Chapter 21: Alter Ego
Bunyi nyaring dari dua buah benda berbahan logam yang saling beradu satu sama lain barangkali menjadi satu-satunya suara keras yang ada di tempat itu. Lebih keras dari suara siaran digital yang berasal dari laptop berukuran 16 inchi di atas meja kerja yang penuh oleh debu dan bercak kehitaman. Tidak ada yang terlalu memperhatikan secara detail bagaimana siaran itu berlangsung, mereka hanya perlu mendengarkannya saja karena masing-masing memilih fokus dengan urusan mereka sendiri.
Kecuali Endo. Berbeda dengan Takemoto dan Rei yang duduk berjauhan untuk mengasah senjata tajam milik mereka yang sudah mulai tumpul, wanita itu memilih untuk duduk di depan laptop sambil mengompres luka memar dari pukulan calon korbannya kala itu. Ini sudah beberapa minggu, seharusnya luka yang ada di pelipis, bahu, dan rahangnya sudah dapat dikatakan sembuh.
Namun, karena kedatangan dua orang temannya yang baru saja kembali setelah membuat huru-hara besar di penjara—terutama Takemoto yang sepertinya kelewat antusias untuk bertemu dengan melemparkan pukulan mentah pada punggung dan wajah, berhasil membuat Endo terpaksa menghabiskan sisa hari dengan kantung es batu untuk meredakan nyeri dan bengkak.
Siaran digital dari layar laptop yang semula menayangkan ramalan cuaca selama satu minggu ke depan tanpa mereka sadari kini berubah menjadi siaran berita. Pembawa acara memulai pemberitaan tersebut dengan suara yang bersemangat—atau mungkin gelisah bercampur dengan kepanikan—saat membacakan naskah yang ia bawa. Berita mengenai pembunuhan yang membuat belasan sipir yang ada di penjara tingkat dua tewas dengan keadaan yang paling mengerikan.
Yeah, Endo tidak perlu untuk menyamar dan datang langsung ke lokasi karena ia sudah tahu apa yang kedua temannya ini lakukan pada tikus-tikus itu. Mereka saja datang dengan bau darah yang sangat pekat kendati masing-masing dari mereka memakai pakaian yang cukup bersih apabila dilihat sekilas mata.
Mereka juga menyiarkan beberapa rekaman yang mereka dapatkan dari TKP. Meskipun hanya terlihat bagian luar dari penjara yang kebanyakan tertutup oleh petugas polisi dengan pakaian khas pasukan anti huru-hara. Situasi disana tampak begitu kacau. Belasan ambulans dan mobil polisi dengan suar lampu biru-merah yang begitu terang seakan merubah warna dinding kelabu penjara. Ditambah lagi dengan sesuatu berwarna kuning cerah yang dijejerkan di halaman luar semakin membuat siapapun yang menonton berita saat itu turut merasakan aura kengerian yang luar biasa.
Beruntung pihak penyiar televisi memberikan mosaic pada kantung-kantung jenazah tersebut. Karena jika tidak, mungkin mereka akan mendapatkan teguran keras karena Endo yakin terdapat banyak sekali cipratan darah di sekitar bodybag dan genangan darah pada tanah di bawahnya.
"Dia menghajarku, sialan. Padahal kepalanya sudah berdarah-darah seperti itu tapi ia masih dapat berdiri dan menghantam wajahku dengan batu bata."
Endo terus mengomel dengan bersungut-sungut dan rasanya Takemoto sudah mulai jenuh dengan apa yang sejak tadi ia ucapkan berulang-ulang.
"Aku akan menghabisi yang satu ini, Rei. Tidak perlu repot-repot." Endo menarik gulungan perban yang ada di atas meja hingga gulungan itu jatuh menggelinding dan berhenti di dekat kaki kiri Rei. Wanita itu lantas menunduk, memungut gulungan perban dan melemparkannya kembali pada Endo. "aku tidak peduli. Mereka sudah menangkap apa maksud dari pola yang kita buat, yang kita rencanakan. Dan wanita itu akan menjadi santapan pembuka."
Kata demi kata yang keluar dari celah bibirnya seakan menyelipkan pesan tersirat, sebuah kebencian dan dendam yang nyaris menyerupai rasa lapar milik hewan buas yang tak kunjung mendapatkan makanan. Sebuah nafsu yang perlu dipenuhi secepat mungkin. Jika ia adalah seorang predator, maka Kobayashi Yui—orang yang ia target kali ini—adalah mangsa miliknya seorang.
