Chapter 27: Like A Journey Coming To an End

"Jangan sampai ada orang luar selain dari tim khusus ini yang tahu tentang apa yang terjadi. Kalian akan berhadapan denganku dan pistol yang terikat di sabukku ini jika sampai hal itu terjadi!" suara Ozeki menggema di dalam ruangan. Matanya menatap tajam pada setiap orang petugas yang memperhatikannya dari meja kerja masing-masing tanpa berkedip. "Informasi baru yang kita dapatkan harus tetap menjadi rahasia sampai Risa mau berbicara pada kita dan mengatakan semuanya. Jika dia tidak mau, saat itu lah kita akan menyeretnya ke hadapan dewan kode etik."

Selesai dengan kalimatnya yang diucapkan dengan napas terengah, Ozeki lantas berdiri di depan meja kerjanya, dengan satu tangan menumpu hampir setengah beban tubuh sementara tangannya yang lain mengetuk-ngetuk dahinya yang berkeringat dingin. Ruangannya sangat hening. Tidak ada suara khas dari torehan tinta pena di atas kertas, suara gemeresak dari lembaran-lembaran kertas dari arsip tebal yang dibolak-balikkan, tidak ada suara-suara dari anggota personel yang saling berdiskusi satu sama lain, bahkan tidak ada suara ketukan keyboard yang biasanya selalu ada di meja Harada.

Semuanya diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing, dengan berbagai kemungkinan dan asumsi yang mereka pendam jauh di dalam kepala sendiri. Wajah mereka tampak masam, murung, lelah—semuanya berkumpul menjadi satu dan menyebarkan suasana panas yang tidak nyaman kendati pendingin ruangan mencapai suhu 18 derajat.

Bukan disebabkan oleh satu bendel salinan laporan penyelidikan yang dibiarkan begitu saja di meja kosong milik Risa—mereka sama-sama enggan melihat bagian dalam laporan dan memilih untuk membiarkannya selama kurang lebih dua jam karena takut setengah dari mereka akan pingsan karena kepala pening—melainkan karena gelegak perasaan tak nyaman sekaligus perasaan penuh keputusasaan mengenai kasus pembunuhan berantai ini.

Beban yang mereka pikul sudah cukup berat karena menyangkut nyawa orang banyak sekaligus nama baik kepolisian Jepang. Dan mengetahui pimpinan mereka mungkin telah terlibat dalam sesuatu yang benar-benar tak bagus membuat mereka menjadi cukup jengah sekaligus frustasi.

Layar besar yang berada di tengah-tengah ruangan, yang menunjukkan berbagai foto-foto yang didapat dari tempat kejadian perkara. Juga foto-foto dari korban dan dugaan pelaku yang saling berjejer dan dicoret-coret oleh garis berwarna putih dan merah. Bagi orang awam, gambar tersebut tak lebih dari coretan-coretan aneh yang dibuat secara acak oleh anak balita karena semuanya nyaris seperti coretan acak tanpa arti. Memang faktanya, kasus yang mereka tangani dengan cepat berubah menjadi lebih rumit dan kompleks dari sebelumnya, garis-garis penunjuk itu adalah buktinya.

Black Mail sudah ditemukan siapa pelakunya dan keberadaannya masih dicari di seluruh kota. Headhunter? Laporan penyelidikan mengenai kasus tersebut sudah ada di tangan mereka, tetapi mereka masih tak berani membuka dokumen tersebut.

Mungkin di antara mereka semua, Ozeki lah yang terlihat sangat kalut dengan pikirannya. Ada tiga pertanyaan besar yang membutuhkan jawaban. Apa yang terjadi di antara Tamura Hono, Kobayashi Yui, Yamasaki Ten? Mengapa mereka tahu keberadaan komplotan Rei dan mengapa Watanabe Risa turut terlibat dengan mereka? Mengapa mobil Kobayashi dan Yamasaki ditemukan di sekitar tempat ledakan yang terjadi semalam, tetapi sinyal operator terakhir milik ponsel Kobayashi berasal dari lembah di kaki gunung Yamanashi?

Oh, kini ini ia mengerti mengapa Tamura Hono mengajaknya bertatap muka langsung di lokasi yang cukup jauh dari rumah Kobayashi, yang mana sebelumnya Ozeki sempat meminta Hono untuk datang ke sana demi memenuhi keinginan Yuuka yang ingin berbicara dengannya. Tepat setelah perpisahan keduanya di Shinagawa Park, Ozeki sempat berdiam diri di tempatnya seraya memperhatikan mobil Hono yang perlahan-lahan menjauh dari wilayah taman, dan mulai menjejaki jalanan umum dan melaju lebih cepat sebelum benar-benar menghilang dari pandangannya.

Kala itu, Ozeki diam-diam menghubungi Akiho dan rekan-rekannya di tim untuk melakukan pengecekan menyeluruh di rumah Kobayashi. Seperti biasa, rekan bodohnya itu terlihat seperti orang yang baru bangun dari microsleep, tapi Ozeki tak mau menunggu dan segera mencecarnya dengan beberapa perintah. Tak lupa ia meneriaki Akiho untuk memeriksa apakah ia benar-benar mendengarkan dan mencatat semua yang ia ucapkan padanya.

Ozeki tidak ingin membuat warga setempat panik dan merusak TKP dengan berkumpul di sekitar TKP. Jadi ia tak lupa menyampaikan pada Akiho untuk memerintahkan setiap personel agar tidak membawa mobil dinas ataupun atribut yang mencolok. Mereka semua akan datang dengan pakaian sipil dengan membawa peralatan-peralatan pendukung di dalam mobil pribadi. Setelah memberikan perintah tersebut dan meminta Akiho mengulang kembali semua yang telah Ozeki sampaikan padanya, Ozeki segera menutup telepon dan memacu mobilnya menuju HQ.

Ada beberapa rahasia besar yang disembunyikan oleh Tamura Hono, dan rahasia tersebut justru melibatkan atasannya sendiri. Itu adalah perintah untuk melakukan penyelidikan mandiri yang diberikan secara rahasia pada Yamasaki Ten dan Tamura Hono untuk memata-matai Kobayashi Yui—Risa hampir tidak pernah mengatakan apapun pada tim mengenai penyelidikan tersebut, kecuali satu-satunya yang dilakukan untuk membongkar rahasia di dalam penjara. Untuk yang saat ini, Ozeki menyimpulkan telah terjadi penyelidikan illegal sekaligus penggelapan barang bukti penting yang seharusnya dapat membantu proses penyelidikan.

Hal lainnya adalah keterkaitan Kobayashi dengan keberadaan komplotan pembunuh berantai Black Mail yang menjadi alasan kuat mengapa Hono begitu bersikeras untuk menemukan Yui—seorang diri, bahkan. Selain itu, mengapa harus Kobayashi? Jika alasan Risa hanya karena wanita itu pernah menjadi calon korban, Ozeki tidak akan mau mempercayainya. Dan lagi, mengapa mereka menyembunyikan keberadaan Black Mail jika memang sejak awal mereka sudah mengetahui keberadaannya?

