Chapter 25: Suicide Party
Emperor, your sword won't help you out
Sceptre and crown are worthless here
I've taken you by the hand
For you must come to my dance
----
Begitu mendengar suara Yui yang terlihat seperti ia sedang menggenggam erat setitik nyawa terakhirnya, Hono tak perlu menunggu waktu lama untuk berlari keluar kamar apartemen yang ia sewa selama ia singgah di Tokyo sebagai pelancong, menuruni tangga darurat dengan terburu-buru karena lift yang ramai, dan langsung berlari masuk ke dalam mobil untuk menuju ke rumah Yui dengan kecepatan tinggi. Ia takut apa yang ia khawatirkan barusan benar-benar terjadi—yaitu Ten yang dengan nekat datang dan berniat membunuh Yui.
Meskipun ia tahu kemungkinan tersebut telah terjadi bahkan sebelum ia mengangkat telepon dan sekarang bisa jadi temannya itu sudah tergeletak di rumahnya sebagai mayat sementara Ten berada di atasnya sedang mengayunkan pisau tajam dan terus menusuk Yui yang sudah tak bernyawa. Oh, baiklah, sepertinya Hono perlu mengontrol pikiran buruknya karena kini ia mulai tak fokus mengemudikan mobilnya di jalanan lengang Tokyo.
Lagipula dengan kondisinya yang sudah begitu panik, presentase kecelakaan karena gagal mengendalikan mobilnya akan menjadi lebih tinggi. Hono tak mau uangnya melayang sia-sia hanya untuk membayar ganti rugi pada rental, ia bisa menggunakan uang itu untuk pulang ke Inggris—jauh lebih baik dan bermanfaat, bukan?
Ia bahkan sampai melewati belokan menuju rumah Yui sejauh 1km, hanya karena ia tidak melihat lampu merah yang biasanya menjadi acuan baginya untuk berbelok—dan karena ini, ia perlu memutar balik dan menempuh jarak sedikit lebih jauh lagi. Namun, terima kasih kepada jalanan yang tak sepadat di pagi atau sore hari, Hono dapat menepi di stasiun pengisian bahan bakar dan memutar balik dengan mudah.
Hono menghentikan mobil yang ia kendarai tepat di seberang rumah Yui. Tak perlu menghabiskan waktu lama baginya untuk mencabut kunci mobil, menyambar ponsel dan berlari keluar untuk mendorong gerbang yang terbuka hanya dengan satu dorongan bahu. Keadaan cukup terang di luar, sepasang lampu tempel yang ada di samping pintu menyala terang dan menyinari halaman depan. Namun, suasana di dalam rumah agaknya berbanding terbalik dengan apa yang ada di luar karena begitu Hono mengintip ke dalam melalui celah jendela, ia hanya melihat kegelapan pekat.
Pintu depan tidak terkunci saat Hono memutar kenopnya. Akan tetapi, justru faktor itulah yang membuatnya sangat khawatir sekaligus takut kendati ia tidak mendengar suara apapun dari balik pintu. Sepersekon detik ia berdiri di balik pintu, berusaha keras menajamkan pendengaran dan menerka-nerka siapa yang ada di balik pintu untuk menerjangnya. Rasanya menegangkan sekali, dadanya bergemuruh hebat laksana awan badai yang sedang membumbung di langit malam—kapan saja siap menumpahkan titik-titik air dalam jumlah besar.
Sekali lagi guntur menyambar, menjadi tanda bagi Hono untuk membuka pintu depan rumah Yui dengan satu dorongan cepat menggunakan tendangan kaki disusul oleh sorot terang dari tactical flashlight di tangannya yang diarahkan ke seluruh penjuru. Satu tarikan napas terdengar keras sebagai tanda Hono tengah tersentak atas apa yang ia lihat di depan mata. Di depannya adalah kekacauan yang telah ia bayangkan namun sama sekali tidak ia harapkan, meski pada nyatanya apa yang ia pikirkan telah benar-benar terjadi.
Perlahan, Hono menurunkan senter di tangannya yang melemas. Matanya mengamati bercak-bercak darah yang berceceran tak beraturan di lantai rumah. Bahkan terlihat mengalir dari atas tangga dan turun ke lantai satu. Pecahan kaca berserak asal, juga beberapa perabotan yang berjatuhan dan hancur menjadi kepingan kecil. Entah perkelahian macam apa yang telah terjadi di rumah Yui beberapa jam yang lalu, yang pasti Hono tidak bisa menghapus pikiran buruk setelah melihat kondisi rumah yang berantakan begini.
Kilatan cahaya dari sambaran petir membuatnya tersadar dengan tujuannya. Beberapa menit waktunya dihabiskan dengan berdiam diri di ambang pintu, termenung sembari melihat ceceran darah dengan tatapan kosong. Hono segera melangkah maju dengan langkah lembut, ia meletakkan tempat penyimpanan payung untuk menahan daun pintu agar tak terkunci. Tangan kirinya menggenggam senter dengan kuat, sementara kakinya berjalan di atas pecahan kaca bening yang tenggelam dalam genangan darah.
Berkali-kali suara kaca terinjak membuat Hono sontak melihat ke belakang, hanya untuk mengecek apakah suara itu berasal dari orang lain selain dirinya dan ia menghela napas karena tidak ada apapun disana. Lampu yang mati, suasana yang pengap dan mencekam, serta cuaca buruk di luar membuat Hono merasa lebih ketakutan dari seharusnya. Cahaya terang dari kilat yang mengejutkan sesekali menyinari lantai dan dinding yang penuh oleh cipratan darah. Dan Hono bersumpah, jika darah itu memang benar milik Yui maka... ia sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk mengembalikan situasi.
Kobayashi Yui yang ia maksud juga tidak dapat ia hubungi sejak tadi. Nomornya selalu sibuk bahkan beberapa kali berada di luar jangkauan operator. Beberapa pesan dan email pun sudah Hono kirimkan dan tidak ada satupun jawaban yang datang dari Yui. Lambat laun, pikirannya tentang Yui yang masih baik-baik saja sontak menguap entah kemana. Saat ini, ia hanya berdoa agar ia dapat menemukan jasadnya ataupun bagian tubuhnya—daripada tidak sama sekali—agar dapat ia kuburkan dengan layak atau ia perlu menghubungi Sersan Ozeki dan melaporkan hal ini.
Hono mencari dengan sabar di dapur, kamar mandi, Gudang dan garasi tapi ia tidak menemukan apapun selain barang-barang pribadi milik Yui dan Risa yang masih berada pada tempatnya—meskipun beberapa lainnya sudah hancur menjadi potongan yang lebih kecil. Namun, ia mendapati adanya satu pisau yang hilang dari satu set pisau dapur mahal milik Yui. Ia ingat bahwa ia pernah melihat merk itu sebelumnya dan itu adalah salah satu dari pisau paling tajam di dunia. Seorang knife smith terkenal di Inggris pernah melakukan demonstrasi menggunakan tulang dan daging banteng—bahkan balok es juga—dan ia dapat dengan mudah memotong dan membelah semua itu.
Apabila pisau tersebut digunakan untuk menyerang—menusuk—manusia, tak bisa dibayangkan luka separah apa yang dihasilkan olehnya.
Wanita itu menghembuskan napasnya yang sejak tadi tak sengaja ia tahan. Kini ia berjalan menuju ruang kerja milik Yui. Pintu yang biasanya selalu tertutup itu kini terbuka sedikit, menunjukkan bagian dalam ruangannya yang gelap gulita. Ketukan demi ketukan yang ia hasilkan tiap kali telapak kakinya menapak selalu membuatnya panik, tapi ia berusaha percaya bahwa ia hanya seorang diri di tempat itu. Hanya dirinya, senter, dan jam dinding yang tempo ketukannya selalu sama.
Berhenti sejenak di depan ruangan dengan pintu akasia gelap dengan plakat emas yang diukir, Hono menggunakan kakinya untuk mendorong pintu itu terbuka dan menahannya selama beberapa detik. Ia mengedarkan sorot lampu senter ke seluruh ruangan, pada rak buku, lemari arsip, meja kerja yang di atasnya tersimpan satu unit laptop dan personal computer, satu unit wireless printer, dan tiga buah buku non-fiksi yang disusun rapi. Buku-buku yang berada di rak juga diurutkan mulai dari yang paling besar hingga ke yang paling kecil, pun dengan arsip-arsip yang ada di lemari sebelahnya juga diurutkan berdasarkan warna cover yang paling gelap hingga yang paling terang.
Semua ditata dengan rapi, secara langsung menunjukkan bahwa Yui adalah orang yang sangat menjaga kerapihan tempat kerjanya dan sedikit perfeksionis—sama seperti dulu. Jadi agak aneh jika Yui mau membiarkan lemari kaca tempat ia menyimpan senjata laras panjang dan sepucuk pistol itu pecah berkeping-keping. Kegelisahan menjadi semakin menjadi-jadi ketika Hono sadar bahwa semua senjata api yang ada disana sudah menghilang entah kemana.
"Apa mungkin Ten yang membawa senjata itu? Tapi... bukannya ia tidak bisa memakai senjata api? Jika Yui yang membawanya, aku khawatir akan terjadi hal yang buruk." Hono berbalik dan kembali melewati genangan darah yang mulai mengering dengan satu lompatan jauh. Ada banyak sekali keganjilan yang ada disini, ditambah lagi dengan senjat api yang hilang, jelas apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi selanjutnya bukan hal yang baik. Bisa-bisa Yui yang akan membunuh Ten dengan senjata api yang ia miliki.
Sebenarnya apa sih yang terjadi disini? Selesai meneliti dan menyusuri seluruh ruangan di lantai satu, Hono membawa tungkainya untuk menuju tangga dan memastikan ia tidak menginjak genangan darah besar yang ada di tengah-tengah ruangan. Sampai di depan anak tangga, ia pun juga harus berjalan di sisi paling kiri agar ia tak menginjak tetesan-tetesan darah yang ada disana. Hell, apapun yang terjadi disini, pastilah benar-benar mengerikan. Masalahnya adalah, mengapa tidak ada orang disini? Seharusnya jika mereka berkelahi dan pingsan, paling tidak aku bisa menemukan mereka tergeletak... tapi disini, tidak ada apapun.