Rei menurunkan pisau miliknya. Memiringkan kepala dan mengayunkan tangan pada Endo. Memintanya untuk diam dan mendengarkan. Ia tak bisa menyalahkan temannya ini. Maksudnya, siapa yang tidak merasa dendam karena dilukai seperti itu. "Jangan bodoh. Kau ini sedang bertindak tanpa rencana. Lihatlah di berita, karena pembobolan penjara polisi sepertinya akan memperketat penjagaan. Lagipula, jika kau sudah gagal membunuhnya kau seharusnya sudah tahu jika Kobayashi bukan tandinganmu. Kau justru bisa mati konyol di tangannya, hahaha."
Mendengar itu, Takemoto lantas menyahut. "Jangan begitu, Ozono. Dia sudah cukup berani mengambil kembali tengkorak kepala Morita yang kau sembunyikan dan memecahkannya hingga ke serpihan kecil. Orang ini punya cukup nyali." Ia memberikan jeda. Meletakkan kedua tangannya di depan dada, bersedekap. "dan orang sepertimu tunduk di depan dokter cacat yang pernah kucabut bola matanya? Yang benar saja."
Membisikkan umpatan kasar di sela-sela hembusan napas, Endo tak memiliki elakan lain lagi selain ikut menyetujui apa yang Rei ucapkan. "Baiklah. Bagaimana dengan Watanabe Risa?"
"Watanabe Risa?" Rei mengulang, kemudian tertawa dengan nada meremehkan. "dia itu buta." Menyelesaikan dengan ucapan terakhirnya yang cenderung menghina kondisi fisik seseorang, Rei membalut kembali sebilah pisau tua yang ada di tangannya dengan selembar kain tebal.
Rei tidak sedang benar-benar menghina Watanabe Risa secara fisik, tidak. Itu hanyalah sebuah perumpamaan yang nyata. Karena ia hanya menghina kebodohan Risa sebab inspektur polisi itu tidak mengetahui fakta yang telah nampak jelas di depan matanya. Ia segera menyadari satu hal yang paling penting setelah Endo menceritakan perihal luka memar dan upaya pembunuhan yang gagal beberapa minggu yang lalu.
Untuk kali ini, rencana yang sudah ia pikirkan matang-matang di dalam penjara selama sepuluh tahun mungkin akan mengalami kegagalan besar jika dia benar-benar datang. Karena mungkin, jika dilihat dari apa yang terjadi dalam internal The Elites, bukan tidak mungkin Rei harus berbagi menu makan malamnya dengan orang ini.
Sebab ia tidak ingin makanan favoritnya ini direbut paksa dan dimakan oleh orang asing.
Rei bangkit dari kursi tempatnya bersandar dan berjalan mendekati meja di mana laptop tadi masih menayangkan siaran berita yang kebetulan menayangkan tentang hilangnya jaksa Moriya Akane. Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik ke atas. Membentuk senyuman miring yang bahkan tak disadari oleh Takemoto dan Endo. Pandangannya kini berpindah ke luar jendela pondok. Pada titik-titik air yang mengetuk-ngetuk jendela kaca—hujan mulai turun. Disusul oleh gelegar guntur dan petir yang menyambar.
"Kobayashi Yui tidak bisa dibunuh dengan mudah, biarkan dia menjadi yang terakhir." Ia berjalan mendekati jendela. Tangan kanannya menyentuh permukaannya yang berembun. Menggunakan pengembunan itu, Rei menuliskan sebuah nama pada permukaan kaca. "orang ini, akan menjadi yang pertama. Si kutu buku."
Dingin.
Ia merasakan permukaan kulit yang ada pada telapak tangan hingga jari-jarinya mulai mengeriput. Setiap hembusan napas yang ia keluarkan selalu menghasilkan kepulan asap putih tipis, disusul oleh suara erangan patah-patah yang menandakan bahwa ia telah cukup kesulitan bernapas. Ruangan tempatnya berada dikelilingi oleh dindin beton yang dingin. Dengan lubang ventilasi yang menjadi satu-satunya akses udara yang berada di langit-langit yang terbuka lebar, membiarkan udara dingin masuk dengan leluasa.
