Chapter 20: A Week of Silence

Berita tentang Jaksa Moriya Akane yang dinyatakan menghilang tanpa jejak pada malam sebelumnya dengan cepat diberitakan di seluruh media lokal. Berbagai saluran televisi dan media cetak memasukkannya dalam headline berita, termasuk mencantumkan foto terakhir dan ciri-ciri spesifik. Mereka juga mencantumkan hadiah dengan nominal yang cukup banyak bagi siapapun yang berhasil menemukan Akane dalam keadaan hidup dan mengembalikannya pada keluarga.

Polisi-polisi yang bertugas di bidang tersebut segera menempelkan selebaran di sekitar wilayah kantor regional mereka. Memastikan setiap orang yang lewat dapat melihat foto dan nama Moriya Akane dan mengingat namanya.

Kantor tempat Akane bekerja pun dipenuhi oleh petugas polisi. Pemeriksaan dilakukan selama satu hari penuh pada seluruh pekerja yang ada disana karena pada awalnya, polisi memiliki dugaan bahwa pelakunya adalah rekan kerja Akane yang memiliki dendam terselubung kepadanya. Untuk saat ini, proses pemeriksaan masih dalam proses sehingga masih belum ada laporan pemeriksaan yang masuk ke database kantor pusat NPA.

Selesai melakukan rapat koordinasi yang berlangsung berjam-jam lamanya dengan seluruh anggota tim, Risa segera berganti pakaian dan meninggalkan kantor dengan terburu-buru. Ia bahkan tak sempat meninggalkan pesan pada Ozeki dan rekan kerja yang lain bahwa ia berniat untuk meninggalkan kantor selama beberapa jam yang akan datang. Risa hanya meninggalkan selembar sticky notes di depan pintu ruangan pribadi dan berharap anggota tim akan membacanya dan tidak mengganggunya selama waktu yang ditentukan.

Ia tahu tindakannya itu sangat egois. Mementingkan kepentingan pribadi daripada tugasnya sebagai penyidik adalah tindakan yang tidak benar. Tapi bagaimanapun juga, ia tidak bisa memalingkan wajah pada Yuuka setelah mengetahui Akane yang menghilang tanpa jejak. Temannya itu pasti sedang dalam kondisi yang tidak baik setelah kehilangan orang yang sangat berharga baginya.

Tangannya bergetar hebat saat ia menekan tombol lift berulang kali, merasa mesin itu bekerja lebih lambat dari biasanya. Ia hanya mengumpat berkali-kali seakan semua sumpah serapahnya itu mampu membuat mesin itu bekerja lebih cepat. Di dalam lift, Risa tidak berhenti berputar-putar. Perhatiannya seratus persen ditelan oleh benda persegi panjang tipis di genggaman.

Sejak tadi Yuuka tidak mengangkat panggilan teleponnya. Bagaimana mungkin Risa tidak bertambah gelisah? Ketika lift mengeluarkan bunyi dentingan nyaring dan pintu lift di depannya terbuka secara otomatis, Risa segera melesak keluar tanpa memperhatikan keramaian apapun di sekelilingnya. Sementara separuh perhatiannya dicuri oleh panggilan telepon yang tak kunjung diterima, sisa perhatiannya tertuju pada suara alarm mobil yang berbunyi saat Risa menyentuh tombol di kunci mobilnya.

Ia mendesah keras seiring dengan sepasang alis miliknya yang tak sengaja berkerut manakala ia mendapati beberapa petugas dengan kevlar dan senapan serbu, lengkap dengan rombongan anjing K-9 dan pawang-pawangnya yang juga mengenakan full protection kompak masuk ke dalam kendaraan lapis baja. Empat kendaraan besar itu segera meluncur meninggalkan wilayah HQ dengan suara sirine yang meraung begitu keras disusul oleh petugas-petugas lain yang mengikuti dengan kendaraan dinas.

Apakah ada serangan teroris? Perampokan bank? Penyekapan?

Risa membayangkan sebuah insiden ledakan besar yang pernah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Sebuah ledakan dari bom bunuh diri yang pelakunya sengaja meledakkan bom yang ia tertanam dalam ponsel yang ia bawa. Kasus bom ini terjadi ketika Risa baru saja lulus dari akademi polisi dan ia dipercaya untuk terjun langsung di TKP dipandu oleh seorang penyidik—yang kini telah berpangkat letnan jenderal—untuk mencari tahu dari mana orang tersebut dikirimkan.

Jika memang itu bom, bukankah seharusnya suara ledakan dan asap yang seharusnya aku dapat mendengar dan melihatnya dari HQ? Risa menggumam. Kesepuluh jarinya menyentuh tipis roda stir dengan keraguan samar. Menerka-nerka apa yang sudah terjadi sampai-sampai pasukan khusus dikerahkan dengan terburu-buru seperti tadi. Persetan. Apapun yang terjadi, itu bukanlah ranah kerjaku. Aku harus secepat mungkin menemui Yuuka.

Menepis segala asumsi buruk yang ada dalam kepalanya, Risa segera menyalakan mesin mobil dan memacu kuda besinya, membelah jalanan Tokyo yang ramai akan kendaraan para pekerja kantoran yang terburu-buru. Sedikit berteriak dengan sumpah serapah saat ada kendaraan lain yang tidak sengaja memotong jalannya saat ia baru saja akan mengebut. Sungguh, sepanjang perjalanan itu, Risa merasakan jantungnya tengah berontak liar di dalam sangkarnya.

