Chapter 23: The Monster and The Prey
Sudah lama sekali ia dan Risa tidak terlibat sesuatu yang serius seperti ini. Karena hubungan mereka yang tak begitu baik di masa lalu, juga jadwal dan kesibukan masing-masing yang membuat mereka sangat jarang bertegur sapa setiap kali tak sengaja bertatap muka. Ini adalah pertama kalinya mereka berdua dapat saling berdekatan, setelah beberapa minggu lamanya. Dua malam setelah Risa menemukan Akane terbunuh dengan tragis dan Yuuka yang sedang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Beberapa jam yang lalu, Risa tiba-tiba mengirimkan pesan singkat kepadanya. Mengatakan jika ia sudah berada di rumah dan menunggu Yui untuk menemuinya—seorang diri. Ia tidak mengatakan apa keperluannya, melainkan langsung memintanya secara singkat seperti itu. Awalnya, Yui agak ragu. Tentu saja, ia hanya tak ingin merasa canggung saat berdua saja dengan Risa. Meski setelah memikirkan keputusannya berulang kali, Yui akhirnya membalas pesan tersebut dengan satu kalimat aku akan segera pulang. Jadi setelah memastikan Habu kembali dari universitas dan tiba di ruangan tempat Yuuka dirawat, Yui segera melangkah menuju tempat parkir dan memacu mobilnya untuk pulang.
Pulang.
Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Pada masa di mana hubungannya dengan Risa masih terasa hangat dan tak ada dinding es yang menghalangi interaksi mereka berdua. Rumah itu, biasanya selalu mereka sebut sebagai tempat mereka untuk pulang. Dan saat Yui mengatakan hal itu pada Risa, ia tak bisa menampik jika itu membuat hatinya yang dingin kembali terenyuh.
Ia sama sekali tidak menyangka, saat ia membuka pintu rumahnya, Risa sudah berdiri di balik pintu dengan kemeja berwarna hitam pekat yang seolah menyatu dengan warna dinding rumahnya yang gelap. Tubuhnya yang menjulang tinggi mampu membuat Yui terkejut setengah mati. Tak berhenti disitu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Risa segera mendorong Yui pada dinding, memeluknya seerat mungkin. Kedua lengan Risa yang kuat melingkari tubuhnya, seperti tak berniat melepaskannya barang sebentar saja. Ia dapat merasakan napas hangat Risa pada leher dan telinganya, membuatnya geli sekaligus merasa gugup.
Beberapa menit berlalu dan Risa masih juga tidak menunjukkan tanda-tanda seperti akan memberikan penjelasan atas sikapnya yang terlalu tiba-tiba ini. Meskipun sebenarnya Yui tidak keberatan, hanya saja, berdiri sembari menahan setengah beban tubuh Risa ini membuat kakinya mati rasa. Yui mengusap punggung Risa, membuat wanita itu semakin menggumam dalam menundukkan kepalanya. Malahan, sekarang Yui dapat merasakan hembusan napas Risa semakin dekat dengan ceruk lehernya.
Urgh, ini... bukan sesuatu yang baik.
Napas Yui tercekat saat Risa tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Cahaya lampu yang temaram sudah cukup membuat Yui sadar jika mata Risa sedikit sembab, apakah ia baru saja menangis sebelum Yui tiba? Jarak antara mereka berdua menjadi terlalu dekat, Risa sama sekali tidak memberikan Yui ruang gerak yang cukup. Bahkan ia seperti memerangkapnya pada dinding dengan menggunakan kedua lengannya yang ia tempelkan dinding.
Di saat seperti ini, Yui tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—apalagi jika dilihat dari sorot mata kelabu miliknya yang seolah-olah dapat menenggelamkan Yui di dalamnya. Risa dapat membunuh seseorang hanya dengan tatapan mata saja, dan tatapan semacam inilah yang dimaksud. Sorot mata yang menyembunyikan berbagai macam emosi yang ada di baliknya, dengan raut wajah datar yang sedikit membuat Yui merinding.
Risa menarik tangannya dari dinding dan berpindah untuk menyentuh kedua tangan Yui, Risa menuntun kedua tangan yang dibalut perban itu untuk menyentuh rahang dan pipinya. Rasanya panas. Yui juga dapat merasakan rahang Risa sedikit bergetar, entah karena apa. Hingga kemudian, saat Yui baru saja akan membuka mulut dan menanyakan apa yang telah terjadi padanya, Risa tiba-tiba menarik wajahnya mendekat.
Risa menciumnya.
Itu adalah ciuman yang sedikit memaksa, penuh keputusasaan, juga sedikit nafsu. Tetapi, alih-alih menciumnya dengan kasar seperti laki-laki mabuk seperti yang ia tonton dalam drama atau film, Risa justru menciumnya dengan lembut. Seakan ia berusaha menunjukkan apa yang ia rasakan pada Yui, melepaskan segenap rasa rindu yang sebelumnya tak pernah tersampaikan. Semakin lama, ia turut hanyut ke dalam kelembutan Risa sehingga Yui tak memiliki pilihan lain selain membalasnya.
Perlahan, ia mengaitkan jemarinya di leher Risa, semakin memperdalam ciuman mereka. Ia ingin melakukan hal ini sejak lama, hanya entahlah, ia tak memiliki cukup keberanian untuk memulainya.
Kehangatan tubuh Risa dan aroma parfumnya yang merasuk ke dalam indra penciumannya. Juga bagaimana mendekap tubuhnya dan melumat bibirnya di waktu bersamaan. Sungguh, ia tak akan pernah cukup. Ia tak akan pernah merasa cukup apabila itu berhubungan dengan Risa.
Tak jauh berbeda dengannya, Risa tampaknya sedang berusaha keras menahan diri agar ia tak melakukan sesuatu yang lebih jauh. Ketika bibir mereka saling berpagut satu sama lain, kepalanya entah kenapa menjadi seringan kapas. Seluruh beban pikiran yang sebelumnya berdengung ramai di dalam kepalanya seketika menghilang, menguap entah kemana. Untuk sekarang, hanya Kobayashi Yui yang ia inginkan untuk saat ini, dan untuk seterusnya—ia ingin membuatnya menjadi miliknya lagi seperti dulu dan tidak akan pernah melepaskannya lagi.
Yui melenguh pelan dan Risa melepaskan ciuman mereka. Menggunakan tangan kanannya untuk menahan bahu Yui dan memberikan jarak beberapa senti darinya. Ia mengangkat wajah, kali ini benar-benar menatap langsung pada mata Yui yang menunjukkan kekhawatiran. "Apakah kau terluka? Kau tidak melukai dirimu sendiri kan?"
"Aku yang seharusnya menanyakan hal itu kepadamu." Yui akhirnya berkata dengan suara lebih lembut. Melihat wajah lelah Risa dengan jarak sedekat ini benar-benar membuatnya luluh. "Kau sedang tak baik-baik saja."
"Ten mengatakan padaku tentang dirimu, Yui. Kedua tanganmu terluka, bukan? Kenapa kau tidak mengatakan apapun padaku jika kau terluka begini? Aku—aku takut jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, seperti waktu itu. Saat kau melukai tanganmu sendiri di ruang musik!"
Ten? Kenapa tiba-tiba Risa menyebutkan nama Ten di sela-sela ucapannya? Apa yang anak itu katakan lagi pada Risa? Terlebih lagi, apa yang mereka lakukan selama ini?
"Kau sedang tidak baik-baik saja, mengapa kau justru peduli dengan orang lain? Kau harus memikirkan dirimu sendiri."
"Bagaimana—" Risa menyadari nada bicara yang ia keluarkan telah kelewat tinggi hingga mengejutkan Yui. Jadi ia segera menurunkan nada bicaranya dan kembali melanjutkan dengan susah payah. "bagaimana aku bisa baik-baik saja saat aku melihat orang-orang yang ada di dekatku mati terbunuh satu persatu, di depan mataku. Karin, Akane, orang tua mu, dan... Yuuka. Yui, aku tidak bisa kehilangan dia juga. Bagaimana aku dapat bertemu dengannya nanti, bagaimana aku dapat berbicara dengannya. Aku malu, aku sangat malu. Aku tidak bisa melindungi orang-orang terdekatku padahal aku sudah berjanji bahwa aku akan selalu melindungi mereka semua."
Melihat keadaan Risa yang seperti ini, Yui menyadari ia sedang mengalami serangan panik. Sepertinya memang Risa jarang sekali—atau mungkin tidak pernah, malah—meminum obatnya dengan rutin. "Risa," Yui memanggilnya dengan lembut, berusaha menatap mata Risa yang tertuju pada sudut ruangan kendati ia tahu jika Risa sedang berada dalam kondisi ini, wanita itu tidak akan mau mendengarkan suara orang lain.
