Chapter 2: Little Party

Yuuka tak henti-hentinya berhenti di depan cermin untuk memeriksa penampilannya. Hatinya gelisah, merasa tak nyaman tiap kali ia melihat bekas luka yang menghiasi wajah dan leher, termasuk bekas jahitan untuk menyambungkan kembali daun telinganya. Tangannya menyentuh permukaan kaca kemudian dengan perlahan ia membalik telapak tangannya. Bekas sayatan pedang itu ada disana. Meninggalkan bekas keloid memanjang yang bervolume.

Hari ini adalah hari dimana ia akan bertemu dengan teman-teman untuk merayakan hari kebebasannya. Akane lah yang diam-diam mempersiapkan acara kecil tersebut dan baru memberitahu Yuuka tepat setelah ia membuka mata dari tidurnya yang lelap pagi ini. Jelas saja nyawa Yuuka yang semula berkeliaran dalam mimpi langsung tertarik masuk ke dalam tubuhnya begitu mendengar ucapan Akane.

Ia mengangkat kepalanya sembari menghembuskan napas. Meletakkan pandangan pada pantulan wajahnya, ia nyaris kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Betapa kuat keinginannya untuk memukul cermin di depannya, menghancurkan wajah yang begitu ia benci, menghapus sisa-sisa memori mengerikan yang menghiasi masa lalu. Tangannya mengepal, dihadapkan pada permukaan kaca, hendak menghancurkannya dengan pukulan.

Derit pintu membuatnya tersadar dan menarik kembali kepalan tangannya. Buru-buru Yuuka berputar dan berjalan keluar beranda untuk diam-diam menghapus air mata sekaligus mengatur tempo napas.

"Gelisah?"

Yuuka menggumam sejenak, "Sedikit." Ada keheningan selama beberapa saat. Hanya terdengar suara Akane yang tengah menggunakan pengering rambut. Sepertinya ia memahami keadaan Yuuka dan memutuskan untuk membiarkannya menenangkan diri di beranda. Dalam hati Yuuka bersyukur Akane tak memaksanya untuk bercerita ataupun mendatanginya sehingga ia memiliki waktu untuk menenangkan diri.

Waktu terus berlanjut, Akane selesai dengan urusannya. Ia mematikan mesin dan melihat Yuuka yang berdiri membelakanginya. Ia menghela napas, bangkit berdiri dan berjalan untuk bersandar di samping Yuuka.

Ia tak mengatakan apapun selama itu. Hanya mendengarkan suara angin berhembus dan gemeresak dedaunan, juga suara hembusan napas Yuuka yang terdengar berat. Selama keheningan itu, Akane menghabiskan waktunya untuk memperhatikan wajah samping dari wanita di sampingnya.

Garis rahangnya, lekuk hidung dan figur wajah yang selalu membuat Akane merasa waktu sengaja dihentikan tiap kali ia memperhatikan Yuuka. Bahkan dengan bekas-bekas luka itu, Yuuka masih terlihat begitu menawan baginya.

"Kupikir sejak aku memutuskan untuk melanjutkan studi dan meninggalkan Jepang, aku harus dan dapat meninggalkan semuanya di belakang. Tapi kenyataannya itu sulit." Akane tertawa kecil. Ia membalik tubuhnya menghadap jajaran gedung-gedung bertingkat jauh di depan sana. Melipat tangannya pada pegangan balkon, ia melanjutkan, "aku mengerti apa yang kau rasakan. Berusaha mati-matian untuk merelakan dan melupakan.. malam itu. Bagaimana aku mengatakannya, ya? Kau takut orang lain melihatmu dengan tatapan benci, kau takut akan penilaian orang lain saat mereka melihatmu, benar? Tapi, mari kita lihat. Kau mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup, Yuuka. Kesempatan untuk memperbaiki semuanya, kesempatan yang diberikan oleh Fujiyoshi dan Seki..? Kau harus berjuang untuk mereka, Yuuka."

Yuuka mendengarkan Akane berbicara panjang lebar. Meskipun ia tak memiliki niat untuk memberikan jawaban, ia tetap mencerna ucapan Akane. Ah.. mengapa ia kembali teringat akan peristiwa itu? Dimana sahabatnya sendiri meninggal dalam rengkuhannya.

Beberapa kalimat yang Akane ucapkan membuat Yuuka tergerak. Selama ini Akane yang berusaha membantu Yuuka melupakan semua masa lalunya, membantunya menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Jika ia menyerah begitu saja, bagaimana dengan Akane dan seluruh tenaga yang ia keluarkan untuknya?