Untuk sekarang, Ozeki harus mampu menahan diri untuk tidak benar-benar meluapkan emosinya sembarangan. Meskipun jauh di dalam, dadanya bergemuruh, dipenuhi oleh perasaan kecewa karena telah dikhianati oleh orang-orang yang ia kenal. Sejauh ini, ia tidak ingin mengatakan bahwa orang-orang itu juga terlibat dalam kasus pembunuhan berantai ini. Namun... jika sudah begini, Ozeki semakin yakin jika memang telah terjadi sesuatu di antara orang-orang ini dan mereka sengaja menyembunyikannya dari kepolisian—bahkan Risa sendiri juga melakukannya.

Dan tepat dua setengah jam sejak perintah diturunkan, delapan orang personel dari tim gabungan sudah berkumpul di sekitar rumah Kobayashi Yui. Mereka membawa dua mobil minivan yang masing-masing diparkir cukup berjauhan. Ozeki berada di antara personel-personel itu, bersama dengan Akiho dirinya membantu personel lain untuk masuk ke dalam dan menyebarkan mereka ke berbagai sudut.

Ozeki ingat betul betapa berbeda kondisi rumah Kobayashi yang terlihat bersih dan rapi jika dilihat dari luar. Bagian dalamnya benar-benar kacau dan mengerikan. Seperti ada sekelompok perampok buron yang mengobrak-abrik isi dari rumah mewah itu. Saat itu, Ozeki meminta Akiho untuk merekam kondisi TKP dengan ponselnya sendiri jadi sekarang, ia dapat melihat kembali berbagai kerusakan dan kekacauan yang terjadi di rumah tersebut.

Begitu mereka masuk melalui pintu depan, personel langsung disambut oleh genangan darah dan banyak sekali jejak kaki berwarna merah yang mengelilingi rumah hingga naik ke lantai atas. Percikan-percikan darah menempel pada bingkai foto yang terpajang di dinding, juga mengotori cat kelabu di sekitarnya. Di sekitar genangan darah besar itu, personel menemukan beberapa fragmen kecil yang berkilat-kilat ketika dikenai cahaya senter. Itu adalah pecahan-pecahan kaca yang berceceran dan... sebuah pisau yang tenggelam di dalam genangan darah.

Ozeki meminta empat orang personel untuk menyisir lantai satu dan mengamankan setiap barang bukti yang mereka temukan—termasuk pisau yang tergeletak itu, juga memotret jejak sepatu dan percikan-percikan darah di dinding. Sementara dirinya, Akiho, dan dua orang lain naik ke lantai atas. Mengikuti jejak sepatu berdarah yang menaiki titian tangga hingga membawa mereka memasuki salah satu ruangan dengan jendela pecah.

Di ruangan itu juga ia kembali menemukan pemandangan yang mengerikan. Darah di mana-mana, berkumpul menjadi satu di dekat nakas, mengalir hingga di bawah lemari. Bagian belakang pintu putih itu penuh oleh percikan darah, pun dengan dindingnya yang dihiasi oleh bercak-bercak tangan berwarna merah. Akiho berdecak ngeri. Begitu juga dengan Ozeki. Berbeda dengan dua orang anggotanya yang dengan sigap memasukkan pisau berlumur darah yang terlempar di sudut ruangan, Ozeki justru berdiam diri tepat di depan jendela dengan pandangan lurus ke arah genangan darah yang masih basah bersama dengan Akiho yang melongo keluar jendela.

Ozeki ingat betul apa yang diucapkan oleh Hono dengan suaranya yang seperti akan menangis beberapa jam yang lalu. Tentang percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Yamasaki Ten kepada Kobayashi Yui yang dilakukan atas dasar dendam kesumat yang ia simpan selama bertahun-tahun. Itu berarti, hampir semua darah yang mereka temukan disini adalah darah Kobayashi. Dan pisau-pisau itu adalah senjata yang digunakan oleh Ten untuk menghabisi nyawanya.

Mereka tidak boleh menyimpulkan sesuatu tanpa ada bukti konkret. Dan menggunakan barang-barang ini tanpa benar-benar mencari tahu darimana asal dan siapa pemiliknya adalah tindakan tidak professional. Jadi meskipun Ozeki sudah mengetahui darimana asal muasal darah dan pisau yang mereka temukan, ia tetap harus memberikannya pada petugas forensik untuk diteliti.

Penyelidikan mereka selesai dalam waktu kurang dari tiga jam. Seluruh bagian rumah Kobayashi sudah disisir hingga bersih dan tidak ditemukan lagi barang bukti yang tertinggal. Polisi sudah mendapatkan berbagai detail dari tempat kejadian perkara dan mereka juga sudah meminta petugas lainnya untuk datang untuk membersihkan TKP dari darah yang berceceran kelewat banyak itu.

Semua foto-foto dokumentasi yang Ozeki dapatkan dari tempat itu, sudah ia lampirkan dalam berkas-berkas penyelidikan miliknya yang kini ia simpan dengan aman di dalam laci. Dan sekarang, selagi menunggu hasil identifikasi DNA serta sidik jari yang ia temukan dari rumah Kobayashi, Ozeki terus memperhatikan layar ponselnya dan mengetuk-ngetuk layarnya dengan brutal.

Sejak tadi ia terus berusaha menghubungi dokter yang bertanggung jawab atas Risa dan Yuuka di rumah sakit, hendak mengonfirmasi ulang sekaligus memastikan kebenaran dari pesan singkat yang dokter itu kirimkan kepadanya beberapa jam yang lalu. Memberitahukan kepadanya bahwa baik Risa dan Yuuka sama-sama menghilang dari ruang rawatnya tanpa meninggalkan barang apapun selain pakaian rumah sakit yang dibiarkan begitu saja di ruangan tempat mereka seharusnya dirawat.

Sebenarnya Ozeki tidak terkejut. Sebab, sebelumnya Risa sudah menghubunginya dan memberikan makian serta umpatan apik padanya, lengkap dengan bumbu ancaman-ancaman kasar yang mungkin akan membuat orang lain mengkerut takut ketika mendengarnya. Hanya saja, ia tak memprediksi bahwa Risa dan Yuuka benar-benar bisa pergi dari sana. Ozeki tak habis pikir. Apa yang dua orang itu lakukan sampai-sampai mereka bisa mengelabui petugas penjaga.

Dan... sepertinya lagi-lagi Ozeki lupa bahwa Risa ini memiliki pangkat yang jauh lebih tinggi dan pengaruh yang lebih besar darinya. Mudah saja bagi petugas jaga itu untuk mematuhi dan melanggar perintah Ozeki begitu Risa angkat bicara, sementara mereka tahu jika Ozeki sendiri adalah pimpinan pengganti selagi Risa sedang dirawat. Hah... Ozeki mendengus frustasi dan kembali menegakkan tubuhnya. Ia berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil sebotol air mineral, membuka tutup botolnya dengan cepat sebelum menenggak hampir separuh isinya.