"Mereka sudah berkeliaran bebas sekarang, Yui. Bagaimana—Bagaimana jika selanjutnya kau yang mereka ambil dariku? Atau Habu, Minami, Yamasaki? Yuuka sudah hampir diambil oleh mereka, Yui! Bagaimana jika ia tak bisa bangun lagi untuk selamanya?" suara Risa berubah menjadi serak saat ia melanjutkan, "aku s—sudah membaca hasil otopsi dari jenazah Akane dari Dokter Rika, otopsi itu dibantu oleh beberapa ahli patologi lain sehingga tak mungkin ada kesalahan dari hasil analisis mereka."
Yui memilih tidak menjawab dan memberikan kesempatan pada Risa untuk melanjutkan kalimatnya yang urung tuntas. Sementara dirinya menuntun Risa untuk duduk di sofa ruang utama agar ia dapat menenangkan diri dan beristirahat. Tangan Risa terasa dingin sekali saat Yui menggenggamnya.
"Mereka menyimpulkan jika kasus pembunuhan keluarga Kobayashi dan kasus pembunuhan Akane dilakukan oleh orang yang sama. Ada kesamaan ciri khas dari bagaimana pelaku memperlakukan korban sebelum mereka akhirnya dibunuh dengan kondisi yang sama, kepala yang terpenggal. Seperti yang dikatakan Yuuka sebelum ia kehilangan kesadaran, bukan Rei yang membunuh Akane. Itu berarti Rei juga tidak membunuh keluarga Kobayashi. Jika bukan Rei, lalu siapa?" urat-urat menonjol yang ada pada punggung tangan Risa semakin nampak saat ia menepukkan kedua tangannya pada kepala, lantas mengambil sebagian besar rambutnya, hampir menariknya kuat-kuat karena kelewat frustasi.
Sebelum Risa benar-benar melukai dirinya lebih parah lagi, Yui segera menahan kedua tangan Risa dan menggenggamnya dengan erat. Berusaha membuat Risa sadar bahwa ia sedang tidak sendirian.
"Risa, kau sudah melakukan apa yang kau bisa. Kau memang tak berhasil menangkap pejabat penjara dan kehilangan jejak Rei, tapi berkat analisismu, polisi berhasil menangkap pejabat-pejabat lain yang memiliki kaitan dengan pimpinan penjara yang tewas terbunuh malam itu. Saat itu juga kau berhasil datang tepat waktu dan menyelamatkan Yuuka. Jika kau tidak mempercayai intuisimu, Yuuka pasti akan ikut dibunuh saat itu. Kau juga berhasil menahanku agar aku tidak terus mengejar si pembunuh, karena jika tidak, bukan tidak mungkin aku akan tewas karena kecelakaan mobil." Yui sampai dibuat tersedak oleh ludahnya sendiri karena terlalu semangat berbicara. Tapi usahanya tidak sia-sia, Risa sekarang sudah mau mendengarkannya dan tak lagi menatap kosong ke sudut ruangan. Ia segera menyodorkan beberapa butir obat dan sebotol air, membiarkan Risa mengambil waktu untuk meneguk habis obat-obatan itu.
Mengusap tetes air yang membasahi bibir dengan punggung tangan, Risa menghembuskan napas yang sejak tadi ia tahan. Wajahnya semakin menunduk, "Aku tidak bisa, Yui. Tidak bisa aku untuk tak menganggap semua ini bukan tanggung jawabku. Tak peduli seberapa keras aku berusaha untuk menepis perasaan bersalah ini, rasa-rasanya perasaan ini justru semakin menelusup jauh ke dalam hatiku."
Wanita itu meletakkan botol air mineral di atas meja, kemudian menggunakan kedua tangannya untuk bertumpu. Kedua matanya terpejam rapat dan ia tampak menghembuskan napasnya perlahan-lahan. Sebuah teknik pernafasan klasik untuk menjinakkan degup jantung yang berpacu cepat. Begitu Risa membuka matanya, ia langsung berjalan menjauhi Yui dengan kedua jari menekan-nekan pelipisnya.
Dengan suara yang lebih tenang, Yui mencoba untuk berbicara lagi. Ia mendekati Risa yang memunggunginya, berdiri di belakangnya. Ia memperhatikan bahu lebar Risa yang kini tidak bergerak naik turun secepat tadi. Wanita itu sudah mulai dapat mengendalikan emosinya sekarang, lebih baik dari sebelumnya meskipun kedua tangannya masih mengepal kuat pada sisi tubuhnya.
"Tim mu membutuhkanmu, Risa. Begitupun dengan semua nyawa tak berdosa yang melayang itu, kau harus mencari kebenaran dari rahasia kematian mereka. Kau tak bisa membiarkan kisah terakhir hidup mereka yang memilukan itu terkubur begitu saja. Kau harus berdiri di depan mereka, sebagai wakil mereka di depan pengadilan nanti, Ris! Kau harus tahu mereka tak bisa lagi berbicara atas nama mereka sendiri, mereka membutuhkanmu!" Yui terus berbicara. Tidak peduli apakah Risa benar-benar mendengarkannya atau tidak. "Ayah dan Ibuku... mereka adalah orang yang sangat berharga bagiku. Dan saat aku tahu mereka dibunuh, aku merasa dunia sengaja berhenti berputar untukku. Risa, kau tidak bisa membiarkan kasus kematian mereka tenggelam begitu saja."
Sudah terlalu banyak luka yang menggores dan menghancurkan hati kecilnya hingga berserakan di tanah. Bukannya berusaha untuk menyembuhkan perihnya luka yang ada dan perlahan-lahan menyusun kembali fragmen hatinya yang hancur, ia justru menginjak-injaknya dan menolak untuk percaya bahwa semua peristiwa nahas dan dosa yang pernah ia lakukan di masa lalu telah menghancurkannya. Sedikit demi sedikit, luka itu merusak jiwanya, membuatnya tanpa sadar kehilangan dirinya sendiri.
Dia terluka tetapi ia menolak untuk percaya.
Karena tiap kali ia mempercayai bahwa ia memiliki begitu banyak luka yang membuatnya berjalan terseok-seok seorang diri, ia akan merasa sangat malu sekaligus marah pada dirinya sendiri—yang membuatnya langsung menarik senjata api dan memasukkan ujung senjata pada mulutnya. Perasaan yang berkecamuk itu mampu mendorong Risa untuk meledakkan kepalanya sendiri, menghapus ratusan atau bahkan ingatan-ingatan yang Risa tahu telah membuatnya jatuh tersungkur. Namun, setiap kali ia hendak menarik pelatuk pistol, sesuatu seakan menahan jarinya untuk bergerak lebih jauh.
Risa melepaskan rasa pahit yang sejak tadi mencekat tenggorokannya saat ia memperhatikan sebuah bingkai foto yang ada di dinding ruang utama. Tiap kali Risa melihat setiap wajah manusia yang ada di sana, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Ia selalu teringat akan masa mudanya di Sakurazaka Academy, saat ia masih dapat tertawa lebar bersama setiap orang yang ada dalam foto, sebelum keadaan terbalik dan berubah menjadi sekacau ini.
Seandainya ia menyerah sekarang, mungkin teman-temannya, Akane, dan orang-orang lain yang turut menjadi korban karena kasus ini akan kecewa kepadanya. Jika ia menyerah sekarang, bukan tidak mungkin ia akan kehilangan orang-orang yang berharga baginya di kemudian hari.
Meskipun hati kecilnya merasa takut akan kegagalan, kekecewaan, dan kematian yang mungkin akan datang padanya setelah ini, Risa memutuskan untuk tetap membulatkan tekad yang pernah ia miliki. Ia telah kehilangan Karin, Seki, dan Akane. Namun, masih memiliki Yuuka, Hono, Yui, dan juniornya--Yamasaki Ten. Bagaimana pun juga, ia harus menjaga apa yang telah ia miliki sekarang. Sebelum seseorang merenggutnya lagi darinya dan membuatnya jatuh ke dalam keputusasaan yang berkepanjangan.
"Hei, Koba. Seandainya nanti semuanya sudah berakhir dan keadaan berangsur-angsur membaik, maukah kau memberiku izin untuk kembali sepenuhnya kepadamu? Hanya kau dan aku. Kita berdua, seperti yang telah aku katakan waktu itu."
Yui menyematkan senyuman tipis. Ia tak memiliki alasan lagi untuk bersikap dingin pada Risa sekarang, mengetahui wanita itu sudah begitu hancur selama mereka memutuskan untuk berpisah—meskipun itu adalah buah dari keputusan mentah milik Risa sendiri, Yui tak dapat menyalahkannya. Dan kini, Yui telah memutuskan untuk memaafkannya, membuka kesempatan bagi mereka berdua untuk membangun kembali rumah milik mereka.
Ia lalu berjalan mendekati Risa dan berhenti di depannya. Memperhatikan wajah penat dari wanita yang pernah menjadi miliknya. Yui menarik lembut kerah kemeja Risa ke bawah, membuat wanita itu menundukkan kepala. Risa segera memejamkan mata saat merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Itu hanya berlangsung selama beberapa detik saja, namun itu sudah cukup membuat Risa merasa lebih baik dari sebelumnya. Kehangatan Yui berhasil memberinya rasa aman.
