Chapter 26: No Time To Cry

Apa yang ia lihat pastilah ilusi semata.

Iya, harusnya seperti itu kan? Ada banyak sekali mobil dengan warna, brand, dan modifikasi serupa. Lagipula, Tokyo adalah kota metropolitan dan banyak anak-anak muda memodifikasi mobil mereka untuk sekedar bergaya untuk memancing para wanita di media sosial. Mobil Yui bukanlah satu-satunya yang berbentuk seperti itu karena pasti ada lebih dari lima mobil lain yang memiliki ciri khas yang sama, bukankah begitu?

Yui tidak mungkin ada disana dan mati terbakar bersama dengan mobil kesayangannya. Risa terus memaksa otaknya untuk mempercayai gagasan itu. Tapi saat ia mencoba untuk menghubungi mantan tunangannya, panggilan teleponnya selalu tidak dapat tersambung. Sulit baginya untuk tidak memikirkan sesuatu yang buruk, terutama saat fakta yang ada justru mengatakan sebaliknya.

Ia baru saja siuman dari tidur panjangnya yang disusupi oleh peristiwa-peristiwa mengerikan yang mengirimkan jutaan tanda tanya di dalam kepalanya. Tangannya, mulai dari persendian yang ada pada siku hingga tulang dari ruas-ruas jari tangannya sempat kaku dan menolak untuk digerakkan ketika Risa pertama kali membuka matanya. Hei, bahkan saat Risa membuka kelopak matanya untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, cahaya lampu ruangan yang berada tepat di atas kepalanya membuat kedua bola matanya mengerling nyeri.

Beberapa jam setelahnya inspektur polisi itu langsung disuguhi suara ledakan dan siaran langsung kondisi yang ada di lapangan. Seharusnya itu tidak membuatnya panik dan ia tak perlu memikirkannya karena itu sudah di luar tanggung jawabnya. Namun masalahnya... ia menemukan sekelebat mobil Yui berada disana. Meledak dan terbakar, tanpa Risa ketahui apakah si pemilik mobil ada di dalamnya atau tidak.

Setelah memakai ponselnya yang sudah terisi penuh untuk menghubungi seseorang, Risa sesegera mungkin menjauhkan dirinya dari ponsel untuk sementara waktu—tak lupa ia juga mengaktifkan mode senyap. Ia perlu waktu untuk menenangkan diri. Ia perlu waktu untuk memilah kembali fragmen-fragmen memori di kepalanya yang hancur berserak bersamaan dengan mendaratnya tubuhnya di atas tumpukan kardus. Sesuatu segera melecut di dalam kepalanya, lantas membuat wanita itu membawa kaki panjangnya melangkah keluar ruang rawat yang ia tempati.

Tubuh tegapnya berjalan cepat membelah kerumunan manusia, entah itu keluarga pasien ataupun calon pasien yang berjalan di setiap sisi rumah sakit. Gurat-gurat kemarahan tergambar jelas di tiap inci wajahnya. Polesan rupa sempurna miliknya tak lagi diwarnai senyuman manis seperti saat ia masih berusia tujuh belas. Kini hanya, kerutan dahi dan bibir tanpa senyuman yang ada disana.

Beberapa orang yang ada di depannya segera melangkah menjauh. Tak ada yang mau repot-repot berdiri di depan sosok tinggi dengan wajah menyalang marah disana—kau tahu saat ada seseorang yang menahan luapan emosi yang tertahan selama bertahun-tahun? Akan ada sepasang mata yang melotot tajam yang penuh oleh dendam di dalam sana. Kira-kira tatapan itu ada di dalam mata Risa dan sukses membuat orang-orang ketakutan dan memilih untuk menjauh.

Beberapa perawat sempat berhenti di depannya, serta merta menanyakan mengapa ada seorang pasien berkeliaran seorang diri di koridor. Risa mengernyit, namun mengingat ia masih mengenakan pakaian rumah sakit, ia segera menjawab dengan tenang bahwa ia hendak pergi ke kamar kecil. Setelah menyusuri tangga darurat karena tak mau repot-repot menunggu lift dan menahan gelenyar perih yang menusuk-nusuk serta sensasi basah yang menyakitkan di bagian perut hingga pinggang, Risa mencapai lantai di mana Yuuka mendapatkan perawatannya, atau satu lantai di bawah ruangan Risa.

Berbekal ingatan dari apa yang disampaikan oleh perawat yang datang ke ruangannya, Risa mencari-cari kamar tempat Yuuka berada. Sebenarnya itu tak perlu karena Risa hanya menemukan satu ruangan dengan dua orang personel bersenjata laras panjang di depannya. Sempat menghentikan langkah di tengah jalan, Risa kembali berjalan mendekati dua petugas tersebut.

Salah seorang pemuda—sepertinya berpangkat sersan dua, jika dilihat dari insignia yang dijahit di kerah seragam—terlihat menyadari kedatangan Risa. Buru-buru ia menurunkan senjata, menyenggol rekannya yang masih berkacak pinggang dengan senapan berat di tangan untuk memberitahu bahwa ada seseorang yang mendekat. Pemuda itu segera memasang posisi siap, kemudian melesatkan telapak tangannya hingga menempel erat di pelipis, memberikan hormat pada Risa.

Membalas kedua personel muda di depannya dengan anggukan kepala, Risa mengangkat dagunya untuk menunjuk ke arah pintu. "Sugai Yuuka di dalam?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.

"Ya, Inspektur. Sersan Ozeki memberikan perintah pada kami." Jawab salah satu dari mereka.

Oh. Risa mengangguk sempurna dan rasanya tak perlu lagi untuk bertanya-tanya lebih jauh. Jadi, tanpa mengatakan apapun untuk sekedar memberikan balasan kepada mereka, Risa mengangkat tangannya untuk memutar kenop pintu dan menyelip masuk. Tepat sebelum Risa menutup pintu, ia berbalik untuk menyampaikan pada dua petugas di luar untuk tidak mengizinkan siapapun masuk hingga Risa keluar dari ruangan tersebut.

Walaupun sejenak dua petugas itu tampak ragu—karena itu berarti mereka harus menolak kedatangan dokter atau perawat yang akan melakukan pemantauan rutin pada Sugai Yuuka—pada akhirnya mereka tetap mengangguk patuh pada perintah Risa, seperti yang seharusnya mereka lakukan.

Merasa tak ada apapun lagi yang perlu disampaikan, Risa pun menutup pintu. Kini, ia dapat menghirup aroma obat-obatan yang begitu tajam menusuk hidung. Ia merasa ruang rawatnya tidak sebau ini, tapi mungkin saja itu terjadi karena hidungnya yang sudah terbiasa dengan aroma ruangan miliknya sendiri dan belum terbiasa dengan milik Yuuka mengingat ini adalah kali pertama wanita berambut pendek itu datang. Ruang rawat Yuuka tidak jauh berbeda dengan miliknya, sebenarnya. Hanya, tirai tebal yang menutup jendela setinggi dua setengah meter yang menghadap perkotaan di depan sana terbuka lebar. Yuuka tidak ada di bednya, melainkan berdiri di depan jendela sana dengan satu tangan menyentuh kaca jendela—tatapan sendunya menyasar jauh, seakan berangan dan meninggalkan tubuhnya yang tanpa jiwa.

Melihat Yuuka berdiri di sana, membuat tubuh Risa membeku di tempat. Merasakan hati kecilnya kembali dirundung jutaan jarum tajam yang menusuk-nusuk tanpa memberikan celah. Ia meringis nyeri, tanpa menyadari kini kedua bola matanya memerah. Tidak, jangan menangis di depannya. Aku tidak boleh terlihat sedih karena itu bisa membuat Yuuka semakin terluka. Risa mengusak surai-surai hitamnya, kemudian melangkah dengan berhati-hati mendekati Yuuka.