Sekali lagi Hono menghentikan langkahnya tepat di anak tangga terakhir. Senter di tangan kembali ia angkat setinggi kepala, menyorotkan cahaya terangnya ke seluruh wilayah lantai dua yang didominasi oleh pintu yang tertutup. Di lantai juga terdapat tetesan-tetesan darah dan jejak darah yang kemungkinan berasal dari tubuh atau kaki yang diseret paksa. Bekas darah itu memanjang hingga memasuki salah satu ruangan yang pintunya terbuka lebar. Tanpa banyak menunggu, Hono segera melesat menuju ruangan itu.
Yang ia sadari pertama kali adalah satu dari dua jendela yang ada disana pecah dan membiarkan angin malam yang dingin masuk dengan mudah ke dalam ruangan. Hono berlari mendekati jendela tersebut dan menemukan noda darah yang menempel pada kusen. Ia melongo keluar jendela, menyorotkan senter pada rerumputan yang berada di bawah—sekitar tiga meter dari dinding tinggi yang memisahkan wilayah properti Yui dengan rumah lain—Hono kembali menemukan jejak sepatu yang menuju gerbang depan.
Apakah Yui masih hidup dan terpaksa melompat turun dari lantai dua karena Ten membuatnya terpojok disini? Itu mungkin saja, namun itu hanya satu dari sekian banyak kemungkinan.
Hono berbalik, dan kembali bersyukur karena tidak ada seseorang yang berada di belakangnya. Ia mengelilingi ruangan, berhati-hati agar tidak menyentuh apapun selain senter dan barang miliknya sendiri. Ada sebuah pisau berlumur darah di samping nakas. Hono menurunkan tubuh, berjongkok di depan sebilah pisau tersebut dan memperhatikannya lamat-lamat. Ini pisaunya. Pisau yang hilang dari tempat penyimpanannya di dapur. Hono menengok ke belakang, mengarahkan senternya pada genangan darah yang masih basah beberapa meter di depan pintu. Sudah jelas ini darah Yui. Tapi, mengapa ia tidak ada disini? Begitu juga dengan Ten.
Hono mendengus kasar. Di luar, angin kencang berhembus dan mulai membuat dedaunan dari pohon-pohon yang ada di sekitar saling bergesekan satu sama lain hingga menimbulkan bunyi-bunyian aneh yang menakutkan. Tidak ada gunanya jika ia terus bergelut dengan pencarian di dalam rumah. Tak ada siapapun dan apapun selain darah dan perabotan yang rusak. Hono lantas berbalik, menuruni tangga dengan langkah terburu-buru dengan pandangan sesekali terarah pada ponselnya. Ia terus menerus mencoba untuk mengontak Yui dengan harapan temannya itu akan menerima panggilannya dan memberitahu dimana posisinya sekarang.
Namun, seperti sebelumnya. Panggilan tersebut berakhir terabaikan.
"Sialan, Yui! Kenapa kau tidak bisa dihubungi sama sekali!" ia mengumpat keras. Hampir saja ia akan membanting ponselnya, tapi keinginan itu segera ia tahan. Kini, selain rasa takut dan gelisah, amarah juga mulai menutupi otaknya. Mencegahnya untuk berpikir secara normal dan sistematis layaknya orang dewasa. Ia berjalan keluar, membuka pintu yang semula ia tahan dengan tempat penyimpanan payung dengan kakinya dan membiarkan pintu itu tertutup kembali dengan sendirinya.
Ia mematikan senter, memasukkan benda berwarna hitam itu ke dalam waistbag karena kehadirannya tak lagi diperlukan. Cahaya lampu jalan sudah cukup baginya, sehingga ia dapat melihat bekas ban mobil yang bersilangan di jalanan depan rumah Yui. Tunggu dulu. Hono kembali mengambil senternya, dengan terburu-buru ia berlari memutar untuk mengecek rerumputan tepat di bawah jendela dengan kaca pecah tadi. Benar saja, rumput-rumput disana ada yang merunduk dan bentuknya seperti jejak sepatu seseorang. Hanya saja tak ada tetesan darah disana.
"Itu berarti, Yui tidak melompat dari jendela karena disini tidak ada bekas darah. Kemungkinan besar ini Rei... atau bahkan, Ten." Hono menyimpulkan. Memangnya siapa lagi orang yang memiliki niat untuk menghabisi Yui jika bukan dua orang itu—masalahnya Hono tidak bisa menyebutkan secara pasti karena keduanya memiliki potensi yang sama besar. "benar juga. Aku juga harus mencoba menghubungi Ten."
Hono kembali berjalan menuju gerbang depan. Kali ini layer ponsel di tangannya menunjukkan foto profil yang dipakai oleh si junior—Yamasaki Ten—karena Hono tengah berusaha menyambungkan komunikasi dua arah dengannya. Dinginnya angin malam terasa menembus mantel, kulit, hingga menusuk tulang-tulangnya. Membuatnya menggigil setiap kali menghembuskan napas dan membuat kepulan asap putih di udara. Bibirnya sedikit bergetar, mewanti-wanti jika barangkali Ten akan menerima panggilan teleponnya. Namun sepertinya, nasib akan berakhir sama. Ten juga mengabaikan panggilannya begitu saja.
Meremas ponselnya kelewat kuat, Hono mengeluarkan geraman pelan—geraman itu memiliki makna ambigu. Entah karena tak kuat merasakan dinginnya malam atau kesal. Ia menarik pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Disana ia berteriak keras, berusaha meluapkan emosi yang sejak tadi siang sudah tertahan di dalam kepalanya. Seperti pipa air yang tersumbat oleh bongkahan batu yang entah asalnya dari mana dan membuat pipa tersebut lama kelamaan hancur karena tak kuat menahan tekanan air. Pun dengan jalinan sirkuit di dalam kepala Hono yang seketika meledak tepat begitu ia duduk kursi kemudi.
Satu kalimat yang tak henti-hentinya berputar di dalam kepalanya, kemana mereka pergi?
Dentuman demi dentuman dari kepalan tangannya yang beradu dengan dashboard, roda stir, LCD monitor, bahkan kaca jendela. Jika ada orang lain yang melihat dari luar, mereka mungkin merasa ngeri karena mobil tersebut bergetar tanpa ada seorang pun yang terlihat di dalamnya. Marah, kesal, gelisah, sedih, panik, semua emosi tersebut bercokol di dalam kepalanya, tidak memberinya kesempatan untuk bernapas. Ia merasa terpojok, benar-benar terpojok. Tanpa tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya, tanpa tahu kemana ia bisa meminta bantuan.
Satu-satunya orang yang dapat ia andalkan menghilang tanpa kabar. Dua orang temannya sedang terbaring di rumah sakit. Dan kini hanya dirinya seorang yang berada disana sendirian, dengan pikirannya yang berkecamuk. Haruskah ia pulang? Haruskah ia kabur ke Inggris seperti yang pernah ia lakukan dahulu dan meninggalkan teman-temannya?
Benar. Seharusnya ia melakukan itu saja, iya 'kan? Jika ia kabur sekarang, maka ia hanya perlu melupakan semua yang telah terjadi selama ia berada di Jepang. Lalu menjalankan kehidupannya yang normal di Inggris Raya tanpa perlu dihantui kekhawatiran akan dibunuh. Hah, pecundang. Jangan lakukan itu. Hono mengepalkan satu tangannya, lantas menghantam kaca jendela di sampingnya dengan sangat kuat—tampak sebuah retakan kecil pada bekas pukulannya disana. Katamu kau akan meminta maaf dengan baik pada mendiang teman-temanmu? Pada Karin? Pada... Seki...? Astaga... Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan...
Saat telapak tangannya menyentuh kulit wajah, Hono dapat merasakan wajahnya memanas. Kesadarannya telah sepenuhnya kembali sekarang. Setelah tiba-tiba ia mengeluarkan amarahnya yang tidak terkontrol dan hampir merusak properti yang bukan menjadi miliknya. Selama ini ia sudah mati-matian menjaga emosi negative yang bercokol di dalam kepala, tapi hari ini, saat ini adalah hari dimana Hono gagal. Mengabaikan nyeri dan panas dari kepalan tangannnya, Hono membawa kedua tangannya mendekat. Ia mengaitkan jari-jarinya dan mulai menahan napasnya selama 60 detik sebelum menghembuskannya kembali.
Perlu waktu setidaknya lima menit bagi Hono untuk benar-benar membersihkan pikirannya dari setan yang membuatnya gila. Barulah setelah detak jantungnya dapat dikendalikan, Hono mulai menyusun kembali fragmen-fragmen puzzle yang ia dapatkan dari rumah Yui—kali ini, dengan hati yang sedikit lebih tenang karena ia telah melepaskan beban di dalam dadanya.
Bekas ban mobil di luar tidak mungkin berasal dari satu mobil saja karena bekas hitam itu terlalu berantakan dan saling tumpang tindih jika hanya dihasilkan dari satu kendaraan roda empat. Ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama dan yang paling ia percaya adalah; Yui yang baru saja tiba di rumah, langsung dihadang oleh Ten dan anak itu langsung menyerangnya dengan pisau saat Yui masuk ke dalam rumah. Melihat ceceran darah di hampir seluruh lantai, Hono membayangkan dua orang itu sempat bergulat dengan melibatkan perabotan-perabotan kecil.
Karena terpojok, Yui mungkin lari ke lantai dua dan memecahkan kaca untuk melompat kabur—karena, mungkin saja Ten mengunci pintu depan—tapi nahas baginya karena Ten berhasil mengejarnya dan menusuknya dengan pisau dapur. Itu menjelaskan genangan darah yang lebih banyak berpusat di satu ruangan dengan kaca jendela yang pecah. Hono berasumsi, dari ruangan itu lah Yui menghubunginya dan memintanya untuk datang. Disana, mungkin saja Yui berhasil melumpuhkan Ten dengan membuatnya pingsan sehingga ia dapat kabur dari pintu depan dan mengendarai mobilnya entah kemana.
