Chapter 19: Even The Cruelest Have Feelings of Mercy
Menggeleng-gelengkan kepala dan membuat butiran-butiran kecil air tumpah pada lantai, Risa baru saja menumpang mandi di apartemen Akiho, termasuk dengan mengisi perutnya dengan makanan layak disana. Akiho tahu Risa tidak memakan apapun di rumah Yui selain sebungkus roti yang ia bawa ke mobil, jadi meskipun waktu sudah menunjukkan pukul dua belas lebih ia merasa tidak masalah untuk memasak sesuatu untuk dirinya sendiri dan Risa.
Barulah setelah itu mereka kembali ke kantor dengan kecepatan tinggi, bertemu dengan beberapa orang lainnya yang sedang lembur ataupun sekedar menghabiskan waktu di kantor dengan alasan pribadi.
Hasil penyelidikan sementara dari petugas lapangan dibawah pengawasan Sersan Ozeki dan Akiho telah dicetak dan Risa mendapatkan hard copy dari tujuh lembar laporan tersebut. Tumpukan kertas itu sebelumnya tidak ada di mejanya, dan Risa yakin ia telah membersihkan meja kerjanya dari berbagai kotoran dan sampah-sebagai orang yang gila kebersihan-dari berbagai media yang mengganggu.
Dan saat Risa kembali dengan membawa stofmap berisi laporan hasil identifikasi DNA dari kantor dokter forensik Watanabe Rika, Risa mendapati lembaran kertas yang tertimpa laptopnya. Saat itu pukul empat mendekati pukul lima, dan Risa yakin tidak ada orang lain yang datang ke ruangannya. Tapi itu adalah asumsi pribadinya sebelum Harada masuk ke dalam ruangan dengan rambut acak-acakan dan wajah muram.
Ia menanyakan perihal kertas laporan tersebut dan Harada menjawab dengan gumaman lantang. Ya... paling tidak Risa merasa aman karena ia sempat mengira ada orang asing yang bisa masuk ke dalam kantornya tanpa kartu akses.
Setelah mengkonfirmasi dan membiarkan Harada tidur dengan menutupi wajahnya di atas meja, Risa menghabiskan waktu selama kurang lebih dua jam untuk membaca dan mencocokkan laporan penyelidikan dari kasus pembunuhan keluarga Kobayashi dengan catatan yang ia buat sendiri, kemudian ia bandingkan dengan laporan penyelidikan dari kasus pembunuhan Black Mail.
Diambilnya sebuah buku catatan kecil dari dalam laci, kemudian meraih pena otomatis sebelum mulai menandai dan menulis beberapa poin yang menurutnya penting.
Tiga.
Ada tiga pembunuhan dengan masing-masing pola yang sangat berbeda. Mulai dari korban yang ditemukan di dalam gang dengan bekas pukulan benda tumpul, pembunuhan berantai Black Mail, dan yang terakhir, pembunuhan keluarga Kobayashi yang merupakan kasus pembunuhan baru. Dengan bekal hasil identifikasi DNA dari darah yang ada di penjara serta hasil laporan intelijen, Risa mungkin dapat menarik benang merah untuk benar-benar memastikan satu hal.
Ada banyak sekali kasus dengan bukti dan pihak-pihak terlibat yang begitu luas. Meskipun Risa memiliki tim dan banyak anak buah untuk membantunya, tetap saja ia merasa sangat pening. Jika ia sampai meleng dan melakukan kesalahan sedikit saja, maka semuanya akan benar-benar kacau-tentu ia tidak ingin hal itu terjadi dan membuat jabatan serta kuasanya dilepas paksa. Jika begitu, ia tidak akan bisa membalas dendam kepada pembunuh-pembunuh yang sedang buron.
"Kepalaku... padahal sebelumnya tidak sesakit ini, urgh." Geram Risa. Suaranya terdengar lemas, sama sekali tidak menunjukkan bagaimana seorang Watanabe Risa biasanya berbicara. Mungkin karena ia telah terlalu penat, bahkan untuk membuat pita suara di sela tenggorokannya bekerja.
Kini ia tak lagi berkutat dengan kertas, buku, dan bolpoin. Ia memilih menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan tangan kanan terulur untuk mengambil beberapa tablet obat yang ia simpan di dalam laci-ya, ia tidak pernah benar-benar meminumnya-dan meminum tiga butir sekaligus dengan setengah botol air mineral, berharap itu dapat membuat isi kepalanya yang seperti dihantam oleh palu sedikit mereda.
Saat ia berdiri untuk meregangkan tubuh, matanya disambut oleh langit yang entah sudah sejak kapan berubah warna dari hitam pekat ke biru kemerahan. Fajar sudah menyingsing, lampu-lampu gedung perkantoran dan Menara Tokyo yang bersinar terang di malam sebelumnya sudah dimatikan. Ambience dari embun beku yang menempel pada jalanan aspal di bawah sana membuat pantulan sinar dari berbagai jenis lampu kendaraan sampai pada penglihatan Risa, kendati ruangannya berada di lantai empat.
"Akhir-akhir ini keadaan menjadi lebih berat dari biasanya."
Mengangkat dagu, sedikit terkejut karena Harada yang ia kira tengah terlelap tiba-tiba mengeluarkan suaranya. Wanita bertumbuh pendek itu sedang merapatkan ikatan dasi hitam pada kemeja putihnya, dengan tangan kiri menenteng seragam hitam dengan warna senada dengan yang Risa kenakan.
Risa tersenyum sekilas, pada Harada dan beberapa anggota lain yang baru saja masuk ke dalam ruangan dengan wajah lelah yang disembunyikan. Inspektur itu lantas berdiri, mengambil tempat duduk kosong di samping Harada. "Dengan kasus pembunuhan baru dan apa yang kita temukan di dalam penjara? Ya, benar. Ini akan menjadi lebih berat karena aku akan mengadakan rapat untuk membahas hal ini." Ucapnya. "Kenapa begitu rapi? Kita tidak akan melakukan pertemuan dengan para petinggi atau semacamnya."