Ia dapat merasakan detakan itu memukul-mukul rongga dadanya, membuat dahi hingga tangannya dipenuhi oleh keringat dingin. Sejak awal, ia tidak menutup bibirnya karena ia bernapas melalui mulut karena tempo pernapasannya terlampau cepat. Ia gelisah. Tetapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya membuatnya segelisah ini. Apakah itu tentang Yuuka? Sepertinya begitu. Namun, Risa merasa tidak demikian.

Ada hal lain yang membuatnya begitu takut dan tak nyaman sekarang, dan perasaan gelisah yang berkeliaran bebas tersebut sudah berkembang menjadi sesuatu yang mengganggu di dalam hatinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, ia tidak tahu hal apa itu.

Menginjak rem terlalu dalam dan membuat decitan yang terdengar nyaring di telinganya, Risa memberhentikan mobilnya di seberang rumah Akane dan Yuuka tinggali bersama. Sebelum turun, Risa menyambar ponsel dan segera memasukkannya ke dalam saku celana. Tidak peduli dengan panggilan masuk yang membuat device miliknya itu bergetar di dalam saku dan membuatnya risih selama sepersekian detik.

Ia segera menyeberang dan langsung melompati pagar besi yang hanya setinggi pinggangnya. Risa juga merangsek masuk tanpa mengetuk pintu karena ia tahu Yuuka tidak akan marah juga. "Yuuka!" ia memekik.

Wanita yang ia maksud tengah duduk dengan kedua telapak tangan menangkup wajah. Ditemani oleh Habu, Koike, Fuyuka, dan Yui yang sudah lebih dulu tiba tepat setelah mereka mengetahui berita tentang menghilangnya Akane. Entahlah, bahkan dengan keberadaan keempat orang itu, Yuuka seperti merasa sendirian dan tidak menanggapi semua orang di sekitarnya.

Pikirannya hanya tertuju pada satu orang, Moriya Akane.

Dalam beberapa hari telah terjadi insiden yang sama sekali tidak diinginkan. Setelah kematian orang tua Yui, sekarang Akane turut menjadi korban dan dalam keadaan bahaya. Ia tahu semua yang terjadi bukanlah kesalahannya semata. Tetapi, melihat korban yang berjatuhan adalah bagian dari orang-orang terdekatnya, Risa tak dapat menahan perasaan bersalah yang membuatnya merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi.

"Tolong jaga dia. Aku—aku akan membantu sebisa mungkin meskipun ini bukan ranah kerjaku."

Risa benar-benar membantu seperti yang ia katakan sebelumnya. Ia menawarkan bantuan pada anggota polisi yang kebetulan berada di sekitar daerah tempat tinggal Yuuka untuk menempelkan beberapa lembar selebaran di titik-titik tertentu.

Awalnya mereka jelas menolak dan meminta Risa pergi dengan sopan. Tapi karena Risa terus memaksa, para petugas yang masih tidak mengenal orang di depan mereka ini mulai meminta Risa pergi dengan kalimat yang lebih tegas dari sebelumnya—bahkan mengancam akan menahan Risa karena telah mengganggu tugas mereka.

Beruntung Risa mengeluarkan kartu keanggotaannya sehingga kedua polisi itu urung mengikat kedua tangan Risa dengan borgol. Letnan itu pun kembali dengan membawa puluhan lembar selebaran pencarian orang kembali ke rumah Yuuka. Dari sana, ia meminta Koike, Habu, dan teman-temannya yang lain untuk menemani Yuuka sementara ia dan Yui akan berkeliling untuk menempelkan selebaran-selebaran ini di beberapa tempat. Menggunakan mobil milik Risa, mereka berdua segera berangkat menuju pusat kota.

Entah mengapa jalanan terasa lebih padat dari biasanya. Padahal saat jam siang, kondisi lalu lintas biasanya terlampau lengang. Memang tidak terlalu sepi juga, tapi lebih baik dari pada jam pagi dan sore. Ia sempat meraba ikatan sabuk dan bagian dada, karena biasanya ia membawa handy talky. Rupanya ia meninggalkan benda penting itu karena terlalu terburu-buru meninggalkan kantor. Padahal seharusnya ia bisa menanyakan langsung pada anggota timnya yang bekerja di divisi lalu lintas.

Risa juga tidak bisa menggunakan strobo. Bisa gawat jika ada petugas yang menanyakan surat tugas padanya. Ia bisa disidang oleh jajaran petinggi jika sampai begitu.

Selama perjalanan yang sangat menguji kesabaran itu, dua orang manusia yang ada di dalam mobil sama sekali tidak saling bertukar suara lebih dari lima kalimat. Kalaupun ada yang berbicara, itu hanya membahas tentang apa yang terjadi baru-baru ini dan bukanlah pertanyaan personal sebagaimana harusnya sepasang kekasih yang akan membangun kembali hubungan masing-masing dari mereka.

Dalam hal ini, itu hanya pertanyaan seperti apa kabarmu? atau kau bisa meneleponku jika membutuhkan bantuan dan pertanyaan canggung lainnya. Selama keheningan itu, Risa hanya dapat sesekali mencuri pandang pada Yui. Tampak wanita di sampingnya ini tengah menyandarkan kepala pada kaca jendela dengan kedua tangan terlipat di depan dada, seperti memeluk tas ransel berisi selebaran kertas berisikan informasi Akane. Meremas roda stir, Risa hanya dapat membiarkan dirinya jatuh dalam kepasrahan.

Sepuluh menit berlalu dan Risa sudah mengambil tempat parkir di halaman supermarket. Ia sengaja memarkir mobilnya disana karena ia tidak ingin mengambil risiko terserempet oleh kendaraan lain saat ia memarkirkan mobil di pinggir jalan meski sepi sekalipun.

