanya pada orang lain yang berada jauh darinya. Karena saat orang itu menjawab suaranya terdengar kecil dan tak begitu jelas. Ozeki sepertinya menjauh dari TKP dan hal itu cukup membuat Risa paham bahwa kondisi disana benar-benar buruk. "berantakan, Risa."

"Kau kembali, berikan tengkorak itu pada petugas untuk dilakukan tes DNA. Setelah itu panggil semua orang seperti yang aku perintahkan tadi. Pelaku merenggut dua nyawa dalam satu malam, lakukan dengan cepat!"

Risa memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, tepat di depan garis kuning yang dipasang oleh petugas polisi. Di hadapannya terdapat mobil SUV berwarna abu-abu gelap yang terlihat mulus terawat, sama sekali tak nampak bahwa mobil tersebut digunakan sang pembunuh untuk membawa banyak mayat. Ia turun dan berjalan mendekati seorang petugas, ia membungkuk untuk memberikan hormat.

"Sersan Onuma memberikan pesan bahwa anda akan datang untuk mengambil alih penyelidikan disini."

Risa mengabaikan ucapan petugas tersebut dan langsung membuka dashboard mobil. Mencari apapun yang mungkin ditinggalkan oleh pelaku. Tak menemukan apapun, ia berbalik ke bangku belakang, meraba bagian dalam jok dan berpindah ke bagasi belakang. Disitulah ia menemukan mayat yang dimaksud Ozeki. Refleks ia melompat keluar sembari mengeluarkan umpatan kecil karena bau busuk mayat itu.

Diperhatikan lebih teliti, mayat tersebut adalah seorang wanita muda berseragam sekolah—ingatan Risa menunjukkannya gambaran dari poster orang hilang yang tertempel di HQ, beberapa yang ia lihat di rumah makan, sekolah, tiang listrik di penjuru kota. Dengan kata lain, ia telah menemukan siswi yang dinyatakan hilang sebulan yang lalu.

Ia membungkuk, meneliti mayat tersebut. Seperti biasa, pelaku menusuk korban berkali-kali dan mengiris setengah batang lehernya untuk melihat korbannya sekarat. Risa menundukkan kepala dan melihat lebih dalam, barang kali ia menemukan benda lain yang dapat dijadikan barang bukti. Tetapi tak ada apapun disana selain... nomor telepon perusahaan?

Risa mengeluarkan ponselnya, mengetikkan nomor tersebut dan langsung menghubunginya. "Uh, selamat siang. Begini, Pak, saya menemukan iklan rental anda di sosial media dan berpikiran untuk menyewa kendaraan untuk beberapa hari."

Ia memberikan gestur pada petugas medis untuk mengamankan jenazah, sementara dirinya kembali ke bagian depan mobil. "Sayang sekali iklan tersebut tidak menampilkan alamat jadi—baik, setelah perempatan kantor pos? Ah iya, aku mengerti. Terima kasih atas informasinya." Risa menutup panggilan telepon. Ia kemudian berjongkok untuk mengambil beberapa foto mobil, terutama plat nomor dan nomor mesin.

Mobil tersebut adalah mobil sewaan yang ditinggalkan begitu saja. Ia mungkin bisa mendapatkan informasi penting dari catatan penyewa yang dimiliki rental mobil yang akan datangi. Ia tak bisa secara langsung memberitahu bahwa mobil mereka terlibat kasus karena Risa tak bisa menjamin rental tersebut bekerja sama dengan pelaku atau sebaliknya. Oleh karena itu ia tidak memberitahukan identitasnya sebagai petugas polisi melalui telepon.

Drrrt drrrrt

Ponselnya bergetar saat Risa mengambil jalannya kembali ke mobil. Nama Ozeki terpampang jelas pada layar, Risa segera menerima panggilan tersebut dan menempelkan speaker pada telinganya.

"Orang-orang tersebut sudah hadir di kantor. Kosaka telah menginterogasinya bergantian dengan Harada. Bisakah kau datang? orang-orang ini benar-benar tidak sabaran."

"Aku tiba dalam lima belas menit."

Risa tahu Ozeki hendak mengatakan hal lain lagi. Tapi ia merasa perlu mendengarkan dan langsung menutup panggilan telepon. Ia masuk ke dalam mobil setelah memberikan beberapa arahan kepada petugas lapangan apa yang harus mereka lakukan. Mobil tersebut adalah barang penting jadi ia meminta mereka untuk menahannya sampai batas waktu yang tak ditentukan, tanpa dirubah sedikitpun. Itulah alasan mengapa Risa memotret tiap bagian mobil dengan teliti—agar tak ada penyalahgunaan dan penghapusan bukti.