Terutama saat wanitanya itu berucap dengan bisikan halus yang terdengar seperti lantunan melodi indah di telinga Risa, membuat Risa tak ingin melepaskan genggamannya dari kedua tangan Yui yang penuh luka. "Aku berharap kita dapat selalu bersama." Yui menjawab singkat.
"Ditujukan kepada tim gabungan divisi kejahatan berat! Ada laporan masuk dari operator panggilan darurat, mereka menerima telepon dari seseorang yang dikuntit oleh pelaku terduga pembunuhan berantai Black Mail!"
Suara gemeresak dari handy talky yang dibiarkan tergeletak di atas meja kerja Risa seketika berubah menjadi sekeras megaphone di ruangan tertutup itu. Siapapun yang berbicara di ujung lain, pastilah dalam keadaan panik dan tergesa. Karena suara itulah semua orang yang secara tidak sengaja tertidur dengan kepala tergeletak di atas meja sontak terbangun dari tidur singkat mereka.
Mengesampingkan pening pada dahi, Risa meraih handy talky dari atas meja dan membuka lock screen komputernya. Ia memberikan isyarat melalui tatapan mata kepada masing-masing anggotanya untuk mempersiapkan diri mereka dengan berbagai alat perlindungan diri seperti kevlar dan beberapa magazine untuk melakukan penangkapan—kecuali Harada yang langsung duduk di depan devicenya untuk menjembatani komunikasi antara HQ dengan tim.
"Watanabe Risa disini. Tolong berikan keterangan lokasi kepada operator." Risa menjatuhkan pandangannya pada Aoi, sementara tangannya sibuk untuk mengeratkan pin speaker pada kerah kemeja hitamnya sebelum mengenakan lapisan kevlar dan menggantung sarung pistol pada ikatan sabuknya. "Sambungkan ke kantor polisi terdekat dari lokasi untuk mengirimkan beberapa mobil bantuan. Katakan ini perintah dari Letnan Watanabe. Apakah penelepon masih tersambung dengan server komunikasi tim kita?"
Salah seorang anggota timnya menjawab cepat, "Sayangnya penelepon memutuskan panggilan telepon secara tiba-tiba. Karena panggilan tersebut terhubung menggunakan ponsel sekali pakai, tampaknya sedikit membutuhkan waktu untuk melacak sinyalnya."
Risa mengeratkan kaitan Kevlar yang ia kenakan pada tubuhnya, menyelesaikannya lebih cepat dari anggota lainnya yang akan segera diberangkatkan menuju lokasi. "Tapi bisa, benar?" sahutnya, seraya berjalan mendekati komputer milik salah satu anggota divisi kejahatan teknologi tingkat tinggi.
Laki-laki berusia 22 tahun itu lantas mengangguk. Terlihat begitu bersemangat. Pekerjaannya kali ini mungkin membuatnya merasa tertantang. Melihat itu, Risa tersenyum sekilas. Kabarnya petugas ini terbilang anak bawang mengingat sepak terjangnya yang terbilang masih seumur jagung di NPA. Namun, melihat latar belakangnya yang merupakan lulusan terbaik dari jurusan sistem informasi dan memiliki sertifikat-sertifikat yang berhubungan dengan IT mampu membuat petugas-petugas lain tidak lagi memandangnya dengan remeh.
Malam ini di headquarter, kantor pusat Kepolisian Tokyo, tempat Risa dan timnya bertugas sedang mengalami suatu keadaan cukup darurat. Tampak beberapa petugas khusus masuk ke dalam van hitam, mereka juga membawa beberapa ekor anjing K-9 yang berdengkus-dengkus buas dengan mulut mereka yang ditahan oleh alat pengaman.
Hal ini berawal dari panggilan telepon yang diduga berasal dari ponsel sekali pakai masuk ke nomor layanan darurat kepolisian (110).
Penelepon itu melaporkan bahwa ia menemukan orang mencurigakan yang sedari tadi terus mengikutinya. Ciri-ciri khusus yang dapat ia berikan tidak banyak, ia hanya mengatakan bahwa orang tersebut berpakaian serba hitam dengan masker yang menutupi wajah, tubuh tidak terlalu tinggi, dan mengenakan topi hitam pula. Tapi orang tersebut menggunakan sesuatu seperti menutupi matanya. Sedikit banyak, ciri-ciri tersebut sangat cocok dengan keterangan yang disampaikan oleh Yuuka saat ia bertemu langsung dan bergulat dengan pembunuh Akane.
Tim Reserse Kriminal yang bertanggung jawab atas kasus pembunuhan berantai Black Mail dan kasus pembunuhan yang berkaitan dengannya langsung merespons dengan datang langsung ke lokasi dengan membawa belasan orang dari pasukan khusus yang membawa anjing polisi. Dikarenakan si pembunuh adalah pelaku kejahatan tingkat tinggi yang menjadi buronan, maka, proses penangkapan dapat dilaksanakan seketat dan sekompleks mungkin.
Lagipula area konstruksi adalah tempat yang sangat luas sehingga menggunakan anjing polisi adalah opsi terbaik untuk mengefisiensikan perburuan.
Membutuhkan waktu satu setengah jam bagi mereka untuk keluar dari perbatasan kota. Karena bertepatan dengan jam itu, terdapat sebuah kecelakaan di jalanan bebas hambatan—sebuah truk bermuatan kaca terguling di tengah jalan, tidak ada korban jiwa selain kerugian materi dan pecahan kaca tipis dan paku yang tersebar dimana-mana. Insiden ini berhasil membuat kemacetan mengular hingga dua kilometer karena petugas kesulitan untuk membersihkan pecahan-pecahan kaca dan paku yang tersebar di seluruh badan jalan.
Mobil tak bisa maju, tentu saja, karena ban mereka jelas akan bocor jika memaksa menerobos. Risa berkali-kali mengumpat kesal seraya memukul roda stirnya. Khawatir apabila mereka akan terlambat sedikit saja, akan ada mayat baru dan orang yang ia kejar selama berbulan-bulan lolos begitu saja. Risa kemudian meminta Ozeki untuk mengambil lampu strobo dari dashboard dan memasangnya pada atap mobil Risa. Ia juga memerintahkan untuk mobil-mobil lain di belakangnya untuk mengaktifkan milik mereka juga sehingga dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh cahaya lampu merah dan suara lantang sirine polisi.
Ia berhasil membelah kemacetan meskipun rombongan harus menerobos jalanan yang penuh oleh pecahan kaca dan paku yang dapat melubangi mobil mereka. Tapi malam ini, Dewi Fortuna sedang berbaik hati kepadanya. Tidak ada satupun dari kendaraan mereka yang mengalami kebocoran ban setelah melewati daerah merah tersebut sehingga perjalanan dapat dilanjutkan. Risa segera menaikkan kecepatan mobilnya dua kali lipat, memaksa kendaraan-kendaraan di belakangnya untuk mengikuti dengan kecepatan tinggi pula.
Dari kejauhan, tampak bangunan semen tanpa penerangan. Dan butuh waktu lama bagi rombongan untuk memasuki wilayah konstruksi yang identik dengan jalanan berpasir yang sewaktu-waktu membuat ban selip. Tepat setelah menghentikan mobilnya, Risa langsung melompat turun dari dalam mobil, mengumpulkan petugas-petugas khusus bersama dengan Akiho dan Ozeki. Sementara Harada mengawasi dan menjembatani komunikasi antara Tim Reserse Kriminal dengan Operator Panggilan Darurat. Harada, bekerja sama dengan Tim Cyber menggunakan keahliannya mengoperasikan komputer untuk melacak jejak-jejak GPS dari ponsel tersebut. Meskipun mereka tidak dapat menemukan lokasi pasti, tapi mereka dapat memperkecil ruang lingkup pencarian.
Anjing-anjing disebar bersama pawangnya dan mulai menyisir wilayah seluas tiga hektar terseut yang terdiri dari bekas bangunan yang urung jadi dengan ladang rumput ilalang setinggi dua meter yang begitu luas. Dengan berhati-hati dan tidak menimbulkan terlalu banyak kebisingan, mereka melakukan perburuan dengan hening. Masing-masing berkomunikasi melalui handheld transceiver dan earphone yang dihubungkan dengan jaringan komunikasi khusus milik kepolisian.
Entah apa yang ada di pikiran Risa begitu ia masuk ke lebih jauh ke dalam area konstruksi. Ia justru membiarkan teman-temannya melewati dirinya sementara ia berdiri di satu titik, memperhatikan tiap sudut kerangka bangunan yang gelap. Apa yang ia lihat di depannya bukanlah sebuah kerangka bangunan terbengkalai, melainkan sebuah bangunan dengan pilar-pilar tinggi yang berjajar, membuatnya merasa begitu kecil sekaligus membuat jiwanya bergetar selama beberapa detik.