"Yuuka. Selamat datang kembali." Sepertinya Yuuka sendiri masih belum menyadari kedatangan Risa. Sehingga setelah Risa menyapanya dengan menyentuh bahunya, wanita itu langsung menengok dan tampak terkejut dengan presensi sahabatnya. Risa menemukan raut wajah sedih itu buru-buru disembunyikan dan Yuuka segera menggantinya dengan seutas senyuman. Gelenyar nyeri kembali berdentum di dadanya, itu membuatku sakit, Yuuka. "Maaf. Atas semua yang terjadi kepadamu, kepada Akane. Aku berjanji, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menangkap pelakunya dan akan kupastikan ia mendapatkan hukuman yang pantas atas apa yang ia lakukan—kepadamu."

Yuuka terlihat cukup berantakan sekarang. Rahang dan pipinya lebam seperti bekas dihantam oleh benda tumpul yang keras. Di bagian leher dan sepanjang lengannya terdapat gulungan perban yang tebal untuk menghindari rembesan darah dari luka tusukan yang melubangi dan mengoyak kulit dan dagingnya. Risa menghembuskan napas, pemandangan itu membuatnya teringat akan kondisi Yuuka pasca insiden Christmas Eve Massacre. Sama-sama memprihantinkan, dan dengan kondisi yang nyaris sama pula.

Wanita itu sontak menurunkan tangannya dari jendela. Kepalanya yang semula ia tundukkan setelah mendengar suara parau Risa kini ia angkat dan menengok untuk menghadap Risa. Yuuka melangkah mendekat, bibirnya terkatup rapat tanpa mau memberikan jawaban—tidak, ia masih tak ingin menjawab sebab tenggorokannya tengah tercekat luar biasa. Si Sugai itu mengeluarkan hembusan napasnya patah-patah, dijatuhkannya kepalanya pada bahu Risa disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram erat kedua lengan Risa.

Ia tengah berada dalam dilema. Ia memiliki ratusan kalimat yang ingin ia sampaikan di dalam kepala guna melepaskan beban yang membelenggu dirinya, namun bibirnya menolak untuk terbuka. Lidahnya begitu kaku hingga ia bahkan tidak bisa menyebut nama sahabatnya. Bahkan saat menangis pun Yuuka hanya bisa membisu, tanpa mengeluarkan isakan karena ia sengaja menahannya meskipun air matanya berderai dan barangkali membuat Risa sadar karena bahunya yang mendadak basah.

Selama beberapa waktu, Risa membiarkan Yuuka menangis dalam diam di bahunya. Risa tak berkeinginan untuk mengatakan sesuatu juga menanyakan sesuatu kepadanya dan membuat suasana di antara mereka yang sudah tidak kondusif menjadi semakin berat. Ia tak bisa berbuat lebih selain mengusap, menepuk-nepuk lembut punggung Yuuka dengan kedua tangannya. Kemudian mendekapnya dengan erat. Risa dapat merasakan tubuh Yuuka yang gemetar tiap kali ia menarik napas dan tiap saat itu terjadi, Risa menggumam lembut padanya. Terdengar seperti bisikan, tidak apa-apa, menangis saja. Kau sudah mengalami hal yang berat, tak perlu lagi untuk berpura-pura kuat.

"Bukankah ia pulang ke Jepang untuk bertemu denganku, Ris? Lantas, setelah ia mendapatkan apa yang ia inginkan... mengapa ia pergi lagi untuk pulang? Aku adalah rumahnya, itu yang ia katakan. Kalau memang begitu, mengapa Akane tidak pulang kepadaku dan justru ke tempat lain? Dia sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku lagi tapi..." Yuuka mengangkat kedua tangannya, kemudian memukul kedua bahu Risa dengan kepala tangan, membuat tubuh Risa terhenyak ke belakang. Pukulan itu cukup menyakitkan baginya tapi ia tetap bungkam dan membiarkan. Suara Yuuka selanjutnya terasa pahit untuk didengar, suara yang tercekat karena ia berusaha keras menahan tangisan. "aku melihatnya Risa. Aku melihat... bagaimana ia dibunuh. T—Tanganku—Tanganku tidak bisa berhenti bergetar sekarang, bagaimana ini? Pemandangan itu, aku sangat ingin melupakannya tapi aku tidak bisa. Aku tak ingin mengenang Akane dengan kondisi yang demikian, ia pasti merasa sangat kesakitan disana, Risa..."

"Tak apa. Aku ada disini untukmu, kita berdua dan... Hono. Jika kau masih menganggapnya sebagai bagian The Elites. Kau tak perlu terus menerus bersikap kuat dan membohongi diri sendiri—seperti dulu." Risa berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati agar tidak menyakiti perasaan Yuuka, untuk saat ini.

"Ini tidak akan pernah berakhir sebelum kita mati, Risa. Semua ini akan terus menghantui kehidupan kita tanpa henti dan kita akan memilih; antara membiarkan situasi membuat kita membunuh diri sendiri atau menunggu untuk dibunuh..." Risa menarik napas cepat, tersentak kaget ketika Yuuka tiba-tiba meremas kedua tangannya. Ia dapat merasakan kuku-kuku Yuuka yang menyakiti kulitnya. Ia meringis menahan sakit, bertanya-tanya mengapa Yuuka tiba-tiba menyakitinya tanpa alasan seperti itu. "Aku ingin mati, Risa. Tidak ada lagi alasan mengapa aku harus melanjutkan hidupku seperti ini sementara sebagian dari nyawaku sudah direnggut tanpa izin."

Yuuka melepaskan diri dari Risa dan beranjak mendekati jendela. Ia berusaha menggeser jendela itu terbuka dan melangkahkan satu kakinya keluar dari pembatas jendela. Melihat itu, Risa segera menarik tubuh Yuuka ke belakang dengan satu tarikan kuat, tepat satu detik sebelum Yuuka benar-benar melompat dan terjun bebas dari bangunan setinggi 30meter ini. Karena Risa menariknya kelewat kuat, itu membuat mereka berdua jatuh mendarat di atas lantai.

Risa bangkit berdiri, tidak mempedulikan perih dari pinggangnya dan menduduki tubuh Yuuka—menampar-nampar wajahnya sebanyak tiga kali. Diangkatnya kepala Yuuka, kemudian ia berteriak di depan wajahnya. "Aku akan membunuhmu jika kau benar-benar melompat dari sana, Sugai Yuuka!"

"Lepaskan aku, Risa!"

"Tidak akan pernah. Tidak akan pernah jika kau masih berniat terjun dari sini, keparat! Kau ingin meninggalkanku juga, huh? Bersama dengan Yui, Seki, Karin, dan Akane? Sadarlah!" Yuuka tersentak. Risa tiba-tiba mengangkat tubuhnya, memaksanya untuk turut berdiri dan menabrakkan tubuhnya pada dinding dengan kuat. Cengkeraman tangan Risa segera mencekik lehernya, dan Yuuka mengenggam erat pergelangan tangan Risa—juga menancapkan kuku-kukunya disana. "aku tidak akan memaafkanmu jika itu sampai terjadi, Yuuka. Aku hanya bisa mengandalkanmu, hanya kau yang ada di sisiku sekarang! Kau berharga untukku, asal kau tahu saja. Dan aku juga akan selalu ada untukmu karena aku tahu kau juga membutuhkanku. Kita The Elites, ingat? Kau mengatakan itu saat saat mengumpulkan kami semua dengan paksa, mengatakan bahwa kau akan mencalonkan diri sebagai the president saat kau masih berada di kelas satu? Saat itu kau berkata pada kami bahwa kami bukan hanya sebagai rekan kerja tetapi juga sahabat yang akan menghabiskan masa muda bersama-sama hingga kematian memisahkan kita. Kau memang benar, tetapi bukan kematian semacam ini, Yuuka!"

"Kau tidak tahu apa yang aku rasakan saat melihat sendiri siapa orang yang membunuh orang yang paling aku cintai, Risa. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang—"

"Yuuka! Katakan padaku, teman. Siapa dia? Siapa orang yang membunuh Akane? Katakan padaku, aku mohon padamu." Risa lantas mencengkeram kedua bahu Yuuka dan menatap dalam kedua matanya. "Tolong, paksa otakmu untuk berpikir dan mengingat kembali, Yuuka!"