Firasatku buruk.

Ozeki menutup botol air mineral dan meletakkannya kembali di atas meja dengan matanya melirik tajam pada tumpukan berkas laporan yang ada meja seberangnya, yang berada di dalam ruangan lain—meja kerja Risa. Dari berbagai macam gumpalan emosi memuakkan yang terjebak di dalam dadanya, justru tumpukan kertas sialan yang berserak diam di atas meja sana lah yang membuat isi perutnya berdeguk tak nyaman. Aku... tidak mau melihat dan membaca isi laporan itu. Apapun yang ada di dalam sana sudah jelas membuatku mual nantinya.

Melonggarkan ikatan dasi pada kerah kemeja abu-abu, Ozeki memalingkan wajah dari meja kerja Risa dan memilih berjalan melewati meja kerja anggota lainnya untuk mencapai pintu kaca geser yang berada di paling ujung sana. Pintu itu bergeser secara otomatis begitu Ozeki menjejakkan satu kaki di depannya dan ia tidak langsung keluar. Wanita itu menengok ke belakang, kemudian berkata, "Aku akan keluar untuk membeli sesuatu. Mau titip tidak?"

Menyadari semua orang yang berada di dalam ruangan memilih untuk diam dan menatap lurus dengan sorot mata kebingungan sekaligus sedikit segan padanya, Ozeki hendak menghardik rekan kerjanya. Tapi hal itu urung ia lakukan karena Harada yang berpura-pura batuk sekaligus mengangkat dagu pada seseorang yang sedang berdiri tepat di depan wajah Ozeki. "R—Risa?" gumamnya begitu ia berbalik badan dan menemukan dirinya sedang berhadapan dengan bahu kokoh milik wanita tinggi itu.

Kepala Inspektur Watanabe Risa sudah ada di depannya. Dengan lilitan perban melingkari kepala dan dahi, beberapa plester luka di wajah dan goresan merah di leher serta dagu. Luka-luka di wajah sang inspektur semakin membuatnya semakin sangar sekaligus mengerikan—ditambah lagi dengan sorot mata tajam yang menatap lurus ke bawah, pada sepasang manik cokelat Ozeki.

Ia tak lagi mengenakan pakaian rumah sakitnya dan memakai kaus berwarna hitam dan jaket parka berwarna hitam pula.

Ozeki membuka mulutnya, barangkali hendak mengucapkan beberapa patah kata. Namun seketika suaranya terbungkam karena Risa menggunakan tangan kanannya untuk membekap Ozeki dan mendorongnya masuk ke dalam ruangan tim gabungan hingga bawahannya itu menabrak salah satu meja yang berseberangan dengan pintu masuk dan jatuh telentang di lantai. Seluruh personel polisi yang berkumpul disana kompak memekik kaget dan langsung menengahi keduanya—sekitar delapan hingga sembilan orang harus menahan tubuh Risa dan berdiri di antara Risa dan Ozeki agar tendangan-tendangan Risa tak sampai mengenai sersan muda yang masih kebingungan itu.

Risa berteriak lantang, lantas mengangkat pistolnya ke langit-langit ruangan. Membuat beberapa petugas yang sempat menahan dan memegangi tubuhnya mengambil langkah menjauh beberapa meter dan mengeluarkan senjata masing-masing. Salah satu petugas terlihat menyabet handheld transceiver dari meja kerjanya, sepertinya orang itu akan melaporkan apa yang terjadi pada seseorang di luar ruangan. Risa tak membiarkan hal itu terjadi sehingga ia mengambil langkah lebar mendekati laki-laki paruh baya itu dan merebut alat komunikasi yang digenggamnya, kemudian membuangnya keluar jendela.

Seluruh akses keluar sudah tertutup—lampu yang berada di bagian atas pintu kaca itu berubah menjadi warna merah yang berarti pintu terkunci dan hanya bisa dibuka dengan kartu khusus yang dimiliki oleh Risa. Situasi berubah menjadi menegangkan saat Risa kembali mengangkat pistolnya ke atas, seakan memberikan ancaman pada siapapun yang berani bergerak mendekat. Semua anggota tim gabungan yang berada di dalam masih juga tidak menurunkan pistol mereka meskipun hampir semuanya menggenggam senjata api itu dengan keraguan yang begitu jelas.

Sesekali mereka saling beradu pandang satu sama lain. Mempertanyakan apakah pantas bagi mereka untuk mengacungkan moncong pistol pada atasan mereka sendiri. Hingga akhirnya mereka menyadari ada orang lain yang datang ke ruangan mereka selain Risa. Akiho mengenalnya, itu adalah sahabat Risa dari The Elites—Sugai Yuuka. Menodongkan senapan api pada orang sipil tanpa alasan yang jelas adalah sebuah pelanggaran karena senjata itu akan memberikan ancaman.

Meskipun Yuuka sama sekali tidak terlihat takut dengan belasan pistol yang ditodongkan pada orang di depannya, detik itu juga Akiho tetap memalingkan kepala pada rekan-rekannya yang lain seraya menurunkan pistol miliknya. Gerakannya itu kemudian diikuti oleh satu persatu petugas hingga akhirnya hanya senjata milik Risa saja yang masih diangkat oleh sang pemilik. Risa menghembuskan napasnya perlahan dan menutup matanya. Sensasi panas yang membuat matanya perih sempat membuat air matanya berkumpul di sudut mata. Yuuka menyantuh bahunya dari belakang dan menurunkan lengannya hingga tak ada lagi situasi mencekam dengan senjata yang kapan saja dapat ditembakkan.

"Apa yang terjadi? Apa yang kau sembunyikan dariku, Ozeki?" cengkeraman tangan Yuuka pada lengan jaketnya terlepas begitu saja begitu Risa merangsek maju dan menarik tubuh Ozeki mendekat. Kali ini beberapa petugas kembali berusaha melepaskan cengkeraman Risa dari tubuh Ozeki, akan tetapi Risa segera memberikan tatapan mematikan pada petugas-petugas tersebut sehingga mereka terpaksa mundur. "Kenapa mobil Yui dan Ten ada disana? Kau tidak ingin aku melihat ponsel dan televisi karena hal itu, 'kan? Hei, brengsek. Katakan padaku sekarang! Katakan semua yang terjadi selama aku tidak ada!"

"Risa, kau—"

"Di ledakan itu, Habu Mizuho tewas terbakar! Kau tak tahu apa yang aku rasakan saat aku datang ke headquarter dan menemukan Koike Minami membeku di luar sana setelah mengetahui bahwa istrinya mati mengenaskan dalam ledakan itu. Saat ia bertatapan denganku, aku tak menemukan ada air mata yang ia jatuhkan. Kau lihat, ia sampai tidak bisa menerjemahkan emosi yang ia rasakan saat itu!"