Yui yang sedang sekarat tak mungkin mau menerima risiko dengan melompat dari lantai dua, itu sama saja dengan bunuh diri dan Yui tidak memiliki otak yang bodoh. Sehingga jelas, orang yang melompat dari lantai dua adalah Ten.
Sekarang, pertanyaannya adalah, kemana mereka berdua pergi? Dan dengan luka separah itu, sampai sejauh mana Yui dapat bertahan? Hono sangat takut jiwa sewaktu-waktu temannya itu mengalami kecelakaan parah yang justru akan membunuhnya karena ia tak sadarkan diri di tengah jalan diakibatkan oleh kehilangan berliter-liter darah.
Dan anehnya lagi, dengan ceceran darah sebanyak itu... bagaimana mungkin Yui dapat bertahan dan bergerak seperti orang normal? Oh, mungkin seharusnya Hono tak perlu khawatir. Yui pernah dipukul oleh palu gada di bagian kepala dan harus menginap di rumah sakit selama satu minggu lebih karena pendarahan dalam, dan wanita itu masih hidup sehat setelahnya—kesampingkan dengan Yui yang tiba-tiba berubah menjadi pembunuh berdarah dingin dalam semalam, faktanya wanita itu masih tetap sehat raganya bukan kejiwaannya. Namun, apakah seharusnya begitu? Apakah pantas Hono merasa maklum karena itu?
Tentu tidak. Hono masih memiliki hati nurani yang kembali berfungsi setelah ia sepenuhnya meninggalkan bayang-bayang Sakurazaka Academy. Tak peduli sekuat apapun fisik dan mental yang Kobayashi Yui miliki, tubuhnya itu tidak akan bertahan lama jika mengalami pendarahan hebat yang terus dibiarkan.
Hono harus menemukan Yui secepatnya atau wanita itu akan mati kehabisan darah.
Ia terdiam sejenak di dalam mobil, satu tangannya dibiarkan menyentuh kunci dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia berniat untuk memutar kuncinya untuk meninggalkan rumah Yui yang menakutkan—rumah di sebelahnya, ia ketahui sebagai rumah yang ditinggali Habu dan Koike juga terlihat kosong. Tidak ada mobil yang terparkir di garasi dan gerbangnya digrendel. Buku catatan, buku catatan. Hono menoleh ke samping, pada waist bag yang ia letakkan di bangku penumpang. Diambilnya black notebook bernoda darah yang Yui berikan padanya siang tadi.
Tapi, begitu ia menyentuh dan menimang buku kecil itu di tangannya, keraguan kembali menyerangnya. Apakah memang Rei berkaitan dengan yang satu ini? Bagaimana jika tidak dan hilangnya Yui kali ini murni karena ia berusaha kabur dari kejaran Ten? Argh, aku tidak mengerti. Hono membuka buku tersebut langsung ke halaman belakangnya—ia melewatkan sketsa-skesta mengerikan yang tadi ia lihat—dan menemukan susunan angka acak yang ditorehkan dengan tinta merah.
Saat Hono mengetikkan angka-angka tersebut pada Google Maps, ia diarahkan pada sebuah kompleks apartemen lawas yang sepertinya sudah lama tak dihuni. Mungkinkah mereka semua pergi ke sana?
Getaran ponsel terdengar dari bangku kosong di sampingnya. Hono menengok dan berharap jika panggilan itu berasal dari Yui. Namun, bahunya seketika jatuh ketika ia tahu jika panggilan tersebut berasal dari Sersan Ozeki dan bukan dari orang yang dia harapkan. Ozeki menelepon, semoga saja ia membawa kabar baik.
Hono menerima panggilan telepon dengan gelisah, ia mengaktifkan loudspeaker dan menempelkan ponsel pada holder sementara ia memperhatikan daerah sekelilingnya tanpa menyalakan mesin mobil. Jendela sengaja ia turunkan setengah untuk pertukaran udara.
"Tamura, maaf karena menghubungimu malam-malam begini. Apa kau sibuk? Aku memiliki kabar baik untuk disampaikan. Apa sekarang kau bersama dengan Kobayashi, Yamasaki, Habu dan Koike juga? Karena lebih baik jika mereka tahu tentang ini." Ozeki berbicara tanpa jeda dari ujung telepon. Kebahagiaan tergambar jelas dari suaranya yang lebih tinggi dan lebih ceria setelah Hono mendengarkan suaranya yang gloomy selama beberapa hari ke belakang.
"Aku sedang sendirian sekarang. Eh... ada sedikit masalah yang harus kuselesaikan, tapi tak apa, kau bisa memberitahu aku terlebih dahulu dan aku akan menyampaikan ini ke yang lainnya." Masalah yang melibatkan dua orang pembunuh berantai sekaligus, jika kau mau bertanya.
"Tentang Yuuka dan Risa! Yuuka sudah sadar sejak kemarin sedangkan Risa baru saja siuman dua jam yang lalu. Pihak rumah sakit baru saja menghubungiku dan mereka ingin kita semua hadir besok siang," suara Ozeki menjauh dari telepon sejenak, kemudian Hono dapat mendengar suara orang lain yang sepertinya sedang mengajaknya berbicara. Orang tersebut mungkin adalah rekannya, atau barangkali perawat atau dokter. Hono tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Ozeki terdengar seperti melemparkan beberapa pertanyaan konfirmasi. "Dokter baru saja mengatakan padaku, saat ini Yuuka sedang mencari Yui dan ingin berbicara dengannya. Bisakah kau memberikanku nomor telepon atau alamat rumahnya?"
Ah, gawat.
Hono terbelalak. Mulutnya dibiarkan terbuka selama beberapa detik, pun dengan pikirannya yang mendadak membeku seperti dimatikan paksa. Mengapa tiba-tiba? Hono menggumam, menjauhkan ponselnya dari kepala. Kenapa Yuuka tiba-tiba mencari Yui...? Padahal Yuuka baru saja sadar dan tiba-tiba ia ingin bertemu dengan Yui dan berbicara padanya. Tapi kemudian ia tersentak. Baru saja ia tersadar jika Risa dan Yuuka adalah dua orang saksi kunci yang dijaga oleh kepolisian, yang menjadi jalan pembuka bagi penyelesaian kasus pembunuhan berantai Black Mail dan Headhunter aka Doberman.
Oh, semoga saja itu tidak seperti yang Hono pikirkan.
"Tamura? Kau masih disana?"
"A—Aku disini, Ozeki. Begini, aku juga sedang mencoba untuk menghubungi Yui sejak dua puluh menit yang lalu. Tapi ia tidak bisa dihubungi, selalu di luar jangkauan. Aku tidak tahu ia di mana dan aku masih mencari sampai sekarang." Hono mencoba menjelaskan, berusaha keras untuk tidak menunjukkan kepanikan yang ia simpan melalui vokalnya. Akan berbahaya jika Ozeki tahu jika ia menyembunyikan keberadaan pelaku pembunuhan untuk kepentingannya sendiri. Ia bisa di deportasi sepihak ke Inggris, dan lebih parahnya lagi... namanya akan tercoreng sebagai hakim. "Ozeki, apakah kepolisian menerima laporan orang hilang...?"
"Jangan katakan padaku jika Kobayashi juga hilang—" Ozeki berdeham sejenak. Menyadari jika suaranya menjadi terlalu keras. "sejak tadi aku berada di rumah sakit untuk memantau perkembangan Yuuka dan Risa, sebentar lagi aku akan kembali ke kantor dan memastikan hal itu. Kenapa kau berpikir Kobayashi menghilang, huh? Bisa jadi ia sedang makan malam atau memukuli samsak tinju di rumahnya. Bagaimana kalau kau saja yang datang ke rumahnya dan melihat?"
Ah, andai saja kau tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ozeki.
"Aku akan mencoba. Tapi tolong, hubungi aku lagi jika kau menerima laporan orang hilang." Hono hendak mengakhiri panggilan teleponnya. Tapi, ia segera menyela dan menyampaikan pesan terakhirnya pada Ozeki. "apakah Risa dan Yuuka membawa ponselnya?"
"...ya. Mereka membawa ponsel mereka sekarang. Sepertinya sedang mati karena kehabisan baterai. Apa yang sedang terjadi, huh? Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu? Tunggu—sebentar..." Ozeki memberikan jeda sejenak. Tampaknya ia mencoba untuk berpikir. "kekacauan macam apa yang sedang terjadi disana, Tamura?"
Ya, pada akhirnya Hono juga tak bisa sepenuhnya merahasiakan ini dengan mereka.
"Temui aku di Shinagawa Park malam ini. Kita harus bicara."
Hono tiba sepuluh menit lebih awal dari Ozeki. Mobil petugas polisi itu berhenti tepat di samping mobilnya dan saat itulah Hono beranjak keluar dari mobil. Lagi-lagi angin malam yang dingin menerpa tubuhnya, berhasil membuat hidungnya mulai terasa panas dan tersumbat. Aneh, padahal ia sudah terbiasa tinggal di daerah dingin tetapi kali ini tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya.
Barangkali ia sudah terlalu kelelahan dan flu ringan kali ini adalah tanda bahwa tubuhnya sudah membutuhkan istirahat. Ozeki tidak mengenakan pakaian dinas saat ia menemui Hono. Wanita itu memakai kemeja hitam dan mantel tebal yang panjang, tampak hangat. Kalau boleh, Hono ingin meminjamnya dan memeluknya untuk menstabilkan suhu tubuhnya—bercanda.
"Risa sangat sulit diatur. Baru beberapa jam ia siuman, orang itu sudah berkeliling rumah sakit mencari dokter dan meminta untuk dipulangkan. Memang sinting, tapi seharusnya aku tidak terkejut karena ia adalah Watanabe Risa. Luka tusukan di perutnya tampaknya tak mampu menghentikannya meski ia berjalan terseok-seok seperti nenek tua." Keluh Ozeki begitu Hono berjalan mendekat dan berhenti tepat di depannya. "ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Tamura. Aku sengaja tidak menanyakan itu saat di rumah sakit karena khawatir ada seseorang yang mendengar, kupikir itu sesuatu yang privat?"