Ia tengah berhalusinasi seolah-olah ia sedang berada di depan bangunan utama Sakurazaka Academy yang begitu megah. Mendadak jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya, tangan kanannya yang basah oleh keringat dingin bergerak perlahan hingga menyentuh popor pistol yang masih tersimpan dalam sarungnya. Sadarlah, Risa. Ini hanya ada dalam pikiranmu. Fokus! Dalam satu kedipan mata, apa yang ia lihat di depannya segera berubah menjadi sebuah bangunan yang seharusnya ia lihat dari awal—bangunan konstruksi yang sangat gelap dan dipenuhi oleh lumut hijau di beberapa sisi.
Inspektur itu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Menyadari bahwa ia telah kehilangan fokusnya beberapa saat yang lalu, dan hal itu dapat berakibat fatal apabila sampai terjadi lagi. Itu akan memberikan kesempatan pada seseorang yang bersembunyi di balik kegelapan sana untuk menerjang dan membunuhnya saat itu juga. Tak ingin berlama-lama berdiri di sana, Risa segera membawa tungkainya untuk masuk ke dalam bangunan setengah jadi itu dengan senter di tangan.
Risa menghentikan langkahnya dan mengatur napasnya sejenak tanpa melepaskan kewaspadaan dari tiap gerak-geriknya. Tangannya merogoh sesuatu dari dalam saku celana, mengeluarkan sebuah lembaran kertas yang dibungkus oleh plastik tebal. Itu adalah surat yang ditulis oleh pembunuh berantai Black Mail sehingga kemungkinan besar jejak-jejaknya masih tersisa disana dan dapat dikenali oleh anjing K-9 yang ia bawa. Risa diam-diam mengambil barang itu dari gudang penyimpanan barang bukti saat ruangan itu kosong.
Si Watanabe kemudian meletakkan senternya, berlutut di depan seekor German Sheperd yang duduk dan menyalak pelan di depannya. Risa memberikan satu elusan kecil di kepalanya sembari mendekatkan potongan kertas yang terlapis plastik, "Ayo, Aiden. Misimu adalah mencari orang yang memiliki bau seperti ini di bangunan ini, mengerti, bud?"
Anjing itu menggeram pelan setelah beberapa detik mengendus barang bukti di tangannya selama beberapa detik. Namun, berbeda dengan tingkah Aiden yang langsung mengejar dan berlari kencang ke arah tujuannya, kali ini anjing itu hanya menegakkan telinganya dan melihat ke sekitar. Sepertinya anjing ini sedang kebingungan sekarang.
"Aiden?" Risa memanggilnya lagi, namun anjing K-9 itu langsung berlari kencang, membuat tali pengikat yang digenggam oleh Risa lepas begitu saja. "anjing, sialan. Aiden!"
Risa mengambil senternya dan segera berlari mengikuti jejak Aiden, berlari lebih jauh ke dalam salah satu bangunan yang beraada dalam komplek—bekas bangunan terbengkalai. Kalau tidak salah, pernah ada rencana bagi pemerintah untuk membangun akademi robotika disini. Hanya, entah kenapa, sudah tiga tahun rencana itu tak terlaksana. Terutama setelah pergantian walikota. Dibawa oleh seekor anjing masuk ke daerah berbahaya dan memiliki banyak dark spot sedikit membuatnya was-was.
Senter di tangannya tidak cukup terang untuk menerangi tiap sudut hitam yang ada disana. Terutama di dekat bekas-bekas alat konstruksi yang sangat besar dan berkarat itu.
Merutuki dirinya sendiri karena tidak sengaja meninggalkan ponsel di dalam mobil tidak akan membuat kemajuan dalam pengejaran. Jika Risa berputar balik dan memanggil pasukan lain hal itu jelas akan membuat pembunuh bangsat itu kabur dan menghilang tanpa jejak lagi. Orang sialan ini sudah berada dalam wilayahnya dan Risa harus meringkusnya serta paling tidak, melayangkan tiga pukulan sebelum membawanya ke kantor. Berbekal nyali, Risa akhirnya berlari masuk ke dalam bekas gedung sekolah itu untuk mengejar si pelaku dan menyusul anjingnya.
"Hm? Kenapa tiba-tiba berhenti, Aiden?"
"Akh!" Risa tersentak saat sebuah lengan mencekik lehernya dan mendorongnya hingga menghantam dinding. Ia jatuh tersungkur, senter yang digenggamnya terlempar beberapa meter darinya dan membuat tempatnya berada menjadi sangat gelap. Cekikan tadi masih ada pada lehernya. Risa terjebak dan tangannya terus berusaha mencari celah untuk melepaskan diri dari headlock yang semakin lama semakin kuat mematahkan lehernya.
Kenapa anjingnya tidak mendeteksi bau orang ini? Padahal ia berada di radius penciumannya!
Orang berpakaian serba hitam itu menghantamkan tubuh Aiden ke dinding dengan sangat keras dan membuat anjing itu meringkik kesakitan sehingga ia melepaskan gigitan pada lengannya. Namun, saat Aiden hendak menerjangnya sekali lagi, sebuah pisau langsung ditancapkan pada mata anjing itu. Tangan kiri pembunuh itu lalu menyentuh kepala Aiden, kemudian tangan kanan yang menusukkan pisau itu ditarik memanjang ke belakang tanpa menarik keluar pisaunya.
Ia memotong kepala anjing itu dan melemparkannya pada Risa yang tengah berdiri membeku. Melihat darah mengucur seperti keran air dari tubuh anjing yang menggelepar-gelepar di bawah kakinya, kaki Risa mendadak menolak untuk digerakkan. Seolah ada sesuatu yang menarik kedua kakinya sekuat mungkin ke bawah, membuatnya tak bisa bergerak ataupun berpindah tempat. Pandangannya terpaku pada kepala anjing di bawah kakinya, dan saat pandangan Risa terpaku pada mata anjing itu, sesuatu yang aneh seperti memantik otaknya.
Kepala?
Pikiran Risa kemudian membawanya pergi, jauh ke belakang. Saat hari ia melihat seseorang dibunuh dengan cara digorok dan dipenggal—tepat di depan matanya. Apa yang ia lihat sekarang, entah kenapa membuatnya mengingat kembali kenangan buruk yang pernah mewarnai masa lalunya.
Seketika itu membuat dadanya bergemuruh, dipenuhi oleh rasa takut sekaligus dendam. Pikirannya dipenuhi oleh Si Pemburu Kepala. Dia orang yang membunuh Akane.
Segera saja ia mengeluarkan pistolnya dan meletuskan beberapa kali tembakan. Ucapan kasar keluar dari mulutnya saat orang itu berhasil kabur tanpa terkena satupun peluru panas yang ia tembakkan. Si Pemburu Kepala itu berlari ke lantai atas dan Risa dapat melihat sekelebat kain berwarna hitam yang berbelok menuju tangga, tanpa menunggu lagi ia segera mengejarnya—dan berharap suara tembakan beruntun tadi cukup keras untuk didengar oleh petugas lain yang sedang menyisir lokasi di area tersebut.
"Tangan orang itu tidak lengkap... hanya ada tiga jari di tangan kanannya."
"Anda tidak bisa melewati koridor yang sama karena pembobolan tempo hari. Kami akan mengarahkan anda untuk melewati koridor yang lain."
"Huh... kupikir polisi berpangkat tinggi sepertimu memiliki kemampuan analisa yang tajam. Kau itu buta sebelah, kau sadar tidak?"
Jika memang benar orang ini memiliki tiga jari, berarti memang salah satu dari bajingan psikopat itulah yang kabur dari penjara dan melakukan pembunuhan berantai dalam beberapa bulan terakhir—untuk mengingatkan sisa anggota The Elites dan siapapun yang terlibat dalam kasus itu.
Suara gebrakan yang menggema dan sangat keras terdengar dari titian tangga diatasnya. Risa mempercepat langkahnya untuk mencari tahu apa yang diperbuat oleh orang tersebut. Namun, saat ia hendak memutar untuk menaiki anak tangga berikutnya, muncul dua buah lemari besi dan potongan asbes yang meluncur turun. Risa menarik napas, langsung melemparkan diri ke belakang, membuatnya menabrak dinding hingga jatuh dengan bahu kanan menahan beban tubuh.
"Endo, fuck you!"
Risa mengerang keras. Ia merasa tulang bahunya sedikit bergeser dari posisinya semula karena saat ia mengangkat tangan kanan dan menggunakannya sebagai tumpuan, perempuan itu langsung mengaduh kesakitan. Ia terdiam selama beberapa saat dengan dahi menempel pada lantai semen yang dingin. Tanpa mempedulikan ngilu yang semakin menjadi, Risa memaksa tubuhnya berdiri dan langsung berlari menaiki tangga.
Kenapa tidak ada yang mendengar? Kenapa alat sialan ini masih belum juga menyala!