Risa terus berbicara panjang lebar. Visualisasi dari apa yang ia temukan sesaat setelah ia masuk melalui pintu utama HQ dan menemukan wanita berambut pirang itu sedang duduk di salah satu deretan kursi ditemani oleh beberapa orang petugas yang membawa lembaran kertas dan sebotol air mineral yang akan diberikan padanya. Risa dan Yuuka berhenti sejenak disana untuk menanyakan apa yang mereka lakukan. Betapa terkejutnya mereka berdua saat salah seorang petugas memberinya beberapa lembar foto yang menunjukkan sesuatu berwarna hitam dengan merah—menyerupai beef yang dibakar hingga menghitam.

Petugas itu menjelaskan tentang ledakan yang terjadi malam itu yang rupanya merenggut nyawa satu orang. Mungkin jika polisi tidak memberinya keterangan, Risa akan mengira benda berwarna hitam itu sebagai balok kayu. Jasad berhasil diidentifikasi meskipun seluruh sidik jari yang ada pada jari-jari korban hangus dan tak bisa dideteksi. Dan hasil tes DNA menunjukkan bahwa jasad tersebut adalah seorang dekan yang masih menjabat di universitas—Habu Mizuho.

Risa juga sempat bertanya mengenai temuan dua mobil yang juga ada di lokasi ledakan. Polisi itu kembali menerangkan jika mereka masih melakukan pelacakan untuk menemukan nomor seri pada kerangka mobil yang masih tersisa. Mereka menemukan beberapa kejanggalan dalam kasus tersebut, mengingat hanya ada satu mayat yang ditemukan sementara di lokasi kejadian terdapat dua mobil yang terbakar. Tentu tidak mungkin dua mobil itu dikemudikan oleh satu orang saja.

Ozeki yang mendengar penjelasan Risa mengenai jatuhnya korban dalam ledakan yang merupakan kenalannya saat di Sakurazaka Academy jelas semakin tak bisa berkata-kata. Hal yang sama juga terjadi pada Aoi dan Akiho. Dua sersan muda yang berdiri di samping Risa itu langsung membalik tubuh mereka, dan berjalan menjauh. Tampak raut wajah frustasi sekaligus sedih yang begitu jelas disana. Semakin lama alumni Sakurazaka Academy 2021 semakin habis karena tewas terbunuh.

"Disini kami berusaha keras melindungimu, Risa! Jika tidak, kami sudah membawamu di hadapan dewan kode etik dan membiarkan mereka mencopot jabatanmu sebagai perwira. Kau bisa katakan selamat tinggal pada semua rencana yang kau simpan di dalam kepalamu itu, Inspektur!" Ozeki akhirnya balas berteriak. Tak ingin lagi ia berdiam diri dan membiarkan Risa meneriakinya. Wanita yang lebih pendek itu merangsek maju, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mengambil sebuah laptop dan menghantam kepala Risa dengannya. "Kau ingin tahu apa yang terjadi, bukan? Tentu, aku akan menjelaskannya dengan senang hati. Jadi buka telingamu!"

Ozeki berjalan cepat mendekati crime board dan layar monitor. Bersamaan dengan itu Harada menuntun Yuuka yang terpaku pada foto-foto dan garis-garis merah yang ditampilkan di dua media itu untuk duduk di kursi milik Ozeki.

"Waktu itu aku menghubungi Hono untuk memberinya kabar bahwa kalian berdua telah siuman. Saat itu Yuuka juga meminta untuk berbicara dengan Yui tetapi Hono mengatakan bahwa ia tak sedang bersamanya. Kami akhirnya sepakat untuk bertemu di Shinagawa Park karena ia akan menjelaskan semuanya kepadaku." Ozeki berbicara dengan nada berapi-api. Dipukulnya crime board yang ada di belakangnya hingga membuat semua orang yang ada di sana terperanjat bukan main. "ia mengatakan padaku jika Yui menghilang dan ia meminta bantuan untuk melacak sinyal ponselnya. Kau tahu apa yang terjadi sebelumnya? Sesuatu yang menjadi alasan mengapa kau melihat mobil Yui dan Ten di lokasi ledakan? Akan kuberitahu. Ten berniat untuk menghabisi Yui pada malam itu dan Yui berhasil kabur dan tak bisa dihubungi sampai detik ini!"

Risa terbelalak kaget. Ia mendorong Ozeki menjauh dari papan agar dirinya dapat berdiri sedekat mungkin di sana untuk mendapatkan sudut pandang lebih baik dari salah satu deret foto. Ia hafal betul susunan perabotan, cat dinding, dan lantai yang bersimbah darah itu. Juga salah satu pisau berlumur darah yang diduga digunakan sebagai senjata pembunuhan. Itu adalah interior rumah Yui dan pisau itu adalah bagian dari knife set yang mereka beli tiga tahun yang lalu.

Darahnya seakan membeku. Wajah, kaki, dan tangannya mendingin seketika sementara kepalanya pening karena aliran darah yang tiba-tiba seperti berhenti mengalir ke otaknya. Tangannya bergetar hebat saat ujung jarinya menyentuh salah satu lembaran foto, menatapnya lekat-lekat hanya untuk membuatnya semakin berantakan. Ia tak bisa menampik dan mengelak jika memang semua foto itu diambil di dalam rumah Yui dan pisau itu adalah pisau milik Yui.

Biasanya Risa tidak akan gentar ataupun merasa sedih setiap kali ia datang mengunjungi TKP pembunuhan. Potongan daging manusia, organ tubuh, bagian tubuh, dan genangan darah merah hingga hitam tak pernah membuatnya takut. Risa sudah terbiasa untuk tidak membiarkan kedua perasaan manusiawi itu menghalangi tugasnya. Jika ia harus bersimpati ataupun bersedih pada jenazah yang ada di bawah kakinya, maka ia harus melakukan hal yang sama pada puluhan jenazah lain yang pernah ia temui di masa lalu dan masa yang akan datang—itu jelas akan mengganggu pekerjaannya.

Tapi kali ini entah mengapa kedua perasaan itu segera meremukkan hatinya hingga berkeping-keping. Bayangkan saja, orang yang paling dekat dengan kalian menghilang dan tak bisa dihubungi lagi dan mereka juga meninggalkan rumah yang dipenuhi oleh bercak-bercak dan genangan darah di sana-sini.

Ia takut. Takut akan kematian dari orang yang paling ia cintai. Ia takut akan ditinggalkan oleh lebih banyak orang lagi.

Mengapa? Mengapa Ten sampai melakukan hal itu? Apa yang ia dapatkan saat ia berhasil membunuh Yui? Apa anak itu berniat membalaskan dendamnya pada kami atas kematian Hikaru? Sialan, bukan kami yang membunuh Hikaru!