Akane tidak yakin sudah berapa hari ia berada di tempat itu, ia tak lagi memperhatikan berapa kali matahari terbit dan tenggelam karena rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat atensinya teralihkan. Tangan kanannya terikat oleh rantai besi yang ujungnya dikaitkan pada mesin besar yang hampir menyerupai mesin penggiling kayu sementara tangan kiri, serta kedua kakinya masih dibiarkan bebas tidak terikat oleh apapun. Siapapun yang melakukannya tentu tahu Akane tidak akan bisa bergerak kabur atau berusaha menghancurkan lilitan rantai di tangannya.
Hell, sudah dua hari ia tidak menelan apapun dan ia bahkan tidak mendapatkan asupan apapun selain setengah liter air yang selalu diberikan kepadanya setiap pukul 12 siang dan 6 sore. Baru saja Akane mencoba untuk melipat lutut dan berusaha untuk berdiri. Tapi ia segera terjatuh lagi karena kakinya sudah benar-benar lemas dan menolak untuk bertahan bahkan untuk 10 detik lamanya.
Derap sepatu yang menggema terdengar menaiki titian tangga. Dalam setiap langkahnya terdengar pula suara gesekan benda logam pada permukaan lantai semen yang kasar. Ya, orang itu datang lagi setelah dua hari meninggalkan Akane sendirian bersama satu liter air mineral disini.
Membuka mulutnya, Akane berniat untuk mengajaknya bernegoisasi sekali lagi. "Ka—"
BUG
Kalimat Akane seketika terputus karena sebuah tendangan tahu-tahu sengaja dilayangkan dan mendarat tepat di dada kirinya. Akane terjerembab ke belakang dengan hembusan karbon dioksida yang melesak keluar dari bibirnya. Segera saja, rasa ngilu, sesak, dan nyeri menyerang rongga dadanya.
Setiap tarikan napas, Akane merasa tulang rusuknya patah, membengkok ke dalam dan menusuk paru-parunya. Sangat menyakitkan. Tangan kirinya yang tidak terikat berusaha untuk menarik apapun yang ada di dalam dadanya untuk mencabut rasa sakit yang ia derita.
Akan tetapi, justru denyutan nyeri yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, membuatnya mengerang keras penuh kepasrahan. Kewarasannya telah mencapai titik dimana ia mungkin dapat mencakar atau mencabik wajahnya sendiri demi menarik akar-akar rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh.
"Apa kau ingat? Saat kau dan rasa penasaranmu itu membuat semuanya hancur berantakan. Kau tidak mengerti kapan waktunya untuk diam, ya?"
Ruangan tersebut—bangunan tersebut barang kali terlalu lengang, sehingga langkah kaki dari manusia lain selain dirinya mampu membuat suara keras yang memantul di penjuru bangunan. Termasuk suara besar nan mengerikan yang kemudian memenuhi rongga telinganya yang berdenyut. "Kau... Keparat!" ia berteriak sekeras mungkin, membuat Akane tersentak dan refleks menutup kedua matanya.
Ia meraung, berteriak keras. Akane hanya dapat melihat dengan rahang yang turun, begitu terkejut dan tidak bisa mengucapkan apapun karena tiba-tiba orang tersebut berteriak-teriak keras dengan kedua tangan ditutupkan pada wajah dan telinganya seolah ia sedang kesakitan dan menghindari sesuatu. Suara teriakan itu terdengar kasar dan benar-benar dipaksakan. Seperti kau sedang memaksa tenggorokanmu yang sedang sakit untuk berteriak sekeras mungkin.
Teriakan itu berlangsung selama kurang lebih lima menit dan menjadi semakin pelan hingga akhirnya menghilang, tergantikan oleh suara helaan napas yang terengah. Ketika semua kegilaan itu menghilang dan situasi dapat ia rasakan menjadi lebih aman, Akane perlahan-lahan membuka kedua matanya dan mengintai sekitar. Ia menarik tangannya dengan keras, bahkan cenderung brutal. Ia lupa bahwa ada rantai besi sepanjang dua setengah meter yang masih mengikatnya di tempat itu.
Orang itu rupanya sedang berdiri diam di tengah ruangan dengan atensi yang tertuju pada kedua tangannya sepenuhnya. Tampak kedua tangannya itu bergetar Akane memiliki kesempatan untuk kabur—dengan cara apapun merusak dan mematahkan ikatan rantai di tangannya. Matanya bergerak liar ke sekeliling, mencari-cari palu, pisau, gergaji atau benda tajam yang sekiranya mampu merusak rantai ini.