Diantara kegelapan, Risa dapat melihat kedua mata yang sedikit menyala karena seberkas cahaya. Petugas itu bangkit di saat yang tepat. Orang tersebut sepertinya hendak mendekati Risa dan akan memenggal kepalanya jika ia masih tergeletak di lantai hanya karena nyeri di bahu. Tapi setidaknya, Risa dapat mengejar orang tersebut dan dengan mudah mendorongnya dengan seluruh kekuatan yang ada dalam tubuhnya hingga mereka berdua jatuh menimpa beberapa ember cat kosong.
Partikel-partikel pasir semen beterbangan di tempat mereka berkelahi, menciptakan asap putih yang membuat mata dan hidung Risa terganggu. Berkali-kali ia mengusap kedua matanya dengan kasar untuk menyingkirkan butiran pasir yang masuk ke dalam mata, namun beberapa detik kemudian matanya kembali dimasuki oleh butiran pasir. Jika ia terus berkutat dengan pasir yang ada pada matanya, ia bisa terbunuh karena kelengahannya sendiri.
Beruntung, kondisi di sekitarnya benar-benar gelap. Lampu senter yang dibawa Risa bergulir jauh darinya dan menyorot ke arah lain. Dengan memanfaatkan indra pendengarannya, Risa berusaha memperkirakan dimana musuhnya berada sekarang.
Dengan bahu yang berdenyut-denyut, ia segera membalik posisi dan mengunci lawannya di bawah sementara ia berusaha untuk menahan kedua tangannya dengan borgol. Tapi usahanya gagal karena orang berpakaian hitam itu menendang perutnya dan membuatnya terdorong ke belakang. Gemerincing borgol terdengar, dan kini alat tersebut telah terlempar jauh ke bawah.
Tapi Risa tidak membiarkan orang tersebut kabur begitu saja. Ia segera melompat dan mengaitkan lengannya di leher, dan mencekiknya.
Telapak tangan Risa menangkup wajah orang itu, berusaha menarik masker dan membuang topi hitam yang menutupi wajahnya. Dua orang itu bergulat, berguling, saling membanting dan memukul di atap bangunan yang kotor dan penuh oleh bahan-bahan konstruksi. Berkali-kali Risa mendengkus keras saat tubuhnya jatuh menghantam tumpukan batu bata, yang membuat tulang-tulang yang ada di tubuhnya remuk redam.
Di bawah cahaya bulan Risa dapat melihat sekilas dari ujung kepala hingga kaki orang tersebut yang dilapisi pakaian hitam legam, termasuk kedua tangannya yang memakai sarung tangan hitam pula. Ia tak bisa mengkonfirmasi, apakah jari-jari tangan kanan orang itu lengkap lima buah karena sedari tadi ia hanya memukul dengan tangan kiri.
Risa tidak menduga, bahwa kemampuan dan staminanya setelah belajar bela diri militer selama bertahun-tahun menjadi sedikit tidak berguna saat ia melawan terduga pembunuh ini. Orang berpakaian serba hitam tersebut memiliki kekuatan yang setara atau bahkan lebih dari Risa. Bahkan orang itu dapat membuat Risa jatuh sebanyak dua kali dalam beberapa kali pukulan saja. Ia akui, teknik yang orang itu gunakan benar-benar tertata dan professional. Segala pergerakannya teratur dan tidak serampangan, bahkan cenderung santai dan powerful dalam setiap pukulan yang dilemparkan.
Orang berbaju hitam itu berputar, melemahkan kuda-kuda pada kakinya dan membiarkan Risa membantingnya dengan keras. Tapi ia segera membalik posisi mereka, dijegalnya kaki inspektur itu hingga nyaris kehilangan keseimbangan. Menggunakan kesempatan yang ada ia segera mengeluarkan pisau yang tadi digunakan untuk memenggal kepala anjing—menusukkannya pada tubuh Risa, berkali-kali.
CRAK!
CRAK!
CRAK!
Risa dapat merasakan atapan tajam orang tersebut dari balik surai-surai gelapnya itu mengirimkan jutaan volt listrik ke dalam tubuhnya. Terutama saat orang itu tanpa ampun merajam dan menusuk tubuh Risa dengan pisau yang terselip di dalam sepatu bootsnya. Darah muncrat keluar tiap kali si pembunuh menarik keluar pisau dari tubuhnya.
Tubuh Risa bergemetar hebat saat ia merasakan benda dingin dan tajam menusuk, mengoyak tubuhnya dengan sangat brutal. Darah bercipratan, mengalir dengan deras hingga membuat genangan darah yang cukup banyak di bawah kakinya. Inspektur polisi itu mengerang keras, tanpa sadar ia tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya.
Kedua netra coklat terang Risa perlahan menjadi gelap saat ia mengangkat kepalanya—darah naik dari tenggorokan, memenuhi mulut dan tumpah keluar. Risa masih sempat mengutuk orang itu karena ia tak dapat melihat denga baik. Hanya sosok buram yang dapat ia tangkap dengan matanya.
Air mata bercampur darah meluncur turun dari wajahnya saat ia menatap ke langit malam sementara perih dan nyeri luar biasa menganak pada pinggangnya. Ia sudah lupa, berapa kali tusukan yang ia terima dan ia juga tidak tahu berapa liter darah yang telah keluar dari tubuhnya.
"A—Argh ..." tangan Risa mencengkeram erat jaket tebal yang dikenakan oleh orang tersebut. Berusaha agar dirinya tidak terjatuh akibat lemas karena kehilangan terlalu banyak darah. "Kau ... akan mendapatkan—apa yang pantas kau dapatkan ... setelah membunuh Akane, melukai Yuuka, membantai habis keluarga Kobayashi. Kau akan hidup dalam keputusasaan dan tenggelam dalam rasa bersalah—sepertiku. Tidak akan ada yang menyelamatkanmu, kau akan mati dalam sunyi. Kau akan merasakan sakit sendirian dan kau akan dipaksa untuk menikmati kematianmu, perlahan-lahan."
Orang berpakaian hitam itu menjatuhkan pisaunya, membuat keseluruhan benda itu tenggelam dalam genangan darah tebal. Dengan gerakan penuh kehati-hatian ia menurunkan posisi tubuhnya dari berdiri hingga berlutut, sehingga itu membuat Risa juga turut berlutut di depannya. Meski kesadarannya terus berkurang, Risa masih dapat merasakan tekstur basah dari sarung tangan hitam itu menyentuh wajahnya.
Napas Risa sontak memburu, jantungnya berdetak sangat cepat karena ia takut orang tersebut akan menusuk dan menghancurkan wajahnya sehingga ia hanya menutup matanya rapat-rapat—menunggu kematiannya.
Satu.
Dua.
Tiga.
Tidak ada.
Tidak ada tusukan yang ia dapatkan lagi setelah ini. Melainkan hanya sesuatu yang basah, seperti air menetes di wajahnya. Apakah hujan telah turun, untuk menangisi kematian seorang Watanabe Risa? Heh, tidak mungkin. Karena basah yang ia rasakan hanya ada di wajahnya, tidak di bagian lain. Risa baru saja akan membuka mata untuk melihat asal dari air tersebut. Namun, ia tersentak karena tubuhnya secara tiba-tiba diangkat—setengah diseret mendekati ujung platform.
Risa mengeluarkan erangan menyakitkan saat tubuhnya diseret paksa, membuat jejak darah memanjang di tempat yang ia lewati. Inspektur polisi itu menghembuskan nafasnya dengan cepat. Ia dapat merasakan nafasnya memendek setiap kali ia mencoba menarik oksigen masuk ke dalam paru-paru. Di saat ia mencoba untuk melawan sesak di dada, indra penciumannya menangkap sebuah aroma—selain bau anyir darah—yang bersarang di hidungnya.
Bau orang ini ...?
Lavender?
Risa merintih pelan, orang berpakaian hitam itu mencengkeram pakaian yang ia kenakan dan memaksanya berdiri di ujung dinding pembatas yang tingginya hanya sepinggang.
"Jangan—bunuh ..." Risa mengerang keras saat tubuhnya ditabrakkan pada dinding pembatas. Tubuh bagian atasnya sudah melayang di udara, ia bisa jatuh kapan saja jika orang berpakaian hitam itu melepaskan kedua tangannya dari jaket yang Risa kenakan. " ...aku."
Risa dapat mendengar suara tawa dalam yang bengis, "Jatuh dari ketinggian ini tidak akan membunuhmu, Watanabe Risa. Kau hanya akan koma selama satu minggu karena kehabisan darah dan efek kejut saat tubuhmu jatuh menimpa tumpukan barang di bawah sana." Orang kemudian melepaskan kacamata hitam yang ia kenakan, dengan sengaja menunjukkan identitasnya kepada Risa. "kita akan bertemu lagi saat kau sadar nanti. Dan saat itu tiba, aku tidak akan membiarkanmu hidup."
Tapi apa daya, saat Risa tengah berkonsentrasi dan mengerahkan seluruh nyawa terakhirnya agar pandangan matanya dapat berfokus pada wajahnya, orang tersebut malah melepaskan pegangannya dari tubuh Risa—membuatnya terjun bebas dari atap bangunan setinggi 23 meter.