Sebegitu terpukulnya Risa sampai-sampai ia tidak mendengar langkah kaki Yuuka yang mendekat di belakangnya. Risa justru mengangkat foto itu dan menjatuhkan pandangan pada Ozeki dengan bibir yang memucat, seakan bertanya kebenaran foto-foto itu.

Ozeki pun sebenarnya juga tak sampai hati melihat perubahan air muka Risa yang berubah hanya dalam waktu sepersekian detik saja. Inspektur itu tampak seperti orang sakit yang akan tumbang kapan saja. Ia yakin betul Risa mungkin akan koma lagi jika ia tahu isi laporan penyelidikan kasus pembunuhan Headhunter.

Pada akhirnya, Risa harus tahu dengan apa yang terjadi.

"Itu benar. Yang kau lihat itu nyata adanya. Darah, semua darah itu mungkin milik Yui! Harada berhasil melacak ponselnya di lembah gunung Yamanashi. Saat ini Hono sedang pergi ke sana dengan dalih ingin menyelesaikan masalah mereka sendiri."

Ozeki pergi meninggalkan Risa untuk mengambil berkas penyelidikan kasus Headhunter yang ia letakkan di atas mejanya. Ia membanting puluhan lembar kertas yang dijilid menjadi satu di atas meja, mengejutkan Risa yang masih berusaha mencerna semua informasi berat yang ia terima.

Ditambah lagi dengan satu bendel laporan yang baru saja ditunjukkan Ozeki padanya. Ketika Risa mengangkat kepalanya, seluruh pasang mata sedang tertuju ke arahnya. Termasuk dengan Yuuka—tunggu, sejak kapan wanita itu menggenggam tisu di tangannya. Risa jadi semakin hancur saja begitu sadar Yuuka sempat menangis karena mendengar semua fakta menyedihkan barusan.

Risa perlu menata kembali mental dan keberaniannya untuk membuka lembaran pertama laporan tersebut. Membacanya sekilas dan segera membalik ke halaman selanjutnya karena tidak menemukan apa yang ia cari—kebenaran yang mungkin akan menghancurkan dirinya sendiri.

Secara garis besar, laporan itu terlihat begitu tebal karena berisi hasil tes forensik dari TKP dan keseluruhan barang bukti yang didapatkan, serta hasil analisis darah serta DNA yang ditemukan oleh ahli patologi dari empat kasus sekaligus—sebenarnya Risa juga heran mengapa keempatnya digabungkan menjadi satu. Apa mungkin semuanya berkaitan satu sama lain?—Pembunuhan Keluarga Kobayashi, pembunuhan Moriya Akane, pembunuhan Endo Hikari selaku bagian dari komplotan Rei, dan penyerangan terhadap dirinya.

Sebagian besar bukti yang mengarah pada pelaku didapatkan dari sidik jari dari senjata pembunuhan di lokasi kejadian, di rumah kelaurga Kobayashi sebuah palu gada ditemukan dan dibawa untuk diteliti. Juga helaian rambut yang kebetulan ditemukan di atas bekas genangan darah yang mengering. Sampel darah milik pelaku juga ditemukan di gudang tempat ditemukannya jenazah Akane—sedikit sulit mengidentifikasi darah tersebut karena sudah tercampur dengan tanah dan teroksidasi oleh udara, jadi perlu waktu lebih lama untuk menyelesaikannya—sampel darah yang sama juga ditemukan di gedung konstruksi tempat Risa ditemukan terluka parah beberapa minggu yang lalu.

Setelah berminggu-minggu, akhirnya tim forensik berhasil mencocokkan sidik jari dan DNA dari semua bukti-bukti tersebut dengan database kepolisian. Hasilnya menunjukkan 99,99% kecocokan dengan... seorang dokter bedah yang ia kenal. Seorang teman, sahabat, sekaligus sosok yang masih mendapat tempat khusus di dalam hatinya.

Ya, Kobayashi Yui.

Jari Risa kembali bergetar saat ia meraba permukaan foto Yui yang ditempelkan di salah satu lembar kertas. Halaman itu berisi profil dan riwayat hidup, dan riwayat penyakit yang ia miliki. Tentu saja disana juga tercantum bahwa ia sempat tinggal bertahun-tahun di fasilitas rehabilitasi kejiwaan karena gangguan kepribadian ganda.

Ia tak percaya bahwa semua ini benar-benar nyata, benar-benar terjadi. Kobayashi Yui yang menangisi kematian orang tuanya rupanya adalah orang yang membunuh orang tuanya sendiri. Kobayashi Yui yang membantunya untuk menempelkan selebaran poster Akane di tengah kota dan membantu mengejar pelaku penculikan di Sendai ternyata adalah orang yang melakukan penculikan dan pembunuhan pada Akane, juga hampir membunuh temannya sendiri—Sugai Yuuka. Dan... Kobayashi Yui juga lah yang waktu itu menusuknya berkali-kali dan mendorongnya jatuh dari gedung bertingkat.

"Kenapa kau diam-diam memerintahkan Hono dan Ten untuk melakukan penyelidikan mandiri pada Kobayashi? Apakah kau berniat melindungi pelaku karena ia adalah orang terdekatmu? Asal kau tahu saja, Kobayashi Yui memiliki koneksi dengan komplotan Rei dan kau melindunginya dari kepolisian, kita seharusnya dapat meringkus mereka dengan cepat jika kau tidak bodoh begini, dasar gila!"

"...aku—aku tidak tahu. Aku tidak tahu tentang ini, sungguh. Aku memang meminta Hono dan Ten untuk melakukan penyelidikan mandiri, tapi—mereka tidak pernah, maksudku, belum pernah melaporkan apapun kepadaku."

"Tutup mulutmu! Berhenti membela diri dan sudah seharusnya kau menyalahkan dirimu sendiri sekarang. Habu yang mati terbakar, percobaan pembunuhan pada Yui—SEMUANYA, RISA! SEMUANYA TERJADI KARENA KESALAHANMU!"

PLAK

Panasnya bekas tamparan yang ia terima di pipi membuat Risa seketika tersadar dari putaran memori, menarik jiwanya kembali ke realita. Ia meremas kepalanya sendiri, berjalan gontai mendekati salah satu meja dan menyentuh salah satu monitor komputer di atasnya, mencengkeramnya sekuat mungkin. Ia perlu menahan diri, sebab jika tidak, monitor itu akan ia lemparkan pada dinding dan membuat kekacauan lebih banyak lagi.

Tapi, hei, Risa masih berharap ia masih terjebak dalam alam bawah sadarnya sementara tubuhnya masih terbaring kaku di atas ranjang rumah sakit, ditemani oleh berbagai alat-alat medis yang menunjang hidupnya. Realita yang menghantamnya bertubi-tubi seperti terlalu mustahil untuk terjadi meskipun memang seperti itu adanya. Kobayashi Yui benar-benar seorang pembunuh. Seperti apa yang dikatakan oleh Yuuka—dia sudah kembali.