"Tapi, Akane-"

"Bersamaku, tidak akan ada yang bisa melukaimu."

Yuuka tersenyum kecil. Sungguh, jika mereka sedang tidak ada acara pasti Yuuka telah memeluk dan mengacak-acak rambut temannya itu karena gemas. "Apa-apaan ini, mengapa kau begitu kekanak-kanakan?"

"Hei, aku berusaha keras menghiburmu dan itu jawabanmu atas usahaku?" Akane memukul punggung Yuuka. Ia kemudian berbalik dan mengambil jaket berwarna coklat tua dari gantungan baju. Ia kembali untuk memberikan jaket tersebut pada Yuuka. "ayo pergi. Yang lainnya pasti sudah menunggu."

Yuuka memperhatikan Akane berjalan melewatinya dan melangkah keluar kamar. Terdengar suara gesekan dari laci yang terbuka dan beberapa ketukan langkah kaki di luar kamar. Membutuhkan waktu beberapa detik lebih lama baginya untuk akhirnya memutuskan untuk keluar kamar. Rupanya Akane telah menunggu di luar, di dalam mobil.

Itu membuat Yuuka kembali bertanya-tanya. "Tunggu, kau bilang mereka akan datang?" ucapnya ketika masuk ke dalam mobil, mengikuti Akane.

"Ya.. memang benar. Tapi bukan kemari." Akane menjawab dengan nada ringan. Seperti yang ia duga, Yuuka refleks menengadahkan kepalanya dan membuka mulut seolah akan berteriak meminta bantuan kepada orang-orang di luar. Tapi justru itu membuat Akane semakin bersemangat. "ayolah. Ini hari yang baik, Sugai. Aku yakin kau takkan ingin melewatkannya."

Akane menatap tempat itu. Sudah bertahun-tahun lamanya sejak terakhir kali ia berada disana, hari dimana kecelakaan terjadi dan merenggut nyawa temannya-Matsuda Rina. Bangunan itu banyak berubah. Dulunya berada di jalanan sepi dan terkesan kumuh, tapi sekarang jalan di depan rumah makan dilebarkan dan telah menjadi jalan umum yang ramai.

Ia berfokus pada satu titik, tepat di mana tragedi itu terjadi. Bahkan saat ini Akane dapat melihat ia masih ada disana. Tergeletak bersimbah darah dengan tangan terulur ke arah jalan besar.

"Jangan melamun. Berbahaya. Lagipula ini jalan yang cukup ramai." Akane tersentak, tersadar dari imajinasinya saat Yuuka tiba-tiba menggenggam telapak tangannya dan menariknya ke samping, membawanya masuk ke dalam.

Dua orang wanita berambut pendek dan bertubuh tinggi-lebih tinggi dari Yuuka-menyambut mereka begitu bel pintu kaca rumah makan berbunyi. "Akhirnya kalian datang!"

Sementara Yuuka hanya menjawab dengan mengangguk dan senyuman sopan karena ia benar-benar tidak mengenal, koreksi, lupa dengan nama mereka. Wajahnya benar-benar lugu seperti anak kecil yang duduk menunggu ibunya di antara gerombolan ibu-ibu sosialita yang sedang bercengkerama.

"Sugai, hei... pemilik acara harus berjalan di depan." Yuuka mencicit kecil saat wanita tinggi itu melingkarkan lengan di bahunya dan mulai menuntunnya. "ini harimu, kawan. Tersenyumlah." Katanya. Dan sekali lagi Yuuka hanya menjawab dengan suara kecil.

Habu membawanya bergabung dengan beberapa orang lain yang menunggu di meja besar-lebih tepatnya beberapa meja yang digabungkan-dua orang nampak sedang berperang dengan lalat dan dua orang lainnya hanya diam menunggu.

Akane menyeret mundur satu kursi dan membiarkan Yuuka duduk disana sebelum menempatkan dirinya di sampingnya. "Mungkin kau lupa, tapi biarkan aku memperkenalkan nama mereka lagi kepadamu." Ucapnya. Yuuka mengangguk patuh sebagai jawaban.

"Dua orang yang menyambutmu di pintu depan, Koike Minami dan Habu Mizuho-si pemain cadangan." Yuuka mengangguk paham dan sedikit tertawa saat Habu mencibir Akane karena menyebutnya pemain cadangan. "di sampingnya, Saito Fuyuka dan Yamasaki Ten. Yah, orang yang berkelahi dengan Seki dan Hono di kantin, jika kau memang benar-benar tak ingat. Dan yang satu itu," Akane menggumam dengan nada tinggi seraya mengangkat tangannya dan membuat gestur seolah sedang memuji masakan yang amat lezat. "anak asuhku."