"Kobayashi Yui." Yuuka menjawab, dan sontak Risa melepaskan genggamannya dari kedua bahu Yuuka. Tangannya seketika lemas dan jatuh di samping tubuhnya sementara kedua matanya terbelalak lebar. Apakah ia tidak salah dengar? Apakah Yuuka benar-benar menyebutkan nama Yui? "Kau tahu mengapa aku tidak bisa melakukan apapun sekarang, karena bagaimana pun juga orang yang melakukan ini adalah teman kita sendiri, Risa. Dia sudah kembali, dan kita terlambat menyadarinya!"

"Tapi, Yuuka—rehabilitasinya sudah selesai dilakukan, itu tidak mungkin. Berhenti bercanda, sialan. Itu pasti bukan Yui, kau hanya salah lihat kan? Tolong katakan padaku jika kau memang benar-benar salah lihat!"

Tidak mungkin itu Yui. Yuuka pasti berbohong!

Mantan tunangannya itu selalu ada bersamanya sejak awal. Ia juga membantunya untuk menempelkan selebaran dari DPO di pusat kota. Yui juga membantunya untuk mengejar si pembunuh saat mereka berada di Sendai, dan sekarang bisa-bisanya Yuuka mengatakan jika Yui adalah dalah di balik kematian Akane? Kebohongan macam apa ini? Yui yang seperti itu, tidak akan tega dan mau membunuh Akane.

"Jika kau pikir aku berbohong, biarkan fakta dan semua luka-luka yang ada di tubuhku ini menjawab pertanyaanmu, Ris!" Yuuka membalas teriakan Risa dengan tak kalah sengit. Sorot matanya menyalang tajam tapi tetap tidak menyembunyikan kesedihan yang ada di dalamnya. "aku menusuk kakinya dengan pisau saat kami berkelahi. Seharusnya luka itu masih ada di sana!"

Risa menarik napas kuat-kuat dan melepaskan cengkeramannya dari pakaian Yuuka perlahan-lahan. Dilihatnya lekat-lekat wajah sahabatnya itu. Rupanya Yuuka sedang menangis sekarang. Dahinya berkerut frustasi sementara kedua matanya tidak berhenti mengeluarkan air mata yang membasahi pakaiannya. Hati Risa seperti dipatahkan saat itu juga, melihat Yuuka kembali menangis di depannya seperti anak kecil yang kehilangan Ibunya—dan memang benar, Yuuka sudah ditinggal mati Ibunya sejak ia masih anak-anak dan membuatnya terpaksa tinggal bersama sang Ayah yang abusif.

Perasaan bersalah segera menyelimuti hatinya. Dengan hati-hati Risa mengusap air mata yang turun dari kedua mata Yuuka sementara bibirnya terus menerus membisikkan permintaan maaf atas apa yang sudah ia lakukan.

"Baik, baik, baik. Aku mengerti Yuuka." Tentu saja ia harus berpura-pura mengerti 'kan? Kendati ia tidak sepenuhnya percaya dengan ucapannya, ia tetap tak ingin memaksa Yuuka lebih jauh dari ini. "mari kita memastikannya bersama-sama, oke? Tapi sebelum itu, aku harus kembali ke kantor untuk memastikan sesuatu. Beberapa waktu lalu aku melihat mobil Yui yang terbakar di TKP ledakan, beritanya ditayangkan secara langsung di televisi jadi..."

Risa melihat tele-kendali televisi yang berdiam di atas nakas. Merasa penasaran dengan tayangan terbaru dari saluran berita yang tadi ia lihat, Risa mendekati nakas tersebut dan mengambil tele-kendali di atasnya untuk menyalakan televisi. Tampaknya situasi juga masih belum dapat dikendalikan. Tapi paling tidak sudah ada tiga truk pemadam kebakaran yang sampai di lokasi dan mulai memadamkan api yang makin berkobar hebat disana.

Mobil Yui kini sudah tidak dapat dikenali karena warnanya yang berubah menjadi hitam legam. Tapi Risa dapat mengenalinya secara langsung dan bahkan menunjuk objek hangus itu dengan jarinya untuk menunjukkan bahwa itu menjadi bukti keterlibatan Yui dalam ledakan—tanpa menyebutkan adanya mobil lain yang kemungkinan besar adalah milik si junior Yamasaki Ten, dan Yuuka justru mengenali mobil itu daripada mobil milik Yui.

Yuuka berpikir keras. Berusaha mengaitkan apa hubungan dua orang itu. Sejauh yang ia ingat Ten tidak memiliki masalah apapun dengan Yui, dan sebaliknya juga demikian. Ia tidak pernah menemukan mereka berdua terlibat dalam masalah pribadi sebelumnya, jadi melihat dua orang yang tidak terlalu dekat itu sama-sama berada di TKP ledakan itu berarti ada sesuatu yang fatal telah terjadi di antara mereka.

Melirik ke arah Risa melalui sudut matanya, ia merasa bahwa Risa sendiri juga tidak tahu menahu akan hal ini. Ditandai dari sorot matanya yang terlihat marah karena merasa ada fakta yang sengaja disembunyikan darinya.

"Bawa aku ke kantormu, Risa. Kau tidak ingin aku melakukan percobaan bunuh diri lagi, 'kan?"

Begitu Ten terbangun, perih dan rasa sakit yang menusuk-nusuk setiap inci kulitnya segera membuatnya mengerang keras. Selama beberapa waktu ia tidak bisa bergerak karena itu akan membuat perih dari beberapa bagian kulitnya yang terbakar semakin menyiksanya hingga ke bagian paling dalam.

Rasa sakit itu berasal dari bagian belakang leher, telinga, jari-jari tangan, kaki kanan dan salah satu sisi wajahnya—Ten mencoba untuk memberanikan diri dengan meraba wajahnya dengan tangannya, tentu saja setelah berusaha keras menggerakkan persendiannya yang linu hanya untuk merasakan perih ketika jari-jarinya menyentuh sisi kanan wajahnya.

Aku... masih hidup. Tapi, bagaimana bisa?

Ten kembali mengaduh, namun kali ini dengan suara tertahan dan bibir terkatup rapat. Pikirannya melayang jauh ke belakang, pada detik-detik sebelum ledakan besar itu terjadi. Ia ingat betul bagaimana rasanya hawa panas dari ledakan itu membakar kulitnya meskipun setelah itu ia jatuh dalam kegelapan total. Ledakan itu terjadi dua kali; ledakan pertama terjadi di dalam bangunan dan ledakan kedua yang lebih keras terjadi di tempat ia berdiri.

Seharusnya ia sudah mati dan hangus terbakar bersama dengan bangunan terbengkalai itu. Ia harusnya tergeletak disana dengan tubuh tidak berbentuk dan menjadi seonggok daging yang paling dibenci oleh para petugas otopsi—kalau tidak salah, mayat manusia yang hangus terbakar memiliki bau yang khas, tentu tidak seenak daging panggang. Baunya begitu busuk dan menyiksa hidung sehingga orang-orang yang bertugas untuk mengidentifikasi ataupun mengobrak-abrik mayat untuk mengetahui penyebab kematian menganggap bahwa mengotopsi manusia yang hangus terbakar adalah suatu bencana.

Disela-sela rasa sakit yang ia rasakan, Ten terus memaksa otaknya untuk bekerja. Nyeri yang ada di tangannya tentu tidak mungkin berasal dari luka bakar, 'kan? Yang satu itu perlu penjelasan spesifik. Waktu itu, sepersekon detik setelah ledakan pertama terjadi Ten sempat mendengar seseorang berteriak. Kemudian disusul oleh sesuatu yang menabrak tubuhnya hingga membuatnya terpental ke belakang hingga berguling-guling sebanyak dua kali. Mungkin lengannya tertimpa oleh tubuhnya—dan tubuh orang yang mendorongnya—sehingga membuat sikunya mengalami sedikit dislokasi.