Yui menyentuh lengan Risa, mengambil beberapa lembar selebaran untuk ia bawa sendiri dan memberikan tas serta sisanya pada Risa. Sementara tangannya yang lain memegang kertas-kertas, Yui membuka pintu mobil dengan tangan kiri, "Darimana kita harus memulai?" tanyanya.

Risa terdiam, mengetuk-ngetuk roda stir. Sedetik kemudian ia menjawab santai, "Kita bisa meminta izin pada petugas keamanan untuk menempelkan satu di kantornya. Lalu, meminta orang yang bertanggung jawab dalam supermarket untuk menempelkan satu pada papan pengumuman yang ada di depan. Sisanya, kita akan menyebarkan ini di daerah sana." Ia menunjuk trotoar yang ramai. Disana terdapat jejeran toko-toko seperti toko roti dan tempat kecil yang menjual sejenis street food.

Yui mengangguk setuju. Tanpa membuang waktu, mereka segera berbagi tugas. Risa akan masuk ke dalam supermarket dan menemui manager sementara Yui akan berbicara langsung dengan penjaga keamanan. Semua berjalan lancar dan selebaran berhasil ditempelkan dengan izin sah meskipun Risa membutuhkan waktu lima menit lebih lama. Mereka berdua pun menyeberang dan mulai bekerja sama lagi untuk menempelkan beberapa di tiang listrik dan papan pengumuman khusus.

"Ibu, bukankah dia itu orang yang kita lihat kemarin? Kenapa fotonya ada di mana-mana?"

Yui yang semula berjongkok di depan samping Risa untuk mengikat kembali simpul sepatunya yang terlepas sedikit melirik dari sudut mata. Yui menangkap suara ringan yang dikeluarkan oleh seorang anak laki-laki, tengah berdiri beberapa meter darinya dengan tangan kecilnya yang menggandeng erat tangan ibunya. Berbeda dengan si bocah yang terlihat tidak ingin meninggalkan tempat itu dan justru ingin melihat poster yang ada disana, sang ibu justru terlihat bersikeras untuk segera membawa mereka berdua enyah dari sana.

Ia yakin tidak salah mendengar apa yang bocah itu katakan, jadi Yui segera menepuk paha Risa untuk memberitahunya jika ia akan menjauh untuk beberapa saat.

Tidak menggubris panggilan Risa yang terlihat terkejut sekaligus kewalahan, Yui pun mencoba menyapa sang Ibu. "Halo, selamat siang." Ia tersenyum. "aku... sedang mencari temanku. Dia dinyatakan hilang tadi malam dan aku kelepasan mendengar anak ini berbicara sesuatu tentang wanita yang ada dalam foto." Ia mengalihkan pandangannya pada anak laki-laki yang semakin menenggelamkan wajahnya di balik tubuh Ibunya. Anak itu terlihat sedikit takut dan terkejut. "hei, halo?"

Sayangnya, Yui tidak mendapatkan balasan dari sapaannya itu. Malahan, bocah itu hanya menatapnya dalam-dalam tanpa menunjukkan niat untuk membuka mulut dan membalas sapaannya. Tapi kemudian, dari bibirnya yang mungil keluar sebuah pertanyaan polos yang sukses membuat ketiga orang itu terkejut luar biasa. "Ibu, siapa dia? Kenapa ia memakai benda berwarna hitam itu di matanya?"

Apa-apaan bocah ini?

"Mataku?" Yui menunjuk mata kanannya yang ditutupi oleh eyepatch hitam dengan tawa kecil di bibirnya. "aku kehilangan penglihatan di mata kananku karena sebuah kecelakaan yang sangat parah. Aku harap ini tidak akan menakuti kalian."

Mungkin karena merasa tak enak karena anaknya telah menanyakan sesuatu yang cukup sensitif, Ibu dari anak laki-laki itu terlihat sedikit gelisah. "Maaf, tapi kami sedang terburu-buru. Jadi, jika kalian tidak masalah... kami akan segera pergi dari sini."

"Ah, dia ini seorang polisi. Dan aku bekerja sebagai Dokter Bedah di Rumah Sakit Miyahama. Aku hanya membantu, uh, kekasihku ini untuk menempelkan selebaran dari DPO. Aku hanya akan memberikan beberapa pertanyaan, itu tidak akan mengambil banyak waktu kalian." Yui memperkenalkan dirinya pada Ibu dari anak kecil tersebut, membuat wanita di depannya itu urung bergerak dari tempatnya berdiri. Ia juga memberikan satu lembar kepadanya sebelum melanjutkan, "Dimana kau melihat orang yang ada di gambar ini, Nak?"

"Tunggu, aku tidak bisa menjamin kalian benar-benar seorang polisi seperti yang kau katakan sebelumnya. Aneh sekali, tidak ada mobil polisi yang parkir di sekitar sini!"

"Letnan Kolonel Watanabe Risa." Risa menunjukkan badge emas miliknya untuk benar-benar meyakinkan orang di depannya ini sebelum ia berteriak dan menuduh Risa sebagai polisi gadungan. "kami sedang dalam penyelidikan, jadi tolong untuk bersikap kooperatif." Ia menyambung. Memasukkan kembali badge ke dalam saku, Risa mengangguk pada Yui untuk melanjutkan apa yang ingin ia lakukan sebelumnya.

Bocah bertubuh tambun dengan potongan rambut menyerupai mangkuk ramen itu terlihat berpikir sejenak. Matanya terlihat sangat serius memperhatikan foto Moriya Akane yang Risa tunjukkan padanya. "Aku melihatnya di pinggir jalan antar kota. Ia tidak sendirian kok. Kalau tidak salah, waktu itu ia duduk bersama seorang wanita dengan rambut sepanjang bahu, mirip dengan rambut dokter!"