Ada sesuatu yang salah dengannya. Akane berucap pada dirinya sendiri tanpa sedikitpun mengalihkan perhatian dari usahanya untuk mencari benda yang mampu membantunya untuk melepaskan ikatan rantai di tangannya. Ini benar-benar salah. Oh tidak... Yuuka dan Risa harus tahu tentang hal ini sebelum terlambat.
Namun, saat ia sudah benar-benar fokus dengan dirinya seniadiri dan sepenuhnya mengabaikan orang lain yang ada bersamanya saat itu, tiba-tiba ia mendengar suara keras dari dua permukaan logam yang saling dihantamkan dan tahu-tahu sambungan rantai yang ada di tangannya terputus begitu saja. Menyisakan beberapa mata rantai yang masih menggantung di pergelangan tangan Akane.
Suara keras yang mendadak itu membuatnya menarik napas dengan cepat, membuat dada kirinya kembali berdenyut nyeri, dan ia meringis menahan sakit. Akane sangat ingin berbicara, tapi untuk sekarang, dengan keadaan penuh luka dan tenaga yang tersisa sedikit rasanya tidak mungkin baginya untuk meneriakkan satu kalimat sekalipun. Jadi Akane hanya bisa membuka matanya lebar-lebar, mengingat setiap inci dari wajah orang di depannya itu.
Agar suatu saat nanti, jika ia benar-benar tidak selamat dan mati terbunuh secara sadis di tangannya, ia mungkin dapat mengadu kepada Tuhan dan mengirimkan sumpah buruk kepadanya. Ia mengangkat kapalanya, menyibak surai kecoklatan yang menutupi pandangan agar ia mendapatkan sudut pandang yang lebih baik. Akan tetapi, alih-alih melangkah mundur dan menjauh dari cengkeramannya Akane justru mengayunkan kepalan tangannya sekeras mungkin dan menghantam tepat pada pelipis
Namun, sorot mata yang dipenuhi oleh amarah itu seketika berubah 180 derajat menjadi tatapan yang penuh akan teror ketika orang di depannya itu berjalan mendekati salah satu mesin yang menjadi tempat di mana rantai yang menahan tangan Akane tergantung. Wanita itu nampak membawa sesuatu di tangan kirinya. Sebuah benda panjang berwarna hitam gelap yang terbuat dari besi berat.
Tunggu. Apa yang akan dia lakukan padaku?
"Sekarang mereka semua sedang dalam perjalanan menuju Miyagi hanya untuk mencarimu. Huh, kau sungguh cerdik ya, Akane. Seorang jaksa sepertimu... memang seharusnya tidak boleh aku pandang sebelah mata."
Akane terus memperhatikan gerak-geraknya, bahkan ia tidak menyadari jika sedari tadi ia sampai tidak berkedip. Ia melihat bagaimana orang tersebut meletakkan benda berwarna hitam tadi yang rupanya adalah sebuah tripod. Bertanya-tanya apa tujuan orang dengan pikiran tidak waras ini membawa tripod dan memasangnya tepat di depan posisi Akane, beberapa pikiran-pikiran aneh sempat terlintas di kepalanya.
Tidak, bukan aneh. Tapi mungkin lebih tepat dikatakan pikiran buruk yang tiba-tiba menjadi kenyataan. Dan Akane bersumpah, ia sama sekali tidak berharap pikirannya yang satu itu benar-benar menjadi kenyataan.
Napas Akane menjadi semakin cepat. Getaran di dadanya menderu-deru hebat dan menhasilkan nyeri yang masih tak juga lepas ia rasakan. Ia tak bisa berbicara banyak, hanya mampu menggunakan sepasang bola matanya yang semakin berawan untuk mengantisipasi setiap pergerakan manusia lain yang ada bersamanya saat ini.
"Padahal aku sudah melarangmu. Tapi kau justru mengabaikan perintahku dan memaksa untuk memakai kembali ponselmu," wanita itu terus berbicara seraya memasangkan ponselnya pada tripod. Ia berdiri disana sementara waktu untuk membuka opsi perekaman video sebelum beranjak dan berdiri di dekat mesin penggilingan. "aku tidak ingin melakukan ini. Tapi, Akane, karena kau telah melanggar aturan permainan maka aku tak memiliki pilihan lain menghukummu."