Dan satu-satunya orang yang ada bersamanya saat ledakan itu terjadi, tak lain dan tak bukan adalah Kobayashi Yui. Kobayashi menyelamatkanku dari ledakan? Tidak mungkin, ia tidak mungkin mau melakukan itu begitu saja setelah apa yang aku lakukan padanya!

Ten terus mencoba untuk mencari kemungkinan lain tapi ia tak bisa menemukan apapun selain kenyataan bahwa memang Yui lah yang telah menyelamatkannya dengan mendorongnya dan menyeret tubuhnya yang jauh lebih besar dari sumber ledakan.

Kini matanya sudah terbuka sempurna dengan indra pengelihatan yang berfungsi dengan baik dalam gelapnya malam. Disitu, Ten memutuskan untuk berdiam diri sejenak dan memindai apa saja yang ada di sekitarnya dan memastikan di mana ia berada sekarang.

Dinding tempatnya bersandar tidak rata. Memiliki tekstur melengkung dan sedikit kasar, angin dingin dari luar juga sempat masuk melalui celah-celah dinding. Tak hanya itu, Ten juga dapat mendengar suara hembusan angin kencang yang meniup dedaunan di luar sana. Menciptakan anggapan bahwa ada ratusan orang yang berlarian menginjak tumpukan dedaunan.

Ia meneguk saliva dengan susah payah. Jika dari suara angin dan dedaunan yang bergemerasak tanpa henti, jelas-jelas ia disekap di dalam pondok, jauh di dalam hutan belantara yang tidak ia kenal. Percuma saja, tidak akan ada yang bisa ia hubungi untuk meminta bantuan. Ponselnya tidak akan berguna karena jaringan operator akan sulit sekali ditangkap disini.

Ten menghembuskan napas. Sebuah suara lain terdengar dari sisi ruangan. Sebuah suara menyerupai seseorang yang sedang menahan sakit dari luka yang ada padanya. Kepalanya sontak terangkat, dan wajahnya menghadap ke sekeliling ruangan gelap dengan dinding kayu tempatnya berada untuk mencari seseorang yang seharusnya ada bersamanya sekarang.

Ruangan itu memang sangat gelap karena hanya memiliki jendela kecil dan pintu kayu yang tertutup rapat, tapi dengan kedua matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, Ten dapat melihat siluet manusia lain yang terbaring lemah beberapa meter di belakangnya.

Ia terdiam. Membungkam ratusan kalimat kebencian yang sebelumnya ada di dalam kepalanya. Mengenai keinginannya untuk menghabisi dan menyiksa Kobayashi Yui habis-habisan hanya untuk memuaskan dendam dan ego yang ada di dalam dirinya.

Sejak kapan ia dikendalikan oleh monster yang begitu gelap? Apakah sejak hari dimana Morita Hikaru dikebumikan di depan matanya? Kemana pikirannya sebagai manusia normal yang waras pergi selama ini?

Ia membenci pembunuh tapi mengapa ia justru melakukan tindakan biadab dan membuat dirinya sendiri menyerupai mereka? Ternyata memang benar bahwa suatu hari nanti akan ada waktunya dimana manusia akan menjilat ludah mereka sendiri.

Memalukan.

"Kobayashi—!" suara Ten sempat menghilang saat ia berbicara. "Kobayashi...?" Ten hendak beranjak dan berdiri untuk duduk di samping Kobayashi, namun, pintu pondok di depannya mendadak terbuka lebar dan membuat Ten refleks melompat ke sisi lain pondok yang lebih gelap agar siapapun orang yang datang tidak dapat menemukan dirinya.

BRAK

Takemoto melangkah masuk dari sana. Di bahunya tersampir sebuah tas besar yang terlihat berat, dan tak hanya itu, tangan kanannya juga menggenggam sebuah palu pemecah batu yang berukuran cukup besar. Ten segera menyeret tubuhnya hingga menabrak dinding saat Takemoto menjatuhkan tasnya di lantai dan mencengkeram bahu Kobayashi, memaksa wanita itu untuk duduk.

Yang dicengkeram jelas saja tersentak. Tentu saja, Yui baru saja mendapatkan kesadarannya dan langsung dikejutkan seperti itu. Ditambah lagi dengan bekas luka tusukan yang ada pada tubuhnya yang kembali berdenyut perih di dalam tubuhnya saat Takemoto menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Kau masih hidup. Memang anjing gila. Nyawamu ada sembilan ya?" Takemoto menampar wajah Yui sebanyak dua kali dan dua tamparan keras itu paling tidak berhasil menarik kembali jiwa Yui yang berkeliaran bebas entah kemana untuk masuk kembali ke dalam tubuhnya. "Nah, seperti itu. Buka matamu, dasar jalang. Bagaimana tidurmu? Enak?"

Kalau boleh jujur, sebenarnya mata Yui masih sulit melihat. Bahkan sekarang ia hanya dapat menangkap objek buram yang sedang berteriak-teriak dan menampar wajahnya. Tapi jika mendengar suaranya yang kasar dan sebutan jalang yang jelas-jelas dilontarkan padanya, Yui dapat menyimpulkan jika orang ini benar-benar bukan seseorang yang bersahabat dengannya. Lagipula siapa yang mau menampar wajahnya? Tidak akan ada yang berani!

Yui terbatuk kecil guna membersihkan tenggorokannya dari dahak yang membuat tenggorokannya gatal. Kemudian, dengan menyisipkan senyum remeh, ia menjawab. "Kau... aku mengingat suaramu. Dimana Rei? Dimana Habu?" tenggorokannya terasa perih saat Yui menyelesaikan kalimatnya. Rasanya seperti ada pecahan benda tajam yang terjebak disana.

Takemoto melepaskan kedua tangannya dari wajah Yui dan berjalan menjauh untuk mengambil kembali palu yang sempat ia masukkan ke dalam tas. Sementara Takemoto mengambil barang miliknya, suara langkah kaki lain terdengar bertalu-talu di atas lantai kayu.

Orang tersebut membawa lampu emergency dan meletakkannya di atas lantai. Lampu itu berhasil menerangi seisi pondok dan kini, Yui sudah dapat melihat apa yang ada di sekitarnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, menemukan Ten yang meringkuk ketakutan di sudut sana dengan wajah sedikit melepuh karena api.

Orang yang beru saja masuk itu kemudian menutup pintu, berjalan mendekat dengan langkah berat dan berjongkok di depannya. "Habu? Bagaimana ya... kami tidak membawanya kemari dengan kalian." Rei menjawab singkat. Ia menatap wajah Yui lekat-lekat, berusaha menghafalkan dan mengingat berbagai perubahan yang ada di sana. Bagi Rei, Yui masih tetap sama dengan anak remaja sakit jiwa seperti dulu—tak ada yang berubah.

"Apa?" Yui terbelalak kaget—begitu juga dengan Ten. "jangan katakan jika—" wanita itu berusaha bangkit menggunakan tangan kirinya sebagai tumpuan, mengabaikan perih dari lengan dan telapak tangannya. Sekarang, Yui sudah berdiri tegak. Satu tangannya menekan bekas tusukan di dadanya dan kembali melanjutkan dengan suara lebih kecil. "Kalian membiarkannya terbakar disana?"

Tanpa sadar Yui membawa tubuhnya selangkah lebih dekat dengan Rei. Kedua tangannya meraih dan menarik pakaiannya ke depan, membuat mereka berdua saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekat. Tapi Rei justru tidak merasa terancam, juga merasa takut dengan Yui. Psikopat itu justru tertawa terbahak-bahak tepat di depan wajahnya, membuat kening Yui berkerut sempurna, menyimpan kemarahan yang menunggu waktunya untuk meledak.