Berbagai susunan kalimat yang telah ia rencanakan ketika perjalanan menuju tempat ini seketika menghilang dari kepalanya, menguap tanpa jejak dan meninggalkan Hono dalam kebisuan yang menjebak. Sekarang, bagaimana ia akan mengatakan hal ini pada Ozeki tanpa membuatnya merasa curiga? Sersan yang satu ini jelas sudah menaruh kecurigaan padanya karena ia seringkali tiba-tiba terdiam.
"Aku akan mengatakan ini padamu, tapi tolong, untuk saat ini kita akan berbicara sebagai teman dan bukan sebagai polisi dengan warga sipil. Apa kau mau menerimanya?" Hono memulai dengan sangat berhati-hati.
Mendengar itu, Ozeki sedikit mengernyit. Menerka-nerka apa maksud di balik kalimat itu. Terutama saat Hono menegaskan bahwa mereka tidak perlu berkomunikasi sebagai polisi dan warga sipil dan itu berarti jabatannya sebagai penegak hukum tak akan terlalu diperlukan disini. "Tentu saja, Tamura." Ia akhirnya menjawab dengan mantap.
"Benar apa yang kau katakan. Yui menghilang dan Ten mengejarnya. Anak itu memiliki masalah dengan Yui sehingga ia menyerangnya hingga ia terluka, dan saat aku datang ke rumah Yui untuk mengecek kondisinya, aku tak menemukan apapun selain ceceran darah dan perabotan yang rusak. Baik Yui dan Ten tak bisa dihubungi, tak ada tanda-tanda jejak mereka selain bekas ban mobil yang ada di jalanan depan rumah Yui." Hono tak melewatkan raut wajah Ozeki yang menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Kedua matanya terbelalak, seakan ia telah mendengar atau melihat sesuatu yang tak wajar disana. Tapi, ia tak buru-buru menjawab karena sepertinya Hono masih memiliki sesuatu untuk dijelaskan. "aku tak tahu kemana mereka pergi dan sepertinya... aku membutuhkan bantuanmu, Ozeki. Jika dibiarkan, Ten akan benar-benar membunuh Yui!"
"Ten? Kenapa Ten berniat menghabisi Yui, apa yang sebenarnya terjadi disini? Kenapa kau baru melapor sekarang, huh? Jika kau menghubungiku lebih awal, kita bisa lebih mudah melacak keberadaan mereka." Ozeki menarik pakaian Hono, memaksanya mendekat dan berteriak di depan wajahnya. Barulah ia sadar bahwa keadaan lebih genting daripada yang ia pikirkan sebelumnya. Karena ini menyangkut nyawa manusia, lagi. Ia pun mengambil ponselnya keluar, hendak menghubungi operator tim—Sersan Harada Aoi—dan memintanya untuk melacak lokasi terakhir ponsel Yui.
Selama ia menunggu Harada menerima panggilan telepon, Ozeki, kali ingin dengan lebih serius dari sebelumnya terus mendengarkan penjelasan Hono. "Kau ingat dengan insiden Sakurazaka Academy? Ten berniat membalaskan kematian Hikaru dalam insiden itu dengan membunuh Yui. Saat ini kami juga sedang mencari keberadaan Rei dan yang lain, hanya Yui yang tahu dimana mereka berada. Jika Yui dibunuh... maka habislah sudah."
"Aku ingat Risa pernah meminta bantuan kalian untuk melakukan investigasi mandiri di penjara. Tapi kali ini... aku tak pernah tahu jika Risa juga masih meminta bantuan kalian untuk melakukan investigasi yang sama. Apa kalian melakukan investigasi mandiri?" tanya Ozeki. Tatapannya tajam dan menyelidik, memperhatikan setiap gerak-gerik yang dibuat Hono.
"Tak ada cukup waktu untuk menjelaskannya. Apa yang terjadi sekarang lebih rumit, asal kau tahu. Aku berjanji akan menjelaskan semuanya saat kita sudah menemukan Yui, untuk sekarang, tolong bantu aku melacak keberadaannya! Tentang Yuuka dan Risa, tolong jangan biarkan mereka memegang ponsel mereka. Jangan sampai mereka mengecek ponsel jika kondisi mereka belum sepenuhnya pulih. Mereka tidak harus tahu tentang ini, mereka pasti tidak akan tinggal diam jika mereka tahu. Jadi tolong, simpan ini di antara kita dan anak buahmu yang paling kau percaya. Aku mohon padamu, biarkan kami menyelesaikan masalah ini sendiri."
"Apa yang kau katakan? Aku tak bisa membiarkan itu! Tamura, jangan bodoh. Jangan bertindak semaumu sendiri, kau tak tahu dengan siapa kau berhadapan sekarang! Jangan mengulangi hal yang sama, tak ada yang ingin insiden Sakurazaka Academy terulang kembali, mengerti?"
Seperti sesuatu yang menyambar kepalanya dengan tiba-tiba, Hono sontak melangkah maju dan menahan pakaian Ozeki di tangannya. Mendorong petugas itu pada mobilnya hingga terdengar suara keras saat tubuh Ozeki menabrak body mobil, dan membuatnya tak bisa bergerak barang sedikit saja. Tubuh Hono tujuh belas sentimeter lebih tinggi dan lebih besar, polisi bertubuh kecil seperti Ozeki tak akan bisa menang melawan Hono. "AKU TAHU DENGAN SIAPA AKU BERHADAPAN SEKARANG! AKU BAHKAN LEBIH TAHU SIAPA ORANG TERSEBUT DARIPADA KAU!" Hono membentak keras, membuat Ozeki terkesiap dan hampir menjatuhkan ponsel yang ia genggam. "LAKUKAN SAJA, OZEKI! APAKAH ITU SULIT?"
"Ini bukan ranahmu sebagai warga sipil, asal kau tahu. Sekarang, kau sedang berhadapan dengan pembunuh berantai yang paling dicari di seluruh negara dan kau dengan sombongnya berniat untuk menghentikan mereka seorang diri? Tidak, aku tidak akan membiarkan itu. Setelah kami mendapatkan lokasi mereka dari Yui, kami akan langsung mengirimkan pasukan untuk meringkusnya."
Kepala Hono mendekat padanya, semakin membuat Ozeki terintimidasi karena tindakannya itu. Selanjutnya, Hono menggunakan suara dalamnya yang nyaris menyerupai bisikan. Bisikan yang penuh ancaman tepat di samping kepala Ozeki. "Jika polisi yang bertindak, bagaimanapun juga Rei akan tetap berakhir di penjara sama seperti sebelumnya. Kau tahu sendiri dengan apa yang ia lakukan ketika ia di penjara, jeruji besi dan ratusan petugas sipir tidak akan bisa menghentikannya. Kali ini, biarkan kami yang benar-benar menyelesaikan ini sendiri. Karena kami yang memulai, maka kami juga yang harus menyelesaikannya. Polisi tak perlu ikut campur, kecuali kami meminta. Jika Risa disini, ia pasti juga memikirkan hal yang sama."
Mungkin saat ini Ozeki terlalu terpaku dengan ucapan Hono sampai-sampai ia tak menyadari bahwa ada suara yang terdengar dari speaker ponsel yang ia genggam. Ia ingin menampar wajahnya yang lancang berteriak padanya seperti orang sinting seperti tadi, tapi apakah bisa Ozeki melakukan itu sedangkan apa yang Hono katakan adalah bagian dari isi pikirannya selama beberapa minggu ke belakang—memang benar, Rei tidak akan bisa dihentikan begitu saja. Dan jika memang hanya kematian yang dapat menghentikannya, maka Ozeki rela melakukan apa saja.
Kepalanya sudah dibuat pening setengah mati karena dua kasus pembunuhan sadis yang terjadi di waktu bersamaan. Menyelesaikan keduanya akan membuat usianya terasa lebih tiga kali lipat lebih tua. Ia yakin, wajahnya sudah cukup memprihatinkan diakibatkan oleh kantung mata sebagai hasil dari kurangnya jam tidur yang ia dapatkan. Hingga semalam, saat ia tengah menunggu hasil laporan penyelidikan yang paling baru, ia berpikir untuk menyerah saja untuk pertama kalinya selama ia berkarir dalam kepolisian.
Ini kasus yang rumit. Dan Ozeki bisa gila jika ia terus berkutat dengan kedua kasus tersebut lebih lama lagi.
Segera, setelah menghapus pikiran-pikiran itu dari kepalanya, ia mendorong bahu Hono dengan tangan kiri dan berjalan menjauh beberapa meter darinya. Kali ini Harada menerima panggilan teleponnya lebih lambat dan itu seperti bukan dirinya. Biasanya, Harada akan langsung menerima paling lambat tiga kali suara dering. Ia bukan orang yang suka membiarkan orang yang meneleponnya menunggu.
Ozeki menghentikan tungkainya ketika ia berada di bawah pohon rimbun. Menghadap danau buatan yang permukaannya sedikit bergelombang karena hembusan angin. Ia melirik ke belakang selama sepersekian detik, memastikan Hono masih ada di tempatnya sebelum ia mulai berbicara, "Dengar, Aoi. Dapatkah kau melacak GPS ponsel Kobayashi? Atau mungkin sinyal operator terakhirnya, pokoknya apa saja yang dapat memberikan lokasi spesifik dari tempat yang pernah ia singgahi."
"Apa? Kenapa dengan Kobayashi?" Harada menyahut. Tapi sepertinya ia langsung melaksanakan apa yang diminta oleh Ozeki karena sesaat kemudian terdengar suara yang dihasilkan dari ketukan mouse dan keyboard.