"Apa?" Harada menekuk dahinya, sedikit terpantik oleh ucapan Risa. "Hei, kau tidak lupa dengan konferensi pers pagi ini?"
Jika sebelumnya Risa dapat sedikit bersantai karena sudah memiliki acuan untuk apa yang perlu dibahas dalam rapat nanti, kali ini ia tak dapat untuk menahan diri untuk tidak berteriak dengan setengah ditahan. Apa yang ia katakan barusan? Konferensi pers? Risa baru tahu dengan keberadaan agenda tersebut hari ini. Tidak ada satu orang pun yang memberitahunya!
Dari respon Risa dan kedua matanya yang terbelalak, Harada dapat menyimpulkan jika memang ia tidak tahu dengan konferensi hari ini. Tidak bisa disalahkan juga karena Harada sendiri baru mendapat informasi tersebut tengah malam tadi dan menginformasikannya pada Risa saat itu juga. Meskipun Risa seharusnya sudah mengecek email tersebut, mengingat padatnya jadwal yang rekannya itu jalani Harada menjadi merasa maklum.
"Tak apa, tenanglah. Acara tersebut baru akan dimulai dua jam lagi. Kau memiliki kesempatan untuk merapikan diri dan merencakan apa yang akan kau katakan di depan kamera. Kita bisa melakukan rapat tersebut setelah konferensi selesai, aku akan mengaturnya." Harada mengancingkan seragam hitamnya sembari meraih handy-talky yang diletakkan di samping monitor komputer. "Kau bisa membawa Ozeki, Yuuno, dan petugas blasteran Korea-Jepang itu denganmu."
"Sersan Kepala Kang-gu jeon?" Risa mengoreksi. Pikirannya tertuju pada seorang petugas wanita dengan rambut panjang yang selalu diikat rapi dari divisi sistem informasi. Kalau tidak salah ia juga lulusan dari Akademi Polisi dengan jurusan yang berbeda dari yang Risa tempuh waktu itu. Jika Risa tidak benar-benar meneliti latar belakang pendidikan dan prestasinya, mungkin Risa tidak akan pernah tahu jika Sersan Kang adalah juniornya sewaktu pendidikan.
"Bukan, Risa. Bukan begitu cara mengeja namanya dengan benar. Kang Jeon, itu Kang tanpa tambahan -gu di belakangnya."
"Kau tahu lidah Jepangku tidak akan pernah terbiasa."
Menghembuskan napas malas, tangannya menepuk-nepuk kepalanya yang kembali berdenyut. Benar-benar membuat repot saja. Setelah ini ia harus menghabiskan waktu dua puluh menit untuk mengganti seragamnya dengan seragam formal-pakaian dinas upacara-dengan segala tetek bengeknya seperti simbol perpangkatan, evolet khusus, branch, dan lainnya. Bagi anak kecil atau warga sipil memang terlihat keren, tetapi Risa sendiri merasa seperti badut jika tengah memakai seragam khusus seperti itu.
Akhirnya ia bangkit berdiri, memberikan tepukan ringan pada bahu Harada sekaligus menyapa anggota tim miliknya yang sudah duduk dan bekerja di tempat mereka masing-masing. Risa menyempatkan waktunya untuk masuk dalam ruangan pribadinya untuk mengambil setelan seragam sebelum benar-benar keluar untuk berganti pakaian.
"Oh, jangan lupa untuk memakai sedikit make-up. Kau harus menyembunyikan wajahmu yang suram itu di depan media." Harada berkata, membuat Risa yang baru saja setengah langkah keluar dari pintu kaca gelap sontak berhenti, melongokkan wajahnya ke dalam.
"Ya." ia menjawab singkat. Kemudian kembali menghadap ke depan. Ia kembali berhenti di tengah jalan karena bertemu dengan seseorang yang memang hendak ia cari, "Oh? Sersan Kang-gu!"
Risa menarik dan mengeratkan ikatan dasi di lehernya, juga mengecek kembali kerapihan seragamnya tepat sebelum seorang petugas berjalan cepat mendekatinya. Petugas tersebut kemudian menghentakkan kakinya, kemudian mengangkat tangan kanannya untuk memberikan hormat. "Kedatangan anda sudah ditunggu, Inspektur." Ucap petugas tersebut.
Mencuri pandang pada tiga orang lain yang berdiri di belakangnya, Risa mengangguk singkat. "Silakan pimpin jalannya, petugas. Kami akan berada di belakangmu."
"Baik, Inspektur."
Dengan itu, mereka lalu mengikuti arah menuju ruang pertemuan. Melewati beberapa petugas jaga dengan persenjataan lengkap dan mendapati puluhan kendaraan milik media yang terparkir memenuhi area parkir gedung NPA. Belasan wartarwan yang sepertinya sengaja menunggu di luar segera berkerumun begitu mengetahui kedatangan beberapa orang polisi yang akan menjadi narasumber utama nanti.
Jika di luar aula saja sudah sebanyak ini, bagaimana dengan yang ada di dalam? Pikir Risa. Petugas di depannya kemudian membuka pintu besi di dengan logo NPA di depannya, lalu mempersilakan keempat orang di belakangnya untuk masuk sebelum menutup kembali pintu tersebut. Sepertinya Kepala Divisi telah selesai menyampaikan pembukaan sehingga ia langsung merentangkan tangan untuk meminta Risa berdiri di belakang podium, bersebelahan dengan penerjemah bahasa isyarat yang langsung membungkuk padanya begitu Risa berdiri di sampingnya.
Ozeki berdiri di belakang Risa, bersama dengan dua orang lainnya-Sersan Satu Yuuno dan Sersan Kepala Kang Jeon-dari tim gabungan untuk mengikuti konferensi di hadapan belasan-puluhan wartawan dari berbagai media. Mulai dari media paling terkenal di seluruh negara, hingga wartawan dari kantor berita lokal dan independen, semuanya berkumpul di satu aula besar yang berada di wilayah headquarter NPA. Kilatan-kilatan cahaya dari kamera yang mereka bawa tidak sebanyak saat Risa dan timnya masuk ke dalam aula. Tapi tetap saja, rasanya matanya akan buta sementara setelah ini.