"Tentu saja! Si Kutu Buku itu memang pantas mendapatkannya, asal kau tahu? Tidak, dia tidak melakukan hal yang menjijikkan, tenang saja. Habu pantas mendapatkan itu karena ia berada dekat dengan kalian. Singkatnya, Habu mati karena kalian..." jawab Rei. Ia mendorong dada Yui menjauh dengan sentakan tangan, sukses membuat Yui mengaduh karena itu membuat luka tusukannya kembali mengeluarkan darah. "bagaimana? Apa yang kau rasakan ketika tahu ada orang lain lagi yang harus mati karena keberadaan kalian? Penderitaan mental dan psikis yang kalian alami selama sepuluh tahun akan berakhir sesaat lagi, Kobayashi. Tenang saja."

"Apakah kami salah?" kali ini Yui bertanya. Ia berjalan memutari Takemoto yang menimang sebuah palu besar di tangannya. Ia tidak melepaskan pandangannya dari palu itu untuk berjaga-jaga. "Apa kami salah karena telah menggunakan cara kami sendiri untuk melindungi orang lain dari kalian? Aku tahu ini bodoh dan aku sangat menyesali ini karena kami terpaksa mengorbankan orang lain juga. Tapi... nyawa lima orang tidak sebanding dengan belasan nyawa yang sudah kau renggut secara paksa hingga hari ini."

"Hah, apa-apaan ini?" Rei tergelak. Suara tawanya memenuhi pondok kayu tersebut dan menutupi suara dedaunan yang ditiup oleh angin malam di luar pondok. Ia menggeleng-gelengkan kepala seakan menertawakan dan meremehkan ucapan Yui barusan. "Sejak awal, jika kalian tidak menghalangi kami dan memilih untuk menutup mata dengan kejahatan yang kami lakukan, mungkin semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Kau tidak akan kehilangan matamu, Fujiyoshi dan Seki tidak akan mati, lalu—" Rei memutar kepalanya. Sorot mata lebarnya tertuju pada Ten yang tersentak begitu tahu perhatian kini teralihkan kepadanya. "Morita Hikaru tidak akan menjadi daging cincang. Kasihan sekali, kabarnya polisi tidak bisa menemukan kepalanya ya? Itu karena aku menyembunyikannya di suatu tempat hingga Endo menemukannya kembali dan memecahkan tengkoraknya dengan palu."

Ah, sial. Yui turut menengok pada Ten, menemukan si Yamasaki itu terjebak di antara perasaan marah dan sedih karena nyawa sahabatnya seolah dibuat tidak berharga di hadapan Rei. Ia mengira Ten akan langsung mengamuk begitu mendengarnya, tapi ternyata tidak. Wanita itu hanya berdiri di sana. Menatapnya dengan alis yang ditekuk, membuat Ten tampak terlihat khawatir dengan kondisi Yui yang memprihatinkan.

Mengalihkan pandangan pada Rei—yang entah kapan sudah menerima palu dan menyeretnya di atas lantai. Membuat bunyi krek yang khas tiap kali ia berjalan satu langkah lebih dekat. "Kenapa kalian melakukan ini? Kenapa kau tidak juga melepaskan kami? Masalah itu sudah lama selesai dan kalian tidak memiliki alasan apapun untuk menghabisi kami. Aku tidak peduli dengan apa yang kalian lakukan selanjutnya, tapi aku mohon..." ah, apa-apaan ini? Mengapa tiba-tiba Yui seperti menjatuhkan harga dirinya dengan memohon di depan Rei seperti itu? Dia juga tidak mengerti. Tapi kendati begitu, ia tetap melanjutkan. "Kami hanya ingin hidup dengan normal, kami hanya ingin hidup tanpa bayangan kalian."

Di mana dia? Di mana si alter brengsek itu saat aku benar-benar membutuhkannya?

Di sela-sela sakit yang menyiksa tubuhnya luar dalam, termasuk dengan dentuman menyakitkan yang berasal jauh di dalam tengkoraknya—yang mana biasanya menjadi tanda-tanda sebelum kepribadiannya yang lain mengambil alih—Yui masih berusaha keras untuk membawa alternya keluar. Saat ini ia benar-benar membutuhkannya kendati kebencian Yui pada kepribadiannya itu melebihi umurnya yang tersisa. Tapi persetanan, Yui tidak bisa menahan sakitnya luka yang ada di tubuhnya lebih lama lagi!

Di balik tubuh Rei, lebih tepatnya di samping pintu, Yui kembali dikejutkan oleh keberadaan sosok tersebut. Menyadari hantu itu datang dengan pakaian putih yang kotor karena bercak darah semakin membuat jantung Yui seperti ditarik jauh ke dalam. Jika Karin muncul dengan kondisi yang mengerikan dan tak pantas dilihat, maka selanjutnya akan terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan.

Selalu seperti itu.

"Kenapa? Kami hanya harus melakukannya. Anak-anak manja itu nyaris seperti harimau yang mendapatkan sepotong daging tanpa mereka ketahui mereka telah masuk ke dalam jebakan pemburu. Begitu juga dengan kalian. Anggap saja ini adalah bear trap dimana kalian harus menyakiti diri sendiri agar dapat melepaskan diri dari gigitannya." Yui meloloskan hembusan napasnya. Ia mendengar suara derit lantai kayu dari arah belakangnya dan ia mengangkat telapak tangannya untuk memberikan isyarat bagi Ten agar tidak ikut campur. Rei sejenak mengalihkan pandangannya pada Ten yang kembali mundur di belakang Yui selama beberapa detik. "lagipula, bukankah kau juga menikmatinya? Perasaan ketika kau melihat orang lain merasakan rasa sakit yang absolut hingga detik-detik sebelum orang itu menjemput ajalnya adalah sesuatu yang paling hebat. Kau akan merasa di atas awan, seperti Tuhan yang memiliki kendali atas nyawa manusia."

"A—Apa?" Yui tersentak kaget begitu Rei menekankan kalimat terakhirnya, memperjelas setiap silabel yang keluar dari bibirnya. Sial, padahal Yui sudah berusaha keras melupakan semua itu dengan rasa sakit yang ia terima tapi mengapa saat Rei menyebutkannya lagi—bahkan meski hanya secara tersirat—semua memori mengerikan akan benda tajam yang menusuk-nusuk dan memutilasi anggota tubuh di dalam kepalanya kembali, seakan ditumpahkan begitu saja di dalam kepalanya. "bohong. Itu bohong. Aku tidak pernah merasa seperti itu!" Ia mencoba mengelak. Meski sesuatu dalam dirinya terus menerus memaksanya untuk berkata sebaliknya.

Ia harus tetap menjadi manusia. Harus.

"Begitu ya, Kobayashi? Padahal kau terlihat senang sekali saat membunuh orang tuamu sendiri. Kau juga terlihat menikmati permainan yang kau buat saat membunuh Akane. Kau juga hampir membunuh Yuuka dan Risa. Dan... oh ya, kau juga tidak terlihat takut sedikit pun saat menghabisi Endo. Kau bahkan mengajaknya bertemu sebelum kau membunuhnya. Sebenarnya aku penasaran mengapa Endo sampai bisa dihabisi olehmu... ahahahaha." Rei tertawa lepas dengan wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya bibirnya saja yang terbuka lebar tanpa menampakkan garis senyum pada pipi dan matanya. Detik itu juga, Yui merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. "Takemoto!"

Rei berteriak keras dan tahu-tahu sepasang lengan sudah menahan tubuh Yui dari belakang dan melemparkan tubuhnya ke lantai, membuatnya jatuh berdebum dengan sangat keras. Instingnya mengatakan bahwa ia tak boleh tetap disana dengan posisi telentang tapi sesaat ia berusaha bangkit, tubuhnya kembali di tahan dengan paksa dan membuatnya berteriak menahan ngilu. Takemoto mengunci tubuhnya di pada lantai, menahan kedua tangannya sekuat tenaga dan memutus pergerakannya.

Di depannya Rei sudah mengangkat palu pemecah batu di atas kepala, benar-benar siap untuk menjatuhkan benda tumpul itu ke bawah. Selama satu detik, Rei menatap Takemoto dan rekannya itu dapat menangkap kode yang ia berikan. Ditariknya lengan Yui dan memaksa agar tangannya tetap diam di atas lantai.