Akane tersentak. Degup jantungnya semakin bertambah temponya seiring waktu sementara kedua tangannya bergetar hebat. Semua itu semakin menjadi-jadi saat ia mulai mendengar suara mesin penggiling kayu yang bergemuruh hebat di sekeliling bangunan. Ia menjadi semakin panik, tidak menyangka bahwa apa yang ia pikirkan sebelumnya mungkin akan menjadi kenyataan dalam beberapa menit.
Ia akan mati disini. Ia akan mati tergiling menjadi potongan-potongan tipis menyerupai daging bacon yang biasa ia makan bersama Yuuka saat sarapan pagi. Apakah ini sebuah candaan? Apakah ini hanya mimpi buruk biasa? Oh tentu, ini pasti hanyalah sebuah mimpi saja dan Yuuka sedang berusaha keras untuk membangunkan Akane dari mimpi buruknya yang benar-benar nyata.
Sekuat tenaga ia menarik tangannya yang terikat rantai besi, berusaha melepaskan benda keras itu hingga membuat tangannya mulai merasa sakit. Di tengah hembusan napasnya yang kelewat berantakan serta mengabaikan sesak di dada, Akane memaksakan dirinya untuk berucap, "Sialan, apa yang akan kau lakukan? Shit, sadarlah, keparat! Tunggu, ja—ARGHH!"
Tanpa membiarkan Akane melanjutkan kalimatnya yang urung selesai, wanita berpakaian gelap di depannya itu memakai kembali masker dan topi hitam yang ia kenakan, lalu menarik paksa tangan Akane dengan gerakan yang cukup kasar. Tanpa mengucapkan apapun, ia mendorong wajah Akane mendekati gerigi besi yang berputar cepat dan mengeluarkan suara sangat keras yang mampu membuat telinganya berdengung hebat. Sepersekian detik kemudian, semuanya terjadi dengan sangat cepat dan Akane bahkan tak sempat untuk berkedip—ia justru merasakan cairan hangat tahu-tahu bercipratan pada wajah dan sempat masuk ke dalam mata.
Akane semakin berteriak keras saat tangannya yang tidak terikat ditarik dan dimasukkan paksa ke dalam mesin penggilingan. Tenggorokannya terasa perih, tapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan lengan kanannya yang seperti dimutilasi dan dibuat menyerupai perkedel daging berwarna merah pekat.
Ia dipaksa melihat tangan kanannya yang hancur tergiling di antara jepitan pisau pemotong. Jelas sekali ia melihat tulang hasta dan pengumpilnya yang berwarna putih terang di antara warna merah daging yang perlahan-lahan remuk. Serpihan-serpihan tulang dan daging berserakan di lantai hingga sela-sela mesin, menimbulkan suara nyaring yang terdengar lengket dan menjijikkan. Ia ingin menarik paksa tangannya keluar dari mesin penggiling. Tetapi, semakin kuat ia menarik tangannya, ia merasa mesin itu akan memutuskan jaringan otot pada lengannya.
Seketika itu juga, Akane tanpa sadar menitikkan air matanya.
Ya, ia merasa telah berada di ambang kematian. Tak mampu lagi membedakan kenyataan antara garis kehidupan dan garis kematian, kemudian apabila Akane masih dapat mengibaratkan, kira-kira ia hanya perlu melangkahkan satu kakinya untuk benar-benar berpindah dunia. Disamping rasa sakit yang semakin menjadi-jadi pada tangannya, hal selanjutnya ia rasakan adalah tubuhnya yang ditarik paksa ke belakang dan dihempaskan ke lantai semen yang dingin.
Kini tangan kanannya sudah benar-benar terpotong mulai dari ujung jari hingga mendekati lipatan siku dan Akane dapat melihat dengan jelas aliran darah masih mengalir keluar dari bekas gilingan pisau pemotong itu. Mengeluarkan geraman tertahan sebagai bentuk pelampiasan rasa sakit, Akane mengangkat kepalanya, mendapati wanita yang baru saja mendorongnya masuk ke dalam mesin penggiling tengah mengeluarkan gulungan perban dari ransel hitam yang disandarkan pada mesin dan membawa kembali ponsel di tangannya.
Mungkin karena luka di tangan kiri yang cukup mengganggu baginya, wanita itu terlihat kesulitan untuk membebat luka menganga pada lengan Akane yang hancur tergiling. Meski setiap gerakannya masih nampak menyerupai ahli medis yang telah melakukan hal yang sama sebanyak puluhan hingga ratusan kali dalam hidupnya, hanya dengan luka di tangan saja sudah mampu membuat gerakannya cenderung kaku.