Yuuka terbelalak, "A-Anak asuh kau bilang?"

Koike menyahut, memberikan penegasan ulang, "Tidak. Sejak Ten berduka, ia selalu datang pada Akane seperti kehilangan arah. Dan Akane memberinya bimbingan hingga sekarang."

"Atau mungkin lebih tepat lagi, asisten tidak resmiku," Akane melanjutkan lagi, "jika dua orang itu kau pasti sangat ingat. Pasangan favorit semua orang-Kobayashi Yui dan Watanabe Risa." Fuyuka menyenggol bahu Akane tepat saat ia menyebutkan nama dua orang terakhir.

Akane tentu tidak mengerti apa yang ia maksud tapi ketika Fuyuka melemparkan senyum pada Yui dan Risa-serta menawarkan makanan manis pada mereka-ia sepertinya sedikit paham. Ia heran, mengapa dua orang ini duduk bersebelahan dan saling diam seperti tak saling kenal? Padahal terakhir mereka bertemu, hubungan dua orang ini masih terlihat baik-baik saja.

Mengesampingkan kecanggungan itu, Ten berdeham, membuat seluruh perhatian tertuju kepadanya. Ia mengangkat gelas minumannya ke atas, semua orang lainnya mengikuti dan Ten kembali melanjutkan, "Untuk kebebasan dan keselamatan Sugai!"

"Untuk kebebasan dan keselamatan Sugai Yuuka!"

"Sungguh, kau tidak perlu memanggil namaku dengan nama belakang." Yuuka menyahut dengan suara agak keras. "terima kasih, Yamasaki."

"Kalau begitu, kau tak perlu memanggilku dengan nama belakangku." Ten menegaskan. "jujur saja, aku lebih nyaman memanggilmu dengan nama Senior Sugai."

Butuh waktu bagi Yuuka untuk menyadari bahwa tak ada orang lain selain mereka disana. Benar-benar seperti milik pribadi. Apakah mereka membeli tempat ini hanya untuk acara kecil? Yang benar saja. "Omong-omong kenapa disini begitu sepi?"

"Oh, apakah kita akan memberitahunya di awal?" kali ini Yui yang bicara. Ia menatap Akane untuk menunggu persetujuan. Barulah setelah Akane mengangguk ia melanjutkan, "sebenarnya kami membeli tempat ini untukmu. Ini menjadi hak milikmu sekarang, kau bos di tempat ini."

"EH?" Yuuka refleks menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan karena kaget. "tidak mungkin..?"

"Akane yang memberikan ide itu kepada kami dan mengatakan bahwa ini hadiah terbaik untukmu, setelah berbagai perdebatan yang alot." Sahut Risa dengan nada bicaranya yang khas.

"Astaga... aku tidak tahu harus bagaimana. Terima kasih.." Yuuka bersuara lirih. Ia menundukkan kepalanya untuk menutupi matanya yang berkaca-kaca. Meski akhirnya ia sengaja bersandar dan bersembunyi di belakang Akane. "Akanen..." sementara Akane hanya tertawa sambil mengelus lengan Yuuka.

Acara kembali bergulir sebagaimana mestinya. Meskipun dengan suasana canggung yang berasal dari Risa dan Yui-karena dua orang itu entah mengapa seperti saling menghindar satu sama lain. Sebenarnya Yuuka ingin sekali bertanya mengenai hal tersebut, karena ya, mungkin ini salah satu dari banyak hal yang terlambat ia ketahui. Tapi karena ia merasa tak enak, jadi ia memutuskan untuk bertanya saat keadaan mendukung saja.

"Ada apa dengan tanganmu? Dilihat-lihat jarimu sedikit membengkak." Fuyuka bertanya pada Yui. Ia mengangkat tangan Yui dan memutarnya dengan hati-hati untuk mendapatkan pandangan lebih baik dari tangannya.

Yui mengernyit, Fuyuka tak sengaja menekan bagian yang paling menyakitkan di sana. "Aku cidera saat latih tanding. Bukan sesuatu yang mengkhawatirkan, tapi jangan menekannya seperti itu." Karena tidak mungkin aku mengatakan luka ini terjadi karena aku mengejar hantu di rumah.

"Kau masih berlatih?" Risa bertanya.

"Ya. Kenapa?"

"Bukan apa-apa."

Dering ponsel Risa membuat wanita itu menggeram kesal. Ia membiarkannya berbunyi dan memilih untuk menghabiskan makanannya saja. Yuuka meletakkan gelas, kemudian menyodorkan ponsel Risa kepada pemiliknya. "Angkat saja. Mungkin urusan pekerjaan."