Soal mayat—tak ada yang bisa ia dapatkan dari mayat tersebut kecuali surat yang menjadi bukti kuat bahwa ia adalah korban pembunuh berantai. Faktanya, mayat itu hampir seluruhnya membusuk sehingga ia tak mungkin mendapatkan apapun yang mungkin membantu penyelidikan. Jadi mayat itu dikirimkan ke pihak rumah sakit untuk kemudian diserahkan ke keluarga.

Mobil Risa melesat di tengah keramaian kota. Sirine dari mobilnya begitu keras, menyalang dan membelah jalan untuk dirinya. Mobil-mobil lain berbelok ke samping dan memudahkan Risa untuk mencapai kantor. Karena ia tidak menginjak rem terlalu sering dan hanya menginjak pedal gas membuatnya merasa bahwa perjalananya ini begitu singkat. Risa memarkirkan mobilnya di tempat biasanya dan segera masuk ke kantor untuk menemui orang-orang yang dimaksud Ozeki.

Ruang interogasi berada di bagian belakang HQ. Cenderung gelap dan sengaja dibuat seperti itu untuk memancing ketidaknyamanan terduga pelaku. Bagi sebagian orang mungkin akan berhasil karena mereka pasti merasa tak enak ditekan—atau mungkin disiksa—di tempat kecil, gelap, dan berbau besi itu sehingga mereka akan mengatakan hal yang sebelumnya tak ingin mereka katakan.

Atau istilahnya—memancing kejujuran dengan cara yang kurang manusiawi.

Risa berhenti di depan pintu besi ruang interogasi karena mendengar suara orang berteriak dan memukul meja besi. Wanita tinggi itu mendengus kesal dan mendorong pintunya terbuka. Onuma Akiho dan dua orang petugas lain telah ada disana, berdiri di depan kaca transparan yang menunjukkan suasana panas dari dalam ruang interogasi.

"Kenapa orang-orang sialan ini begitu ofensif." Bisik Risa. Ia segera melewati ketiga orang tadi dan langsung masuk ke dalam ruang interogasi dengan mendobrak pintunya. Tak lupa ia menjeblak pintunya dan menimbulkan suara keras yang menggema.

Ozeki refleks berdiri karena terkejut dan saat ia menoleh bahwa yang datang adalah atasannya, ia membatalkan niatnya untuk mengumpat dan langsung duduk lagi.

"Aku datang kemari untuk meminta penjelasan secara detail dari orang yang kebetulan berada disana saat kejadian dan bukan untuk mendengar suaramu yang jelek itu." Risa berjalan pelan dan berdiri di samping pria berkaca-mata yang balik menatapnya dengan sorot mata tajam. "dengar. Apa yang kau lakukan dan kau ucapkan akan menentukan nasibmu saat kau keluar nanti. Atau—"

Tangan kiri Risa bergerak untuk meraba sesuatu yang menonjol dari sabuknya. Ozeki mengangkat tangannya untuk menahan Risa, tapi wanita itu telah meletakkan handgun miliknya di atas meja dengan satu hentakan kuat.

Pria itu mengumpat kecil, meski sebenarnya ia tampak sedikit takut dengan ancaman Risa yang benar-benar eksplisit. Terutama tatapan matanya yang dingin dan tajam seolah ia tak takut akan kehilangan jabatannya untuk meledakkan isi kepalanya saat itu juga.

"Baiklah, baiklah. Aku memang sempat mengikutinya karena ingin menyampaikan suatu hal. Tapi, tapi saat aku mendengar suara teriakan dan benda dipukul... aku langsung berbalik dan kembali ke dalam. Aku tidak tahu jika itu saat ia dibunuh—sungguh!"

Risa masih menatapnya penuh selidik seraya mengetuk-ngetuk moncong pistol di atas meja besi. Ia berusaha mencari-cari kebohongan dari balik kesaksian pria itu, tetapi untungnya ia tak menemukan apapun disana.

Ia mengeluarkan helaan napas berat, "Keluarkan orang ini. Buang-buang waktu saja."

Ozeki mengangguk. Ia menarik pria itu berdiri dan membawanya keluar dari ruang interogasi untuk diserahkan pada petugas yang menemani Onuma di luar. Melihat respon Risa kemungkinan besar orang ini akan dilepaskan. Ozeki masuk ke ruangan lain untuk menemui orang lainnya lagi dan betapa terkejutnya ia saat mengetahui siapa orang tersebut.

Mencoba professional, Ozeki tak mengatakan apapun saat membawa orang itu ke dalam ruang interogasi. Tapi ia berusaha agar tak terlalu keras kepadanya karena melihat kedua tangan orang tersebut yang dibebat oleh perban tebal.

"Ini yang terakhir." Ucap Ozeki. Ia memberikan gestur pada orang itu untuk duduk di kursi, disampingnya Risa berdiri dengan membawa pistolnya. Saat ia mendengar ada seseorang duduk di kursi, Risa segera memasukkan pistolnya kembali ke dalam holster.