Tidak, aku ... tidak mau mati.
Tolong—
Risa memejamkan matanya dengan erat saat tubuhnya menghantam permukaan dengan sangat keras.
BRAKK
Onuma terkejut saat mendengar suara benda berat terjatuh dari bangunan di seberangnya. Ia segera memberikan isyarat bagi anggota polisi yang ia pimpin untuk mengecek daerah tersebut. Perasaannya tak nyaman. Ditambah lagi ia menyadari Risa tidak ada dimanapun—inspektur itu juga tidak bersama tim Ozeki.
"Sisir di tiap pinggir bangunan. Perhatikan lebih teliti jika ada benda hancur dan jejak darah!" perintah Onuma, dan kemudian tim terbagi menjadi beberapa orang—menyebar di sekeliling gedung terbengkalai itu.
Akiho sendiri ditemani oleh empat orang petugas lantas berlari ke daerah belakang gedung, tempat dimana banyak sekali tumpukan kardus, bungkus semen, balok kayu dan gabus bekas dibuang. Nalurinya sebagai penyidik kepolisian mengatakan bahwa ada sesuatu yang jatuh tadi berakhir di daerah tersebut. Akiho mengeluarkan pistol dari holster, menyorotkan senter yang ia genggam ke seluruh arah—memastikan bahwa tidak ada yang ia lewatkan di sana. Termasuk pada alat-alat berat yang mulai berkarat.
"Aku tidak menemukan sinyal dari GPS milik Risa lagi. Tetapi lokasi terakhirnya berada di tempatmu sekarang berada, Onuma." Akiho mendengarkan penjelasan dari Aoi melalui earphone yang ada di telinganya. "cobalah untuk memutar. Paling tidak, kau bisa menemukan HT miliknya di sekitar sana. Berhati-hatilah dengan ular."
"Terima kasih, Aoi."
Selain informasi dari Aoi, Akiho juga merasa bahwa memang ada sesuatu yang baru saja mendarat di sana. Sesuatu yang berat. Ia sempat khawatir jika itu adalah Risa yang tak sengaja terjatuh karena terpeleset, namun saat ia berputar-putar dan mencari di antara area terbuka dan celah alat-alat berat, ia tak berhasil menemukan bekas darah dan tubuh manusia di sana. Ia segera memerintahkan dua orang polisi itu untuk turut mencari di antara tumpukan kardus dan gabus yang hancur tersebut. Tumpukan itu cukup tinggi—mungkin setinggi tubuhnya—tapi cukup padat sehingga Akiho dapat menginjaknya tanpa takut kakinya masuk ke dalam celah.
Saat ia menyorotkan senternya lagi, entahlah, nyawa Akiho mendadak seperti dicabut paksa. Karena disana ia menemukan sesosok manusia dengan seragam hitam yang penuh noda darah.
"Risa...? Risa! Tidak, tidak, tidak, tidak—sial! Watanabe Risa!"
Akiho berteriak nyalang saat cahaya dari senternya menangkap sosok manusia dengan tubuh dan pakaian berlumur darah, menemukan Watanabe Risa yang bernapas lemah dengan mata setengah terbuka. Tapi Akiho dapat melihat dengan jelas bahwa mata Risa seperti membalik ke belakang.
Segera saja ia memerintahkan dua orang polisi yang datang bersamanya untuk memanggil ambulans secepat mungkin. Sementara ia menekan luka tusukan yang menjadi sumber membanjirnya darah dari tubuh Risa. Ia melepaskan kevlar tidak berguna dari tubuh Risa dan menggunakan jaket seragamnya, Akiho menutup luka tersebut dan menekannya sekuat tenaga. Sembari terus menjaga kesadaran Risa. Tangan dan pakaiannya basah oleh darah pekat, membuat Akiho menjadi semakin panik.
Akiho menarik handheld transceiver dari harness yang ada di dadanya, jarinya sempat terpeleset saat akan menekan tombol karena darah, tapi ia segera menekan tombol yang tepat dan berbicara, "Sersan Onuma Akiho melaporkan dari halaman belakang bangunan, kami menemukan Watanabe Risa terjatuh dan terdapat beberapa luka tusuk dari tubuhnya. Kirimkan bantuan, secepatnya!" Akiho mengangkat kepala Risa, mendekapnya dan berusaha membuatnya tetap hangat. "Risa, tolong. Tetaplah bersamaku, kau akan melewati ini.... Risa!"
Risa jelas dapat mendengar teriakan-teriakan Akiho yang memekakkan telinga itu. Ia juga dapat merasakan tekanan kuat di perut dan dadanya yang terluka. Namun, ia tidak dapat bergerak. Ia juga tidak dapat bersuara. Tenggorokannya penuh oleh darah sebagai akibat dari pendarahan hebat yang dialaminya.
Pikirannya berantakan. Ingatan dan memori yang tumpang tindih membuat Risa kesulitan untuk menyadari situasi di sekitarnya yang sudah entah sejak kapan menjadi sangat ramai oleh teriakan polisi dan raungan ambulans. Satu hal yang dia ingat adalah bau dari orang yang menusuknya.
Tidak, ia benar-benar tidak tahu siapa orang tersebut. Tapi, dia ingat betul bahwa ia pernah menciumnya di suatu tempat. Tidak lama ini. "Onuma ... baunya ..."
Dua orang petugas medis harus menarik Akiho agar ia mau melepaskan Risa. Ia tak mau melepaskan rekannya yang sedang sekarat itu, meski akhirnya Akiho berhasil dibujuk setelah diyakinkan bahwa petugas medis akan merawat Risa dengan baik—meski semua itu tergantung pada keinginannya untuk hidup dan kehendak Tuhan mengingat Risa mendapatkan lebih dari tiga tusukan pada tubuhnya dan kehilangan berliter-liter darah. Ditambah lagi dengan shock yang dialaminya setelah terjatuh dari bangunan tinggi.
"Sebarkan patroli dari radius 10km. Cari orang dengan pakaian serba hitam yang mencurigakan, jangan lupa dengan baunya. Bau darah yang menempel di tubuh pelaku tidak akan dengan mudah hilang begitu saja di tengah keramaian!"
Onuma berteriak dengan putus asa. Suaranya tersendat, terasa amat sesak tiap kali ia mencoba untuk menarik napas. Sesuatu seperti bola panas menggelegak seakan menutup rongga pernapasannya, membuat Akiho mengeluarkan bunyi meringkik tiap kali ia meraup oksigen untuk memenuhi rongga dada. Pandangannya sempat kabur saat ia melihat ambulans yang membawa Risa melaju cepat meninggalkan area konstruksi—iya, ia sedikit menangis karena takut Risa akan mati di tangannya.
Saat ini, ia harus percaya pada petugas medis. Ia harus percaya Risa dapat melewati fase kritisnya dan tetap melanjutkan hidup. Jadi meski dengan perasaan sakit yang menyesakkan dada, Akiho harus kembali menyisir TKP. Seorang petugas polisi yang masih berada di sekitar tempat Risa jatuh, berteriak memanggilnya. Mereka menemukan mayat Endo Hikari yang tergeletak, sekitar tujuh meter dari tempat Risa terjatuh. Ciri-cirinya sesuai dengan apa yang ada di dalam data kepolisian; tiga jari putus dan bekas luka memanjang pada wajah. Saat beberapa petugas polisi menyorotkan senter mereka pada tubuh Endo, ada lima luka tembak yang bersarang di setiap bagian tubuhnya.
Mungkin Risa berhasil menangkap Endo, tetapi ia menyerangnya terlebih dahulu sehingga Risa tak memiliki pilihan untuk menembak dan membuat mereka bersama-sama terjatuh dari atap.
Untuk sekarang, Onuma hanya dapat menyimpulkan bahwa Risa telah memenangkan pertarungan satu lawan satu ini.
Akan tetapi, asumsinya tentang Risa yang melukai dan tak sengaja membunuh mantan narapidana ini runyam begitu saja saat menyadari bekas luka tembakan di tubuh Endo bukanlah luka yang disebabkan oleh handgun milik kepolisian. Sebagai petugas lapangan yang selalu berada di tempat kejadian perkara—terutama di divisi kejahatan tingkat tinggi, dan berada di tim khusus milik Risa—membuat Akiho hafal betul beberapa jenis kaliber peluru dan luka yang disebabkan oleh masing-masing jenis peluru.
Karena Risa merupakan anggota pasukan khusus kepolisian, maka pistol yang dibawa olehnya—dan juga anggota timnya—bukanlah pistol revolver berjenis Nambu Model 60, melainkan pistol Sig Sauer P226 yang lebih modern dan menggunakan peluru berkaliber 9mm. Luka keluarnya peluru yang ada pada tubuh Endo terlalu besar untuk peluru dengan kaliber sekecil itu sehingga jelas, senjata yang digunakan mungkin senjata berkaliber besar seperti assault rifle atau sniper rifle.