Dan seperti yang ia duga sebelumnya, para wartawan itu sudah mengajukan berbagai pertanyaan bahkan sebelum Risa memiliki kesempatan untuk membuka mulut. Suasana baru mulai kondusif setelah moderator menaikkan nada bicaranya dan meminta semua yang datang untuk menutup mulut.
Setelah benar-benar dirasa memungkinkan, barulah Risa dapat memulai dengan memperkenalkan dirinya di hadapan puluhan media. "Menanggapi kekhawatiran masyarakat terhadap kasus pembunuhan yang semakin memprihatinkan, kami dari pihak kepolisian menghimbau untuk membatasi seluruh kegiatan yang tidak diperlukan pada pukul 10 malam. Aktivitas kantor, pabrik, pertokoan, tidak dilarang sepenuhnya-tetapi dibatasi. Sekali lagi, dibatasi."
"Apabila terpaksa, sangat tidak disarankan untuk keluar di malam hari seorang diri atau dua orang saja. Bawalah teman, minimal dua orang untuk menemani dan aktifkan GPS serta telepon seluler. Penjagaan akan semakin diperketat di daerah-daerah sepi, area sekolah, dan wilayah industri. Kami akan menugaskan beberapa petugas polisi di berbagai tempat, silakan melapor apabila kalian mendengar atau mengetahui sesuatu yang mencurigakan. Layanan panggilan darurat kepolisian selalu tersedia 24 jam penuh." Risa memberikan jeda pada kalimatnya untuk mengambil napas, kemudian melanjutkan kembali. "dilarang keras bagi wartawan, jurnalis, atau warga sipil untuk masuk atau mendekat ke TKP. Termasuk mengganggu dan menyakiti petugas yang bekerja untuk mengamankan situasi."
Sejak tadi Risa sudah menahan diri untuk tidak terpeleset lidah dan menyebutkan sedikit saja mengenai sesuatu yang ia dapatkan di penjara. Dan ia bersyukur hingga penyampaiannya berakhir, ia tidak menyebutkan satu kata pun mengenai itu. Ia memutar leher, menatap moderator dan memberikan tanda kepadanya untuk mengambil alih untuk masuk ke dalam sesi yang paling ditunggu oleh semua orang yang datang-tanya jawab.
Setelah menyampaikan berbagai peraturan dan hak Risa untuk tidak menjawab pertanyaan yang menurutnya sensitif, moderator memberikan kesempatan kepada siapapun untuk mengangkat tangannya. Ia akan menunjuk seseorang secara random untuk menyampaikan pertanyaan dan mempersilakan Risa untuk menjawabnya kemudian.
"Sudah beberapa bulan sejak pembunuhan berantai Black Mail. Setelah begitu banyak korban dan bukti, mengapa polisi masih tidak bisa menemukan pelakunya?"
"Pelaku berhasil membuat kacau bukti-bukti yang tertinggal di TKP. Polisi dan pihak terkait masih berusaha keras untuk menyelidikinya lagi."
"Apakah benar kau juga mendapatkan surat kaleng tersebut, Inspektur?"
"Tidak."
"Mengenai pembunuhan Tuan Kobayashi Subaru, apakah Black Mail terlibat dalam kasus itu juga?"
"Penyelidikan masih terus dilakukan. Laporan yang diberikan masih laporan sementara dan belum tervalidasi secara sah. Pertanyaan lain?"
"Ada rumor jika tengah ada perpecahan internal di tubuh kepolisian. Apakah itu benar? Tolong berikan tanggapan anda!"
"Tidak ada. Rumor itu tidak benar dan aku sudah mengatakannya."
"Tingkat kepercayaan masyarakat kepada kepolisian semakin turun karena kasus pembunuhan yang terjadi belakangan. Bagaimana kalian akan melindungi masyarakat ke depannya jika kinerja kepolisian telah mendapat catatan merah di benak masyarakat?"
"Bagaimanapun juga kami akan berusaha keras untuk memberikan perlindungan terbaik pada seluruh lapisan masyarakat. Dan kami berharap masyarakat juga turut bersinergi dengan pihak kepolisian untuk menciptakan kedamaian yang kita semua inginkan."
"Pertanyaan terakhir, apakah benar kasus ini memiliki kaitan dengan kasus pembunuhan sepuluh tahun yang lalu mengingat ada barang bukti milik korban yang tertinggal di TKP. Kalau tidak salah anda terlibat dalam kasus tersebut. Apakah itu berarti anda juga terlibat dalam kasus ini?"
Pertanyaan macam apa ini? Risa terhenyak selama beberapa detik setelah mendengar pertanyaan tersebut. Moderator juga sepertinya sadar jika pertanyaan tersebut telah melewati batas sehingga ia langsung angkat bicara dan memberikan peringatan keras pada wartawan yang mengajukan pertanyaan itu. Ia juga menjelaskan kembali hak Risa untuk tidak menjawab pertanyaan yang tidak ingin ia jawab sehingga Risa dapat terus menutup mulut dengan memasang wajah sedingin es.
Tetapi mengabaikan ucapan moderator, ia memilih untuk mengetuk mic dan berucap dengan nada tegas, menatap langsung pada wartawan tersebut. "Ya, aku terlibat dalam kasus ini karena aku penyidik yang bertanggung jawab di dalamnya. Dan jika aku seorang wartawan, aku akan merasa sangat malu karena telah merusak citra baik ikatan jurnalis dengan pertanyaan semacam itu."
Merasa situasi mungkin tidak akan berjalan baik apabila konferensi terus dilanjutkan, Risa memutuskan untuk segera undur diri dan mengembalikan mic kepada moderator. Tentu ia tak bisa langsung membalik badan dan pergi begitu saja, jadi ia kembali mengambil alih seluruh atensi puluhan manusia yang ada disana untuk berfokus pada satu suara. Risa juga sengaja mengangkat kepalan tangannya ke atas untuk menenangkan situasi-dan usahanya berhasil. Ruangan yang sebelumnya riuh redam itu seketika sunyi, hanya terdengar suara jepretan kamera saja.