"Kau mencurigaiku, Watanabe?"

Risa mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan rekaman video cctv pada orang tersebut. "Kau melihat wajahnya?"

"Huh?"

Risa mengetuk meja dengan jari telunjuknya sebanyak tiga kali, "Aku bertanya padamu, apakah kau melihat wajahnya? Atas alasan itulah kau kabur dari tempat itu, Kobayashi?"

Yui mengambil ponsel itu dari tangan Risa dan memperhatikannya lebih dekat. Matanya menangkap sosok berpakaian hitam yang membawa palu di tangannya, sedang berjalan mendekati mobilnya. Mendadak angin dingin seperti bertiup, membuat sekujur tubuhnya membeku.

Ia membutuhkan waktu untuk berpikir, mengingat kembali urutan kejadian tak masuk akal itu. Yui masuk ke mobil, menunggu disana selama beberapa saat karena sakit kepala, kemudian...

"Karin," bisiknya. Ia mengangkat wajahnya, menyerahkan ponsel Risa kembali pada pemiliknya dengan tangan gemetar. "Karin."

Risa mengangkat satu alisnya ketika mendengar nama itu keluar dari mulut Yui. Ia memiringkan kepalanya, tak ingin salah dengar, ia bertanya sekali lagi. "Siapa?"

"Karin. Fujiyoshi Karin. Aku melihatnya malam itu—bukan hanya dia. Tapi juga yang lainnya. Ia berkata padaku untuk pergi dari sana. Aku tidak tahu apa yang kulihat itu nyata atau tidak tapi aku merasa dalam bahaya jika aku masih berlama-lama disana." Yui menegaskan.

Penyidik di depannya terkekeh kecil. "Huh, apa-apaan.. Kau sengaja? Menyebutkan nama itu di depan wajahku untuk memancingku kan?"

"Aku tidak peduli dengan urusan pribadi mu yang melibatkan mendiang Fujiyoshi Karin, aku tidak peduli jika kau menganggap kesaksianku hanya untuk memancingmu—urgh, apa untungnya bagiku?" Yui berdiri dari kursinya, menendangnya menjauh dari kaki. "kau meminta kesaksian, aku memberimu. Dan kau menghinaku seperti itu di depan mereka semua, eh? Kau tidak pernah berubah, Watanabe."

"Aku tidak bermaksud seperti itu, Koba—Yui. Tunggu dulu." Risa turut berdiri, hendak mengejar Yui yang pergi meninggalkan ruangan. Tapi langkahnya tertahan karena Ozeki menahan bahunya dari belakang. "lepaskan aku, sialan. Aku harus mengejarnya."

"Kau yang harus lepaskan, kepala panci brengsek! Kau yang harus lepaskan dia!" teriakan Ozeki membuat Risa tersentak. Ia menghentikan usahanya untuk melepaskan diri dari pegangan Ozeki. Ia menunduk, menatap wajah temannya itu. Sepertinya Ozeki sendiri hendak melanjutkan ucapannya, oleh karena itu Risa menunggunya.

Tapi Ozeki tetap diam. Malahan ia melepaskan tangannya dan berjalan mendekati meja, kedua tangannya bertumpu di atasnya. "Terserah kau. Silahkan kejar dia, tapi jangan tekan dia."

Benar. Jangan pernah mencampuri urusan pekerjaan dengan urusan pribadi. Risa beranjak keluar dari ruang interogasi, meninggalkan Ozeki disana. Kini ia merasa gelisah. Seharusnya ia bersikap lebih tenang dan tidak mengeluarkan emosinya di depan mantan tunangannya. Faktanya ia telah melewatkan kesempatannya untuk berdamai kembali dengan Yui, seperti yang telah ia pikirkan jauh-jauh hari sebelumnya tapi..

Brengsek.

Risa berlari keluar mengikuti Yui setelah menanyakan dan memastikan pada polisi yang berada di kantor. Ia nyaris menabrak petugas lain dan langsung meminta maaf sebelum kembali berlari keluar.

"Yui! Kobayashi Yui!" teriak Risa. Ia tahu Yui sebenarnya mendengar panggilannya, tetapi wanita itu memilih untuk mengabaikannya dan masuk ke dalam mobil. Risa berlari mendekati mobilnya dan berhenti di depannya seraya merentangkan tangannya. "kita belum selesai. Tenanglah dan turun dari mobil!"

Sayangnya, Yui tidak menganggap Risa ada. Alih-alih turun dan menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin, ia justru memundurkan mobil dan berbelok ke arah lain sebelum meninggalkan area parkir kantor polisi.





















TKP pembunuhan ke-6

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top