Chapter 22: This Is How Her Story Ends

Perlu waktu delapan jam dan empat kali mengisi penuh tangki bensinnya untuk dapat mencapai perbatasan prefektur Miyagi dengan Fukushima yang mulai diselimuti oleh pemandangan yang serba hijau. Ketika Yui sudah memasuki jalanan umum dan bukan lagi berada di jalan bebas hambatan, ia mendapati beberapa orang berjalan dengan menggenggam payung di tangan.

Genangan-genangan kecil yang berada di pinggir aspal juga terlihat, sehingga Yui harus berhati-hati agar tidak melintas di atasnya. Sejak tadi Yui terpaksa harus membagi fokusnya menjadi dua—pada jalan raya di depan matanya dan pada layar smartphone yang ia tempelkan pada holder.

Miyagi adalah prefektur yang cukup luas dan ia perlu mempersempit jangkauan dengan memfokuskan ruang lingkup pencarian di Sendai. Tempo hari, Yuuka memberitahu jika Akane lahir dan bertumbuh besar di Sendai sebelum ia merantau ke Tokyo untuk bersekolah di Sakurazaka Academy.

Tentu ia tak bisa melakukan pencarian di wilayah seluas 785.8 km² itu seorang diri, oleh karena itu Yui terus mengaktifkan panggilan telepon dengan Risa agar ia dan Aoi dapat memberikan beberapa petunjuk dari penyelidikan kecil mereka.

Tentu ini dikatakan sebagai penyelidikan kecil karena saat ini fokus utama kepolisian adalah kasus pembobolan penjara dan pembantaian belasan sipir yang terjadi dua malam yang lalu. Risa telah menyampaikan perkembangan penyelidikan dan memang ada beberapa fakta yang tersembunyi di baliknya. Salah satuya adalah tahanan yang sengaja dibiarkan bebas berkeliaran di luar penjara saat malam hari, kaburnya salah seorang tahanan yang sengaja ditutupi, dan juga pembunuhan satu orang sipil yang dipalsukan.

Juga fakta pembunuhan kedua orang tuanya kemungkinan berkaitan dengan dua kasus ini—dengan kasus Black Mail. Tapi, entahlah, mengenai pembunuhan yang menyebabkan kedua orang tua Yui tewas dengan tragis itu sebenarnya juga masih berada di tahap penyelidikan. Nampaknya polisi sulit sekali melacak jejak-jejak yang kemungkinan ditinggalkan oleh si pembunuh mengingat seberapa kacaunya kondisi TKP saat itu.

Dunia ini semakin lama menjadi semakin kotor dengan dosa manusia, itulah yang dipikirkan olehnya. Jarang sekali ada orang jahat yang mendapatkan hukuman yang pantas atas kejahatan yang ia lakukan. Mirip sekali dengan Rei yang hanya diberikan hukuman penjara dan bukan dihukum mati atas kejahatan yang ia lakukan. Padahal ia sempat berharap Rei dapat berakhir di lapangan tembak.

Hipokrit.

Yui menggigit sisi lidahnya sendiri dengan kedua tangan yang menggenggam erat roda stir. Bagaimana mungkin ia berani berbicara panjang lebar tentang definisi jahat dan baik sementara dirinya sebenarnya juga seorang pembunuh di masa lalu? Ia pernah memerintahkan teman-temannya untuk merundung seseorang hingga berakhir pembunuhan lima orang.

Tapi... yang menyuruh Risa untuk membawa Hirate pada waktu itu, bukanlah aku. Apa aku bisa menganggapnya sebagai kesalahanku juga?

Heh. Lebih baik aku tidak lagi mengingat semua hal itu. Yang perlu ia lakukan sekarang adalah fokus dengan dua tujuan utamanya; mencari siapa pembunuh kedua orang tuanya dan membunuh orang-orang yang telah mengusik kehidupannya—Rei, Endo, dan Takemoto.

Jika memang tiga orang itu jugalah yang membantai habis keluarga Kobayashi, maka, ia tidak akan segan untuk benar-benar menyiksa mereka sampai mati. Ia memiliki beberapa senjata api di rumah dan Yui tidak akan ragu jika suatu hari ia perlu memasukkan ujung senapan ke dalam mulut mereka dan benar-benar meledakkan tiga kepala manusia itu dengan masing-masing tiga proyektil peluru. Sesuai dengan prinsip yang selalu ia bawa dalam, nyawa dibayar nyawa, gigi dibalas dengan gigi. Hukuman penjara selama apapun atau bahkan hukuman mati sekejam apapun tidak akan setimpal dengan seluruh luka yang mereka perbuat selama ini.

Itu tidak akan bisa memuaskan perasaan dendam yang ada di dalam hatinya. Sudah cukup mereka membuatnya cacat seumur hidup, merenggut nyawa Seki dan Karin, dan kini... mereka juga membunuh orang tuanya dan akan menghabisi teman-temannya?

...apa yang sudah aku pikirkan? Kenapa aku bisa memiliki bayangan brutal dan gila seperti itu? Yui menarik napasnya dengan cepat, bersamaan dengan itu beberapa memori buram seperti sengaja diputarkan dengan cepat dan acak di dalam pikirannya. Dan tepat saat itu juga, kepalanya kembali terasa berdenyut-denyut hebat. Membuatnya hampir memukulkan kepalanya pada kemudi atau jendela mobil. Beruntung, ia masih dapat mengendalikan diri.

Beberapa bulan dan minggu terakhir, ia tak lagi mengonsumsi obat-obatan seperti yang seharusnya. Dan ia merasa... paling tidak, semuanya baik-baik saja.

"Oh... ahahahaha."