Ozeki menghembuskan napas dengan kasar. Jarinya tak henti menekan bagian tengah dahi yang terasa sakit sejak tadi. "Dia hilang—maksudku, pergi dan tidak bisa dihubungi. Masalahnya Kobayashi itu sedang kabur dari kejaran Yamasaki yang mencoba membunuhnya. Ceritanya panjang, Aoi. Yang penting, kau harus mendapatkan lokasinya terlebih dahulu. Sisanya serahkan saja padaku." Ia menjawab sembari membalik badan dan berjalan mendekati mobilnya yang diparkir. Hono yang bersandar pada mobilnya sendiri menyadari Ozeki kembali berjalan ke arahnya juga segera menegakkan tubuh.
"Oh Tuhan, ada apa lagi dengan mereka? Dan Yamasaki...? Aku tak pernah membayangkan jika ia akan bertindak sejauh itu. Ini situasi darurat, Ozeki. Kau ingin aku mengerahkan tim pencari dan menyebarkannya seperti saat kita mencari Moriya?"
"Itu—tidak. Tidak perlu. Lakukan saja apa yang aku minta sekarang, tak perlu yang lain." Ozeki menjawab dengan cepat. Kemudian pikirannya tertuju pada berkas laporan penyelidikan yang sudah ia tunggu sejak kemarin. Penyidik lapangan berjanji mereka akan menyelesaikannya dengan cepat dan mengirimkan kopiannya pada Ozeki. "Hei, apakah mereka sudah memberikan laporan penyelidikannya?"
"Mereka baru akan memberikannya besok siang, Oze. Aku baru saja menghubungi mereka malam tadi."
"Tsk. Perintah mereka untuk melakukannya lebih cepat! Ini kasus darurat, sialan. Ah, lama-lama sifat Risa yang tidak sabaran jadi menurun kepadaku. Yang benar saja!"
Lalu Harada tidak menjawab lagi dan Ozeki juga tak berniat untuk menuntut jawaban. Sepertinya Harada sedang fokus dengan pekerjaannya sehingga wanita itu agaknya tidak begitu mendengar balasan Ozeki. Sembari menunggu, Ozeki mengangkat wajahnya dan memindahkan atensi pada wanita yang lebih tinggi—orang yang hampir menyakitinya beberapa waktu yang lalu.
Wajah garang Hono tak lagi ada disana dan tergantikan oleh raut wajah gelisah. Pandangannya tak sedikit pun berpindah dari layar ponsel, tak henti-hentinya pula ia mendekatkan ponsel di telinganya dan mengeluarkan gumaman kecil seperti ia berharap seseorang di ujung sana akan menerima panggilannya.
Ponsel Ozeki bergetar, memberikan tanda bahwa ada email atau pesan yang masuk. Ia tersenyum sekilas, karena ia tahu pesan itu pasti berasal dari Harada. Karena selanjutnya, ia mendengar rekan kerjanya itu berkata, "Apa kau yakin aku tak perlu membantu mengerahkan tim pencari...?"
Eh? Ozeki tertegun. Ada apa dengan nada bicara yang terdengar ragu itu?
Ia segera memutuskan panggilan telepon secara sepihak, kemudian mengecek email dari Harada yang berada di baris paling atas. Rekan kerjanya itu hanya mengirimkan tautan dan angka-angka acak yang ia simpulkan sebagai koordinat peta. Ia memiliki dua pilihan, menyalin koordinat tersebut dan mencarinya secara manual atau menekan tautannya langsung—dan Ozeki memilih opsi kedua dengan alasan praktis.
Detik itu juga, seakan ada makhluk tak kasat mata yang memeluk dirinya dari belakang dan mencabut paksa jantung yang melekat di dadanya, Ozeki tak mampu mengatakan apapun setelah melihat dimana koordinat itu menuju dan hanya
"Apakah kau yakin akan tetap pergi sendiri? Tempat itu terlalu berbahaya, aku tak berbohong. Banyak sekali orang yang sudah mati disana karena tanah longsor. Dengan perginya kau kesana, itu sama saja dengan menyerahkan nyawamu sendiri." Ozeki menatap layer ponselnya yang menunjukkan peta lokasi dari koordinat yang dikirimkan oleh Harada. Ia tak berbohong jika ia sempat bergidik ngeri saat tahu dimana sinyal terakhi GPS Yui berada.
Sungguh. Ozeki tak menduga jika mereka sampai menuju tempat semacam itu. Sebenarnya, apa yang mereka cari selain kematian mereka sendiri? Sebegitu tinggi kah rasa bersalah mereka sehingga mereka ingin mati-matian menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat?
"Aku akan tetap pergi, Ozeki. Tak mungkin aku membiarkan Yui sendirian di luar sana." Hono akhirnya menjawab dengan nada rendah. Suaranya terdengar dalam di telinga Ozeki. Tak dapat ia temukan sedikit pun keraguan dari dalam dirinya—bahkan sepasang mata cokelat gelap itu tampak berapi-api.
"Hubungi aku jika kau membutuhkan bantuan. Timku akan tiba disana dalam waktu sepuluh menit dan akan kupastikan kau akan melihat helikopter terbang di atas kepalamu sebelum kau menyadarinya." Ozeki merapatkan bibirnya. Ia tak bisa memaksa untuk bergabung ataupun langsung mengirimkan personel dengan segera kendati sebenarnya ia bisa. Sementara waktu, ia akan menyiapkan personel lapangan dengan persenjataan lengkap untuk berjaga-jaga.
Dan Hono tak perlu tahu tentang hal ini.
Barangkali ini sudah yang ke-15 kalinya Yui mengintip rearview untuk mendapatkan pandangan lebih baik dari bagian belakang mobil melalui cermin yang berada di bagian tengah kaca depan mobilnya itu. Tak peduli sebesar dan setinggi apapun nyali wanita itu untuk datang sendiri dan masuk ke dalam kandang harimau untuk menjemput temannya, ia masih tetap merasa was-was dan tak aman jika Ten yang berambisi untuk membunuhnya masih hidup.
Darah yang menempel di pakaiannya telah kering dan beroksidasi menjadi coklat sejak tiga puluh menit yang lalu, kalau ia tak salah. Ia sudah tak mengerti bagaimana ia harus membaca dan menghitung waktu yang terus bergulir, mengejarnya seperti hewan buas di belakang tubuhnya. Ia juga sudah tak mengerti apakah hari sudah berganti ataukah masih berada di titik kalender yang sama seperti yang ia lihat pagi tadi.
Pendarahannya sudah berhenti sejak satu jam yang lalu. Beruntung Yui selalu menyimpan perlengkapan medis darurat di dalam mobil, sehingga ia dapat menyelamatkan nyawanya sendiri. Kotak berukuran medium itu selalu dibawanya untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan di jalan raya ataupun hal lain yang menyebabkan seseorang terluka. Kotak tersebut berisi berbagai alat yang diperlukan untuk melakukan pertolongan pertama—bahkan mungkin lebih lengkap lagi karena Yui juga menyimpan jarum dan benang medis, juga dua botol alkohol.
Menggunakan peralatan miliknya sendiri, Yui harus merasakan perihnya luka sayatan pisau di tubuhnya saat ia menyiramnya dengan alkohol. Seharusnya ia tak perlu sampai menyiramnya dan cukup dengan menempelkan kapas basah, tapi karena sudah kepalang tanggung dan sakit yang dirasakan semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu, maka ia langsung menyiramnya hingga tersisa setengah botol. Ia juga harus menjahit kembali lengannya yang robek dan membebatnya dengan gulungan perban yang cukup tebal. Untuk luka tusukan di dada, Yui hanya membersihkannya lalu menjahitnya sebelum menempelkan sesuatu seperti plester sebanyak lima lapis. Ia juga mengganti sweaternya yang dipenuhi noda darah dengan kaus dan melapisinya dengan jaket.
Ia telah mengemudi cukup cepat untuk tiba di tempat yang dimaksud oleh alter miliknya, sesuai dengan susunan koordinat yang ada pada buku catatan. Yui sudah mencari dan menyimpan peta offline dari tempat tersebut di dalam ponsel sehingga ia tak perlu menggunakan internet untuk navigasi. Kendati Yui berkendara dengan agak brutal, hatinya tetap tak tenang.
Tidak, ia tidak takut pada surat tilang yang akan masuk ke dalam kotak emailnya dalam beberapa hari ke depan. Ia justru khawatir jika Ten akan mengikutinya dari belakang dan kembali menyerangnya. Luka yang ia alami sudah cukup parah sekarang, jika Ten menyerangnya lagi, maka ia akan habis di tempat.
Alternya mungkin lebih kuat dan lebih pandai dalam memainkan senjata tajam—juga lebih bengis, tentu saja. Berbeda dengan Yui yang masih dapat merasakan sakit ketika dilukai dan memiliki perasaan takut setiap kali matanya dihadapkan dengan sebilah pisau—itu merujuk pada bola mata kanannya yang dicungkil dengan pisau dan dicabut paksa—bayangan lama itu membuat Yui refleks menyentuh mata kanannya dan melepaskan eyepatch yang selalu ia kenakan, hanya untuk menyadari bahwa ia benar-benar memiliki bola mata yang dapat digunakan untuk melihat disana. Yui juga masih memiliki common sense untuk mengasihani manusia lain. Buktinya, ia tak sampai hati untuk benar-benar membalas dan membunuh Ten meski juniornya itu hampir membuatnya mati di rumahnya sendiri.
Mungkin jika alternya yang melawan, Ten pasti sudah berakhir di kandang babi atau di tempat pembuangan akhir bersama dengan anjing-anjing liar yang menganggap tubuhnya sebagai makanan lezat berprotein tinggi.
Meski jika dipikirkan lebih matang, pilihannya untuk meninggalkan Ten di rumah adalah pilihan yang cukup buruk sebenarnya. Bisa jadi memang benar Ten sedang mengejarnya diam-diam sekarang. Atau bisa jadi anak itu sedang bersembunyi di balik kegelapan malam, menunggu Yui keluar dari mobilnya untuk menyeretnya masuk ke dalam bangunan—membunuhnya di dalam sana. Sungguh, Yui benar-benar harus mengendalikan bayangan-bayangan mengerikan yang muncul secara acak di dalam kepalanya sekarang juga karena pikirannya sudah semakin kacau sekarang.