"Kau tahu aku tidak suka saat barang milikku direbut begitu saja, Kobayashi. Sekarang—"

BRAK

Rei mengayunkan palu ke bawah, pada tangan kiri Yui. Suara crack yang menyakitkan langsung terdengar begitu palu berhasil meretakkan tulang-tulang yang ada pada tangan kirinya hanya dengan satu pukulan keras.

Yui mengerang. Bertariak karena nyeri dan perih dari dari bekas hantaman palu di tangan kirinya. "A—ARGH! SIALAN, TANGANKU! BERHENTI, BERHENTI—!" teriakan Yui menjadi semakin keras saat Rei kembali mengangkat palu dan menghantam lengan hancur Yui untuk yang kedua kali.

Pemandangan mengerikan yang tersaji di depan mata membuat Ten ketakutan setengah mati. Kengerian itu merasuk ke dalam jiwanya, membuat tubuh-tubuhnya juga merasakan ngilu yang sama tiap kali Rei menghempaskan Yui ke dinding kayu, memukuli tubuh, kaki, dan kepalanya tanpa jeda, tanpa memberikan kesempatan bagi Yui untuk melindungi dirinya. Takemoto selalu menguncinya lebih keras, membuat wanita itu tidak bisa melakukan hal lain selain menerima setiap hantaman pada tubuhnya. Membuat memar yang menyakitkan di setiap inci tubuhnya.

Hal yang selanjutnya terjadi mungkin belum menjadi puncak dari segala siksaan yang akan mereka hadapi. Tapi, begitu Ten melihat Takemoto meninggalkan Yui—yang kini tengah berusaha keras untuk berdiri, namun gagal karena kedua tangannya tak mampu menahan beban tubuhnya—dan kembali dengan sebuah tang pencabut paku di tangannya. Ia memberikan benda itu pada Rei dan kembali mengambil posisi di belakang Yui, menahan kedua lengannya di belakang tubuhnya.

Rei mengangkat tang tersebut dan mengayunkannya hingga menghantam pelipis Yui, membuat wanita itu berteriak menahan sakit. Ia mencengkeram leher Yui, kemudian memaksa wanita itu untuk menengadahkan kepala menghadap langit-langit. Tentu saja Yui tak tinggal diam. Meski dengan tubuh terluka di sana-sini, ia terus memberontak. Kedua tangannya terlepas dari pegangan Takemoto. Ia mulai memukul, mencakar wajah dan lengan Takemoto sekuat tenaga. Tapi gerakannya itu seketika berhenti dan ia segera mencengkeram sisi lengan Takemoto saat wanita itu memaksa Yui untuk membuka mulut dan membiarkan Rei memasukkan ujung tang ke dalam mulutnya.

Napas Yui semakin memburu sementara matanya terbelalak ngeri. Rei membawa wajahnya mendekat sementara tang besar itu mulai menjepit dua gigi bawahnya. Yui tercekat. Ngilu yang menyiksa sudah dapat ia rasakan dan ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata karena rasa sakit yang menderanya sekarang. Tangan kiri Rei mengangkat dagu Yui, dan ia berkata, "Ini yang kau dapatkan karena telah membunuh temanku, vice president." Rei menyeringai lebar dan ia menjepit gigi Yui semakin keras. Dengan menekan leher Yui ke bawah, ia menghentakkan tang yang ia genggam ke atas sekuat tenaga.

"AARRGGHH!!!"

Ia mulai menarik tang itu perlahan-lahan beriringan dengan teriakan penuh penderitaan Yui yang menjadi semakin keras. Rei juga menggoyangkan tang nya ke depan dan ke belakang, tentu saja itu membuat nyeri yang dihasilkan semakin menjadi-jadi. Gigi-gigi itu tidak tercabut dengan mudah dan Rei memang sengaja mencabutnya dengan perlahan, memastikan Yui merasakan nyeri luar biasa yang bersumber dari syaraf-syaraf serta gusi yang melekat di rahangnya.

Lelehan darah merah merembes dari celah-celah gigi Yui, mengalir turun hingga dagu dan lehernya. Kedua tangannya berusaha membuat Rei melepaskan genggamannya pada tang namun itu sia-sia karena tiap kali Yui memukul Rei, wanita itu justru menekan lehernya semakin kuat dan menambah parah siksaannya.

Ia melirik ke samping, pada Ten yang merapatkan punggung pada dinding tanpa mengalihkan pandangan padanya. Melihat penyiksaan secara nyata seperti ini... jelas akan membuatnya trauma di kemudian hari. Yui menggeram keras ketika bunyi yang ia dengar dari rongga telinganya yang sempat tuli berasal dari rahangnya sendiri. Itu adalah bunyi crack yang terjadi ketika kedua giginya sukses diloloskan dengan satu tarikan tang yang cukup kuat.

Rei berhasil mencabut paksa dua giginya dan ia meletakkan kedua gigi itu di telapak tangan. Tampak gumpalan darah kental segera memenuhi mulutnya dan Takemoto lantas melepaskan cekikannya dari leher Yui, membanting kepalanya hingga menghantam permukaan lantai kayu dan menginjak lehernya dengan sol sepatu hikingnya yang tebal.

Memperhatikan Yui yang terbaring lemah di bawah kakinya bergantian dengan tang penuh darah di tangannya sejenak, ia meringis sekilas sebelum menggunakan kain mantelnya untuk membersihkan darah dari perkakas miliknya sebelum ia melangkah mundur mendekati pintu. "Lakukan apa saja yang ingin kau lakukan pada mereka. Sepertinya akan ada tamu, jadi aku harus berkeliling di sekitar sini." Ia berkata pada Takemoto dan temannya itu melemparkan palu miliknya pada Rei.

"Oh, Sugai dan Watanabe juga akan datang dan bergabung bersama kita? Luar biasa! Apakah orang itu juga ikut? Uh... siapa namanya, ya? Tamura Hono?" Takemoto terus menghujamkan pertanyaan pada Rei dan wanita itu hanya mengendikkan bahu seraya mengeratkan jaket parasut pada tubuhnya untuk menyamarkan kausnya yang dipenuhi oleh cipratan darah. Takemoto pun merespon kelewat bersemangat. Berbeda dengan Yui yang nyaris mati dengan leher ditekuk. "Dengar itu Kobayashi? Teman-teman lama kita akan berkumpul lagi. Ini sangat menyenangkan, astaga!"

Rei tidak peduli dengan reaksi Takemoto di sana. Jadi ia segera melangkah keluar pondok dan memakai mantel hitamnya untuk berjaga-jaga jika turun hujan. Berada di kaki gunung Kumotori yang menjadi perbatasan antara Prefektur Saitama, Yamanashi dan Tokyo adalah pilihan yang agak buruk. Lembah di sekitar sana ditutup karena tanah longsor beberapa bulan yang lalu sehingga hampir tidak mungkin ada orang yang mau datang jika mereka tidak ingin terperosok masuk ke dalam jurang. Apalagi dengan cuaca yang tidak bersahabat dan angin kencang—juga guntur yang bersahut-sahutan begini.

Takemoto menatap punggung Rei yang menghilang di balik pintu pondok. Kemudian terdengar suara langkah kaki di atas tanah basah yang semakin menjauh, menandakan Rei sudah tak lagi berada di sekitar mereka.

Yui terengah, masih mengerang pelan karena nyeri luar biasa dari bekas gusinya yang meninggalkan lubang menganga. Ia terus membuka mulutnya dan membiarkan darah menetes-netes keluar hingga menggenang di atas lantai kayu. Bunyi ketukan kecil dari benda yang dijatuhkan di samping tubuhnya membuat Yui memutar kepala. Itu adalah kedua giginya yang telah dicabut paksa. Tampak benda yang seharusnya berwarna putih pucat itu dipenuhi oleh lelehan darah merah hingga tidak sedikit pun ada warna putih yang terlihat di sana.