Yui tertawa dengan nada rendah. Melirik dashboard di seberang kirinya, ia memiringkan tubuhnya sejenak dan mengambil sebuah buku catatan kecil dari dalam sana. Dengan satu tangan dan tangan lain masih tidak melepaskan roda stir, Yui membalik lembar demi lembar buku catatan yang kebanyakan penuh oleh tulisan-tulisan tentang daftar bahan makanan atau obat-obatan yang perlu ia beli—hingga ia mencapai beberapa lembar terakhir.

"Yui, Aoi baru saja mendapatkan lokasi dari tempat dimana video itu direkam. Memang bukan lokasi pasti, tapi ini dapat mempersingkat waktu pencarianmu."

Yui melirik ponsel miliknya yang kembali berbunyi setelah beberapa menit. Risa kembali menghubunginya sesuai dengan apa yang ia janjikan. Sebelumnya ia mengatakan bahwa Risa akan menghubunginya lagi jika ia sudah mendapatkan perkembangan. Ada beberapa perubahan rencana mereka kali ini, Ten didampingi oleh Hono juga membantu untuk menyisir wilayah Sendai dan Risa sendiri yang akan menjembatani komunikasi di antara masing-masing dari mereka.

Untuk menghindari keterlambatan dalam menerima informasi, tentu saja.

Layar ponsel Yui kembali berkedip. Risa telah mengirimkan sebuah tautan berisi koordinat yang dapat ia buka di aplikasi peta digital. Ia pun mengetuk layar ponsel sekali lagi dan layar ponselnya menunjukkan sebuah lokasi yang cukup familiar baginya. Yui tak ingat betul. Tapi jika dilihat melalui Google street view, rasanya ia pernah melihat salah satu bangunan dengan bentuk yang sama di suatu tempat.

"Tapi ini jauh sekali, Ris! Kau harus membayar ganti rugi dari setiap liter bensin yang terpakai."

Tampak Risa berjalan menjauh dari Aoi yang masih sibuk berkutat dengan komputer. Kini inspektur polisi itu berdiri di depan jendela dan membuat wajahnya semakin terlihat jelas karena dibantu oleh cahaya matahari sore yang menerangi. Risa menghela napas berat sebelum memaksakan sebuah senyuman, "Jangan khawatir. Aku akan membayar biaya bahan bakarmu dua kali lipat, sayang." Yui sontak mengernyitkan dahi begitu Risa tiba-tiba menyebutnya dengan panggilan itu.

Tidak, bukan berarti ia tak suka. Ia juga tidak merasa rishi atau semacamnya. Tapi tetap saja, itu benar-benar di luar dugaannya.

Well played, Watanabe Risa.

Tanpa menjawab, Yui segera menekan tombol merah dan mematikan panggilan telepon secara sepihak, tanpa mau repot-repot menjawab ucapan sinting Risa.

Ten mengarahkan flashlight ponselnya ke sembarang arah saat ia berjalan menyusuri lorong menuju ruangan luas di depannya. Langkah kakinya saling bersahut-sahutan dengan langkah kaki Hono yang berada beberapa meter di belakangnya. Gema yang disebabkan oleh langkah kaki sepasang manusia itu hampir memenuhi penjuru ruangan. Apabila salah satu dari mereka tidak fokus, mungkin akan terjadi kepanikan karena mengira ada orang lain yang diam-diam mengikuti.

Wanita yang lebih tinggi mendadak berhenti dan berkata, "Aku akan ke lantai atas, senior. Sepertinya ada bunyi-bunyi garukan di atas sana."

Hono menggumam dan mengangguk. Tapi baru beberapa langkah Ten berjalan, ia mendengar Hono memanggil namanya lagi. Ia menoleh, agak tersentak karena tahu-tahu ada sebuah tongkat besi yang dilemparkan padanya. Beruntung, ia masih dapat menangkap tongkat tersebut meski dengan jantung yang nyaris copot.

"Bawa itu untuk melindungi dirimu. Siapa tahu suara yang kau dengar itu berasal dari anjing liar yang terkena virus rabies."

Mendengar itu, Ten justru tertawa kecil. Tak menyangka jika seniornya ini cukup memiliki kepekaan dan perhatian yang tinggi. "Terima kasih banyak. Aku akan menghubungimu jika aku menemukan sesuatu."

Dengan itu, Ten akhirnya segera beranjak untuk menaiki tangga dan Hono memilih untuk melanjutkan pencariannya sendirian. Ruangan demi ruangan, sudut demi sudut kembali ia telaah. Dan pada satu ruangan terakhir, ia dibuat kaget oleh cahaya aneh yang berasal dari bawah. Saat ia mendekat, ia mendapati cahaya tersebut berasal dari sebuah ponsel yang layarnya dibiarkan menyala.

Ponsel itu jelas baru saja diletakkan, paling tidak tiga puluh menit hingga satu jam yang lalu.

Hono menurunkan tubuhnya, memperhatikan ponsel itu lebih dekat. Ini ponsel Akane! Hono segera mengambil foto ponsel itu dan mengirimkannya pada Ten. Ia segera membuka beberapa aplikasi perpesanan dan riwayat panggilan telepon untuk mengecek siapa orang terakhir yang Akane temui.

Uniknya, sama sekali tidak ada pesan dan riwayat telepon yang sengaja dihapus—menurutnya. Karena semuanya terkesan runtut. Bahkan ponsel itu juga terlihat bersih tanpa adanya kerusakan eksternal seperti retak atau goresan. Kecuali bekas darah yang ada pada salah satu sisi layar.