Atau mungkin, jika memang si pelaku menggunakan pistol—karena ia tidak menemukan adanya selongsong peluru di sekitar sana—maka, pistol yang digunakan adalah pistol yang menggunakan peluru berkaliber besar.
Masalahnya adalah, siapa yang mau menggunakan senjata berat seperti itu dalam jarak dekat?
Wanita itu tersentak, terkejut setengah mati dan segera bangun dari tempatnya terbaring. Ia tak mengerti, mengapa ia berada di basement rumahnya. Padahal terakhir yang dia ingat, dirinya sedang berada di dapur untuk menghangatkan beberapa makanan. Dan sekarang, ia terbangun di basement tanpa mengingat apapun yang terjadi sebelumnya. Ditambah lagi, sejak kapan tempat ini dipenuhi oleh beberapa barang yang bahkan ia tak pernah tahu keberadaannya. Sebuah meja, dan papan besar. Juga dua buah rak tinggi yang ia tak tahu diisi oleh buku-buku apa semacam apa.
Ia mencoba berdiri, menggunakan tangan kanannya sebagai tumpuan dan berjalan mendekati meja tersebut. Papan yang ada pada dinding dipenuhi oleh foto-foto tubuh manusia yang terpotong-potong menjadi beberapa bagian, mayat yang tergiling, organ-organ yang terburai dan foto lain yang tak pantas untuk dilihat oleh sembarang orang. Lembaran-lembaran kertas berisi tulisan tangan berisi kalimat-kalimat yang mengancam juga menempel disana. Seakan-akan si penulis memberikan ancaman padanya.
Di atas meja terdapat sebuah alat perekam suara dan beberapa senjata tajam berlumur darah yang dibiarkan tergeletak. Saat ia berbalik, matanya menangkap beberapa senjata api dan sepucuk pistol tergeletak begitu saja di sudut ruangan bersama dengan beberapa butir selongsong peluru.
"What the fuck?"
Darah. Darah. Darah.
Lihat tanganmu sendiri.
Menatap kedua tangannya yang diselimuti oleh merahnya darah, seolah dapat mengubah warna kulit putihnya menjadi warna merah yang mengganggu penglihatannya. Ribuan memori dan penglihatan yang tak ia kenal mendadak memenuhi isi kepalanya, membuatnya seketika kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai semen yang dingin. Namun, seakan hal yang membuatnya bingung setengah mati itu masih tak cukup juga, ia kembali disadarkan oleh sesuatu yang basah dari tubuhnya.
Dan ketika ia menengok pada pakaian yang ia kenakan, pakaian itu nampak basah dan kaku oleh darah yang kelewat banyak. Darah itu membasahi seluruh bagian depan pakaiannya, bahkan hingga ke lengan dan lipatan-lipatannya. Detik itu juga, jantungnya mendadak berhenti berdetak.
"D—Darah milik siapa ini? Apa yang sudah aku lakukan?" bibirnya bergetar hebat. Pun dengan kedua tangannya yang menyentuh kain pakaiannya yang berubah warna menjadi merah pekat. Bau amis darah seketika merasuk masuk ke dalam hidung, sontak saja membuat isi perutnya yang sudah teraduk oleh kegelisahan naik ke atas hingga ke kerongkongan—ia nyaris muntah tetapi masih dapat menahannya. "Alterku—? Tidak, tidak, tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Demi Tuhan, ini pasti tidak nyata, 'kan? Benar ... ahahaha, ini hanya halusinasiku saja. Pasti."
Perlahan, ia bangkit berdiri dan detik itu juga sengatan rasa sakit langsung menghantam kepalanya, berhasil membuat wanita itu mengerang penuh keputusasaan dan nyaris terkapar jatuh jika ia tidak segera merapatkan diri dengan dinding. Rasanya seperti ada akar-akar tumbuhan yang menancap masuk ke dalam otaknya dan memutuskan syaraf-syaraf yang ada di sana. Sakit, benar-benar sakit. Ia bahkan kesulitan menggerakkkan jari-jari tangannya sekarang dan yang bisa ia lakukan hanya menarik sebagian kecil rambutnya demi menghilangkan nyeri tersebut—meski jelas saja, hal itu sia-sia.
Benar, ponsel. Aku harus tahu apa yang terjadi. B—Barangkali Yuuka, Minami, Ten, Hono, atau siapapun itu tahu apa yang sudah terjadi.
Dirogohnya kantung celana setelah memastikan ponselnya ada di dalam sana. Tanpa menunggu lagi, ia segera membuka layar kunci dan ... tunggu dulu. Mengapa ia merasa ponselnya begitu asing? Apakah ia pernah menginstall dua aplikasi messenger? Dan sejak kapan ia menginstall pelacak GPS pada ponselnya?
Menyadari ada yang tidak beres, ia segera membuka satu persatu aplikasi yang ada di dalam ponsel. Dimulai dari kotak pesan, email, LINE, hingga panggilan telepon. Benar saja, ia menemukan banyak sekali pesan ataupun panggilan yang bahkan ia sendiri tak ingat kapan ia melakukan semua panggilan dan mengirim semua pesan itu. Kini, tersisa satu aplikasi yang perlu ia lihat—galeri. Tepat sebelum jarinya mengetuk layar, perasaan tak nyaman sudah menguasai dadanya dan membuatnya kembali mual.
Bagaimanapun juga, ia tetap harus tahu apa yang sudah ia lewatkan. Dan mungkin saja, ia bisa menemukan jawaban dari hasil jepretan kamera ponsel. Jadi, dengan mengabaikan semua perasaan aneh yang sulit dijelaskan, ia akhirnya membuka aplikasi galeri. Ada beberapa foto dan video baru yang tersimpan dalam galeri ponselnya. Ia nyaris menjatuhkan ponsel karena tangannya yang licin itu bergetar hebat saat ia membuka salah satu foto tersebut.
Isi perutnya seakan teraduk-aduk dan naik hingga ke saluran kerongkongannya. Ia ingin muntah saat itu juga begitu melihat isi foto tersebut. Itu adalah foto jasad manusia yang tergantung pada rantai besi, dengan leher terpotong dan darah yang mengucur deras. Darah itu merembes hingga menetes-netes pada lantai. Ia tak mengerti, siapa pemilik tubuh itu? Mengapa ia menyimpan foto tersebut dalam memori penyimpanan ponselnya?
Ia tak ingin menggulir layar dan beralih ke foto yang lain. Tapi, sungguh, ia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi disini. Dan ia berharap, apa yang ia bayangkan saat ini benar-benar tidak terjadi.
Foto berikutnya sedikit lebih gelap dari sebelumnya. Tampak sebuah tangan yang dibalut oleh perban—sejenak, ia melirik tangannya sendiri dan juga dibalut oleh perban dengan pola lilitan yang sama. Apakah itu tangannya?—mencengkeram rambut manusia. Membuat kepala yang ada di bawahnya menggantung bebas di bawahnya. Darah kental masih menetes dari sisa lehernya yang terputus. Namun saat ia menaikkan bola matanya, ia langsung bertatapan dengan mata manusia yang setengahnya terlontar keluar.
Refleks, ia melemparkan ponselnya hingga menabrak dinding dan mendarat di permukaan meja.
Wajah itu ... ia dapat mengenalnya dengan jelas. Ia dapat mengingatnya begitu jelas, bahkan. Dia adalah Moriya Akane. Kepala itu adalah kepala Akane dan mayat yang tergantung pada rantai tadi adalah tubuh Akane.
Oh Tuhan. Jika aku sedang terjebak dalam mimpi buruk, aku mohon padamu untuk membangunkanku sekarang juga. Akane ... Akane, kau tidak mungkin benar-benar mati, kan?
Selanjutnya adalah sebuah rekaman video yang direkam di tempat yang ia kenal—rumahnya sendiri. Dari rekaman video, ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Saat kamera menyorot lantai dengan keramik berwarna cerah yang dipenuhi oleh tetesan dan jejak-jejak darah hingga menyorot sebuah kepala yang dijinjing dengan santai oleh sang perekam video. Betapa sakit hatinya saat ia tahu bahwa kepala itu adalah kepala Ibunya sendiri yang dipenggal. Ia segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, berusaha menahan diri untuk tidak berteriak karena rasa sakit dan shock yang berdenyut-denyut di dadanya.
Lagi-lagi, ia mendapati sebuah tangan dengan perban yang melilitnya. Dan sekali lagi, ia mengangkat tangannya yang juga dibalut oleh perban.
Ia menarik napas, tanpa sadar menggulir layar ke foto berikutnya. Kali ini foto tersebut benar-benar menunjukkan kondisi kepala yang kini sudah tergantung di balik pintu. Kedua bola matanya pecah dan satu bola mata terjulur keluar dari lubang mata. "T—Tidak ... Ibu ...? Tidak mungkin. Kenapa? Kenapa—? Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini?"