"Untuk seluruh nyawa tidak berdosa yang telah menjadi korban, seluruh keluarga korban yang terlibat, dan seluruh warga negara yang merasa haknya-yaitu mendapatkan keamanan dan kebebasan telah gagal dipenuhi, saya selaku pimpinan divisi kejahatan berat dan tim gabungan yang bertanggung jawab atas kasus pembunuhan ini memohon maaf sebesar-besarnya."
Setelah mengucapkan kata terakhirnya dengan penekanan, Risa kemudian bergeser ke samping. Hal yang terjadi selanjutnya jelas membuat kamera-kamera yang ada disana berkilatan. Karena Risa membungkuk sedalam yang ia bisa. Ia bahkan melakukannya sebanyak dua kali; pertama, di hadapan rekan-rekan sesama polisi dan yang kedua di hadapan para wartawan.
Ia melakukan itu dengan bahu yang sedikit bergetar. Mengingat apa yang telah terjadi selama hidupnya, yang semuanya tidak jauh dari kematian. Mungkin apa yang ia lakukan ini juga sebagai permintaan maaf kepada dua orang sahabat yang mendahuluinya, dan dosa-dosa yang telah mengotori kedua tangannya di masa lalu. Tidak, jangan gentar. Kuatkan hatimu.
Tindakannya itu terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak direncanakan sebelumnya. Bahkan tiga orang pendamping yang datang bersamanya sampai membeku di tempatnya karena kebingungan. Beberapa saat kemudian, podium telah kembali diambil alih oleh moderator dan Risa segera meninggalkan aula-tentu saja dengan kilatan kamera yang menerangi jalannya-untuk beranjak menuju ruangannya di HQ.
Ada rapat mendadak yang perlu ia lakukan bersama dengan seluruh anggota timnya. Ia akan menyampaikan rencana penangkapan pada petinggi-petinggi penjara yang telah ia catat namanya pada malam di hari berikutnya. Tak hanya itu, ia juga akan menahan Rei dan Takemoto untuk diinterogasi lebih lanjut di HQ. Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh tim intelijen, sudah ditemukan siapa tahanan yang berhasil kabur dari penjara beberapa bulan yang lalu.
Tahanan kabur itu adalah Endo Hikari. Orang yang ditemui oleh anak pemilik persewaan mobil waktu itu adalah bukti ia berkeliaran bebas-tiga jari putus serta luka pada wajah. Jelas, ia terlibat dengan pembunuhan berantai Black Mail; entah dia si pembunuhnya, atau ia hanya membantu pembunuh asli untuk melakukan aksinya. Risa sangat ingin mencetak fotonya dalam kertas besar kemudian menempelkannya di penjuru kota, atau menyewa bounty hunter untuk membawanya hidup-hidup.
Tapi karena Risa tetap ingin segala aksinya dilakukan secara undercover, maka ia terpaksa menekan ego dan membatalkan keinginannya itu.
Kemudian tidak berhenti disitu, seorang pegawai dalam arsip milik lembaga pemasyarakatan dinyatakan meninggal karena kecelakaan kerja rupanya adalah orang yang dibunuh di ruang mandi tua di belakang penjara. Rika berhasil mengidentifikasi DNA yang tersisa dari dalam darah kering yang ada disana dan hasil tes menunjukkan 98% kecocokan.
Dari sini sudah jelas, pihak penjara telah menyembunyikan banyak hal dan mempersulit penyelidikan polisi. Risa bisa saja membuat orang-orang ini dirajam seumur hidup dalam penjara jika aktivis HAM dapat ia bungkam.
Setitik asa yang dapat dikatakan tak jauh dari genggaman membuat Risa perlahan-lahan menemukan kembali semangat hidupnya. Jika rencananya ini berhasil, kasus Black Mail akan segera berakhir dan hidup mereka akan kembali tenang-seperti yang selalu ia inginkan. Kemudian ia akan fokus pada dua kasus pembunuhan lainnya, lalu mendapatkan kenaikan pangkat untuk berhenti menjadi petugas lapangan.
Aku hanya perlu menyusun rencana sebaik mungkin, membawa anak buah yang paling baik, dan meminta surat penangkapan disahkan secepat-cepatnya, batinnya. Semuanya akan baik-baik saja.
Mendorong pintu kaca dengan kedua tangannya, Risa menyusuri jalannya dan menganggukkan kepala pada setiap petugas yang berpapasan dengannya. Menggunakan lift menuju lantai 4, Risa harus berjalan melewati beberapa ruangan untuk sampai ruangan timnya yang cenderung lebih besar dan luas. Tiba di depan pintu kaca yang tidak bisa dilihat dari luar, Risa mengeluarkan kartu akses dan menempelkannya pada mesin pemindai sebelum pintu itu otomatis bergeser dan terbuka.
Begitu ia masuk, ruangan gelap itu dipenuhi oleh prang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya. Yang paling ramai adalah bilik tempat empat orang petugas dari Divisi Fasilitas Komunikasi yang tengah berbicara serius dengan orang-orang dari Divisi Kejahatan Teknologi Tingkat Tinggi. Risa sempat mendengar salah satu dari mereka tengah menerima panggilan telepon dengan raut wajah serius.
"Dia tidak harus menerima seluruh panggilan, bukan? Apa Divisi Komunikasi tidak memiliki cukup personel sampai-sampai mereka harus membuat anggotaku bekerja dua kali?" Risa bertanya pada Ozeki.
"Entahlah. Biarkan saja ia mengambil panggilan itu."
Tapi, entah mengapa Risa merasa ada sesuatu yang harus ia dengarkan dari percakapan tersebut. Jadi Risa berjalan mendekati meja kerjanya yang dipenuhi oleh komputer dan kabel-kabelnya, dan berdiri di belakang petugas tersebut, memperhatikan apa yang ada pada layar komputernya.