Panggilan terakhir, Sugai Yuuka... Watanabe Risa. Ah, Risa tidak menjawab panggilan Akane pada malam itu. I wonder why? Hono meletakkan ponselnya. Ia mengambil sapu tangan dari dalam saku celana agar ia dapat menggenggam ponsel itu dengan tangannya sendiri. Kobayashi Yui juga. Tidak ada yang mencurigakan. Apa-apaan ini?

Selanjutnya, Hono membuka aplikasi e-mail. Disitu ia kembali menemukan beberapa kiriman email yang ditujukan pada Yui dan Yuuka. Kali ini, Risa tidak ada di antara orang-orang yang terakhir dihubungi oleh Akane. Di email Yui, Akane tampak menyetujui sesuatu. Apa Yui mengajaknya pergi ke suatu tempat? Pada email Yuuka tidak ada yang mencurigakan selain perbedaan bentuk jawaban. Benar seperti yang dikatakan Risa... perbedaan cara mengetiknya sangat mencolok!

Dua puluh menit berlalu, dan Ten akhirnya menghubungi Hono. Ia menjadi sedikit lega. Padahal sebelumnya ia sudah bersiap-siap hendak menelepon Risa dan mengatakan jika Ten telah kehilangan kontak juga dengannya atau tak sengaja jatuh karena pijakan yang lapuk. Hono membungkus ponsel Akane dengan sarung tangan, lalu menyimpannya dengan aman dalam saku miliknya.

"Risa... kami tidak menemukan apapun disini. Ini bukan tempat yang tepat." Hono meneguk saliva dengan tenggorokan yang terasa panas membara. Berlari kencang dengan jarak yang cukup jauh benar-benar telah menguras energinya. Bahkan untuk berbicara saja, ia terengah-engah begini. "tapi kami menemukan ponsel Akane tergeletak disini. Ponsel ini menyala."

Hono memperhatikan sekeliling bangunan tua itu. Memang hampir menyerupai tempat yang ada di dalam video, lengkap dengan beberapa mesin industri. Tapi pada kenyataannya, saat dirinya dan Ten berkeliling selama kurang lebih tiga puluh menit, mereka tidak menemukan satu orang pun kecuali tikus besar dan kucing liar yang beberapa kali membuat mereka terkejut.

BRAK

Ia sontak menoleh pada sumber suara yang ternyata hanyalah sang Junior—Yamasaki Ten. Tampak peluh membasahi dahi dan surai-surai rambutnya, mungkin Ten baru saja selesai berkeliling dari lantai satu hingga lantai tiga seorang diri. "Kita semua sudah dijebak." Ujarnya, dengan nada yang sangat serius. Si Yamasaki itu lantas merebut ponsel Hono dan mematikan panggilan telepon Risa. "Di mana kau menyimpan CD yang kita ambil dari rumah Dokter Kobayashi? Kalau tidak salah kau belum memberikannya pada Inspektur Watanabe, bukan?"

"A—Aku menyimpannya di bagasi mobil. Hei, kenapa tiba-tiba?"

"Aku membawa laptop. Cepat, aku ingin memastikan sesuatu."

Suara titik-titik air dan ketukan sepatu di atas lantai marmer bertempo cepat mendadak tak lagi terdengar saat wanita dengan setelah hitam itu berdiri dari tempat duduknya untuk mendekati Akane yang dibiarkan duduk di lantai. Wanita itu tampak begitu lemas, tak memiliki sedikitpun cahaya kehidupan dari sepasang matanya. 

Eksekusi akan segera dilakukan dan inilah sesuatu yang sudah ia tunggu.

"Ah, sayang sekali, Akane! Mereka gagal! Sial... padahal aku sudah banyak sekali memberikan petunjuk, ya? Kalau begini, aku jadi harus membuat skenario baru lagi di depan Sugai... merepotkan sekali." perempuan berpakaian hitam yang sejak tadi duduk berjongkok sembari menunjukkan layar ponsel berisi potongan berita tepat di depan wajah Akane, lantas berdiri. Mengangkat layar ponselnya di depan wajahnya sendiri dan membuat cahaya terang dari sana menyinari wajahnya.

Ia tertawa lepas dan membuat suaranya yang dalam terdengar memantul dan menggema di seluruh ruangan gelap tempatnya berada. Tidak ada yang tahu apa yang ia tertawakan, tidak ada yang tahu rencana busuk seperti apa yang ada di dalam kepalanya. Satu hal yang Akane tahu tak lain dan tak bukan adalah sebuah fakta memilukan sekaligus mengerikan bahwa waktunya telah tiba, tepat saat perempuan itu tiba-tiba berhenti tertawa dan menatapnya dengan matanya yang setajam elang.

Ia menurunkan topi hitamnya, termasuk masker hitam yang kini berada di bawah dagu dan tak lagi menutupi mulut dan hidungnya. Perempuan itu bukannya telah ceroboh karena telah mengekspos identitasnya secara terbuka, melainkan ia sendiri sangat membutuhkan hal itu karena ia ingin melihat bagaimana bentuk kengerian Akane yang ada di depannya saat dirinya mengangkat sebilah pisau dan menarik tudungnya—menunjukkan permukaannya yang berkilat-kilat dan sangat tajam.

"Ne... Akane, pastikan kau terus melihat wajahku saat kau mati, ya? Dan jangan lupa, sumpahi aku. Kutuklah aku, sekeras yang kau inginkan."

Akane sudah benar-benar nyaris kehilangan kesadarannya. Pikirannya masih cukup berawan, dan ia percaya bahwa teman-temannya pasti akan datang untuk menyelamatkannya kendati si pembunuh sudah berkata sebaliknya. Ia tak mau percaya dan menolak fakta bahwa sesaat lagi ia akan benar-benar mati dibunuh dan adegan saat lehernya ditebas akan dilihat langsung oleh teman-temannya.