Risa kembali menegakkan tubuhnya. Kali ini terlihat lebih antusias karena informasi yang diberikan oleh si bocah cocok dengan catatan miliknya. "Itu memang tempat mobil Akane ditemukan. Berarti anak ini memang tidak berbohong."

Wanita bermarga Kobayashi lantas mengangguk. Ia kemudian menatap lembut anak itu, lalu berucap dengan nada bicara yang lebih bersahabat. "Oh, kau melihat orang yang duduk bersamanya? Tidak? Jika kau mengingatnya, seperti apa wajahnya, pakaian apa yang ia kenakan waktu itu, dan seperti apa mobilnya?"

"Mobil orang itu berwarna putih terang dan sangat berbanding terbalik dengan pakaian yang ia kenakan. Warnanya gelap sekali, aku bahkan kesulitan melihat wajahnya." Jawabnya. "tapi aku ingat pemilik mobil putih itu meminjam sesuatu dari orang ini. Benda itu bercahaya... jadi mungkin ponsel?"

Yui mengangguk sejenak, kemudian melemparkan senyum pada Ibu anak tersebut. "Anak kecil seperti ini biasanya selalu tertarik untuk memperhatikan segala sesuatu yang mereka lewati pada saat mereka sedang bepergian atau semacamnya. Tetapi, tak banyak yang mampu mengingat dan menceritakannya kembali secara detail seperti ini. Ia anak yang sangat cerdas, selalu memperhatikan detail-detail kecil yang tidak disadari orang dewasa. Orang tuanya pasti mendidiknya dengan sangat baik." Ia menjelaskan seraya memberikan senyuman hangat.

Tak bisa dipungkiri, Yui sangat pandai berbicara. Ia menyadari bahwa orang tua si bocah terlihat tidak senang saat Yui menanyakan hal-hal berbau penyelidikan pada anaknya. Barangkali mereka hendak pergi ke suatu tempat dan karena anaknya yang kelewat cerewet serta telinga Yui yang terlalu tajam, rencana mereka menjadi terhambat. Tetapi paling tidak, usahanya memberikan pujian dan ucapan manis pada si Ibu menghasilkan sesuatu yang bagus. Setidaknya ia tidak lagi memberikan tatapan yang tidak mengenakkan kepada mereka seperti tadi.

Pembicaraan singkat keempat orang itu berakhir dengan baik pula. Yui memberikan hadiah kecil berupa beberapa bungkus permen dan sebuah pin akrilik bergambar logo salah satu tim bisbol ternama di Jepang.

Memang informasi yang mereka dapatkan tidak terlalu banyak, terutama informasi tersebut kemungkinan hanya berisi kebenaran sebanyak 60%. Tapi itu dapat mengkonfirmasi bahwa orang yang Akane temui pada malam itu adalah orang yang dekat dengannya. Berdasarkan keterangan saksi, mereka berdua terlihat akrab satu sama lain hingga Akane dengan senang hati meminjamkan ponsel pada orang misterius ini.

Hanya saja, siapa? Tidak ada orang terdekat Akane yang memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan kriminal. Kalaupun itu memang kliennya, Akane tentu akan membawa rekan kerjanya untuk berjaga-jaga. Ia sudah tahu resiko pekerjaannya—sekalipun ia hanya seorang jaksa dan bukan pengacara—yang selalu memancing dendam orang lain, dan ia tentu tidak bodoh untuk bertemu dengan kliennya seorang diri.

Mereka berdua berjalan kembali untuk menempelkan beberapa kertas pada jendela toko, tiang listrik, dan papan pengumuman khusus yang sengaja diletakkan di kawasan ramai untuk kepentingan penduduk. Sementara Risa menempel, ia terus memperhatian dan diam-diam mendengarkan Yui yang berjalan tak jauh darinya untuk menanyai sembarang orang yang lewat.

Jika memang alternya sudah keluar, tidak semestinya ia mampu untuk melakukan hal seperti ini. Aku bahkan tidak bisa menemukan kejanggalan apapun dalam perilakunya. Risa mengerutkan dahi sejenak tanpa membiarkan tangannya berhenti menekan-nekan tiap sudut kertas besar itu. Tapi, jika kuingat lagi... aku benar-benar melihat buku catatan waktu itu. Yui bahkan menulisnya dengan tangannya sendiri, di depan mataku.

"Ini bukan pekerjaan yang seharusnya kau lakukan. Tapi kau justru dengan suka rela membantu." Risa terhenyak, beberapa lembaran kertas sisa yang ada di tangannya nyaris meluncur jatuh dari genggaman. Ia sontak menoleh, menatap langsung pada Yui yang entah sejak kapan telah berdiri di sampingnya. Wanita dengan satu mata itu menyugar rambutnya yang sedikit lepek karena panas matahari ke belakang. "apa kau tidak memiliki ada pekerjaan lain?"

Sejenak Risa kehilangan kata-kata. Ucapan Yui jelas telah menyadarkannya dari sikap egois karena telah mengabaikan apa yang sukses membuat pasukan khusus NPA dikerahkan sebanyak mungkin. Ia merasa bersalah, tetapi bagaimanapun juga ia tetap tidak bisa meninggalkan Yuuka yang telah menemaninya sejak lama. Selama sisa hari ini, ia ingin membebaskan dirinya dari pekerjaannya untuk membantu Yuuka sebelum melakukan penangkapan mendadak di penjara esok harinya.

Lagipula daripada itu, perhatiannya tertuju pada bagaimana Yui menggenggam sisa lembaran poster yang belum tertempel. Wanita itu membawa kertas-kertas tersebut di tangan kanan dan memasukkan tangan kirinya di dalam saku celana. Samar-samar ia dapat melihat lilitan perban yang masih baru di pergelangan tangan Yui. Sepertinya lilitan perban itu naik hingga ke telapak tangannya. Diam-diam Risa merutuk dirinya sendiri karena sebelumnya ia tidak menyadari hal itu sebelumnya.