"Plat nomornya? Sebutkan plat nomornya, Pak." Suara seorang pria muda terdengar lebih keras dari sebelumnya. Suara sentuhan jari pada keyboard komputer kemudian terdengar memenuhi ruangan. "pemiliknya tidak ditemukan? Mobil ditinggalkan dalam keadaan terbuka di pinggir jalan antar kota? Dimengerti. Hei, tolong masukkan nama orang ini dalam daftar pencarian orang. Tolong, jangan sentuh apapun sebelum petugas kami datang."
Risa mengernyit. Sayup-sayup ia dapat mendengar orang di seberang sana menyebutkan beberapa digit angka yang familiar. "Maaf, siapa?"
"Moriya Akane. Jaksa yang sedang mengurus kasus penggelapan uang di lembaga asuransi waktu itu." Pria tadi kembali menjawab. Sedikit terkejut karena Risa tiba-tiba menyela di belakangnya. "orang ini mengatakan jika ia menemukan mobilnya dibiarkan begitu saja di pinggir jalan dengan keadaan pintu terbuka. Tidak ditemukan tanda-tanda si pemilik di sekitar sana meskipun ia telah menunggu selama lima belas menit."
"Akane hilang?"
"Kau mengenalnya, Inspektur...?"
"Dia--Dia temanku."
Rena tidak bisa mengontrol degup jantungnya yang semakin lama menjadi semakin tidak karuan. Rasanya nyawanya sudah setengah tercabut sejak ia mendapatkan perintah untuk menjemput tahanan nomor 2107-C di bangsalnya, seorang diri. Tubuhnya semakin lemas saat ia telah berdiri di depan pintu baja tersebut dan membuka kunci gandanya karena Rei sepertinya telah menunggunya untuk datang.
Orang itu duduk di atas tepian tempat tidur, menatap langsung pada pintu baja sehingga begitu pintu dibuka ia akan langsung berhadapan dengan petugas yang membuka pintu tersebut. Rei tidak memerlukan perintah lagi karena ia sudah hafal bagaimana prosedur saat seorang tahanan dibawa keluar bangsal di luar jam khusus. Jadi ia segera berdiri seraya mengangkat kedua tangannya untuk mempermudah Rena memasangkan borgol.
"Bagaimana kabarmu?" Rei bertanya. Lirikannya pada Rena kini berpindah pada kaitan borgol yang membelenggu kedua tangannya.
Selesai dengan borgol dan pemeriksaan tambahan, Rena segera menuntun Rei keluar dari bangsal, membawanya menyusuri koridor gelap untuk menuju ruangan khusus dimana atasannya menunggu. "Seperti biasa." Ia menjawab singkat. "Pak Kepala ingin bertemu denganmu. Jangan membuat masalah yang akan semakin menambah masa kurunganmu, ingat itu."
Rei mengangguk pelan. Itu adalah obrolan terakhir mereka sebelum mencapai sebuah ruangan dengan dinding dan pintu baja yang berada sangat jauh dari bangsal utama. Tempat itu sangat gelap karena hanya ada satu lampu gantung tua yang menjadi satu-satunya sumber cahaya. Bau besi berkarat dan tikus basi mungkin adalah bau penyegar udara alami yang ada disana. Rena langsung mengenakan masker begitu ia tiba di depan pintu baja khusus.
Pintu itu rupanya tidak terkunci. Itu berarti satu orang rekannya-yang menjadi ajudan Pak Kepala-memang baru saja tiba disitu dan sengaja tidak menguncinya lagi karena ia tahu Rena akan segera menyusulnya. Tanpa menunggu lagi, Rena mendorong pintu berat itu dan mendudukkan Rei pada kursi besi di tengah ruangan. Berdampingan dengan satu orang narapidana dengan kode 2108-C tertulis pada pakaian biru gelap yang ia kenakan. Ada dua orang ajudan yang menemani Pak Kepala. Masing-masing dari mereka terlihat membawa senjata api yang tersembunyi di balik lipatan sabuk.
Rena kembali melakukan pemeriksaan pada masing-masing narapidana sebelum ia membungkukkan badan pada Pak Kepala dan beranjak keluar. Ia akan berjaga disana, sesuai perintah atasannya.
Begitu pintu baja ditutup, Pak Kepala langsung bangkit berdiri dan menggebrak meja besi di depannya. Wajahnya merah padam hingga ke telinga, urat-urat yang ada di lehernya tampak bertonjolan saat ia bernapas dengan menggebu-gebu. Sebaliknya, Rei dan Takemoto yang terlihat kelewat tenang disana justru semakin membuat Pak Kepala muntab.
"Polisi-polisi itu sudah mencium apa yang terjadi di penjara. Mereka bahkan sudah menemukan sisa-sisa pembunuhan yang kau perbuat berbulan-bulan yang lalu, riwayat transaksi, dan daftar tahanan yang dibebaskan diam-diam!" suara besar pria itu menggema di ruangan kedap suara tersebut. Begitu keras sampai dua orang ajudan yang mendampinginya tersentak kaget. "Sejauh ini hanya kau yang keluar dan bertemu langsung dengan anak buah Letnan sialan itu, Ozono. Jika bukan kau yang membongkar semuanya... lalu siapa?"
"Hei, aku bahkan tidak mengatakan apapun kepada polisi-polisi itu. Bukankah kau sendiri yang telah membungkam mulutku dan aku juga sudah bersumpah untuk tidak mengatakan apapun." Rei menyandarkan tempat duduknya. Di sampingnya, Takemoto tengah memangku dagunya dengan kedua tangan. "sepertinya kau terlalu santai."
Ia mencuri pandang ke bawah selama sepersekian detik kemudian kembali menatap mata Pak Kepala. Tabung tinta pena sudah berhasil ia keluarkan dari sela-sela jari. Ia perlu berhati-hati agar tabung itu dapat masuk ke dalam rongga kunci dan membuka paksa safety borgol.
"Jangan membantah, sialan! Mengaku saja kau!"