Hidupnya berakhir lebih cepat dan masih banyak sekali hal-hal di dalam buku catatan miliknya yang ia ingin lakukan. Terutama dengan orang yang kini telah menjadi sosok yang begitu berharga baginya, yang telah menjadi bagian dari hidupnya—Sugai Yuuka. Seandainya saja, hanya seandainya, jika ia tidak benar-benar memenuhi panggilan itu dan memutuskan untuk segera kembali ke rumah, mungkin ia tidak akan berakhir seperti ini. Hidupnya masih akan berlanjut dan ia dapat menghabiskan waktu bahagianya bersama Yuuka.

Atau mungkin, apabila sejak awal ia tidak pernah penasaran dan turut ikut campur tangan dengan segala urusan yang berhubungan dengan The Elites dan Hirate Yurina mungkin ia tidak akan berakhir di tempat ini.

Sepertinya memang benar dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Manusia akan lebih banyak mengulang kembali memori-memori lama dari peristiwa yang telah ia alami di masa lalu sesaat sebelum kematiannya, hanya untuk menghibur diri dan mengalihkan pikiran dari rasa takut akan kematian ataupun Tuhan sengaja membuat mereka melihat semua kilas baliknya agar manusia itu menyesali semua dosa yang pernah diperbuat di masa lalu. Saat ini, Akane sudah tidak lagi menghabiskan energinya untuk berusaha melepaskan diri. Meskipun kini tangan dan kakinya sudah tidak terikat lagi, hanya kedua matanya saja yang ditutupi oleh lilitan kain hitam.

Akane hanya menghadap lurus ke depan dengan napas kepayahan. Kedua bahunya jatuh dan lemas, tak mampu lagi untuk mengangkat tubuhnya lagi. Ia hanya memiliki energi untuk menangis dalam diam. Menyesali segala bentuk keputusan yang telah ia ambil sepanjang hidupnya.

Pisau yang semula hanya menyentuh lehernya, kini semakin ditekan ke dalam hingga kemudian ditarik sekeras dan sepelan mungkin. Seperti seseorang tengah memotong daging dengan menggerakkan pisau ke depan dan ke belakang—ia menggorok leher Akane seperti itu. Memastikan dirinya mengalami rasa sakit yang amat sangat sebelum benar-benar merasakan kematian. Darah bercipratan keluar, membasahi jaket hingga sarung tangan hitam yang ia kenakan. Suara-suara penuh keputusasaan yang tak banyak berbeda dari suara ayam yang disembelih terus mengganggu telinganya.

Hingga akhirnya si pembunuh itu menggerakkan pisau terakhir kalinya dengan sangat cepat, sengaja tidak benar-benar memenggal kepala Akane dan membiarkan sepotong kulit leher menjadi satu-satunya bagian yang dapat menahan kepalanya agar tidak menggelinding bebas seperti bola. Karena jika tidak begitu, ia akan merasa gemas. Sulit sekali menahan keinginan untuk tidak menghancurkan kepala itu hingga menyerupai gilingan daging.

Padahal ia perlu membiarkan orang-orang tahu. Seperti apa wajah terakhir Akane saat ia meregang nyawa. Bagaimana rasa takut, rasa sakit, dan teror yang ia alami menjelang detik-detik kematiannya. Wanita itu bangkit berdiri, melangkahi jasad Akane yang terbujur kaku untuk mengambil ponselnya. Ia mematikan rekaman dan berjalan kembali untuk mengambil foto terakhir tubuh Akane yang berdarah-darah untuk dokumentasi. Persis seperti yang ia lakukan saat membunuh keluarga Kobayashi beberapa hari yang lalu.

"Tiga ekor tikus... itu berarti, masih ada dua lagi. Dan satu orang yang sudah melukaiku saat itu ya." gumamnya. Ia berdiri selama beberapa saat disana tanpa melakukan apapun selain menatap tubuh tak bernyawa di bawahnya. Merasakan ada sesuatu yang aneh dari dalam dirinya, sebuah perasaan yang tak seharusnya ia rasakan—kesedihan dan perasaan bersalah.

Dengan cepat ia kembali mendapatkan kendali atas dirinya sendiri, mengusap air mata yang sempat mengalir di wajahnya dengan tangan kanannya. Membuat noda darah turut menempel pada wajahnya yang halus. Akan tetapi, sebanyak apapun ia berusaha menghapus air mata itu, ia tetap tak bisa berhenti menangis.

Aku... seharusnya tak bisa menangis seperti orang itu disini.

BRAK

Tanpa diduga-duga, sebuah benda berat tiba-tiba dilempar dan mendarat tepat pada punggungnya, sukses membuatnya sempat terhuyung ke depan. Mengetahui ada seseorang yang berani mengganggunya di saat-saat penting, segera saja ia berpegangan pada salah satu mesin besar dan membuat keseimbangannya kembali normal. Keadaan di sekitarnya benar-benar gelap gulita. Hanya ada satu cahaya lampu yang bersumber dari flashlight ponsel yang menyinari mayat Akane yang masih mengeluarkan darah dari lehernya yang nyaris terpenggal.

Selain dari tempat mayat Akane berada, bagian lain dari ruangan yang dipenuhi oleh beberapa mesin-mesin tua benar-benar gelap. Sesekali ia memukul mesin-mesin itu untuk membuat suara keras yang dapat mengintimidasi siapapun manusia yang telah memukulnya tadi. Hingga akhirnya, sebuah bayangan gelap mendadak menerjang tubuhnya, mencengkeram lehernya dan menjatuhkannya ke lantai. Cengkeraman itu cukup kuat hingga ia dapat merasakan tubuhnya diseret dan ditarik ke atas seperti mainan kayu.