Tangannya terangkat perlahan. Sepertinya Yui akan mengambil butiran gigi itu. Tetapi, tiba-tiba ia merasakan cengkeraman tangan menarik surai-surai rambutnya ke belakang dan memaksa kepalanya untuk memutar—menatap kedua bola mata yang dipenuhi oleh dendam dan amarah yang meluap-luap milik Takemoto. Dan, sungguh, Yui tidak akan pernah melupakan kedua pasang mata yang sama dengan yang ia lihat sepuluh tahun lalu. Sosok yang ia lihat sebelum satu alat pengelihatannya rusak total karena tertusuk dan dicabut paksa dari rongga matanya.

Dan bertemu dengan orang ini lagi setelah sekian lama dan mendapatkan tatapan yang sama sontak membuat Yui gemetar luar biasa. Rasa takut seketika menguasainya dan membuat dadanya terasa begitu berat. Bibirnya bergetar sementara suaranya terjebak di tenggorokannya yang terasa buntu, dicekik oleh sesuatu yang tak nampak. Napasnya semakin tersengal sekarang dan wajah Yui mulai memerah karena kesulitan bernapas tapi berbanding terbalik dengan kondisi Yui yang tersiksa, Takemoto justru terlihat menyukai itu.

Takemoto meletakkan tang berlumur darahnya di samping kaki, kemudian ia menyentuh kepala Yui dengan dua tangan. Sejenak ia memperhatikan wajahnya yang berdarah sebelum menjatuhkan pandangan pada eyepatch hitam yang menutupi rongga mata kanan Yui. Yang tersembunyi di dalam sana pastilah hasil karya yang ia tinggalkan sebagai kenang-kenangan bertahun-tahun yang lalu. "Apa yang kau sembunyikan di bawah sini, Kobayashi?" Takemoto terkekeh. Ia kemudian menekan rongga mata kanan Yui ke dalam menggunakan jari telunjuknya, sesekali ia melirik Ten di samping mereka yang masih membisu dan diam tak bergerak karena ketakutan. "matamu menghilang ya? Hahaha. Tapi tidak masalah. Kau masih memiliki satu mata disini,"

Yui tersentak. Dilihatnya Takemoto merogoh sesuatu dari dalam saku celananya—satu buah combat knife ia keluarkan dari saku, dengan satu hentakan Takemoto melepaskan sarung pisau dan mengangkat pisau hingga setinggi bola mata kiri Yui. Ia tahu apa yang akan terjadi padanya sesaat lagi, dan Yui pikir ia tak akan menyukai hal itu. Ia menggeram, kepala tangannya kembali dihantamkan pada wajah buas Takemoto. Tapi itu percuma karena Takemoto lantas mengangkat tubuh Yui ke atas dan membantingnya keras-keras pada lantai. Yui kembali mengaduh keras. Hantaman itu membuat kepalanya mendarat terlebih dahulu dan seketika membuat pandangannya menghitam selama beberapa detik diselingi oleh sakit kepala hebat yang berdenyut-denyut di dalam kepalanya.

"Kau terobsesi dengan bola mata, ya? Keparat gila!" Yui berteriak dengan kata-katanya yang terdengar tidak terlalu jelas. Mulutnya masih dipenuhi oleh darah sehingga agak sulit baginya untuk berbicara tanpa membiarkan darah itu masuk ke dalam tenggorokannya.

"Bagaimana bisa orang sepertimu membunuh, Endo? Huh, bagaimana bisa!" Yui mengangkat tangannya, berusaha melindungi wajahnya dari pukulan serampangan Takemoto. Rasanya sakit sekali tiap kepala tangan itu menyentuh tangannya. Rasanya ia nyaris kehilangan kesadaran tapi entah mengapa rasa sakit itu justru menahan kesadarannya, membuatnya semakin tersiksa.

Hati Ten yang tadinya tidak berfungsi kini kembali merasakan sesuatu yang aneh saat kedua matanya melihat bagaimana Yui disiksa dengan segala bentuk siksaan yang tidak dapat Ten bayangkan sebelumnya. Ia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya semua itu. Apalagi Ten telah menikam tubuh Yui sebanyak dua kali di pinggang dan dada, dan kini... Yui harus merasakan dua buah giginya dicabut paksa dan satu-satunya bola mata miliknya yang tersisa juga akan dicabut. Ten merasa bersalah dan kini ia sangat membenci dirinya sendiri karena sejak tadi ia hanya berdiam sendiri dengan tubuh bergetar seperti anak lima tahun yang melihat hantu.

Seharusnya ia melompat dan menolong Yui. Seharusnya ia bisa menyelamatkannya dari siksaan-siksaan itu. Tubuhnya lebih besar dan lebih kuat, seharusnya ia tidak hanya duduk disini dan membiarkan rasa takut menelannya bulat-bulat.

Takemoto mengangkat kepalan tangannya. Tampak beberapa tetesan darah terjatuh dari celah-celah jarinya. Ia juga terluka karena jari-jarinya sempat tergores oleh gigi-gigi Yui, tapi sepertinya ia tidak peduli dengan darah yang mengalir keluar dari luka di sana. Wanita itu mendesis, menyabet pisau yang sempat terlupakan di samping tubuhnya. Ia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi, mengarahkan ujung tajamnya ke bola mata kiri Yui. "Dia satu-satunya itu temanku. Kami bahkan baru saja bertemu selama beberapa hari saja dan kau menjebaknya, brengsek!"

PRAK

BRUK

Tepat sebelum mata pisau menusuk mata Yui, sebuah benda berat mendadak melesat cepat di depan matanya, membuat pisau dalam genggaman tangan Takemoto terlempar dan jatuh menabrak dinding kayu di sudut ruangan. Suara keras dari balok kayu yang beradu dengan lantai juga terdengar kemudian. Ten telah melemparkan balok kayu dan menghantam tangan Takemoto. Itu membuatnya meradang setengah mati. "BOCAH TENGIK!" ia berdiri, sekali lagi membanting kepala Yui pada lantai dan meninggalkannya untuk mendekati Ten. Di tengah jalan, Takemoto menarik golok panjang yang selama ini tersampir di punggungnya. "Padahal aku sengaja membiarkanmu... tapi kau sudah benar-benar menguji kesabaranku."

Ten refleks berguling ke samping saat melihat benda tajam itu melesat ke arahnya. Beruntung, gerakannya lebih cepat sehingga golok itu tak berhasil memotong tangannya dan menancap dalam pada lantai kayu. Ia pikir, ia akan aman karena Takemoto membutuhkan waktu lebih untuk menarik kembali goloknya tapi kenyataannya berbanding terbalik karena Takemoto dapat dengan mudah mencabut goloknya dari lantai. Ayunan golok kedua segera dilayangkan pada tubuh Ten dan kali ini berhasil menyayat lengan dan lehernya. Darah segera mengucur keluar dari luka robek itu dan Ten menutupinya dengan telapak tangan.

"Kobayashi benar. L—Lepaskan dia. Semuanya sudah berakhir sepuluh tahun yang lalu dan kau tidak seharusnya melakukan ini pada mereka lagi!"

"Perhatikan mulutmu saat kau berbicara!"

Ten menutup matanya rapat-rapat. Dalam hati ia terus menerus merapalkan doa agar apapun yang mengenainya nanti akan membunuhnya saat itu juga sehingga ia tidak perlu merasakan sakit yang berkepanjangan. Namun, beberapa detik berlalu dan justru bukan benda tajam yang merajam tubuhnya melainkan teriakan dan cipratan cairan hangat berbau amis dari seseorang yang berada di depannya. Ten spontan membuka matanya dan ia segera mengambil langkah cepat untuk menjauh begitu ia menemukan Takemoto tengah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman—ah tidak, seseorang yang sedang menggigit bagian bawah pipinya.

Itu adalah Yui.