Kenapa ia menyembunyikan luka itu? Nampaknya luka itu masih baru. Ada sedikit noda gelap di permukaan perban yang dapat terlihat dari luar.

"Hei, Watanabe Risa." Yui kembali memanggilnya. Kali ini dengan suara lebih lantang dari sebelumnya.

Menepukkan telapak tangan kanannya pada permukaan papan untuk merekatkan kertas, Risa lantas menggulung dan menyimpan sisa-sisa kertas di tangannya dalam tas ransel yang ia bawa. "...Yuuka lebih penting. Tidak apa-apa, anak buahku pasti akan mengerti." Ia menjawab, membuat dahi Yui sempat mengernyit selama sepersekian detik.

Yui menjawab, "Begitu? Mudah dimengerti. Ia bahkan menemanimu kembali dari rumah orang tuaku."

"Lukamu... aku tidak ingat kau memiliki luka di tangan kirimu."

Yui mengangkat satu alisnya, kemudian menarik keluar tangan kiri yang sedari tadi ia sembunyikan dari hadapan Risa. Membolak-balik lengan kirinya di depan Risa agar ia benar-benar mendapatkan sesuatu yang ia ingin lihat sejak tadi, Yui lantas menjawab ringan. "Hanya luka biasa. Aku tidak sengaja membiarkan Pomu menggigit tanganku. Semalam ia bersikap sangat agresif, aneh sekali."

Semoga lukamu tidak infeksi dan dapat segera sembuh. Risa ingin sekali melontarkan kalimat itu secara langsung. Tapi alih-alih membicarakannya secara vokal, justru ia hanya mampu mengucapkannya pada dirinya sendiri meskipun ia tahu hubungannya dengan Yui sudah berangsur-angsur membaik. Selama sementara waktu, Risa meraup oksigen dengan rakus dan menghembuskannya sepelan mungkin.

"Yui, kalau tidak salah kau gemar sekali menulis sesuatu di buku catatan kecilmu. Apa kau ingin membeli buku catatan yang baru setelah ini?"

Usaha yang bagus untuk membalikkan kecurigaan kepada dirinya sendiri. Entah setan darimana yang membuat Risa tiba-tiba bertanya tanpa berpikir.

Sayangnya, tanggapan Yui yang sama sekali tidak sesuai dengan bayangan Risa semakin membuat dirinya merasa canggung dan gelisah. Ada sekitar dua puluh detik keheningan dimana hanya terdengar suara semilir angin, suara langkah kaki manusia di sekeliling mereka, serta suara permukaan kertas yang saling bergesekan. Baru saja Risa hendak berpaling ke arah lain untuk membuang wajah, tiba-tiba Yui menjawab, "Tidak perlu. Sisa lembaran halamannya masih cukup banyak. Lagipula aku berencana untuk tidak menggunakannya lagi."

"Ah... begitu ya."

Mereka sudah selesai menempelkan selebaran dari DPO di beberapa titik penting. Jika dilihat lagi, seharusnya mereka berdua sudah menempelkan semua selebaran tersebut di tempat yang seharusnya dan mereka tak perlu lagi menempelkan di lebih banyak tempat. Yui nampaknya juga berpikir demikian, ia sedari tadi menarik-narik lengan Risa—secara tak langsung memintanya untuk kembali ke mobil mereka.

Melihat Yui berjalan dengan sedikit terburu-buru, sekitar beberapa langkah lebih jauh di depannya, Risa tentu saja merasa heran. Utamanya saat Yui seakan menyibak keramaian dengan caranya berjalan yang sedikit menyeramkan. Orang-orang yang tak sengaja lewat di sampingnya bahkan sampai melangkah ke samping agar tidak bersentuhan dengan dokter itu. Perubahan gestur dan raut wajah yang terlalu tiba-tiba itu membuat Risa mau tak mau harus menyamakan tempo langkah mereka, beruntung dengan kedua kakinya yang panjang Risa dapat menyusul Yui yang telah berada di dekat mobilnya dengan mudah.

"Kenapa, Yui? Kenapa tiba-tiba pergi begitu?"

"Ada sesuatu yang perlu diluruskan dan disimpulkan kembali dari apa yang anak itu katakan. Aku merasa... ada sesuatu yang cukup janggal disini, layaknya susunan puzzle. Dan kita perlu tahu sesuatu untuk melengkapi bagian terakhir puzzle itu."

"Seharusnya aku tahu kau memiliki pikiran yang cemerlang dalam hal ini, Yui." Risa menyalakan mesin mobilnya, menunggu beberapa saat untuk membiarkan beberapa kendaraan lewat di sampingnya sebelum membelokkan mobil untuk bergabung dengan puluhan kendaraan lain di jalanan besar yang ramai itu. "aku akan meminta bantuan divisi keamanan lalu lintas agar kita tak perlu terjebak macet."

Risa melepaskan satu tangannya dari roda stir untuk mengambil ponselnya yang ia simpan di dalam saku. Tapi tindakannya itu harus tertunda di tengah jalan karena Yui tiba-tiba mencengkeram erat lengannya dan membuatnya batal mengambil ponselnya.

"Ponsel. Kita harus bertanya pada Yuuka tentang ponsel. Boleh jadi Akane sempat mengirimkan sesuatu sebagai petunjuk, atau bahkan si penculik sendiri yang mengirimkan sesuatu kepadanya."