Itu Sugai Yuuka. Ia benar-benar datang.

Mengambil kesempatan dari cengkeramannya yang berhasil mendorong si pembunuh pada dinding, Yuuka segera menggunakan balok kayu di tangannya dan menghantamkannya ke mana saja. Tak peduli pukulannya itu tepat sasaran ataupun tidak, Yuuka tidak akan mau berhenti mengayunkan balok kayu itu dan membuat suara sangat keras yang menggema beriringan dengan suara teriakan yang keluar dari mulut Yuuka.

Pukulan keras pada tengkuknya itu langsung membuat pandangannya dipenuhi oleh titik-titik hitam dengan kepalanya yang seperti ditarik ke bawah. Rasanya benar-benar nyeri, begitu menyakitkan sampai Yuuka tahu-tahu jatuh berdebam di atas lantai dan masih berusaha berdiri. Ketika Yuuka berusaha bangkit untuk berdiri lagi, kepalanya langsung diinjak dan ditahan dengan kuat hingga ia tak lagi bisa bergerak. "A-Argh... shit." Ia menggumam. Tangan kanannya bergetar hebat dan meraih kain celana yang si pembunuh itu kenakan, lantas menariknya dengan kuat. "siapa kau? Apa yang Akane lakukan sampai kau membunuhnya seperti itu..."

Tanpa sadar ia menangis sendiri. Bahkan suaranya yang semula segarang drill sergeant mendadak menjadi sepelan dan pecah seperti anak kecil yang dimarahi oleh Ibunya. Kini pertahanannya sudah benar-benar hancur berantakan begitu ia melihat dengan jelas tubuh Akane yang tergeletak beberapa meter di depannya. Hatinya yang pernah mati dan hancur, yang sebelumnya telah perlahan-lahan kembali seperti sedia kala, kembali dibuat hancur untuk kesekian kalinya tepat ketika seseorang yang ia cintai tewas dengan tragis di depan matanya.

Akane berada disana, tergeletak tak bernyawa. Tidak dengan senyuman manis—juga sedikit licik—yang selalu ia pamerkan kepada Yuuka jika ia berhasil tiba lebih dulu di rumah, mereka selalu melakukan permainan siapa yang datang terlambat harus memasak selama dua hari dan tepat saat itu Yuuka lah yang terlambat datang karena kesibukan di café. Ia selalu ingat bagaimana wajah Akane saat pertama kali mereka saling beradu pandang, bagaimana sepasang mata itu memancarkan aura kebencian. Hingga beberapa tahun berikutnya pandangan penuh benci itu berubah menjadi pandangan yang dipenuhi oleh kehangatan.

Dan kini, senyuman itu sudah menghilang. Tergantikan oleh ekspresi mengerikan dari kedua matanya yang setengah terbuka, juga aliran darah yang keluar dari rongga bibirnya. Luka di lehernya terlihat menganga jelas, dengan darah segar yang masih setia merembes keluar dari celah-celah saluran tenggorokan yang ada pada leher. Semakin lama, darah itu membentuk genangan besar yang semakin lebar. Disusul dengan bau anyir darah yang merebak di penjuru ruangan gelap itu.

Si pembunuh lantas mengangkat kakinya dari kepala Yuuka dan menggunakan tangan kanannya untuk menarik kepala Yuuka agar mereka dapat berhadap-hadapan. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan sehingga kau berani datang langsung kemari dan berusaha menghalangiku untuk menghukum orang-orang berdosa sepertinya." Ia menunjuk ke arah jasad Akane dengan jari, kemudian kembali menarik kepala Yuuka mendekat dengannya. "tidak ada dari nama-nama orang yang ada dalam buku catatanku yang tidak berdosa."

Kenapa aku seperti mengenali suara ini? Tapi... siapa? Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Injakan pada sisi kepalanya menjadi semakin kuat. Membuat Yuuka menggigit bibir bawahnya untuk menahan erangan yang sejak tadi sudah terus ia tahan. "Tahu apa kau tentang dosa. Kau tak punya hak untuk menghakimi seseorang atas dosa yang ia lakukan. Lihat dirimu sendiri... kenapa kau membunuh orang. Apakah itu bukan sebuah dosa? Itu perbuatan yang dilarang untuk dilakukan!" Yuuka tahu ia telah berbicara omong kosong sekarang. Tapi persetan dengan itu. Kepalanya sudah terlalu sakit sekarang, ia tak bisa berpikir jernih selain memikirkan bagaimana cara ia dapat lepas dari orang ini.

"Membunuh itu memang dilarang. Tapi bukan berarti tidak ada yang melakukannya." Ia mendengar sebuah jawaban, yang kembali disuarakan oleh suara yang tetap terasa familiar di telinga Yuuka. "jika aku tak memiliki hak untuk menghakimi seseorang, lantas mengapa aku bisa dengan mudah melakukan hal seperti ini dan tidak ada orang lain yang datang untuk menghalangiku. Dan lagi, Sugai, aku selalu memiliki kuasa atas nyawa orang lain, kau tahu?"

"Kau itu bukan Tuhan, keparat!"

Yuuka semakin berusaha untuk memberontak dengan menarik kaki si pembunuh itu ke depan, menggunakan kedua tangannya yang saling ia tautkan. Memang membutuhkan tenaga ekstra dan ia sudah tak lagi sekuat dulu. Jadi begitu ia berhasil menjatuhkan wanita berpakaian serba gelap itu, Yuuka tak bisa langsung bangkit dan berbalik menyerang. Ia perlu waktu untuk benar-benar mengembalikan tenaga dan pengelihatannya yang sempat memburam beberapa waktu yang lalu. Dengan beberapa perlawanan yang menyebabkan telapak tangannya tergores mata pisau, Yuuka berhasil merebut pisau yang digenggam oleh si pembunuh.