Ia kini tak sanggup melihat bagaimana kondisi temannya itu. Tapi ia dapat mendengar suara Harada yang berusaha keras untuk menenangkan Yuuka. Ah, dadanya sakit. Sakit sekali. Mendengar temannya menangis tersedu-sedu seperti itu... membuat Risa tanpa sadar turut menitikkan air mata.

Tak mempedulikan Risa yang sedang hancur, ia terus menekan. "Jelaskan padaku. Jelaskan pada kami, mengapa kau melakukan ini?"

"Berawal sejak aku dan Yuuka menemukan bekas pembunuhan di penjara dan keanehan yang ada pada Kobayashi beberapa bulan sebelumnya. Kau pasti ingat insiden berdarah di Sakurazaka Academy yang melibatkan dirinya, bukan? Dan hasil laporan ini juga memperjelas bahwa Yui memang memiliki gangguan psikologis yang begitu kompleks. Jadi aku diam-diam meminta dua orang itu untuk mengawasinya, tapi—aku tidak menyangka jika semuanya sampai seperti ini. Bahkan Ten—argh, bukan berarti aku tidak percaya dengan kalian semua. Tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Sebelumnya aku berpikir Black Mail tidak memiliki kaitan dengan yang satu ini, tapi ternyata..."

"Kau harus bertanggung jawab, Risa. Tak peduli apakah si pelaku orang terdekatmu atau tidak, perbuatan biadabnya itu tidak bisa dimaafkan. Kau tahu sendiri ia membunuh Akane dan orang tuanya sendiri, 'kan? Apabila memang kemudian terbukti ia melakukan itu saat berada di bawah kendali kepribadiannya yang lain, hukuman yang akan dijatuhkan mungkin akan lebih rendah dari seharusnya." Kali ini Akiho yang berbicara. Ia menyentuh kedua bahu Risa, meremasnya dengan kuat tetapi tidak berniat untuk menyakitinya. Ia melakukan itu untuk memberikan kekuatan pada sang inspektur. "Kau ingin menyelamatkan Yui, aku tahu itu. Satu-satunya cara adalah datang langsung kepadanya dan membawanya kemari hidup-hidup. Biarkan ia mengatakan kebenarannya pada kita, kau beri dia pengacara hebat yang akan membantunya di pengadilan. Selesai, hanya itu."

Risa mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Membiarkan lembaran-lembaran kertas yang tadi ia baca tertutup dengan sendirinya di atas meja. "Lembah Yamanashi sangat luas. Aku dengar daerah itu sering terjadi longsor sehingga jalur pendakian yang biasanya digunakan oleh masyarakat umum ditutup. Perlu waktu berhari-hari untuk menemukan mereka semua di lembah itu, dengan risiko kematian lebih tinggi daripada harapan hidup."

Mendengar itu, Harada kini berucap. "Oh, jangan khawatir. Aku sudah menghubungi pasukan anti-terror NPA dan polisi hutan di wilayah itu. Kabarnya mereka sudah memulai pencarian dimulai dari bagian terluarnya dan kau tahu lembah itu berbatasan dengan tiga prefektur sekaligus dengan medan yang cukup berbahaya karena longsor akan terjadi kapan saja sehingga kami tahu pencarian akan sulit dilakukan apabila kita tidak menggunakan bantuan dari udara."

Semua sudah dipersiapkan dengan matang. Tetapi berbeda dengan Risa yang seharusnya memimpin timnya untuk bergerak. Mentalnya yang tangguh sudah terlanjur dinodai oleh perasaan duka dan bersalah yang datang silih berganti. Rasanya sulit baginya untuk membuka mulut dan berbicara seperti biasa. Rekan-rekan timnya pun merasa Risa nyaris menyerupai harimau yang kehilangan taringnya.

"Entahlah, aku... merasa tidak pantas." Ia mendesis.

Mendengar itu, Ozeki langsung meletakkan pistolnya dan mengambil langkah cepat untuk menarik kerah jaket Risa. Urat-urat lehernya terlihat jelas saat ia berteriak tepat di depan wajah sang inspektur. "Keparat, kau ingin mundur sekarang? Setelah bertahun-tahun kau mengabdi disini? Bersumpah di bawah bendera dan nama baik kepolisian Jepang untuk menumpas habis semua kriminal yang ada? Jangan melucu, Risa!"

"Aku tahu itu, Ozeki! Tapi—"

"Inspektur! Ada laporan dari penduduk setempat yang mengaku bahwa mereka sempat minivan putih yang terparkir di sekitar sana. Sepertinya mereka yakin telah melihat Ozono Rei keluar dari kendaraan itu dan masuk ke dalam hutan."

Ozeki mendengus. Melepaskan cengkeramannya pada jaket Risa, mengambil pistol milik atasannya yang sebelumnya diletakkan di atas meja pada pemiliknya, Ozeki kembali berucap, "Lihat? Ini kesempatanmu untuk menebus dosa-dosamu selain dengan penurunan pangkat." Wanita itu berucap dengan nada datar. Tak sedikit pun menengok ke belakang untuk melihat Risa karena ia sibuk mengeluarkan pistol dari laci meja. Ia juga memasang ammo pouch pada sabuknya dan mengisinya dengan amunisi.

Risa menatap Ozeki dengan tatapan sulit. Ia takut jika apa yang terjadi selanjutnya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi setelah menyingkap arti tersembunyi di balik mimpinya yang aneh—keberadaan Yui yang menariknya ke dalam laut adalan manifestasi dari Yui yang tengah menariknya ke dalam kematian. Jika ia tidak bergerak untuk menghentikan dan mengembalikan situasi, keadaan akan menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

Akan ada lebih banyak lagi jiwa-jiwa tidak berdosa yang akan ikut terseret oleh masalah mereka. Dendam lama yang tak sepenuhnya usai, bagaikan api unggun yang disiram oleh satu jerigen bensin, bagaikan kobaran api yang pernah ia lihat bertahun-tahun yang lalu. Bom waktu pertama sudah meledak tanpa ia tahu, dan bom kedua sudah menunggu waktunya untuk turut terpicu.

Rei dan Takemoto ada disana. Ada kemungkinan ia memanfaatkan ledakan itu untuk menculik Ten dan Yui untuk menyekap mereka di lembah Yamanashi mengingat tidak ada orang yang akan datang ke sana karena wilayah itu ditutup. Waktu terus berjalan dan Rei juga tidak akan membiarkan dua orang itu hidup ditambah lagi dengan kepribadian lain Yui yang... muncul. Keadaan disana pasti sangat kacau.

"Kepala Inspektur Watanabe Risa." Ozeki sekali lagi berusaha memanggil namanya. "Beri kami perintah."

Risa tersentak. Panggilan Ozeki sontak membuyarkan lamunannya. Ia mengusap wajahnya sebanyak dua kali dengan telapak tangan, kemudian membawa tangannya ke atas untuk menarik anak rambut yang menutupi pandangan.