Hanya dengan tatapan elang Yui yang menyorot langsung pada sepasang iris coklat muda milik Risa, ia sudah dapat menyimpulkan sesuatu yang serius dari balik amatan tajam milik Yui. Tanpa mempertanyakan apapun lagi, Risa segera mengemudikan mobilnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya.

Tentu, ia juga mengabaikan ponselnya yang kembali berdering setelah tiga puluh menit yang lalu.

Kurang lebih satu setengah jam kemudian, setelah meneguhkan hati dengan kesabaran yang luar biasa karena kemacetan, Risa dan Yui telah kembali berkumpul di ruangan utama rumah Yuuka bersama dengan teman-temannya yang lain. Dengan sisa selebaran yang dibiarkan bertumpuk di atas meja, Yuuka yang baru saja kembali dari kamarnya meletakkan ponsel miliknya di samping gulungan kertas tersebut.

"Akane mengirimkanku sebuah email. Beberapa menit setelahnya, ia meneleponku dengan nada bicara seperti terburu-buru. Kupikir ia terlalu repot mengurus segala bentuk pekerjaannya disana tapi ternyata—"

Yuuka tak bisa melanjutkan kalimatnya dengan jelas karena suaranya mendadak tenggelam oleh isakannya sendiri. Ia mengepalkan tangannya kelewat kuat di atas paha, mencoba menahan keinginan untuk memecahkan meja kaca di depannya karena ledakan emosional yang tak lagi dapat dibendung. Bahkan, saat Risa baru saja menutup pintu rumah Yuuka dan akan beranjak menuju ruang utama, Habu tiba-tiba keluar dari balik dinding dan mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.

Ia mengatakan Yuuka hampir saja memecahkan setiap benda berbahan kaca dan keramik di dalam sana dengan tangannya sendiri.

Mengusap wajahnya yang basah dengan tisu, Yui mencoba untuk menjelaskan apa yang telah ia dapatkan. "Kami bertemu dengan pasangan Ibu-anak yang kebetulan lewat saat kami tengah menempelkan selebaran dari DPO. Anak itu mengaku pernah melihat Akane bersama satu orang asing dengan mobil putih dan setelan berwarna gelap di pinggir jalan lintas kota. Yuuka, pelakunya jelas adalah orang yang sangat akrab dengan Akane."

Risa mengambil ponsel milik Yuuka, membuka beberapa aplikasi perpesanan dan riwayat panggilan masuk. Pandangannya begitu serius sebelum kembali melirik ke depan, pada Yuuka. "Masih ada waktu kurang lebih satu minggu." Suara dalam Risa segera mengisi keheningan mereka, seakan menelusup masuk dan membuat kengerian hanya karena ia menyebutkan tenggat waktu hidup dari orang yang telah dinyatakan hilang. "tidak ada telepon masuk dari nomor asing. Penculik itu tidak bermaksud untuk memeras kalian berdua. Lagipula kabarnya di TKP tidak ditemukan adanya tanda-tanda penyerangan atau sejenisnya sehingga saat itu Akane mungkin sama sekali tidak merasa terancam."

Yui yang semula membungkam mulutnya sendiri dan mencoba untuk tenggelam dalam labirin otaknya yang berbelit-belit kini membuka suaranya. Akan tetapi, tetap, ia sama sekali tidak memandang orang-orang di sekelilingnya dan terus menatap kosong pada ponsel Yuuka di tangan Risa.

"Coba pikirkan, jika kalian seorang penculik atau mungkin pembunuh. Apakah kalian akan membiarkan Akane menyentuh ponselnya? Ada dua kemungkinan, jika ya, mungkin kalian sengaja memaksa Akane menelepon Yuuka. Jadi email dan telepon yang diterima oleh Yuuka semalam dilakukan Akane bukan atas keinginannya sendiri—ia diancam. Kemungkinan kedua, jika tidak, itu berarti Akane diam-diam menggunakan ponselnya untuk meninggalkan petunjuk pada Yuuka." Yui berusaha menjelaskan dengan sangat berhati-hati dalam setiap pemilihan kalimat yang hendak ia ucapkan. Karena ia sendiri tahu, apa yang ia katakan ini akan sangat berbelit-belit—kecuali bagi Risa, mungkin—bagi Habu dan yang lainnya. "jika si penculik sampai tahu jika Akane menggunakan ponselnya, maka habislah dia."

Risa kembali membaca ulang email dari Akane yang Yuuka terima malam itu. Tidak ada yang janggal. Hanya sebuah pesan yang mengabarkan jika Akane akan pulang terlambat karena hendak bertemu dengan beberapa orang klien di kantor. Tetapi, isi dari email tersebut jelas berbanding terbalik dengan kesaksian bocah yang ia dengar siang tadi.

Dan ia tentu lebih menaruh kepercayaan pada kesaksiannya ketimbang percaya dengan isi email tersebut. Karena mobil Akane ditemukan di pinggir jalan lintas kota, sesuai dengan ucapan saksi tetapi tidak sesuai dengan isi email. Email ini sengaja ditulis sendiri oleh si pelaku. Risa menyentuh tombol kembali dan ia kembali dihadapkan oleh halaman antar muka aplikasi email. Ia menggulir layarnya ke bawah dan membuka email lain yang dikirim Akane. Ada sedikit perbedaan dalam penggunaan tanda baca dan pola kalimat. Sedikit lucu karena Akane lebih sering menggunakan tanda seru dan kaomoji, tetapi ia menulis email seolah-olah ia tengah menulis surat resmi.

Risa mendapatkan kesimpulan jika email tersebut sengaja ditulis oleh si pelaku saat ia meminjam ponsel Akane. Kalimat yang digunakan pun menunjukkan jika email ditulis dengan terburu-buru karena ia takut Akane akan sadar dengan tindakannya. Skenarionya sesuai dengan apa yang ia tuliskan—tengah berdebat dengan klien—sehingga Yuuka akan percaya begitu saja dan tidak mungkin melakukan cross check terhadap email tersebut.