Bahkan saat ia mengangkat kedua tangannya, Yui dapat melihat darah merah kembali muncul dan melumuri kedua tangannya. Tak hanya itu saja, potongan-potongan memori mengerikan yang sebelumnya hanya muncul sesekali kini menjadi semakin jelas dan runtut. Rasanya seperti ia sedang melihat dari sudut pandang orang lain—orang yang telah membunuh banyak orang dan memutilasi mereka.
Meski dengan perasaan bersalah yang terus menelannya, Yui tak bisa melakukan apapun selain bergerak maju dengan membawa monster yang ada dalam dirinya sekarang. Monster itu sekarang sedang berjalan beriringan bersamanya, menemaninya ke wilayah komplek apartemen terbengkalai yang sangat besar.
Ia sepenuhnya sadar dengan semua kesalahannya dahulu dan tidak ada waktu untuk menyesali dan menangisi dosa yang telah ia lakukan. Tujuannya sekarang adalah menyelamatkan Habu dan menghabisi Rei dengan tangannya sendiri.
Satu hal yang ia sesali adalah ponselnya yang mendadak menolak tersambung dengan jaringan operator meskipun ia sudah memulai ulang sistemnya. Padahal ia harus menghubungi Hono dan memintanya untuk datang ke tempatnya sekarang. Dengan senapan serbu menggantung di punggung dan pistol di tangan, Yui sepertinya dapat melindungi dirinya sendiri. Hanya satu masalah; dengan tangannya yang terluka parah, ia mungkin tak akan kuat menahan recoil semua senjata api yang ia bawa.
Memasukkan ponsel yang tak lagi berguna ke dalam saku celana, Yui mencabut kunci mobilnya dan melompat keluar, menatap tajam pada tiap penjuru ruangan sekaligus pada gedung tinggi di depannya. Senter yang menempel pada ujung pistolnya menyorot setiap jendela buram dan balkon yang ada disana, hingga berakhir pada pintu kaca lobi yang setengahnya pecah. Ia dapat melihat meja resepsionis kosong di dalam sana, tentu saja tidak ada seorang pun disana, iya 'kan?
Selain meja resepsionis, Yui juga mendapati ada beberapa titik merah menyerupai lampu yang berkedip-kedip. Juga beberapa kabel memanjang yang tidak tahu bermuara kemana kabel-kabel tersebut, Setidaknya itu memperkuat keyakinan jika memang tempat itu sempat dihuni oleh seseorang.
Jika memang tak ada siapapun, lantas darimana suara deru mesin ini berasal? Pikirnya. Ia baru saja akan melangkah lebih jauh, untuk mengecek ke dalam karena barangkali mereka sedang bersembunyi disana dan menunggu untuk ditemukan. Tapi seketika Yui menahan kakinya dan justru menariknya mundur begitu ia mendengar deru mesin itu menjadi semakin dekat, kini disusul dengan suara berisik dari dedaunan dan ranting pohon yang dilindas oleh sesuatu. Ia menoleh ke samping, terkejut setengah mati saat melihat mobil putih dengan lampu yang dimatikan melaju kencang ke arahnya tanpa mengurangi kecepatan.
Haruskah aku lari?
Tepat sebelum mobil itu menyambarnya, tubuh Yui bergerak lebih cepat dari otaknya. Ia melemparkan tubuhnya ke belakang dan mengangkat pistolnya.
BANG
Tembakan Yui yang semula ia arahkan pada jendela pengemudi justru meleset jauh hingga bagian kaca belakang. Tubuhnya jatuh berserak di tanah, pada dedaunan kering dan pasir. Ia mendarat dengan lengannya yang tak terluka, jadi ia dapat langsung berguling dan berdiri, berjalan mendekati mobil putih yang familiar itu dengan mengangkat pistolnya. Ten benar-benar mengikutinya hingga sejauh ini dan nafsu membunuhnya masih tak surut juga. Ia bahkan hampir melindas Yui dengan ban mobilnya dan Yui bersyukur telinganya masih berfungsi lebih baik dari matanya sehingga ia dapat menghindar lebih cepat.
Mobil putih itu mengerem paksa, sedikit membuat drifting memutar 180 derajat di tanah pasir yang tidak bersahabat bagi ban mobil. Si pengemudi beruntung karena mobilnya tak sampai menabrak gedung atau lebih parahnya, terbalik.
Pintu mobil terbuka, tampaklah kepala si pengemudi yang menyembul keluar. Tampak beberapa bagian wajahnya membiru, juga ada sedikit noda seperti darah yang menempel pada wajahnya. Ten bernapas dengan susah payah, terlihat jelas saat ia keluar dari mobil. Melihat kondisi Ten yang tak jauh lebih buruk darinya, Yui lantas berucap, "Masih juga tidak melepaskanku? Sudah kukatakan padamu, biarkan aku menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan. Baru setelah itu kau bebas melakukan apapun kepadaku."
"Sudah kubilang, aku tak akan melepaskanmu sebelum aku membunuhmu, Kobayashi." Juniornya menjawab lantang. Sebuah kapak yang ada di tangannya ia angkat ke depan dada, digenggamnya senjata tajam itu dengan dua tangan. Tak tampak sedikitpun keraguan pada sorot mata tajamnya yang menyalang buas di dalam kegelapan malam.
Melihat itu, Yui menghembuskan napas. Ia menurunkan pistolnya ke bawah dan tak lagi membidik Ten dengan senjata api miliknya. "Aku sudah menyelamatkanmu. Memberimu kesempatan untuk tidak ikut campur dalam masalah ini dan semakin membuat nyawamu terancam, Ten. Tapi sepertinya amarahmu sudah membuatmu tak bisa melihat kebaikan yang sudah aku lakukan."
"Kau pikir itu akan membatalkan rencana yang sudah kususun sejak lama? Tidak akan. Mengelabui Hono dan Risa dengan wajah junior yang tidak berdosa dan pantas dikasihani itu tidak mudah." Ten menjawab. Ia melangkah ke depan sebanyak dua langkah dan Yui turut melangkah mundur. Ia tak mengerti mengapa wanita itu tak menatapnya melainkan justru melihat sesuatu yang ada di belakang Ten—apalagi dengan tatapan seperti melihat hantu—tanpa mengangkat pistolnya. Apakah Yui akan menyerah padanya?
"Oh... kau juga sudah mengkhianati orang-orang yang sudah percaya kepadamu? Semakin lama kau mengikuti jalan yang kami lalui. Mengkhianati dan membunuh, lalu hal yang sama akan terulang kembali beberapa tahun ke depan dengan orang-orang yang berbeda—lebih tepatnya, kau yang menjadi tokoh utamanya. Bukan aku, ataupun Rei."
"Dengan kau membunuh Akane dan membuat seolah-olah ia diculik oleh seseorang sementara kau bersandiwara, membuat Yuuka dan yang lainnya percaya bahwa kau tidak terlibat dengan semua itu—bahkan kau menunjukkan bagaimana kau menyiksa Akane pada mereka dan berpura-pura merasa jijik atas perbuatanmu yang terkutuk itu tidak membuatmu pantas merasa lebih baik dariku, Kobayashi. Siapa manusia biadab yang tega membunuh orang tuanya sendiri? Yang menusuk sahabatnya sendiri dari belakang? Yang aku tahu, itu hanya kau."
Ten menggeram. Ia berteriak, mengayunkan kapaknya ke arah kepala Yui dengan kuat. Sekali lagi, ia gagal mengenai targetnya karena Yui kembali melompat ke belakang dan menghindari ayunan kapak Ten dengan mudah. Gesekan alas kaki mereka terhadap dedaunan yang mereka pijak membuat Yui dapat melihat apa yang sebenarnya ditutupi oleh benda kering berwarna hijau kekuningan tersebut. Yui kali ini mengacungkan pistolnya ke arah langit gelap di atas kepala mereka, menembakkan satu timah panas dan membuat suara letupan senjata yang sangat keras. Ia sengaja melakukan itu untuk menggertak dan memberikan ancaman pada Ten untuk tidak bermain-main.
Telinganya berdengung selama beberapa detik sebagai akibat dari suara keras yang ada di atas kepalanya, dan Yui kembali melepaskan safety pistol sebelum mengarahkannya tepat di kepala Ten—sebab ia tahu-tahu berada semakin dekat dengannya. Yui melirik ke bawah, pada kapak bergagang merah yang digenggam oleh Ten. Permukaannya terlihat tajam sekali, bisa jadi benda itu dapat memisahkan kepala dari tubuhnya dalam dua kali tebasan.
"...kau tahu apa? Jika aku jadi kau, aku tidak akan melangkah lebih jauh dari itu." Yui mendesis marah dan Ten sepertinya tertawa puas karena ia berhasil membuat emosi Yui terpantik. "jangan paksa aku meledakkan kepalamu, Ten. Sudah kubilang, aku tidak mau membunuhmu dan jangan membuang waktuku!"
Tidak mengindahkan ancaman Yui, Ten kembali mengayunkan senjata tajamnya. Ia menghentakkan kaki, membuat tubuhnya bergerak dengan sangat cepat—lebih cepat dari Yui sehingga wanita itu berhasil menghantamkan kapaknya pada jari-jari Yui yang menggenggam grip. Hentakan itu membuat Yui refleks melepaskan genggaman pistolnya, kapak itu nyaris menggasak habis keempat jari tangan kanannya. Beruntung Yui cepat-cepat menarik tangannya mundur sehingga ayunan kapak Ten tak sampai memotong keempat tulang jarinya. Yui sudah kehilangan matanya, tak mungkin ia harus kehilangan jari-jarinya juga.
Yui mengumpat, melontarkan berbagai kata-kata kasar yang seharusnya tidak pantas untuk diucapkan pada orang lain. Tapi itu adalah refleks yang sekonyong-konyong terjadi begitu ia merasakan sengatan perih dari tangan kanannya. Saat ia mengangkat tangannya, darah segera mengucur deras, menetes-netes hingga membasahi jaket dan tanah di bawahnya. Ia mengangkat kepala, menatap Ten dengan sorot mata tajam. Tampak wanita itu tertawa-tawa melihat Yui meraung kesakitan karena keempat jari tangan kanannya yang nyaris putus.