Rasanya ia ingin menangis saja sekarang saat tahu kengerian dan rasa sakit macam apa yang dirasakan oleh Ayah dan Ibunya saat itu. Perekam video kemudian berjalan menjauh dari tempat kepala tergantung dan menyusuri lantai penuh darah itu hingga ke dapur. Kamera kini menyorot sebuah tubuh manusia yang dilumuri oleh darah. Sekali lagi, ia dibuat terkejut karena kepala mayat tersebut dihancurkan sedemikian rupa hingga serpihan tulang tengkorak dan potongan-potongan otaknya berceceran pada perabotan dapur di sekitarnya.
Ia hampir tak mengenali wajahnya karena separuh dari kepala itu benar-benar sudah hancur dan tidak lagi menyerupai kepala manusia pada umumnya. Tapi melalui tangan dan proporsi tubuh, ia dapat menyimpulkan jika itu adalah jasad Ayahnya. Genangan darah besar yang mengalir ke ruang utama ternyata adalah darah Ayahnya.
Yui menarik napasnya dan berusaha mendapatkan kendali atas dirinya sendiri dan kembali menggulir layar. Dua foto terakhir adalah foto Risa dan Yuuka, kedua teman dekatnya itu tergeletak dengan beberapa luka tusukan yang cukup dalam. Mata Yuuka terlihat hampir kehilangan cahaya kehidupannya saat ia menatap kamera dengan tatapan kosong.
"... apa yang telah aku lakukan?" ucapnya, diselingi isakan tangis yang tak dapat terbendung. Perasaannya kacau, isi kepalanya berserakan entah dimana. Ia tak mampu menyusun kembali memori yang ada di dalam laci pikirannya karena ia tak mampu lagi melakukannya. Semua yang dia ingat, mulai dari awal hingga akhir, tak ada satupun yang dapat menjelaskan apa yang telah terjadi kepadanya.
Atau mungkin, menjelaskan apa yang telah ia perbuat.
Yui berteriak pada udara kosong di sekitarnya. Kepada semua sosok yang tak bisa ia lihat, kepada semua entitas tak kasat mata yang barangkali mengelilinginya dan tertawa atas penderitaan yang ia alami. Atau mungkin, kepada alter miliknya yang bersembunyi jauh di dalam kepalanya. "Apa yang kau lakukan! Kenapa kau membunuh keluargaku? Kenapa kau membunuh Akane, juga melukai Risa dan Yuuka? Apa salah mereka? Kenapa kau menyiksa mereka begini?"
Matanya yang buram masih dapat menangkap sekelebat sosok putih yang tiba-tiba menampakkan diri di sudut ruangan gelap itu. Dan saat itu juga, sebuah peluru tajam seakan menembus kepala dan menghancurkan tengkoraknya. Membuat kepalanya luar biasa sakit sampai ia tak sengaja menghantamkan dahinya pada lantai. Ia mengerang, berteriak kesakitan, ngilu yang mengakar jauh dalam kepalanya itu membuatnya semakin tersiksa setengah mati. Ia berguling, meringkuk sembari memukul kepalanya kuat-kuat, berharap itu dapat membuat apapun yang melukainya dari dalam menghilang begitu saja.
Sosok transparan itu bergerak mendekati Yui. Ia tampak berlutut di depannya dengan tangan terjulur, berusaha menyentuh tubuh Yui yang meringkuk di lantai. Tentu itu sia-sia saja karena mereka berdua adalah dua entitas yang berbeda. Tangannya hanya menyentuh udara kosong dan hanya melewati tubuh Yui begitu saja—ia menggigit bibirnya, merasa sangat sedih sekaligus marah. Menyalahkan dirinya sendiri yang hanya sebatas arwah penasaran tanpa tubuh yang berkeliaran bebas mengikuti Kobayashi Yui kemanapun ia pergi.
Melihat seluruh tindakan bejat dan tidak bermoral yang ia lakukan selama ini, tanpa sepengetahuannya.
"Karin ...! Karin, apa yang terjadi kepadaku? Ada apa dengan foto-foto ini? Aku tak mengerti?" Yui terduduk lemas di lantai dengan ponsel berisi foto-foto mengerikan itu berada beberapa meter darinya. Air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya yang penuh oleh cipratan darah. "Aku tak pernah melihatmu lagi sejak saat itu. Kenapa kau tiba-tiba muncul dengan wajah itu? Apa yang kau takutkan dariku?"
Karin menunduk. "Aku sudah memberitahumu, Yui. Aku sudah berusaha membuatmu sadar, tapi ... aku tak bisa. Maafkan aku, Yui. Aku tidak bisa menyadarkanmu saat itu. Aku hanya bisa melihatmu dengan tatapan penuh amarah, tetapi aku tak marah padamu. Aku marah pada diriku sendiri karena tak bisa membantumu."
"... apa maksudmu?"
"Yui, kau tidak pernah bertemu denganku lagi ... karena memang yang ada pada tubuhmu selama ini, bukanlah dirimu."
"AARGHH!" dentuman keras terdengar menggema di dalam basement saat Yui menghantamkan kepalanya pada dinding berkali-kali. Meskipun dinding semen itu berhasil membuat sisi kepalanya bocor dan semakin membuatnya tersakiti, ia tak bisa menghentikannya. Denyutan pada kepalanya semakin menjadi-jadi, ditambah lagi dengan kenyataan pahit yang memaksanya menelan kegetiran yang luar biasa pahit dalam mulutnya. "KENAPA ... KENAPA INI TERJADI KEPADAKU? KENAPA? APA YANG TELAH AKU LAKUKAN? DOSA MACAM APA YANG TELAH AKU LAKUKAN? Oh Tuhan..."
Ini semua salahku. Tidak ... apa yang sudah aku pikirkan? Mengapa aku membiarkan diriku sendiri melakukan ini?
Ada begitu banyak pertanyaan yang berkelit di balik kepala Yui. Semakin Yui mencoba memikirkan jawabannnya sendiri dengan mengulik semua memorinya mati-matian, semakin kuat nyeri yang ia rasakan pada kepalanya. Ingatan milik siapa yang aku lihat ini? Aku ... Aku sudah melakukan hal sebrutal ini? Dengan tanganku sendiri? Yui menggeram. Menahan nyeri luar biasa yang kini menyebar hingga ke bagian depan kepala dan rongga telinga. Ia dapat merasakan sesuatu yang hangat merembes dari dalam hidungnya.
Dia datang lagi. Dia benar-benar datang lagi.
Dia berdarah, lagi.
"Aku membunuh orang tuaku, aku membunuh Akane dan melukai teman-temanku. Mereka melihat wajahku sesaat sebelum aku menghabisi mereka ... sial, kenapa? Kenapa ini bisa terjadi lagi?"
Dering ponselnya membuat Yui mengangkat wajahnya, membuatnya berhenti melukai dirinya sendiri. Mengusap air mata serta darah yang mengalir dari kepala hingga wajahnya dengan kasar, Yui membawa tubuhnya yang lemas untuk mengambil ponselnya yang tergeletak. Ozeki menghubunginya. Ia adalah rekan kerja Risa dan tak mungkin Ozeki akan meneleponnya malam-malam begini jika itu bukan sesuatu yang penting.
Tidak ... jangan katakan ...
Yui menggigit lidahnya sendiri saat ia menyentuh tombol hijau dan menerima panggilan Ozeki. Suara sersan itu tampak begitu serak dan diwarnai oleh kepanikan saat ia menyampaikan, "Yui, maafkan aku karena telah menghubungimu malam-malam begini. T—Tapi, ini benar-benar darurat. Kau harus ke rumah sakit segera. Risa... Risa. Dia diserang saat bertugas dan terluka parah sekarang. Cepatlah datang!"
Risa?
Yui segera mematikan panggilan telepon. Tangan hingga tubuhnya bergetar hebat, tak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang tak karuan, ia masih tak mampu menerima fakta bahwa ia telah melakukan berbagai pembunuhan-pembunuhan brutal dengan tangannya sendiri. Entah darah milik siapa yang menyelimuti tangannya sekarang, ia benar-benar tak ingin lagi memikirkannya karena itu sangat menyakitinya.
Ia tak bisa keluar dan benar-benar datang untuk menemui Ozeki di sana. Karena ia sudah tahu sekarang. Ia lah orang yang telah melukai Risa. Membuat wanita itu terbujur lemas di rumah sakit, berusaha melawan takdirnya akan kematian yang selalu setia menunggunya disana.
Apa yang aku lakukan selama ini, apa yang aku ucapkan selama ini... rupanya hanyalah sebatas skenario drama yang aku jalankan sendiri.
Tidak, bukan olehku.
Tetapi olehnya.
The basement
More like... The head hunter (aka Koba)
8000+ kata, 18 lembar halaman. Chapter paling banyak setelah Chapter The Judgement Day I dan II.
Karena naskah yang ini masih belum di proofread, jadi mungkin akan ada beberapa kesalahan yang ngga aku sadari. Jadi, kalian bisa memberitahu kesalahan-kesalahan itu dengan berkomentar ya. Terima kasih sudah membaca!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top