Wanita itu segera mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menghujamkan pisau ke sembarang arah tanpa memprediksi ke mana pisau itu akan menancap. Ia dapat merasakan ujung pisaunya menusuk sesuatu dan tidak menabrak permukaan lantai semen. Ada sensasi khusus yang dirasakan saat Yuuka merasakan ujung pisau menembus sesuatu seperti daging dan mencabutnya kembali, sebuah perasaan yang menggetarkan hatinya, hampir membuatnya menangis karena ia tahu dirinya telah melakukan hal yang sama lagi. 

Akan tetapi, ia tak mendengar teriakan kesakitan sebagai akibat dari tusukan pisau yang sepertinya cukup dalam itu. Ia memaksa mengangkat wajahnya agar dapat mendapatkan pandangan lebih baik dari orang di depannya. Tapi percuma. Ia tidak dapat melihat apapun selain bola mata putih karena sebagian besar wajahnya tertutupi oleh masker, ruangan yang sangat gelap juga menjadi alasan mengapa mata Yuuka menolak untuk berfungsi sepenuhnya sekarang. Dan benar saja, saat Yuuka mulai menggunakan tangannya untuk tumpuan berdiri, tubuhnya sudah diterjang terlebih dahulu oleh si pembunuh.

Yuuka tak bisa melawan banyak saat dagu, rahang, dan pelipisnya dipukuli lebih dari tujuh kali dengan sangat kuat. Pukulan orang itu rasanya seperti bukan pukulan manusia, lebih menyerupai hantaman benda tumpul yang memiliki permukaan yang kokoh. Setiap pukulannya cenderung lebih berhati-hati dan memiliki teknik tertentu di dalamnya, berbeda dengan kebanyakan orang yang saat berkelahi selalu melemparkan pukulan serampangan. Saat Yuuka mengangkat tangannya untuk melindungi wajah, lawannya selalu mampu menembus pertahanannya dan menghujani Yuuka dengan serangan brutal.

Pada akhirnya Yuuka tentu kalah telak. Ia tak mampu untuk mengangkat kepalanya, hanya untuk melihat ke depan. Hanya tergeletak di atas permukaan lantai yang dingin dengan sekujur tubuh yang ngilu karena dipukuli habis-habisan. Setidaknya ia beruntung tidak ditusuk dengan pisau atau kepalanya dihancurkan dengan mesin penggiling. Namun, tetap, itu masih juga membuat Yuuka sangat marah pada dirinya sendiri. Ia tak bisa membalaskan kematian Akane saat itu juga. Meskipun nafsu untuk membunuh sudah berkobar hebat di dalam dada, ia tetap tak bisa melakukannya.

Orang di depannya ini cukup berbahaya. Bahkan Yuuka sulit sekali menyentuhnya.

"Sebentar... kita lihat seperti apa kau akan mati nanti," kepala Yuuka dibanting ke lantai dengan keras saat si pembunuh itu menggunakan tangannya untuk mengambil sebuah buku—karena Yuuka dapat mendengar suara gemeresik dari lembaran kertas yang dibolak-balikkan—yang tersimpan di dalam saku jaketnya. Ia terdiam beberapa menit, "aahh, pembunuhan mutilasi? Tidak, ini terlalu normal bagiku. Seharusnya aku tidak menulis ini di lembar kematianmu, betul?"

"AH!" Yuuka refleks berteriak keras saat si pembunuh mendadak mengeluarkan sebilah pisau tajam dan mengangkat ujung pisau seperti hendak menusuknya. Ia menutup matanya dengan erat, memprediksi bahwa sesaat lagi ia akan kembali merasakan perihnya benda tajam itu bersarang di salah satu bagian tubuhnya. Namun nyatanya, setelah beberapa detik, ia tak merasakan apapun.

Ketika Yuuka membuka mata, ia menemukan wanita itu jatuh terduduk dengan kedua tangannya menekan kuat sisi kepala. Entah bagaimana ia seperti merasakan sakit yang amat sangat jika dilihat dari raut wajahnya. Tak ingin membuang waktu lagi, Yuuka segera mendorong tubuhnya, berusaha untuk merebut pisau di tangannya selagi pertahanannya longgar. "Keparat ini... masih juga belum menyerah!" ucap si pembunuh. Sekali lagi, karena perbedaan tenaga dan skill bertarung, Yuuka gagal merebut pisau.

Justru kini pisau itu sudah bersarang jauh pada perutnya. Ia tahu bagaimana, tapi pisau itu berhasil menembus kulit dan dagingnya—bahkan ia dapat merasakan ujung pisau hampir mencuat keluar dari sisi lain tubuhnya. Rasa sakit memang belum ia rasakan. Tapi Yuuka dapat merasakan dinginnya besi dan perasaan aneh saat organ vitalnya ditembus oleh benda tajam.

"Aku tak ingin membunuhmu sekarang. Tapi kau yang memaksaku, teman." Si pembunuh berucap seraya melepaskan topi yang ia kenakan, membiarkannya jatuh di atas genangan darah milik Yuuka. "oh... aku sudah lama ingin merasakan bagaimana rasa daging manusia saat berada di dalam mulut. Apakah lebih berserat seperti daging kerbau? Ataukah berlemak seperti daging babi? Atau mungkin... bukan keduanya?"

Udara yang semakin pengap karena bau amis darah yang bercampur dengan bau besi berkarat dan sarang tikus yang apak membuat sebuah gelegak menjijikkan dari isi perut Yuuka. Semua bau neraka itu sukses membuatnya mual setengah mati sejak tadi. Yuuka sudah semakin pasrah saat si pembunuh itu mendekat, bersiap-siap hendak membelah isi perutnya dengan pisau yang semakin ditusukkan ke dalam tubuhnya. Sementara kedua tangan Yuuka terus menerus menahan bilah pisau meski telapak tangannya tersayat cukup dalam karenanya.