"Yang benar saja."

Jika saja Yuuka tidak mengingatkan Risa tentang pekerjaannya sebagai polisi yang harus siap siaga setiap saat, mungkin ia tetap mengabaikan panggilan tersebut. Ketika ia melihat layar, nomor telepon rekannya dari divisi keamanan lalu lintas muncul. Risa memberikan gestur pada teman-temannya untuk diam sebelum menerima panggilan.

"Watanabe Risa. Bicaralah," Risa terbatuk kecil. Mengalihkan pandangannya ke langit-langit untuk menghilangkan kecanggungan. Bagaimana tidak, kini semua orang yang ada bersamanya tengah memusatkan perhatiannya pada Risa. "apa-?" suara tenangnya mendadak meninggi, menunjukkan keterkejutan sekaligus kepanikan. "terima kasih. Tolong amankan."

Risa segera bangkit dari tempat duduknya. Suara derit kursi yang cukup keras menandakan sesuatu yang gawat telah disampaikan melalui panggilan telepon barusan. "Aku harus pergi." Ucapnya. Ia tak sengaja menjatuhkan kunci mobilnya karena terburu-buru.

"Ada apa, Ris? Ekspresimu cepat sekali berubah." Yuuka bertanya. Risa mengangkat wajahnya, merapatkan bibir membentuk garis lurus. "bukan hal yang baik... ya?"

"Mereka menemukan mayat di tempat parkir." Risa menjawab singkat. Matanya tidak menatap Yuuka melainkan menatap Ten yang duduk berseberangan dengannya. Anak itu tampak ketakutan apabila dilihat dari matanya yang sedikit terbelalak. "mari berdoa ini bukan dari psikopat gila itu lagi."

Setelah mengatakan hal itu, Risa segera melangkah pergi dan meninggalkan teman-temannya dengan penuh tanda tanya. Begitupun dengan Ten. Yang termuda itu kini harus menyembunyikan tangannya di bawah meja karena gemetar. Ia teringat akan kertas berisi ancaman pembunuhan yang ia dapatkan beberapa minggu lalu. Ditambah dengan potongan jari yang sempat membuatnya muntah selama berhari-hari lamanya.

Ten menggigit dinding mulutnya. Ia tak bisa menghapus dugaannya pada orang-orang itu meskipun Risa telah menegaskan bahwa mereka semua telah dipenjara. Bertahun-tahun lamanya ia membaca arsip-arsip dan dokumen peninggalan Hikaru, membuatnya mendapat sudut pandang baru dari seorang pembunuh. Ia memikirkan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan menyelidiki sendiri kasus pembunuhan berantai itu, serta surat yang diterima korban.

Tulisan tangan yang ada disana memiliki 90% kemiripan dengan tulisan Ozono Rei.

Ia mencuri pandang pada Kobayashi Yui. Di balik ekspresi tenangnya, wanita itu nampak menyembunyikan sesuatu disana. Tapi ia tak bisa memastikan hanya dengan wajah, ia harus memastikan dari hal lain lagi. Seperti biasa, ia akan memakai pancingan. Dijatuhkannya sebuah sendok dan membungkuk untuk mengambilnya.

Ia mengepalkan tangannya yang cidera. Apa ia mengalihkan suatu hal dari pikirannya dengan rasa sakit?

Koike, merasa ada yang salah dengan Ten sepeninggalnya Risa, memutuskan untuk bertanya. "Ten? Kau oke?"

Ten tersentak. Ia merasa gugup. Haruskah ia memberitahukan apa yang ia dapatkan pada kakak-kakaknya itu? Bagaimana jika mereka menjadi terlibat hanya karena Ten memberitahu mereka? Ten tidak ingin semua hal itu terjadi. Tapi jika memang Rei benar-benar terlibat kali ini, bukan tidak mungkin ia menarget orang-orang yang terlibat dalam kasus itu. Bisa jadi salah satu dari mereka juga mendapat ancaman yang sama namun mereka tetap diam.

"Hei, Ten. Kalau kau merasa tak enak badan, kau bisa memintaku untuk mengantarmu pulang." Kali ini Akane bersuara. Ia berdiri dari tempat duduknya untuk mengecek keadaan Ten lebih dekat.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin bersendawa tadi, hahaha.." Ten menjawab singkat. "ayo lanjutkan saja acaranya." Ia melanjutkan, sembari tersenyum simpul.

Mungkin aku harus berbicara dengannya dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top