Risa. Ayo berdiri, sekali lagi.

"Lima orang dari divisi cybercrime termasuk Harada tetap tinggal disini dan bertugas sebagai operator. Sisanya bergabung dengan tim untuk melakukan jelajah rimba. Bawa peralatan P3K dan senjata api kalian. Kita akan singgah dan berkoordinasi dengan kantor polisi hutan untuk menyusun strategi penelusuran sekaligus mendapatkan peralatan jelajah rimba yang lebih baik. Jangan pernah melepaskan handheld transceiver dari tangan kalian karena sinyal operator akan sulit masuk disana." Risa berdiri dari tempat duduknya. Berjalan cepat ke tengah ruangan dan terus berbicara. "Bagaimana dengan tim anti-terror? Apakah mereka siap diberangkatkan sekarang?"

"Mereka siap ditugaskan kapan saja, Inspektur!"

Risa mengangguk pelan. Melihat sekilas pada anak-anak buahnya yang mulai sibuk dengan urusan masing-masing, beberapa bahkan ada yang mengganti sepatu yang mereka pakai dengan sepatu outdoor. Helm Kevlar dan rompi anti peluru dikeluarkan, diberikan pada masing-masing anggota untuk dipakai—khusus untuk helm, beberapa dari mereka justru membiarkan benda itu menggantung di leher. Ozeki memakai helmnya dengan cara itu.

Karena mereka akan melakukan penangkapan yang tidak biasa—mengingat mereka harus berkeliling dan membelah hutan belantara untuk mencari jejak pelaku—mereka harus membawa peralatan seefektif dan seminim mungkin. Untuk petugas yang tinggal di HQ dan dipercayakan sebagai operator komunikasi, mereka semua sudah duduk manis di depan komputer masing-masing. Mengoneksikan sinyal GPS masing-masing anggota agar tidak ada yang menghilang saat bertugas.

Diantara suasana riuh itu, Risa mulai memberanikan dirinya untuk mendekati Yuuka. Ia berlutut di depan wanita itu, "...Yuuka. Maaf. Maafkan aku karena hal ini terjadi lagi kepadamu, kepada kita semua. Aku... gagal melindungi kalian. Aku melanggar janji yang aku buat sendiri."

"Berhenti meminta maaf. Itu tidak akan membawa orang-orang yang sudah pergi itu kembali ke hadapan kita semua." Yuuka menjawab getir. Disentuhnya telapak tangan Risa yang basah dan dingin. Tampak sorot mata tajamnya sudah menghilang, digantikan oleh tatapan sendu dan bola matanya yang memerah karena menahan tangis. "Kupikir ini adalah hukuman bagi kita semua atas apa yang pernah kita lakukan. Dulu, kita tak pernah benar-benar dihukum atas pembunuhan yang pernah kita lakukan, bukan? Hahaha... hukuman itu datang setelah sepuluh tahun lamanya. Setelah kita semua berpikir bahwa insiden itu benar-benar selesai bersama dengan hancurnya Sakurazaka Academy di malam natal sepuluh tahun yang lalu."

Risa menggeleng pelan, menundukkan kepalanya dan menggenggam kedua tangan Yuuka lebih erat. Ia menyembunyikan tangisannya tetapi Yuuka barangkali sudah paham betul tindak tanduk sahabatnya itu. Mereka sudah saling kenal selama lebih dari 20 tahun. Mudah bagi Yuuka untuk mengetahui jika Risa sedang menyembunyikan sesuatu.

"Aku marah, Risa." Yuuka melanjutkan. "Tidak, aku tidak marah pada Yui karena ia membunuh Akane dan membohongi kita semua karena, hei. Kita semua tahu itu bukan kesalahannya bukan?" ia berhenti sejenak. Membuat Risa menengadahkan kepalanya. "tapi aku marah karena aku tidak bisa mengatakan pada Akane bahwa aku benar-benar mencintainya lebih dari apapun di dunia ini. Kepergiannya begitu mendadak, tanpa diduga. Sebelumnya ia berjanji bahwa kita akan menghabiskan makan malam kami bersama dan berpindah ke luar negeri untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Sayangnya, itu semua gagal karena Akane harus tewas terbunuh... oleh temanku sendiri. Jika kau berada di posisiku, kira-kira apa yang akan kau lakukan?"

Yuuka tertawa pelan setelah menyelesaikan kalimatnya. Ia memberikan sentuhan terakhir pada tangan Risa sebelum melepaskannya, bangkit berdiri meninggalkan ruangan tersebut tanpa mau menunggu untuk mendengar jawaban si Watanabe yang jatuh dalam kebisuan.

Risa mengepalkan tangannya saat Yuuka sudah benar-benar menjauh dan menghilang dari pandangan. Apa yang bisa ia lakukan untuknya? Menghidupkan Akane? Risa jelas akan melakukannya jika itu dapat mengembalikan senyuman Yuuka. Sayangnya, ia tak memiliki kekuatan super untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati.

Ia hanya bisa mengutuk dan menyesal. Seperti dulu, saat ia menghancurkan dirinya sendiri dan hubungannya dengan Yui karena menyesali kematian Fujiyoshi Karin.

Risa mengerang pelan. Ditariknya napas sedalam mungkin kendati tarikan napasnya itu bergetar, sekali lagi ia berada di ujung tanduk. Mengusap air mata dari wajahnya dengan telapak tangan, Risa berbalik menghadap Aoi, berbicara padanya dengan nada lebih lembut dan bersahabat. "Aoi, tolong bawa Yuuka menemui Koike selama kami pergi dan bawa mereka untuk singgah ke mana saja, terserah padamu. Pastikan mereka berdua aman di bawah lindungan kepolisian."

"Segera, Risa. Pastikan kau kembali dalam keadaan utuh, oke?"

"Jangan khawatir. Pergilah dan segera kembali kemari setelah kau mengamankan mereka, ya."

Risa mengeratkan Kevlar pada tubuhnya, tak peduli dengan perih dan nyeri menusuk yang ia rasakan tiap kali benda keras itu menyentuh perut dan pinggangnya. Diambilnya senapan laras panjang dari lemari senjata yang ada di kantornya, memeriksa butiran peluru yang ada di dalam magazine sebelum mengalungkannya pada leher dan bahu.

"Camkan baik-baik misi utama kita kali ini. Amankan Tamura Hono. Tangkap Yamasaki Ten dan... Kobayashi Yui," Risa berusaha keras untuk menjaga suaranya agar tetap bulat. Tanpa melepaskan kontak mata dari anak buahnya, ia melanjutkan dengan mantap, "Tembak mati Ozono Rei dan Takemoto Yui."

"Dimengerti, Inspektur!"