Ia beruntung, suara sirine polisi dan lampu strobe berwarna merah terang berhasil menyelamatkan nyawa Yuuka. Si pembunuh itu batal merobek isi perut dan menarik keluar organ dalamnya, ia akhirnya mencabut pisau itu dengan paksa dan membiarkan Yuuka tergeletak dengan darah yang membanjir. Bersama dengan jasad Akane.

Yuuka tahu si pembunuh sudah tak lagi mengenakan topi dan masker yang menutupi wajahnya. Tapi, shit, ia tetap tak bisa melihat dengan jelas. Ditambah lagi dengan jutaan titik hitam yang menutupi mata. Akhirnya, Yuuka menyerah. Ia memutuskan untuk tetap diam tak bergerak, merasakan ngilu dan perih perlahan-lahan menjalar dari luka tusuk ke seluruh tubuhnya. Ia terus mengerang pelan, tak berani menyentuh lukanya karena itu akan memberikan rasa sakit yang luar biasa.

"Aku selalu ada di dekatmu, Yuuka. Sampai bertemu kembali."

Kesadarannya benar-benar menghilang saat si pembunuh meletakkan potongan kepala Akane tepat di depan matanya, membuat suara sirine dari kendaraan polisi yang bersahut-sahutan seakan menjadi alunan pengantar tidur yang penuh teror bagi Sugai Yuuka.

"Hei, aku berhasil mengejar pembunuh brengsek itu dan ia masih belum terlalu jauh. Aku sudah mengaktifkan live location, segera kirimkan anggota-anggotamu karena bensinku sudah berada di titik merah sekarang!"

Terdengarlah suara Yui yang sedikit terengah di ujung telepon. Ia terlihat sangat panik dan gelisah di waktu bersamaan, ditandai oleh suara hembusan napas yang mengiringi ucapannya. Dari panggilan itu, Risa juga dapat mendengar suara decitan ban mobil dan klakson yang dibunyikan secara brutal. Sepertinya Yui sudah memanfaatkan modifikasi mobilnya dengan baik dan ia sedang berada di mode berserk di jalanan Sendai.

Mungkin ia akan mendapatkan surat tilang beberapa jam kemudian dan Risa yang harus me-lobby kepolisian lalu lintas setempat untuk mencabut sanksi yang diberikan pada mantan tunangannya karena sudah mengacaukan jalanan dengan mengemudi layaknya driver dalam game NFS.

"Menepi saja di pom bensin terdekat dan tenangkan dirimu terlebih dahulu, setelah itu hubungi Ten dan Hono. Aku sudah memberikan intruksi pada pimpinan kepolisian lokal untuk mengerahkan anggotanya. Serahkan sisanya pada mereka, Yui." Setelah yakin Yui menyetujui perintah yang Risa berikan dan mengatakan di mana lokasi terakhir buronan yang mereka kejar, Risa segera menutup panggilan telepon dan beranjak keluar dari mobil dengan gerakan cepat dan terburu-buru.

Risa mengambil handy talky yang tergantung di dadanya, "Tujuh orang ikut denganku, lainnya sisir bagian luar gedung hingga radius 3 kilometer. Segera lapor jika kalian melihat sesuatu yang mencurigakan, bergerak!"

Risa menutup pintu mobilnya dengan sangat kuat sebelum melesat menembus beberapa anggota polisi yang hendak memasuki bangunan pabrik tua itu. Meninggalkan Ozeki dan Akiho yang terpaksa turut mengikuti dari belakang. Kepanikan menyerangnya seperti binatang buas. Bagaimana tidak, ia melihat mobil Yuuka terparkir di depan gedung tua itu. Jelas ia juga ada di dalam—entah di bagian mana—tetapi karena ia tidak menampakkan diri begitu rombongan polisi tiba di lokasi, Risa sadar, ada sesuatu yang buruk baru saja terjadi di pabrik terbengkalai ini.

Begitu mendapat panggilan telepon dari Habu yang mengetakan bahwa Yuuka tidak ada di rumahnya ketika hendak ditemui, Risa langsung tahu ada seseorang yang mengirimkan pesan tertentu pada Yuuka untuk datang ke tempat ini—seorang diri.

Risa menyalakan senter yang ia bawa, memberikan perintah pada Akiho untuk menghubungi ambulans untuk berjaga-jaga. Dengan handgun yang terisi penuh, Risa dan beberapa orang anggota timnya mulai menyisir pabrik itu mulai dari lantai dasar. Beberapa pintu yang tertutup di lantai satu dibukan paksa dengan beberapa kali tembakan pada gagang dan kunci pintu. Sayangnya, tim tidak menemukan apapun selain mesin-mesin tua yang sudah berkarat.

Barulah saat mereka naik ke lantai 3, sesuatu yang janggal mulai menampakkan diri. Adalah bau busuk dan udara yang kelewat panas. Dengan cepat Risa mengangkat kakinya untuk mencari sumber bau, melompati beberapa balok besi dan pondasi atap yang jatuh di koridor dengan lincah. Bau itu membawanya hingga berada di depan ruangan dengan pintu besi besar, saat Risa mendorongnya dengan sisi bahu, bau mengerikan itu langsung menghantam wajahnya.

Ia nyaris muntah, memang. Tapi perasaan mual itu segera ia telan kembali dan tergantikan oleh keterkejutan yang luar biasa.