Rei sekali lagi menjawab. Sementara tangannya masih sibuk berkutat dengan kunci borgol di bawah meja. Tinta pena yang ia asah selama berbulan-bulan itu cukup kecil, jadi ia perlu berhati-hati agar tabung tinta itu tidak menggelinding ke bawah."Untuk apa aku mengakui sesuatu yang memang tidak aku lakukan, Pak Kepala? Lagi pula, kita sebelumnya telah menyetujui hal yang sama. Aku menjaga rahasiamu, dan kau menjaga rahasiaku. Satu banding satu, tidak ada yang lebih dan berat sebelah."
Setelah beberapa kali usaha yang gagal, ujung tajam pena tersebut berhasil membuka kunci borgol miliknya. Dengan segera ia melepaskan belenggu borgol dan menggenggam besi itu kuat-kuat sebagai brass knuckle.
Nada bicara Rei yang terkesan meremehkan berhasil membuat Pak Kepala mengeluarkan senjata api miliknya. Ia mengacungkan ujung pistol tepat di depan wajah Rei, mengancamnya, "Aku akan membongkar semua kejahatanmu di penjara, Ozono Rei. Kau akan ditembak mati di lapangan tembak dan aku akan menembak kepalamu dua kali..."
Takemoto mengeratkan kepalan tangannya, menerima tabung pena tajam yang Rei serahkan secara diam-diam. Perlu ketelitian dan kesabaran yang tinggi serta beberapa sekon waktu baginya untuk membuka kunci borgol dengan benda itu. Dan saat suara klik dapat ia rasakan, Takemoto segera menyelipkan tabung tinta di antara lipatan jari. Borgolnya sudah terbuka dan tangannya dapat bergerak leluasa. Ia hanya perlu mencari celah kelemahan kedua ajudan Pak Kepala sementara Rei bersiap untuk menyerang pria itu sendirian.
"Oh, silakan saja. Kami tidak takut dengan polisi, kematian, atau dirimu. Lagipula jika kau melakukan itu, polisi akan semakin mudah mengendus seluruh kejahatanmu. Membiarkan tahanan keluar masuk, penggelapan dana dari pemerintah, menyembunyikan keaslian data pada pihak penyidik, eksploitasi pekerja, dan penyiksaan pada narapidana? Mungkin kau yang akan ditembak mati terlebih dahulu, bukan aku."
Secepat angin dan tidak memberikan waktu bagi pria di depannya untuk bertindak jauh, Rei membalik meja besi yang menjadi pembatas di antara mereka dan sukses membuat sisi tajam meja tersebut melukai lutut dan betis Pak Kepala. Selagi pria itu berteriak menahan sakit, ia melompat dan menancapkan seluruh giginya sedalam mungkin pada lehernya. Tidak peduli dengan bau amis dari darah hangat yang segera tumpah dalam mulutnya.
Sementara rekannya menggigit dan mengoyak leher, Takemoto menusukkan tabung pena tajam yang ia genggam sedalam mungkin pada mata salah satu ajudan. Ia kemudian mematahkan satu kakinya dengan menendang lutut. Dengan begitu, ia dapat menggunakan satu orang ini sebagai perisai menusia sementara ajudan Pak Kepala yang lain menggunakan combat knife miliknya untuk menusuk temannya sendiri.
Dalam sekejap mata, Takemoto dapat menjatuhkan dua orang ajudan tersebut dan merampas satu senjata api. Tenaganya nyaris habis karena melawan dua orang sekaligus, ditambah lagi satu orang ajudan berhasil berdiri dan kembali menyeruduk tubuhnya. Ini akan menjadi perkelahian tangan kosong yang sangat seru.
Kembali pada Rei, Darah yang ada di dalam mulutnya masih belum seberapa karena saat Rei menarik gigitannya, ia berhasil merobek sebagian besar daging dan otot yang ada pada leher pria tersebut-membuatnya terjatuh dengan tangan menutupi darah yang mengalir deras dari lehernya. Rei tertawa bengis saat melihat Pak Kepala terbujur dengan leher yang tersisa separuh. Bahkan ia tidak bisa lagi berbicara dengan baik karena tenggorokannya terus menerus mengeluarkan darah.
Memuntahkan potongan daging manusia ke sembarang arah, Rei lantas menyabet pisau lipat dari celah sabuknya, kemudian mengasah bagian tajam pisau tersebut pada sisi meja besi. Tahu apa yang akan tahanan gila ini lakukan kepadanya, pria tersebut segera memaksa dirinya untuk bangkit berdiri dan menyeruduk tubuh Rei hingga menghantam dinding. Jejak-jejak darah memanjang pun mewarnai lantai, nyaris membuat dua orang itu terpeleset.
Bagian belakang kepalanya menghantam dinding baja sebanyak tiga kali. Sekuat apapun ia melawan, Rei tetap tidak bisa melawan tenaga seorang laki-laki dewasa. Meskipun dengan leher nyaris putus, pria itu masih memiliki kekuatan untuk mencekik Rei dan memukulkan kepalanya pada dinding. Tapi karena ia tidak menahan kedua tangannya, maka Rei dengan mudah mengiris kembali sisa-sisa otot leher yang menahan kepalanya agar tidak menggelinding di lantai.
"Orang korup sepertimu benar-benar menjijikkan. Aku bahkan tidak sudi membunuhmu seperti ini." Rei menggeram kasar dan menancapkan pisau tersebut di sisi wajah Pak Kepala. Ia lalu menggeser pisau tersebut dan menguliti kulit wajahnya dengan brutal. "sedikit yang kau tahu, kau telah bekerja sama dengan orang yang salah." Sedikit sulit bagi Rei untuk benar-benar menarik dan mengiris kulit wajahnya karena kedua tangannya terus menerus mengganggu.
Jadi tanpa berpikir dua kali ia pun menarik potongan kulit yang berhasil ia kelupas dengan tenaga lebih besar, kemudian menancapkan pisaunya berkali-kali untuk menghancurkan wajahnya hingga tidak berbentuk. Bahkan setelah orang itu mati, Rei masih tidak juga berhenti untuk mengoyak seluruh bagian tubuhnya. Seluruh emosi yang telah ia pendam dalam dirinya ia keluarkan saat itu juga.