"Kau bilang Akane meneleponmu. Kau masih ingat apa saja yang ia katakan?" Risa mengembalikan ponsel Yuuka pada pemiliknya. "aku yakin sekali email itu tidak ditulis oleh Akane sendiri."

"Ia menyebutkan nama Risa. Dan ia mengatakan bahwa ia sangat ingin pulang."

"Miyagi." Yui menyela. "Akane ingin Risa menemukannya di tempatnya pulang. Singkatnya, ia berada di suatu tempat di Miyagi."

Detik itu juga seluruh pasang mata yang ada disana segera tertuju ke arahnya. Termasuk dengan beberapa sosok tak kasat mata yang sejak awal telah berdiri mengelilingi mereka.

Tidak ada satupun dari teman-temannya yang menyadari keberadaan makhluk tak kasat mata itu. Bahkan Yuuka yang sedang disentuh oleh Karin dan Seki pun terlihat sama sekali tidak terganggu. Yang paling aneh lagi adalah saat Yui tiba-tiba berdiri dari tempatnya duduk dan berniat untuk meninggalkan tempat itu.

Sosok Fujiyoshi Karin yang terlihat sangat marah kepadanya.

Risa mengangkat wajahnya, tangannya refleks terulur untuk menahan pergelangan tangan Yui. "K—Kemana kau?"

"Aku ingin kembali ke rumah. Ada sesuatu yang perlu aku bawa kemari."

Risa segera berdiri dan mengejar Yui yang sudah setengah jalan keluar dari pintu. Watanabe itu mungkin akan dengan mudah menahan Yui jika getaran ponsel pada saku sudah benar-benar mengganggu kenyamanannya. Sehingga mau tak mau ia terpaksa berhenti, membiarkan Yui keluar dan menutup pintu di depan wajah Risa, sementara inspektur itu mengecek apa yang ada dalam ponselnya dengan geraman kesal.

Ada lebih dari 120 panggilan tidak terjawab. Semuanya berasal dari Harada dan Ozeki yang bergantian menelepon tanpa henti sejak empat jam yang lalu. Tanpa basa-basi lagi, Risa menelepon balik Harada, berniat untuk sedikit menggertak.

"Aoi! Aku sudah bilang untuk tidak menggangguku sampai pukul tujuh malam! Apakah kau tidak mengerti? Aku sedang mengurus sesuatu yang lain disini. Kau sudah tahu jika Akane menghilang, bukan?"

"Aku mengerti, maafkan aku Risa. Hanya saja, ini sesuatu yang penting dan kau harus tahu! Paling tidak cek saja kotak masukmu!"

Risa menggeram keras dan mengacak-acak anak rambutnya dengan kasar. "Jangan buang waktuku, katakan sekarang."

"Rei. Dia dan Takemoto berhasil keluar dari penjara dan membunuh setengah penjaga yang ada disana dalam satu malam, termasuk kepala sipir yang masuk dalam daftar tersangka kita. Hingga sekarang pasukan khusus masih mengamankan penjara itu dan berusaha mencari dua orang itu. Risa, jika kau tahu ini lebih awal, kau mungkin bisa mencari mereka dan menangkapnya sebelum mereka pergi jauh. Jelas saja, dua orang itu adalah dalang di balik pembunuhan Black Mail! Sekarang, lihat! Mereka sudah kabur dari penjara dan mungkin akan menemui satu orang lainnya—seperti yang kau katakan—dan merencanakan pembunuhan selanjutnya, Risa!"

"Aoi—kau ini bicara apa sih?"

"Berhenti bersikap egois, Risa. Pencarian orang hilang bukanlah tanggung jawabmu sekalipun Yuuka adalah teman dekatmu. Sungguh, aku tidak ingin mengatur kehidupan pribadi kalian. Tapi... tidakkah kau sadar bahaya apa yang akan segera datang jika tiga psikopat gila ini berkeliaran bebas?"

Semua orang yang menerima surat itu akan mati.

Kemudian seakan kepalanya telah disambar oleh jutaan volt petir yang sukses memantik sumbu tak kasat mata yang secara alami tumbuh di pucuk kepala, Risa mencengkeram kuat-kuat ponsel miliknya sementara suara Harada di ujung telepon terus menerus berdengung dalam telinganya. Mungkin karena kekuatan cengkeramannya yang sudah kelewatan, Risa dapat mendengar suara crack kecil yang disebabkan oleh layar dan body ponselnya yang retak.

Jika begitu, berarti Akane pun juga akan mati...?

Koike yang sebelumnya tampak ragu untuk bertanya apa yang telah membuat Risa mendadak berdiri kaku di depan pintu akhirnya berani untuk berbicara. "Kenapa... Risa?"

"Hah?" Jantungnya seakan berhenti berdetak. Itu membuat Risa nyaris terlihat seperti manusia tanpa nyawa yang sengaja dibuat berdiri di depan mereka—dengan wajah pucat dan keringat dingin yang menetes dari ujung surai cokelatnya. "Rei... Rei kabur dari penjara."

Seperti yang ia duga, Yuuka adalah orang yang paling terlihat ketakutan dan gelisah karena ucapan Risa. Di sisi lain Risa dapat mendengar Yuuka mengaitkan Rei dengan hilangnya Akane dan berucap dengan setitik emosi panas dalam warna suaranya. Risa hanya dapat mendengar sebatas itu saja karena telinganya mendadak memanas dan berdengung hebat.

Dan saat amarahnya sudah tak dapat lagi terbendung, Risa tiba-tiba membanting ponselnya dengan sangat keras hingga hancur berkeping-keping, kemudian berteriak lantang seperti predator yang mengamuk.