"...ada yang bunuh diri disini?" suara Akiho terdengar dipenuhi oleh rasa takut. Ia berucap dengan nada yang begitu kecil. Pistol di tangannya tak berhenti bergetar sejak tadi.

Senter dari ketujuh orang polisi itu langsung menyorot tepat pada tubuh manusia yang berayun-ayun bebas di langit-langit. Suara derit rantai lantas terdengar ketika ereka kompak terkejut dan menahan napas begitu menyadari jika tubuh yang tergantung itu sebenarnya adalah mayat tanpa kepala. Genangan darah besar yang masih basah berada tepat di bawah mayat tersebut. Dari pakaiannya dan ciri-ciri fisik yang tersisa—terutama pada lengan yang setengah terpotong hingga setinggi siku—Risa dapat menyimpulkan bahwa mayat itu adalah Moriya Akane.

"Risa, tunggu sebentar," Ozeki berjalan dengan langkah berjinjit mendekati Risa. Tangannya yang dibalut oleh sarung tangan hitam membawa selembar kertas kecil dengan berhati-hati. "ini ditemukan di dekat genangan darah. Black Mail tidak memberikan kertas semacam ini."

Si Watanabe itu memiringkan kepalanya, tangannya menerima lembaran kertas dengan bercak darah dari Ozeki. Isi dari kertas itu cukup mengganggu sebenarnya. Tak ada tulisan. Hanya sebuah sketsa kasar yang digambar menggunakan pulpen hitam—nyaris seperti coretan asal yang dibuat oleh penderita skizofrenia. Hanya saja, sketsa tersebut cukup jelas menggambarkan sesosok manusia yang sengaja digantung. Lengkap dengan kepala yang tergeletak di bawah kaki dan genangan darah yang divisualisasikan dengan warna hitam pekat.

Sketsa. Risa mendongak ke atas, kemudian mengangkat lembaran kertas itu di samping mayat Akane. Ini sketsa kematian. Si pembunuh merencanakan bagaimana Akane akan mati jauh sebelum ia menculiknya.

Ia memasukkan kertas itu ke dalam plastik dan menyimpannya di dalam saku. Membiarkan anggota timnya berusaha keras untuk menurunkan mayat tanpa menginjak genangan darah, sementara Risa memutuskan untuk menyisir seluruh ruangan itu sendirian dengan senter di tangan. Sorotan senternya sempat terhenti di sisi kanan, tepat pada coretan yang menggunakan pilox berwarna putih terang.

Itu adalah sebuah gambar kepala anjing.

Risa jatuh terdiam. Ia semakin tidak memahami apa yang sebenarnya sudah terjadi. Ia tidak mengerti, apakah kasus ini memiliki kaitan dengan apa yang terjadi di masa lalunya? Dengan kasus pembunuhan keluarga Kobayashi? Tetapi, jika memang ini berkaitan dengan Black Mail... itu jelas tidak mungkin karena Black Mail tidak meninggalkan lembaran sketsa yang terlalu artistik bagi seorang pembunuh. Lagipula pembunuh ini melabeli dirinya dengan seekor anjing. Dan entah bagaimana anjing milik keluarga Kobayashi dibunuh dan dijejalkan ke dalam lubang toilet.

Risa memutar tubuhnya, hendak berbicara pada Ozeki. "Hei, Oze. Kau sudah mendapatkan hasil perkembangan penyelidikan terbaru dari kasus pembantaian—"

Baru saja Risa akan menanyakan sesuatu mengenai perkembangan kasus pembunuhan keluarga Kobayashi, ucapannya sudah terpotong terlebih dahulu oleh suara Akiho. "Risa! Yuuka di sini!"

Mendengar nama Yuuka disebut, Risa segera berbalik dan menyusul Akiho yang tengah berlutut di balik salah satu mesin. Betapa terkejutnya ia begitu melihat sahabatnya sendiri berada dalam rangkulan Akiho. Sersan muda itu tampak mengeluarkan gulungan perban dari tas kecil yang digantung pada sabuk yang ia kenakan. Perban itu tak segera dililitkan pada luka, melainkan digunakan untuk menekan pendarahan. Risa segera menggantikan posisi Akiho, memintanya untuk menurunkan jasad Akane bersama dengan petugas lainnya.

"... Risa"

Darah membuat kedua tangan Risa terasa licin dan lengket. cukup sulit baginya untuk benar-benar membebat dan menekan luka tusukan tersebut. Dan itu tentu membuatnya sangat frustasi, terutama melihat Yuuka yang semakin terlihat tidak sadar.

"Bukan... Rei yang membunuh Akane."

"Apa? Tidak mungkin. Kau tidak bisa melihat dengan jelas dengan kepala terluka dan dalam ruangan gelap itu. Itu pasti Rei, memang siapa lagi yang ingin menghabisi kita semua jika bukan dia?" Risa melemparkan kain merah yang ia terus tekankan pada perut Yuuka untuk menghambat pendarahan hebat yang ia derita. Ambulans sesaat lagi akan tiba tapi ia tak bisa membiarkan Yuuka kehilangan lebih banyak darah. Jadi ia menggunakan kemeja miliknya untuk menekan pendarahan. "Bicaralah padaku. Katakan apa saja yang kau lihat, Yuuka. Teruslah sadar."

Terus sadar? Yuuka memutar bola matanya dan menatap langit-langit. Ia tidak bisa merasakan apapun dari tubuh bagian bawahnya. Bahkan saat Risa menekan perutnya kuat-kuat, ia tak dapat merasakan tekanan itu sama sekali—ia sudah mati rasa dan hanya perlu menunggu kematiannya. Risa, aku tidak bisa mengeluarkan suaraku lagi. Bagaimana aku bisa memberitahu kalau ia sudah kembali?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top