Meskipun bagian belakang kepala dan pembuluh darah di area pelipisnya pecah, Rei masih dapat melihat dengan jelas kendati aliran darah kental itu sempat masuk ke dalam bola mata. Dengan darah di wajah, sosoknya menjadi lebih mengerikan berkali-kali lipat.
Dilihat bagaimana Rei begitu menikmati sensasi saat ujung pisau menusuk dan merobek kulit dan organ-organ dalamnya tanpa mempedulikan banyaknya cipratan darah yang bahkan tidak sengajar ia kecap dalam mulutnya, ia tersenyum lebar. Ia telah menemukan kembali jati dirinya dan membebaskan jiwa yang telah lama terbelenggu di dalam penjara. Inilah perasaan yang selalu ia rindukan; kepuasan dan kebanggaan.
Rasa puas saat ia melihat korbannya menggeliat, menjerit sampai paru-paru mereka pecah karena rasa sakit yang teramat sangat, lalu kepuasan yang datang saat nyawa orang lain menari-nari di atas telapak tangan. Semuanya berhasil ia luapkan pada seonggok manusia tanpa bentuk di bawahnya.
Ia menarik paksa kulit terakhir dari wajah berantakan Pak Kepala, kemudian membeberkan kulit itu di atas lantai. Ia juga mengacak-acak organ dalam seperti jantung, liver, dan buraian usus lalu menyebarkannya di lantai. Ia tentu tidak akan memakannya-ia masih tidak ingin memakan manusia jadi ia hanya berniat mengancam polisi atau petugas yang datang dengan ini.
Suara ledakan pistol dan jeritan manusia yang tak sempat selesai menjadi dua hal yang membuat Rei berhenti memotong-motong manusia di bawahnya. Takemoto rupanya juga sudah selesai dengan petugas lain. Ia merampas pistol yang sempat ditodongkan kepadanya dan menembak hancur kepala sipir itu melalui mulut. Serpihan tengkorak, pecahan bola mata, dan potongan otak manusia berceceran di lantai. Tetapi mereka seakan tidak terganggu dengan pemandangan mengerikan itu.
Karena mereka telah melihat yang lebih buruk dari ini.
Setidaknya tembakan tadi berhasil membuat Rena yang diperintahkan untuk berjaga di depan pintu baja tebal curiga. Saat ia membuka kunci dan mendorong pintunya terbuka, yang ia lihat adalah wajah Rei yang berlumuran darah. Narapidana itu meraih lengan, kemudian melemparkan tubuh Rena yang lebih kecil ke depan. Udara di paru-parunya seolah tersembur keluar saat tubuhnya berhantaman dengan lantai marmer yang dingin. Seketika pandangannya berpendar hitam, rasanya seperti bola matanya dicabut paksa dengan isi kepala yang teraduk-aduk dalam kekacauan.
Ia terengah-engah, tetapi seketika tersadar saat aroma amis darah dan sesuatu yang licin membasahi seragam dinasnya. "A-? Brengsek, Ozono Rei. Berhenti disitu kau, narapidana brengsek!" Rena mencoba berteriak dan mengambil pistol yang ada di ikatan sabuknya. Sayang sekali, tangannya yang nyeri karena menahan beban tubuhnya membuat Rena kesulitan membuka sarung pistol miliknya. "menjauh dariku, orang gila. Kau akan membusuk di penjara!"
Rena terus meracau dengan kata-kata kasar. Beberapa meter di sampingnya, rekan sesama sipirnya tengah bergulat dengan tahanan nomor 2108-C-Takemoto Yui. Rekannya itu terlihat tidak berdaya lagi saat Takemoto memukuli kepalanya dengan popor senapan dan meja besi. Ia tidak akan menang melawan dua orang ini. Ditambah lagi dengan suasana di sekitarnya yang dipenuhi oleh darah, membuat Rena tidak bisa menggerakkan bagian tubuhnya.
"Kalian membunuh tiga orang...? Apa sudah tidak cukup kalian membunuh teman-teman kalian sendiri di masa lalu? Ozono... kupikir setelah apa yang kau lalui bertahun-tahun ini akan merubah kepribadianmu... tapi ternyata memang yang menghentikanmu hanya hukuman mati."
Hal yang ia takutkan benar-benar tiba. Hanya saja, ia tidak tahu bahwa ia benar-benar terlibat langsung di dalamnya.
Rei menurunkan tubuh hingga wajahnya sejajar dengan wajah Rena yang penuh dengan darah. Ia tidak menunjukkan raut wajahnya apapun disana, dan itu tentu membuat Rena yang masih hidup segera merangkak mundur meskipun lengannya terpeleset karena lantai yang basah oleh genangan darah.
"Aku sangat ingin menyisakanmu dan membiarkanmu hidup, Rena. Tapi aku tidak yakin apakah kau memang bisa menjaga mulutmu atau tidak." Ia berucap, tangannya menarik keluar pistol milik Rena yang tidak bisa diambil oleh sang pemilik. Pistol itu terisi penuh oleh peluru dan siap ditembakkan kapan saja. Melihat Rei menimang-menimang senjata api di tangannya, Rena semakin ketakutan. "you're so kind to me. Aku tidak pernah melihat orang lain berbuat seperti itu kepadaku disini, kau adalah yang pertama."
"Apa yang kau maksud..."
"Bagaimanapun juga aku menghormatimu karena hal itu. Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu... tapi," Rei memutar pistol di tangannya, kemudian menggunakan popor besi yang keras untuk memukul dagu dan rahang Rena sebanyak empat kali berturut-turut. Pukulan yang luar biasa keras itu berhasil membuat tubuh Rena limbung ke samping, tapi Rei dengan cepat meraih kerah seragam Rena dan memaksa wanita itu duduk dengan tegak. "kau masih memiliki keluarga katamu? Bagus. Keluargamu akan sangat bersyukur dan berterima kasih kepadaku karena aku memilih untuk membiarkanmu hidup."
BUG
Popor pistol sekali lagi menyapa pelipis Rena, lebih keras dari sebelumnya. Rei mengayunkan tangannya dengan tenaga penuh untuk memukuli sipir tersebut lebih parah lagi. Ia bisa saja memecahkan kepala Rena dengan pistol itu tanpa perlu menembak. Tapi karena ia memang tidak berniat membunuh, jadi ia terpaksa harus menahan kekuatannya.