Hono menggigit senter kecil di sela-sela giginya sementara tangannya yang tidak cidera terus menerus mengobrak-abrik isi lemari penyimpanan yang ada di dalam ruang kerja milik Dokter Kobayashi Yui. Ketika seluruh barang yang ada disana telah ia amati dan ia tidak mendapati barang yang ia cari, Hono segera memasukkannya kembali serapi mungkin dan beralih ke tempat lainnya. Sayup-sayup ia dapat mendengar suara derit laci terbuka dan tertutup dari luar, itu yang membuatnya yakin jika Ten masih berada bersamanya dan tidak meninggalkannya.

Hono menghembuskan napas kasar. Melihat sekelilingnya untuk mencari laci dan lemari mana yang belum ia bongkar. Dan saat ia merasa semua tempat sudah ia jelajahi dengan tidak sopan, ia tak dapat menahan kata kasar yang keluar bersamaan dengan napasnya yang tersengal.

Saat perjalanan ke tempat itu, mereka berdua telah sepakat untuk berbagi tugas mencari buku catatan yang dicari oleh Risa dan Yuuka. Ten akan mencari di ruang depan dan ruang tamu sementara Hono akan fokus dengan ruang kerja karena kondisinya yang cidera. Ia melakukan ini sebagai bentuk penebusan dosa dari dosa-dosa yang pernah ia lakukan di masa lalu, dengan membantu orang-orang terdekatnya melakukan investigasi mandiri bersandingan dengan investigasi dari pihak kepolisian--Watanabe Risa dan tim.

Di luar, Ten memasukkan satu buah gulungan tisu terakhir ke dalam lemari penyimpanan. Ia sama sekali tidak menemukan benda mencurigakan kecuali satu plastik bubuk berwarna putih yang menyerupai obat yang ditumbuk halus. Wanita jangkung itu sempat berjalan mengelilingi dapur dan berhasil menemukan botol-botol obat kosong yang dikumpulkan menjadi satu dalam kantung plastik.

Dengan perasaan kecewa, ia kembali menuju tempat Hono berada. "Senior, apa kau menemukan sesuatu?"

Hono mengangkat tas kecil yang terlihat penuh oleh sesuatu berbentuk kotak. "Selain disket yang dikatakan Risa? Tidak. Tidak ada benda seperti buku catatan bersampul hitam seperti yang ia minta."

"Aku juga tidak menemukan apapun." Jawab Ten dengan perasaan kecewa yang masih belum juga hilang.

"Aish, aku jadi merasa bersalah karena sempat mencurigai Yui. Kau ini..." ia berdecak sebal. Kemudian mendadak diam saat pandangan matanya jatuh pada lemari kaca berisi koleksi senjata api milik Risa. Tanpa mengatakan apapun, Hono mengambil pistol yang tergantung disana dan membawanya ke depan Ten.

Ten jelas tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Jadi ia lekas-lekas menahan ujung pistol untuk mengembalikannya, membuat Hono tidak bisa mengintip isi pelurunya. "S—Senior Tamura, apa yang kau lakukan dengan senjata itu? Kembalikan saja, hei!"

"Lepaskan saja. Aku hanya akan mengecek jumlah peluru yang ada di dalam sini. Coba kau bawa dan genggam sendiri, pistol ini lebih berat. Jelas ada beberapa butir peluru di dalamnya." Hono memberikan dessert eagle itu pada Ten dan membiarkannya memegang benda itu selama beberapa detik untuk mengonfirmasi. Ia kemudian kembali mengambil pistol itu dari Ten dan segera mengecek sisa pelurunya.

Ada enam butir peluru dalam magazine. Itulah yang membuat Hono sempat merasa janggal. Seharusnya ada tujuh peluru yang ada di dalam magazine karena jelas semua senapan itu hanya sebatas pajangan. Kalaupun semuanya berisi peluru, seharusnya masih terisi penuh dan tidak berkurang satu butir seperti pistol yang satu ini.

Kelewat penasaran, Hono mendekatkan moncong pistol pada hidungnya. Bau menyengat dari campuran belerang, arang, dan kalium nitrat segera bersarang di dalam hidungnya. Ia familiar dengan barang-barang seperti ini karena salah seorang temannya di Inggris bertugas dalam militer. Sehingga indra penciumannya akan langsung menangkap bau bubuk mesiu semacam ini dimanapun ia berada. 

Satu hal lagi untuk membuatnya yakin. Hono meletakkan pistol itu di atas meja, dengan tangan kanan Ten menahan popor pistol agar tidak bergeser karena Hono akan memasukkan salah satu ujung jarinya ke dalam moncong pistol. Seperti yang ia duga, ujung jarinya langsung merasakan serbuk bertekstur kasar yang terlihat menyelimuti bagian dalam lubang keluarnya peluru tersebut. 

Dengan tangan sedikit gemetar, ia segera mengangkat jari telunjuknya keluar, menggesek-gesekkan jari itu dengan ibu jarinya untuk semakin membuatnya yakin sebelum mengatakan, "Ten, pistol ini sudah pernah ditembakkan. Dan... waktunya tidak terlalu lama."













Yang harus diperhatikan:

1. Tanggapan Hono tentang bau mesiu pada pistol.
2. Bubuk putih dan botol obat yang ditemukan Ten (juga Risa)
3. Sekali lagi, email.




Serius. Aku hampir bikin status buku ini jadi discontinue gara-gara MCnya mau grad. Untung habis dikasih pencerahan sama seseorang jadi pelan-pelan ngumpulin niat buat bener-bener namatin.

If you read this, thank you for helping me.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top