Dengan itu, delapan belas orang dari tim gabungan Risa yang bertugas untuk terjun langsung dalam pencarian segera beranjak keluar dari ruangan dengan membawa peralatan masing-masing, menyusul puluhan personel bersenjata lengkap dengan seragam berwarna hitam di lapangan utama HQ. Benar kata Aoi, pasukan anti-teror sudah siap untuk pergi. Tampak mereka menyiapkan dua unit helikopter dan empat unit truk lapis baja yang akan digunakan untuk memobilisasi prajurit.

Risa segera mendekati salah seorang anggota pasukan khusus tersebut yang penampilannya paling mencolok daripada yang lain. Dengan tubuh paling tinggi dan besar dan tanda kepangkatan yang tertempel di seragamnya, sudah jelas orang tersebut adalah pimpinan dari pasukan anti-teror.

"Sudah lama, ya? Inspektur Watanabe? Terakhir kita bertemu adalah saat penyanderaan di bank sentral empat tahun yang lalu." Suara berat dari pria itu terdengar seperti penyambutan saat Risa mendekatinya.

"Misi kali ini lebih berat dari bank sentral dan komplotan perampok, Kapten Jin. Apakah Sersan Harada sudah memberitahu?" jawab Risa.

"Oh, dia lebih dari memberitahu sehingga kau tidak perlu menjelaskan dua kali. Omong-omong, aku sering mendaki di Gunung Yamanashi saat muda."

Risa mengangguk puas. Kapten Jin adalah rekan yang sangat ia andalkan dulu. Tentu saja sebelum mereka berdua terpisah dan tak lagi bekerja dalam tugas yang sama setelah Risa mendapatkan promosi dan berpindah ke divisi kejahatan berat. Keputusan Harada untuk mempertemukan mereka kembali adalah keputusan yang cukup tepat. Risa sudah percaya dengan kemampuan Kapten Jin dan pasukannya, jadi semuanya pasti akan terlaksana dengan baik.

Tak ingin menghabiskan waktu, Risa segera memerintahkan anggota timnya untuk masuk ke dalam truk. Empat unit mobil patrol turut dikerahkan untuk membelah dan membuka jalan bagi konvoi tersebut. Suara sirine yang memekakkan segera terdengar memenuhi pusat kota dan sepanjang perjalanan mereka. Beruntung dengan bantuan pengawalan dari keempat mobil patroli, perjalanan mereka tak perlu membutuhkan waktu lama.

Risa berdiri dari tempat duduknya, mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Dari kejauhan ia dapat melihat pegunungan hijau dan dataran tinggi yang kokoh. Seakan menunggu kedatangan mereka, menyambut mereka semua untuk masuk ke dalam neraka.

Mengeratkan genggamannya pada senapan di kakinya, Risa tanpa henti memanjatkan sebuah doa. Berharap ia masih dapat menemukan teman-temannya dalam keadaan hidup. Tak masalah jika mereka harus tinggal di dalam penjara selama beberapa tahun asalkan Risa dapat melihat wajah mereka, melihat senyuman bahagia mereka, ingin memperbaiki mereka menjadi lebih baik.

Terutama Kobayashi Yui.

Semua ini terjadi mungkin saja karena kesalahannya sendiri karena meninggalkannya. Entah apa yang terjadi kala itu hingga membuat rehabilitasi Yui gagal dan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. UcapanYuuka beberapa waktu lalu sempat menakutinya dan itu mengirimkan sengatanlistrik ke seluruh tubuhnya. Apakah itu sebuah pertanda ataukah Yuuka sengajamemperingatkannya dengan kemungkinan paling buruk yang akan terjadi?

Saat ini, ia tidak boleh berpikiran buruk. Hapus semua ingatan tentang foto-foto mengerikan yang sudah ia lihat sebelumnya. Benar, seperti itu. Seperti ia melupakan wajah-wajah orang yang pernah ia lukai di masa lalu. 

Kepada semua jiwa-jiwa tak tenang yang berkeliaran menunggu keadilan dijatuhkan. Tepat pada hari ini, malam ini, kami akan meringkus orang-orang kejam yang telah merenggut nyawa kalian tanpa alasan. Semua tangisan, teriakan, rintihan kalian akan selalu aku dengarkan. Tolong, tolong, tolong, bantu kami. Bantu kami menangkap mereka. Bantu kami memberikan keadilan bagi kalian semua.

Risa menutup jendela truk dengan satu hentakan keras dan kembali duduk dengan kepala menengadah ke atas. Memaksa pikirannya untuk mengingat kembali sahabat-sahabatnya yang tewas terbunuh dan terluka karena peristiwa ini—yang menjadi alasannya untuk tetap berjuang, hingga sekarang.

Momen-momen yang tak tergantikan tatkala ia masih berada di tingkat satu. Berkenalan dengan Fujiyoshi Karin karena gadis itu melemparkan bola hingga memecahkan kaca mobilnya. Bertemu Tamura Hono untuk pertama kalinya di tengah kota karena mereka sama-sama kabur setelah tidak diizinkan masuk karena terlambat datang. Dan berbicara langsung pada Seki Yumiko setelah membantu gadis itu mendorong mobilnya yang mogok ke bengkel terdekat. Menghabiskan waktu bersama keenam anggota The Elites untuk menempelkan berbagai poster demi mendukung Yuuka menjadi the president melawan senior tingkat tiga.

Masa-masa indah itu tidak akan pernah terlupakan dan akan tetap melekat di hatinya. Meskipun memori buruk yang ia terima lebih banyak dari hal-hal baik yang pernah ia alami, namun tetap saja, kenangan itu hampir seperti lilin yang menerangi jalannya di hutan yang gelap.

Meskipun kebencian pernah menguasai mereka, membuat mereka terpecah belah dan saling membunuh satu sama lain. Pada akhirnya Risa mampu belajar lebih banyak tentang rasa sakit dan menghargai segala sesuatu yang masih dapat ia genggam dengan tangannya. Selagi semua itu masih memiliki wujud dan Risa masih dapat merengkuhnya dengan lengannya sendiri, maka ia akan melakukan apapun demi menjaganya.

Ia akan terus berusaha. Bahkan sampai ia mati sekalipun.

Maka dari itu, aku mohon. Tolong kami.







Selanjutnya, Mt. Kumotori Incident a.k.a The Murder of Sakurazaka Academy jilid II. Dua chapter selanjutnya mungkin lebih graphic dan berdarah-darah dari sebelumnya. Jadi, waktu dua chapter itu diposting, silakan mempersiapkan diri terlebih dahulu ya (aku juga harus siap-siap mental juga sebelum nulis, jadi tunggu aja)

Btw, di chapter ini Risa masih belum terlalu ngerasain sedihnya gara-gara kepepet sama tanggung jawabnya dia yang masih harus dipenuhi (walaupun sempet kena mental gara-gara omongan Yuuka). Belum aja nanti pas epilog dia ngang-ngong AHAHAHHA

Setting tempat buat chapter final  ini terinspirasi dari Drama Korea Jirisan. Buat yang udah pernah nonton, nanti pasti gampang visualisasi atmosfir sama suasananya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top