Tanpa melepaskan gigi-giginya dari gumpalan daging yang belum sepenuhnya terlepas dari wajah Takemoto, Yui menarik kepalanya ke belakang dan membuat daging dan kulit wajah Takemoto tertinggal di dalam mulutnya. Takemoto berteriak keras seperti orang sinting. Mengumpat dan mengatai Yui dengan menyebutkan satu persatu penghuni kebun binatang sementara tangan kirinya susah payah menahan darah yang membanjir dari robekan pada wajahnya. Golok yang ada di tangannya terjatuh dan Yui segera menunduk untuk mengamankan golok itu di tangannya.

Ia tidak tahu mengapa dan untuk apa karena dapat dikatakan dirinya tak sadar jika ia mulai mengangkat golok itu dan membersihkan bagian tajamnya dengan lidahnya sendiri. Ya. Yui benar-benar menjilat habis bekas darah dari golok tersebut tanpa merasa terganggu dengan bau darah, sama sekali. Tatapan khasnya yang setajam elang itu tak lepas dari Takemoto yang kini terhuyung-huyung dan hampir terjatuh karena terpeleset oleh darahnya sendiri.

Ia sudah tidak lagi menahan darah di wajahnya dan membiarkan luka bekas gigitan itu terekspos sempurna, menampakkan daging wajahnya yang terkoyak dan sedikit penampakan tulang rahang yang dapat Ten lihat jelas terutama karena ia yang berjarak paling dekat dari Takemoto.

Bulu kuduknya sontak meremang. Kobayashi Yui yang ia lihat sekarang telah mengirimkan aura mengancam yang tidak ia sukai. Lagipula saat Ten melihat sendiri bagaimana Yui menggigit dan mengoyak wajah Takemoto tanpa ampun—dan, hei! Dimana gumpalan daging yang seharusnya ia muntahkan itu...? Jangan katakan dokter sinting ini menelannya mentah-mentah. Sialan, selama ini aku berhadapan dengan kanibal rupanya.

"Kau memiliki masalah dengan The Elites. Dan aku lah The Elites! Jadi, jangan libatkan orang lain lagi dalam masalah ini, brengsek!" ucap Yui. Tangan kanannya terangkat dan mengusap bekas darah dan potongan kecil kulit dan daging yang masih menempel di mulutnya. Saat ia membuka mulut dan menampakkan gigi-giginya, terlihatlah warna merah darah yang memenuhi mulutnya. Mengubah lidah dan giginya menjadi warna merah yang mengerikan. Ten yang melihat dari jauh pun sampai merinding dibuatnya. "Kau tidak ingin melihatku seperti ini, Ten. Pergi dan carilah jalur pendakian di sekitar sini, larilah menuruni gunung dan cari pos jagawana!"

Ten tidak bisa mendengarkan dengan baik intruksi yang Yui berikan padanya. Matanya dipenuhi oleh titik-titik hitam yang membutakannya dalam sekejap dan sebuah palu gada seakan menghantam bagian belakang kepalanya. Isi perutnya bergelegak, membuatnya mual seketika. Dilihatnya Yui kembali mencekik Takemoto dari belakang dan membanting tubuh Takemoto ke bawah. Darah kental memercik ke penjuru ruangan saat Yui menggunakan combat knife untuk menyabet wajah Takemoto dan merobek batang hidungnya.

Mengambil kesempatan itu, Yui menusukkan pisau pada bahu Takemoto dan kembali menggigit wajahnya seperti anjing gila, tanpa mempedulikan teriakan-teriakannya yang memekakkan telinga dan cakaran kuku Takemoto yang melukai wajah, leher dan lengannya. Ia hanya ingin membuatnya lumpuh. Tersiksa setengah mati.

Dan lagi-lagi Yui sepertinya benar-benar memakan potongan hidungnya. Demi Tuhan, Ten tidak tahu lagi kegilaan seperti apa yang sedang ia saksikan sekarang.

Sehingga Ten tak lagi berpikir tentang siapa yang akan memberinya lebih banyak ancaman—antara Takemoto Yui ataukah Kobayashi Yui— karena ketika ia berbalik dan menemukan Yui tengah menatapnya dengan sorot mata penuh terror seraya berkata, "LARI. SEKARANG!"

Ia segera melesat keluar, melewati Takemoto yang melemparkan kapak tajam yang gagal mengenai punggungnya dan justru menancap pada dinding pondok dan mendobrak pintu pondok dengan menubrukkan tubuhnya sekuat yang ia bisa. Tak lagi ia mau meluangkan waktu untuk berhenti menerobos semak belukar dan pepohonan lebat sepanjang jalan hanya untuk menengok ke belakang. Agaknya suara-suara keras yang dihasilkan oleh hantaman kapak pada permukaan kayu dan teriakan penuh pesakitan dari Kobayashi Yui dari dalam pondok sudah cukup membuatnya tahu apa yang dua orang itu lakukan di dalam.

Oh, tidak, tidak, tidak. Kobayashi... Kobayashi akan mati!

Tunggu dulu. Bukankah itu yang selama ini ia inginkan?

Dan kini, ia berhenti di tengah hutan yang tak ia kenal. Dikelilingi oleh kegelapan total dan perasaan gelisah akan asumsi-asumsi liar tentang apa yang akan menerjangnya dari balik kegelapan dan pepohonan rapat di sekelilingnya. Untuk sekarang, ia lebih takut pada manusia daripada hewan buas. Dari apa yang ia lihat, manusia bisa lebih kejam daripada hewan buas yang sedang marah sekalipun. Napas Ten bergetar saat ia menghembuskan udara dari mulutnya. Memori dari penyiksaan yang mereka lakukan pada Yui dan perilaku Yui yang sama sekali tidak mencerminkan dirinya seketika membuanya merinding setengah mati.

Kakinya menolak untuk bergerak, sama dengan isi pikirannya yang tengah berperang atas dua pilihan yang berat. Sekarang ia harus memilih apakah ia harus meninggalkan Yui atau kembali untuk menyelamatkannya.

Yui telah berjasa dalam menyelamatkan nyawanya dari ledakan dan membuatnya tidak hangus terbakar menjadi mayat kecil-kecil di komplek apartemen itu. Dan Yui sekali lagi juga mengorbankan dirinya agar Takemoto tidak memenggal kepalanya di tempat—meskipun karena itu Ten jadi tahu apa yang selama ini selalu Yui sembunyikan di balik wajahnya yang tenang dan bijaksana.

Untuk sementara waktu, memutuskan untuk bersembuni di balik batang pohon besar. Menyentuh kepalanya sendiri yang semakin panas dari waktu ke waktu. Perasaan takutnya sudah mengalahkan empati yang sempat muncul. Keinginannya untuk membalas kebaikan Yui telah menguap entah kemana. Sebab Yui yang ia lihat barusan tak ubahnya menyerupai sesosok monster yang selalu ia bayangkan saat dirinya masih kecil.

Ia tak bercanda dan tidak akan malu jika harus mengakui tangan dan kakinya gemetar sekarang. Bayangan mengerikan itu masih saja berputar-putar di otaknya, membuat kepala Ten berdenyut-denyut nyeri, membuatnya ingin sekali memecahkan kepalanya dan mengeluarkan isi otaknya dengan bongkahan batu.

Hingga... sebuah suara yang familiar kembali menggema di dalam kepalanya selama sepuluh tahun. Sebuah suara yang hanya dirinya yang dapat mendengar. Sebuah suara yang membuat orang lain menganggapnya gila karena telah menanggapi sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.

Suara... Morita Hikaru.

"Ada orang lain disini dan ia berada beberapa kilometer di bawahmu. Sepertinya ia mencari Yui. Kenapa kau tidak datang kepadanya dan—"

"Membunuhnya?"

Mendengar suara itu, lutut Ten sontak bergetar tak tertahan. Sulit baginya untuk menahan beban tubuhnya sementara isi kepalanya teraduk-aduk sempurna dengan suara asing yang terus menerus menghantuinya.

"TINGGALKAN AKU SENDIRI!"









4
5

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top