Rei meraih seragamnya, mengangkat tubuh Rena, kemudian membantingnya kembali di lantai sebelum kembali menghujam bagian vitalnya memberikan kesempatan bagi Rena untuk melawan ataupun melindungi diri.
Tangan kanan menggunakan popor pistol, kepalan tangan kirinya mengikuti. Pukulan demi pukulan itu tanpa ampun menyasar kepala, wajah, rahang, leher, dada, hingga ulu hati. Sudah tidak terhitung berapa puluh kali Rei menghajar tubuh Rena habis-habisan hingga sipir itu sudah tidak menunjukkan perlawanan apapun lagi.
Mungkinkah Rena mati hanya karena pukulan itu? Tentu tidak mungkin. Saat Rei menendang tubuhnya ke samping dan mendekatkan jari pada hidungnya, ia masih merasakan hembusan napas.
Meskipun dengan wajah dan kepala yang terluka sangat parah, Rena masih memiliki semangat untuk bertahan hidup. Wanita itu terus memaksa untuk menggerakkan kesepuluh jarinya meskipun jelas, itu sia-sia saja. Hantaman pistol bertubi-tubi pada kepala Rena seharusnya telah merusak sensor motoriknya.
"Ayo, Rei. Jangan membuang waktu kita, bodoh!"
Takemoto berdiri di sampingnya, kunci menuju ruang penyimpanan telah ia amankan. Mereka hanya perlu menyusup dan membunuh petugas jaga yang tengah berpatroli untuk mencapai ruangan tersebut dan mengganti pakaian mereka dengan seragam sipir. Dan tindakan Rei ini sepertinya sedikit melenceng dengan apa yang mereka rencanakan-tidak menyisakan satu orang pun.
Dan saat Takemoto melompati satu orang manusia yang semula ia kira mayat, ia terkejut karena yang satu ini masih bernapas meskipun terlihat kepayahan karena darah menutupi rongga pernapasannya. "Kau tidak membunuh yang satu ini? Dia masih bernapas."
Fakta mengenai Rei yang hanya memukuli Rena hingga bonyok dan Takemoto sendiri yakin pukulan-pukulan itu paling parah hanya membuatnya lumpuh saja. Entah sejak kapan temannya ini memiliki sedikit pengampunan dengan korbannya. Pertanyaannya tadi sama sekali tidak dihiraukan oleh Rei, dan itu membuatnya kesal. Ia tidak mau usaha mereka gagal hanya karena satu orang saksi mata.
Jadi ia mengeluarkan pistolnya lagi dan memasukkan ujung pistol dalam mulut Rena. Suara klik terdengar dan safety pistol sudah tidak lagi menahan pelatuk. Namun, beberapa sekon sebelum Takemoto benar-benar meledakkan isi kepala Rena, Rei segera menendang tangan temannya hingga pistol yang ia genggam erat terlempar.
Ia terbelalak, mengibaskan tangannya yang nyeri seraya menatap nyalang temannya itu. Mungkin karena kelewat kesal, Takemoto menarik pakaian Rei dan hampir memukul wajahnya. "Apa yang kau lakukan!"
Tiga sentimeter sebelum buku jari tangan kanan Takemoto menyentuh tulang pipi Rei, dengan cepat orang yang hendak ia hajar mengangkat pisau dan membuat kepalan tangan Takemoto langsung menyentuh sisi tajamnya, membuat pisau tersebut menembus celah jari dan merobek dua jarinya. Takemoto berteriak keras, menarik kembali tangannya yang telah diselimuti oleh aliran darah lengket. Perih sekali rasanya, apalagi saat ia melihat dua sisi jarinya sobek hingga ia dapat melihat kulit bagian dalamnya yang berwarna putih.
Takemoto mengangkat kepala, akan menyumpahi Rei dengan berbagai jenis hewan di kebun binatang. Tapi bibirnya yang terbuka itu tidak dapat mengeluarkan kalimat apapun karena Rei tiba-tiba menempelkan ujung pisau di bawah dagu Takemoto. "Aku yang memimpin disini, Yui. Kau tidak akan bisa melawan apapun yang aku kehendaki."
"Dia akan membuat kita tertangkap dalam beberapa hari. Apa yang ada dalam kepalamu? Habisi saja dia!"
Tatapan dalam dari sepasang iris berwarna gelap itu sontak membuat tubuh Takemoto lemas dalam sekejap. Rei tidak menunjukkan ekspresi kesal atau marah di dalam kedua matanya, pun juga kebencian karena Takemoto telah mengganggunya. Akan tetapi, justru tatapan tanpa ekspresi itulah yang paling ditakuti oleh semua orang yang pernah Rei temui-bahkan termasuk Takemoto sendiri.
Karena disana, ia tidak dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran dan apa yang dapat Rei lakukan kepadanya. Ditambah lagi dengan wajah Rei yang terciprat oleh darah dan potongan daging yang masih menempel di sisi mulut, urgh, Takemoto sampai ciut dibuatnya.
Ia tahu sekejam dan sebrutal apa orang di depannya ini. Dan ia harus memasang kewaspadaan lebih saat Rei sudah benar-benar tidak menunjukkan emosi seperti apapun pada wajahnya.
Membuat suara dug yang cukup keras saat Takemoto menggunakan lengannya untuk mendorong tubuh Rei menjauh, ia berpaling dari Rei dan memutuskan untuk memimpin jalan mereka. Alarm sudah berbunyi dan mereka hanya memiliki waktu dua menit sebelum petugas bersenjata memenuhi seluruh penjuru.
Anyway, selanjutnya bakal lebih fokus ke pembunuh ketiga sama kesatu (inget mayat yang Risa temuin di awal cerita?). Jelas kalau Rei disini ngga campur tangan ke penculikan Akanen sama Pembunuhan Keluarga Kobayashi karena memang tujuan dia bukan itu.
If you think Rei and her friends are wicked enough, then wait for this person to reveal her identity.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top