Selesai dengan gulungan perban putih yang berakhir dipenuhi oleh rembesan darah merah segar yang membalut lengan Akane yang terputus, wanita itu lantas berdiri dan mematikan mesin penggiling, seketika meninggalkan keheningan yang mencekik di dalam ruangan berbau amis Tak mau repot dengan membersihkan sisa darah yang ada di permukaan mesin dan lantai, ia kembali mendekati Akane dan berjongkok tepat di depannya. Memberinya tatapan dalam penuh arti yang hanya Akane dan dirinya sendiri yang mampu mengartikan.
"Empat hari—ah tidak, dua hari." Ucapnya, seraya mengacungkan dua jarinya di depan mata Akane. Ia memberikan jeda selama beberapa detik, membiarkan Akane dengan kesadarannya yang tipis mencerna kata-katanya. Lalu dengan senyuman lebar, ia kembali berkata, "dua hari. Jika mereka tidak berhasil menyelamatkanmu dalam dua hari dan menangkapku, maka habislah dirimu."
Apabila ada sebuah mesin yang dapat menghapus ingatan seseorang akan suatu hal secara instan, maka Yuuka akan membeli mesin tersebut meskipun ia harus rela mengorek isi dompetnya sedalam mungkin. Pasalnya, memori traumatis yang dialami manusia justru tidak akan pernah hilang setelah bertahun-tahun lamanya.
Mungkin setelah ini ia dapat bertanya pada Yui yang notabene adalah seorang dokter—meskipun hal ini mungkin bukan spesialisasinya yang merupakan dokter bedah—tetapi justru temannya yang ia rasa dapat diandalkan itu justru berlari lebih cepat darinya dan mengunci diri di kamar mandi, nyaris menyerupai kijang yang melompat untuk menghindari kejaran segerombolan hyena.
Lihat, bahkan seorang dokter bedah yang sudah terbiasa melihat darah saja sampai mual dibuatnya. Video ini—yang baru saja dikirimkan oleh akun anonim ke alamat email pribadi Yuuka adalah video yang mungkin akan menghantui isi pikiran masing-masing dari mereka selama bertahun-tahun ke depan bahkan hingga memori yang paling dalam. Juga membuat mereka berpikir bahwa siapapun yang telah mengirim rekaman video dari penyiksaan yang ia lakukan pada Akane adalah orang yang harus diburu untuk kemudian disiksa beramai-ramai.
Angan-angan sadis tersebut adalah isi kepala dari Sugai Yuuka yang benar-benar terpantik amarah sekaligus kesedihannya di waktu yang nyaris bersamaan. "Persetan dengan Risa, bung! Menunggunya justru akan membuat Akane kehabisan waktu. Biarkan aku ke sana dan mencari Akane sendiri, aku akan membunuh orang itu dengan tanganku sendiri!"
"Miyagi itu luas sekali, barangkali lebih luas dari jalan pikirmu yang sudah benar-benar buta seperti ini. Kau tidak bisa melakukan semua itu sendirian, jangan terlalu percaya diri!" Habu membalas ucapan Yuuka dengan nada lebih tegas. Meski terdapat sedikit getaran dalam suaranya sebagai efek shock dari video tersebut, Habu berusaha untuk mendapatkan kendali atas dirinya sendiri lebih baik dari Yuuka. "kita perlu polisi. Kita harus menghubungi polisi dan melaporkan video ini agar mereka dapat melacak siapa pengirimnya!"
"Polisi sedang sibuk dengan pembobolan penjara malam lalu. Kasus orang hilang seperti ini bagi mereka hanyalah kacang kecil. Orang-orang itu tidak akan bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini!"
"Aku tahu kau sangat khawatir pada Akane. Tetapi, kau harus tahu kapasitasmu. Kau bukanlah orang yang professional dalam hal ini, Yuuka. Jika kau tetap memaksa untuk bergerak sendirian, itu justru akan memperlambat proses pencarian dan Akane akan kehabisan waktu." Habu terus berbicara sementara sepasang netra coklatnya menatap ke atas—pada Yuuka yang kini telah berdiri dari tempat duduk dan mulai berjalan mendekat dengan sepasang tangan mengepal kuat. "harus seperti apa lagi aku berbicara padamu? Look, aku sangat khawatir kepadamu, juga Akane. Aku tidak ingin melihat teman-temanku tewas terbunuh lagi. Bayangkan saja jika kau berhasil menemukan Akane seorang diri. Bukan hanya Akane yang akan dibunuh, kau juga!"