"BRENGSEK!" Yui berteriak. Senapan laras panjang yang semula hanya disandang pada bahu dan hanya digunakan untuk sesuatu yang benar-benar memaksa, kini ia turunkan. Jari tangan kanannya terlalu sakit untuk menarik trigger. Dan tangannya juga tak lagi kuat untuk menahan hentakan dari senapan rifle itu.
Jadi ia tidak menggunakan senjata beratnya untuk menembak, melainkan sebagai tongkat pemukul yang sangat padat. Dilihatnya Ten kembali mengangkat kapaknya dengan dua tangan, kali ini ia berniat untuk mengayunkannya dari bawah ke atas. Yui melompat saat sisi tajam kapak Ten berada di udara, ia membalik senapannya dan memukul sisi kanan kepala Ten dengan popor senapan. Ia menggunakan kesempatan itu untuk berpindah tempat dan memungut kembali pistolnya yang jatuh beberapa meter darinya.
Ten mengerang, mengaduh kesakitan saat tetesan demi tetesan darah meluncur turun dari sisi kepalanya yang retak. Kedua tangannya meremas daun-daun kering, kemudian memaksa persendian dan otot-otot yang ada di tubuhnya untuk membalik tubuhnya yang sempat terjatuh. Bibirnya tertarik ke atas, membentuk seringaian lebar. Meski ia tidak dapat melihat Yui karena pandangannya yang dipenuhi oleh titik-titik hitam, Ten dapat mendengar suara napas wanita itu beberapa meter di depannya.
Mungkin Ten sudah benar-benar gila sekarang. Ia tak lagi bisa menangis karena sakit yang ia derita, melainkan hanya tersenyum lebar seperti orang sinting. Namun, agaknya sepasang netra cokelat miliknya tidak memiliki pendapat sama dengan bibirnya yang terus menyunggingkan senyuman. Sepasang matanya memerah, dengan air mata yang mulai menganak di sudut mata dan perlahan-lahan meleleh hingga membasahi wajahnya, menghapus aliran darah yang berasal dari kepalanya.
Ketika ia mendapatkan kembali pengelihatannya, Ten dapat melihat jelas bagaimana sosok Yui dengan bantuan cahaya bulan yang temaram dan jujur saja, Ten cukup terkejut. Seharusnya manusia biasa akan mati dengan luka separah dan sebanyak itu, tetapi Yui tidak demikian. Ia justru masih bisa bergerak dengan cukup lincah untuk menghindari serangan Ten--meskipun wajahnya menunjukkan jika ia terus menahan sakit yang amat sangat. Ia tak mengerti apa yang menahannya untuk mati tapi sepertinya ungkapan 'Kobayashi Yui tidak akan bisa dibunnuh dengan mudah' itu memang benar adanya.
Ten menarik kakinya, kemudian menggunakan kedua tangannya untuk menumpu tubuhnya sementara kedua kakinya mencoba untuk berdiri. Ia hampir saja terjatuh ke samping, tapi kapak di tangannya membantunya untuk tidak jatuh ke tanah.
"Kau berkata bahwa kau tidak terlibat dalam pembantaian di malam itu, kau berkata padaku bahwa kau tidak tahu bagaimana Hikaru terbunuh padahal kau ada disana bersamanya, kau berbohong padaku bahwa kau tidak ada di sekitar kantor pos saat hujan badai kala itu. Kau berbohong kepada kami semua bahwa kau akan membantu mencari Akane sementara kau sendiri yang membunuhnya. Dissociative Identity Disorder? Tsk, semua itu omong kosong! Sejak awal orang sepertimu memang tidak seharusnya ada di dunia ini, bukankah kau juga berpikir seperti itu? Kau bisa bertahan sampai sejauh ini karena keluarga Kobayashi memutuskan untuk mengadopsimu, namun bagaimana jika tidak?"
Yui tahu jika pada saat itu juga ia telah kehilangan kata-katanya.
Sebuah memori lama yang asing tiba-tiba muncul di dalam kepalanya, berputar-putar dengan liar di dalam sana hingga ia hampir tidak dapat membedakan antara dunia nyata dengan dunia yang ada di dalam imajinasinya sendiri. Semua memori tersebut membuatnya teringat dengan kenangan masa kecilnya yang menyakitkan, yang seharusnya sudah ia tinggalkan tepat setelah ia menyandang nama Kobayashi. Tentang dirinya yang entah berasal dari mana, tentang dirinya yang telah hampir membunuh orang lain saat usianya masih sangat muda.
"Kau bisa membayangkan betapa menyesalnya mereka karena telah membesarkan seorang monster. Huh, mereka bisa saja membuangmu seperti apa yang orang-orang lakukan kepadamu sebelumnya."
Tidak... jangan katakan hal seperti itu lagi. Tubuh Yui bergetar. Tanpa ia sadari, setitik air mata meluncur turun dari pipi dan jatuh pada dedaunan di bawahnya. Setelah beberapa jam, ia benar-benar menangis lagi. Ia tak peduli sekacau apa wajahnya yang telah ternoda oleh cipratan darah dan air mata penyesalan, tetapi ia tidak bisa untuk tidak peduli dengan kata-kata tajam yang dilontarkan oleh Ten. Ia tak bisa menampik jika kalimat itu benar-benar menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping.
"Berhenti berbicara seakan kau mengerti segala sesuatu tentangku sementara kau hanya mendengar 4 rekaman sialan yang kau curi dari rumahku, Ten." teriakan Yui sontak membuat Ten menutup mulutnya dalam sekejap. "kau pikir hidup dengan kondisi seperti ini adalah keinginanku sebelum aku lahir? Aku tidak pernah meminta pada Tuhan untuk dilahirkan bersama dengan semua kemalangan ini. Kau tidak tahu betapa hancurnya aku saat mengetahui semua kekacauan ini adalah akibat dari perbuatanku, perbuatan dari kepribadianku yang lain! Jika kau memang ingin membunuhku, silakan saja! Aku akan dengan senang hati menyerahkan nyawaku kepadamu. Tapi sebelum itu, izinkan aku menyelesaikan ini terlebih dahulu. Jadi, biarkan aku pergi!"
Ia bisa saja menempelkan moncong pistol di belakang kepala Ten, atau mungkin memaksa wanita itu untuk menelah peluru panas yang akan meledakkan isi kepalanya. Tapi tetap saja, Yui tak mau dan tidak bisa melakukan hal itu. Ia tak berani melihat orang lain mati karena tangannya sendiri. Sejak tadi ia terus menerus diserang dan dilukai, tapi ia tidak memberikan pembalasan setimpal. Sebagian besar waktunya ia habiskan untuk menghindari tebasan Ten untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Jika ingin melawan pun sebenarnya percuma. Lebih baik ia segera angkat kaki dan kembali ke kota untuk menemui Hono—sekaligus meminta perlindungan, untuk sementara waktu.
Ten berbalik badan. Darah tampak mengalir turun dari kepala hingga ke leher dan wajah. Matanya menyipit, sepertinya ia berusaha mendapatkan pandangan lebih baik dari apa yang ada di depannya. Ten telah mendapatkan lebih dari tiga kali hantaman di kepala, Yui berpikir, barangkali wanita itu akan tumbang karena pendarahan dalam yang mematikan otaknya. Tapi melihat tubuh tinggi Ten yang masih berdiri tegap tanpa terhuyung barang sedikit saja membuat Yui membatalkan asumsinya itu.
"Sekarang, yang kau lakukan hanya menghindar, menghindar, dan menghindar. Dasar pecundang! Untuk apa kau takut melukaiku, huh? Aku tak sudi menerima rasa kasihan dari pembunuh sepertimu. Kau tahu monster tidak seharusnya bersikap seperti itu, bukan?"
"Yang kau lakukan hanya berbicara, berbicara, dan berbicara saja seperti sekumpulan pelacur yang menjajakan dirinya di pinggir jalan!" Yui menyeringai lebar setelah ia melemparkan sebuah hinaan pada Ten. Menyadari wanita itu, semakin melotot karena ucapannya barusan, Yui kembali melanjutkan, "oh, merasa familiar? Apakah kau pernah mencoba mereka? Kasihan sekali, seorang Yamasaki Ten yang ditinggal mati oleh—"
BRAK
Yui tak sempat menyelesaikan ejekannya karena benda tajam tiba-tiba melesat tepat di samping telinganya. Ia dapat mendengar lesatan angin yang dihasilkan oleh kapak terbang yang kini menancap pada sebatang pohon beberapa meter di belakangnya.
Apa yang kau katakan, sialan.
Hanya mengatakan apa yang seharusnya kau katakan, Kobayashi. Kau terlalu penakut untuk melakukannya jadi biarkan aku saja, oke?
Aku tidak berniat mengkonfrontasinya!
Ah, terlambat. Lihat, dia sudah meradang sekarang. Selamat bersenang-senang.
Aku akan benar-benar membunuhmu!
Kalau begitu, bunuhlah dirimu sendiri dulu.
Gara-gara hinaan yang dilontarkan oleh si alternya—sebenarnya sesuatu yang tak diinginkan, tapi mengingat Yui sedang dalam kondisi yang sangat buruk dan kepribadiannya dapat dengan mudah mengambil alih kesadarannya sesuka hati, maka... begitulah—amarah Ten semakin meletup-letup. Ia mengeluarkan sebilah golok dari dalam tas sebagai pengganti kapak yang ia lemparkan beberapa saat yang lalu. Golok tersebut adalah golok berkarat yang ia simpan di dalam kotak—itu adalah senjata tajam milik Hikaru yang pernah ia pakai untuk membunuh seseorang.
Dan kini golok itu akan mencabut nyawa orang lain lagi layaknya malaikat pencabut nyawa.
"Yamasaki Ten, itu bukan aku, aku bersumpah—!"