Yuuka mendesis marah, melangkahkan kaki kanannya dengan langkah lebar seperti ia akan menarik dan memukul Habu dengan kepalan tangannya yang memutih. Ia seperti telah dirasuki oleh sesuatu yang tak kasat mata—sesosok setan yang dipenuhi oleh dendam semasa hidupnya. Habu baru saja hendak berdiri dan memanfaatkan tubuhnya yang lebih tinggi untuk melawan Yuuka, tapi sebuah teriakan nyaring dari sisi lain—teriakan Yamasaki Ten—membuat dua orang ini kompak menghentikan langkah mereka dan menengok ke sumber suara.
Hono mengangkat telapak tangannya pada Ten, seketika membuat wanita itu mendadak menghentikan langkahnya dengan ragu. "Ten, duduk dan jangan ikut campur." Ucapnya, sementara ia mendorong bahu kiri Yuuka dan menahannya agar ia tidak melangkah maju untuk menyerang Habu. Dengan sedikit memaksa, ia menuntun Yuuka untuk kembali duduk pada tempatnya sendiri.
"Lepaskan aku, pengkhianat. Kau tak berhak menyentuhku setelah kau melemparku ke dalam lubang untuk dibakar hidup-hidup sepuluh tahun yang lalu!"
"Gosh, who hurt you, Sugai? Since when you became this aggressive?"
Yuuka menggeram kesal kemudian menarik paksa tangannya dari genggaman Hono. "I don't speak English, pothead."
"Berhenti membawa-bawa masa lalu dan jangan memperkeruh suasana yang sudah benar-benar kacau. Aku mencoba untuk membantumu disini, aku berusaha untuk membayar dosa-dosa yang pernah aku lakukan kepadamu! Kau membenci Rei, begitu juga denganku. Kita memiliki tujuan yang sama sekarang." Hono menepuk-nepuk dada kirinya dengan telapak tangan—seperti menunjuk dirinya sendiri. "Ten dan aku akan menemui Risa untuk meminta bantuannya. Dengan tim cyber yang ia miliki, kita akan menemukan lokasi pasti dari tempat orang ini mengirimkan video penyiksaan itu."
"Benar, itu pasti Rei... ia tidak berhasil membunuh salah satu dari kita yang masih hidup. Oleh karena itu dia—" suaranya mendadak menghilang saat Yuuka membenamkan wajahnya ke dalam tangkupan telapak tangan. Selama sepersekian detik ia menggeram, mengontrol emosinya yang makin kelewat batas. "ia sudah memberikan tanda. Di penjara, ia meninggalkan jejak darah untuk memberitahu identitasnya secara tak langsung. Ia menculik Akanen dan nyaris membunuhnya, jika itu bukan Rei atau salah satu dari mereka, lantas siapa lagi? Katakan!"
Ah, dia mulai lagi.
Hono kali ini benar-benar melepaskan genggamannya dari lengan Yuuka dan melangkah mundur. Memilih untuk tidak menyentuhnya lagi dan memantik amarah Yuuka yang sempat padam beberapa saat yang lalu. Ia mengambil posisi tiga meter di depan Yuuka dan menundukkan kepalanya, begitu pula dengan Habu yang kembali duduk dengan wajah disembunyikan dengan kedua lengan.
"Tapi Akane tidak cukup bodoh untuk bertemu bersama salah satu dari pembunuh itu, seorang diri!" sahut Yui. Wanita itu berdiri di depan pintu kamar mandi dengan rambutnya yang sedikit basah, berjalan mendekati Yuuka dengan langkah cepat. Disampingnya, Koike terlihat susah payah mengimbangi langkah kakinya. "daripada berdebat dan memberikan asumsi siapa penculik Akane, lebih baik aku pergi lebih dulu ke Miyagi untuk mencari beberapa informasi berdasarkan video yang masuk dalam email Yuuka."
Mengabaikan suara Koike yang memanggil namanya saat Yui menyambar jaket berwarna mustard miliknya yang tergantung dengan sopan di sandaran sofa, dokter muda yang tengah mengambil masa cuti itu segera melangkah. Hentakan kakinya di lantai keramik terkesan terburu-buru.
"Kau belum pulih sempurna, Yui. Jika kami membiarkanmu pergi, itu berarti kami adalah orang yang membiarkanmu melakukan operasi bunuh diri." Kata Koike.
Yui menghela napas berat. Ia kemudian memutar tubuhnya untuk bertatapan pada Koike. Kemudian, dengan mengacungkan jari telunjuk yang diarahkan pada bekas hantaman benda tumpul di kepalanya, ia berucap, "Kau lupa jika aku berhasil hidup lagi setelah kepalaku dipukul oleh palu martil? Jangan khawatirkan aku. Lebih baik kau dan Habu tetap disini untuk menjaga Yuuka dan diri kalian sendiri. Bukan tidak mungkin ia menjadi target pembunuhan selanjutnya."
"Siapapun yang terlibat dengan Rei di waktu itu, lebih baik mempesiapkan diri kalian sendiri. Kau tidak akan pernah tahu kapan waktumu tiba." Hono akhirnya bangkit juga dari tempat duduknya. Hendak mengajak Ten untuk ikut pergi bersamanya. "kita lakukan seperti Yui katakan saja. Habu dan Koike akan tetap berada disini untuk menjaga Yuuka. Sementara aku dan Ten akan menemui Risa untuk melacak video ini. Yui akan pergi ke kota kelahiran Akane dan mencari komplek industri yang sudah ditinggalkan disana."
Hono menengok ke samping. Tampak Yui mengangkat jempol padanya. "Kalian harus selalu mengupdate perkembangan padaku. Jangan lupa bawa Risa dan beberapa personelnya saat kalian sudah menemukan lokasi pastinya karena aku tidak ingin mati sendirian."
"Tiap detik waktu kita sangat menentukan status Akane. Sebaiknya kita segera bergerak."
Menghembuskan napas berat setelah ia mendengarkan beberapa orang senior di depannya itu, Ten kembali meraih tas ransel berwarna abu-abu muda dengan satu tarikan ringan dan mengalungkan satu strap bahu dan berdiri dari tempatnya duduk "Kobayashi, ada apa dengan luka di tangan kirimu itu?"
Yui mengangkat tangan kirinya hingga di depan wajah. Menginspeksi balutan perban yang memang terdapat noda rembesan darah. Pantas saja sejak tadi tangannya terasa perih. "Ini bekas gigitan anjing liar." Jawabnya. "kau mau lihat?" melihat respon Ten yang terlihat enggan atas candaan spontannya tadi, si dokter hanya bisa tertawa ringan.
Hono dan Ten berangkat lebih dulu ke headquarter NPA. Ten terlihat begitu antusias karena ia sempat melompat beberapa langkah sebelum masuk ke dalam mobilnya. Sementara Habu dan Koike juga turut pergi untuk memberikan kabar pada Fuyuka sehingga kini, tinggallah Yui dan Yuuka yang mengambil posisi berjauhan serta saling diam.
Yui mengeratkan jaketnya sebelum berlutut di hadapan Yuuka. Membuat wanita yang semula menunduk dengan kedua tangan mengusak anak rambutnya dengan frustasi itu mengangkat wajahnya dengan gerakan patah-patah. "Percayalah padaku, jangan pergi ke sana. Tetaplah di dalam rumah karena disini adalah satu-satunya tempat yang aman bagimu. Jangan khawatir, aku akan menyelamatkannya. Aku akan bertemu dengannya."
Mendadak, Yuuka dapat merasakan tekstur kasar dari permukaan perban pada punggung tangannya. Yui tengah menyentuh kedua tangannya, menurunkannya hingga kini kedua tangan itu berada di atas paha Yuuka.
"...kenapa kau juga melarangku, huh."
"Kau sedang tidak stabil."
"Itu tidak akan menjadi alasan bagiku untuk tidak pergi."
"Kau tidak akan menyukai apa yang akan kau lihat, Yuuka."
Halooo, aku kangen update disini. Udah satu bulan labih buku ini berdebu. Menyeimbangkan porsi antara belajar buat ujian sama perkuliahan beneran bikin agak tersiksa. Jadi ngga sempet nulis sama sekali hahahah
Btw, Unnatural II masuk ke dalam reading list Written in Action Indonesia kategori fiksi penggemar (mau pamer dulu, hehe). Lumayan lah ya, sekalian promosi kakak-kakak Sakurazaka46. Siapa tahu ada non-fans yang jadi Buddies jalur fanfic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top