Yui memindahkan pandangannya dari lampu merah yang semakin lama berkedip semakin cepat dari sebelumnya. Ia tak mengerti benda apa yang menghasilkan cahaya lampu seperti itu, tapi yang jelas itu bukan sesuatu yang bagus. Terutama jika ia tahu bahwa kabel-kabel memanjang yang ada di dalam juga ada di tanah yang mereka pijak sekarang, hanya kabel tersebut ditutupi oleh daun-daun kering.
Bom.
Ada ranjau yang sengaja dipasang di pelataran ini. Dan sesuatu dengan lampu berwarna merah yang sejak tadi ia lihat adalahh pemicunya. Jika waktunya habis, maka bom yang ada di dalam bangunan akan meledak dan merambat hingga ke pelataran—tepat di bawah kaki mereka. Ditambah dengan dua mobil yang memiliki bensin di dalam tangki, maka ledakan yang dihasilkan akan semakin dahsyat dan membuat kebakaran hebat.
Barulah Yui sadar, mengapa sejak tadi ia tidak menemukan siapapun di tempat itu. Karena sejak awal Rei sudah tidak ada disana. Mereka justru meninggalkan bingkisan kecil untuk Yui. Sebuah bingkisan yang dapat membunuhnya, dan si bodoh Yamasaki Ten membuatnya terditraksi untuk menyadari bahaya yang ada di sekelilingnya.
Dan tepat saat kedipan lampu itu menjadi sangat cepat, Ten kembali melesat maju dengan goloknya. Dan sekali lagi Yui menghindar sejauh mungkin dari tebasan benda tajam itu. "Ten, kau harus berhenti disana dan jangan mendekat lagi!" ia berteriak lebih keras hingga tenggorokannya sakit. Berharap Ten mau mendengarnya, sekali saja, untuk tidak menginjak atau menebas kabel-kabel tak kasat mata yang ada di bawah kaki mereka.
Hingga kemudian jantung Yui terasa berhenti berdetak pada tempatnya dan jatuh hingga ke bagian paling bawah begitu ia melihat lampu merah yang ada disana mendadak mati.
Oh tidak.
Ten—
"TEN! MENJAUH DARI SANA, BOCAH!"
BUM!
"Ledakan besar yang diduga berasal dari korsleting listrik dari bekas bangunan tua yang sudah tak berpenghuni telah mengguncang Tokyo dan sekitarnya. Seperti yang anda lihat sekarang, api masih membumbung tinggi di sekitar wilayah tersebut dan saat ini proses pemadaman hanya dilakukan menggunakan helikopter milik angkatan udara dan kepolisian setempat karena armada dari pemadam kebakaran mengalami keterlambatan karena sulitnya medan yang dilalui. Untuk saat ini, kami tidak bisa mengonfirmasi apakah ada korban jiwa yang terjadi diakibatkan ledakan ini, tetapi kamera kami berhasil mendapatkan gambar dari dua buah mobil yang turut dilalap api di bawah sana."
"Tuan Asahi Nagatomo, yang diketahui sebagai investor utama dari pembangunan gedung tersebut telah memberikan informasi bahwa bangunan itu sudah lama ditinggalkan karena pembangunannya tidak tepat. Gedung itu dibangun di atas pipa gas yang ada di dalam tanah jadi kemungkinan besar ledakan ini dipicu oleh kebocoran gas dan sedikit letupan api dari kelistrikan bangunan. Meskipun begitu, polisi masih akan menyelidiki apa yang menyebabkan ledakan hebat ini terjadi untuk menghindari kebocoran yang kemungkinan juga terjadi di dekat tempat kejadian."
"Berlanjut pada berita orang hi—"
KLIK
Risa mematikan televisi yang menyiarkan siaran langsung dari ledakan besar yang menggema di kamarnya beberapa menit yang lalu. Memang benar seperti yang dikatakan oleh si pembawa berita. Ledakan yang terjadi cukup besar hingga suaranya dapat terdengar puluhan kilometer jauhnya.
Saluran televisi itu menyiarkan live viewing dari kamera yang sepertinya berada di dalam pesawat, helikopter—atau bahkan drone, karena ia dapat melihat jelas bangunan yang diselimuti oleh kobaran api tersebut dari langit. Pemandangan yang sangat terang, dihasilkan oleh kobaran api yang menyerupai monster raksasa yang memeluk bangunan yang kini berubah warna menjadi hitam legam karena hangus.
Ia pernah melihatnya. Beberapa tahun yang lalu. Tepat saat akademi tempatnya menuntut ilmu dibakar hingga rata dengan tanah dalam satu malam. Api yang menjilat-jilat langit saat itu mampu melelehkan salju-salju yang ada di sekitarnya. Dan kini, saat melihat siaran langsung dari kebakaran yang terjadi, Risa dapat merasakan kulit tubuhnya memanas. Ia tak tahan dengan perasaan kalut yang mendadak muncul saat ia melihat kobaran api yang ada disana. Jadi, tepat setelah ia mematikan televisi dan menatap bayangannya sendiri dari layarnya yang hitam, Risa tampak memegangi dadanya sendiri.
Ia kesulitan bernapas. Efek kejut yang dihasilkan dari siaran tersebut benar-benar meninggalkan dampak yang luar biasa padanya. Pasalnya, ia yakin. Seratus persen yakin jika ia melihat siluet mobil milik Yui disana. Risa hafal betul semua modifikasi yang hanya ada pada BMW M series milik Yui. Bagaimana ia tidak terkejut setengah mati jika mobil itu ada disana? Hangus terbakar dan meledak hingga hancur di dalam cengkeraman si jago merah?
Segera ia turun dari bed, mencabut kateter infus yang ada di tangannya kemudian menutup bekas suntikannya dengan plester tebal—tidak mempedulikan darah yang menganak dari dalam plester tersebut dan nyeri yang dihasilkan karena ia menarik kateternya dengan keras.
Disibaknya tirai tebal yang sejak awal menutupi jendela kamarnya. Ia langsung disuguhkan dengan pemandangan dari lampu-lampu bangunan yang berada beberapa meter di bawahnya. Tak hanya itu, Risa juga dapat melihat suatu titik terang, menyerupai bola api besar yang berada jauh di depannya. Napasnya tercekat, tertahan sempurna. Tangannya bergetar hebat saat ia menyentuh layar ponselnya, menghubungi seseorang yang mungkin tahu tentang apa yang terjadi.
Kendati Risa merasa kalut setengah mati. Ancaman dan niat untuk mengintimidasi masih juga tak hilang dari nada bicaranya yang khas—malahan, kali ini, ia terdengar lebih mengerikan dari sebelumnya. "Katakan apa yang terjadi padaku, keparat. Katakan apa yang kau sembunyikan dariku! Kenapa mobilnya ada disana? Jadi ini alasan mengapa aku tak boleh melihat ponselku, huh?"
Risa terus mencecar orang yang ia hubungi dengan ucapan kasar dan bentakan tanpa henti. Ia tahu orang tersebut berusaha setengah mati untuk menjelaskan, tapi persetan! Telinga Risa sudah diprogram untuk menolak segala bentuk omong kosong yang akan ia dengar setelah ini. Ia tak suka dibohongi, ia tak suka dipermainkan. Terutama saat ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi di belakang kepalanya. Dan nyawa orang terdekatnya lagi-lagi berada dalam bahaya.
"Aku akan datang ke sana. Aku akan datang dan merobek, ah tidak, menghancurkan rahangmu. Bajingan tengik, tunggu saja." Memberikan penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan, Risa tak serta merta mematikan panggilan telepon sebelum mengatakan, "kau tidak akan selamat jika kau terus menerus menutup mulutmu." Risa menyentuh tombol merah yang ada di layar ponselnya sebelum melemparkan benda elektronik itu di atas bed sementara dirinya menyibukkan diri dengan urusan pribadi.
Risa mengulang kembali seluruh peristiwa yang terjadi sebelum ia terjebak di dunia yang dipenuhi oleh sesuatu yang berwarna putih, dimana ia hanya dapat mendengar suaranya sendiri setiap kali ia berteriak, menangis tersedu-sedu dengan suaranya yang parau untuk meminta bantuan kepada siapapun yang ada disana.
Sesuatu yang aneh telah terjadi kepadanya selama ia bertarung untuk mempertahankan nyawa. Ia melihat berbagai peristiwa yang pernah terjadi di dalam hidupnya, bersama dengan orang-orang yang pernah ia temui. Orang-orang yang pernah menghabiskan waktu dengannya.
Semakin lama, hamparan tanah kosong di sekelilingnya terisi oleh sesosok manusia lain. Saat itulah ia melihat Karin, Seki, Akane, Hikaru, Inoue, dan wajah-wajah lain yang ia sangat kenal. Risa melangkah mendekat, berniat untuk meminta bantuan sekaligus bertanya tentang tempat asing yang menjebaknya, tapi alih-alih memberikan bantuan, orang-orang itu justru menjatuhkannya—mendorong tubuhnya ke belakang hingga Risa terjerembab masuk ke dalam samudera yang entah sejak kapan berada disana.
Risa tak bisa bernapas. Ia berusaha membawa tubuhnya naik ke permukaan dengan mengayunkan kedua tangan dan kakinya, berusaha keras untuk berenang. Ia berhasil, nyaris berhasil sebenarnya. Hingga tiba-tiba sebuah tangan dingin mencengkeram kedua kakinya, menariknya masuk ke dalam air. Bahkan membawanya tenggelam semakin dalam. Dan saat Risa menengok ke bawah, berusaha mati-matian melepaskan cengkeraman tangan itu, ia tersentak. Betapa terkejutnya ia jika orang yang menarik tubuhnya masuk ke dalam air adalah... Yui.
Tapi kenapa? Kenapa Yui justru membawanya masuk semakin dalam ke bawah sana? Ada apa dengan air biru yang seketika berubah menjadi semerah darah itu? Kenapa... kenapa? Kenapa Yui yang tiba-tiba muncul dan berusaha membunuhnya?
Apakah apa yang ia lihat saat ia koma berkaitan dengan apa yang terjadi di dunia nyata?
Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin!
Mau istirahat dulu beberapa minggu. Padahal pengen ini selesai sebelum Risa jadi ex-member tapi... ya gitulah. Tugas-tugasku menunggu 👋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top