Chapter 18: Gifts from Silver Lake
Bagaimanapun juga penyelidikan harus tetap dilakukan. Seburuk dan semengerikan apapun kondisi korban saat ditemukan, sebagai aparat polisi mereka harus melakukan kewajiban mereka—menemukan pelaku dan membongkar kebenaran kasus. Sudah tidak ada lagi kerumunan warga dan wartawan yang sibuk meliput di luar gerbang. Petugas sudah benar-benar mensterilkan TKP dengan memasang pagar manusia di tiap sisi dan memarkirkan mobil polisi di beberapa sisi.
Situasi dan keadaan rumah yang benar-benar tidak baik sampai membuat semua personel yang bertugas mengamankan lokasi dan barang bukti harus mengenakan alat perlindungan diri, lengkap dengan masker dan kacamata khusus. Kediaman Kobayashi saat itu sudah nyaris menyerupai lokasi dengan tingkat radiasi tinggi atau dipenuhi virus penyakit menular dengan manusia-manusia berpakaian putih dari ujung kepala hingga kaki yang berlalu-lalang.
Anak buah Risa dan personel pembantu yang dikirim dari kantor polisi setempat bergerak dengan sigap untuk membereskan dan mengumpulkan barang bukti kasat mata sebelum petugas forensik datang dan melakukan pemeriksaan lanjutan secara berskala.
Kepala yang tergantung di depan pintu sudah diturunkan, termasuk potongan-potongan tubuh di dapur juga sudah diamankan dan dibawa oleh pihak rumah sakit kepolisian, menunggu keputusan dari pihak keluarga terkait untuk dilakukan autopsi pada potongan-potongan tubuh tersebut.
Tepat pukul 9 malam, beberapa jam setelah penemuan jenazah, Risa meninggalkan TKP setelah memberikan mandat pada anak buahnya untuk mengawal dan menjaga petugas forensik disana untuk mengantarkan Yui kembali ke rumah—termasuk mempertanyakan kejelasan perihal autopsi padanya secara pribadi.
Sejak terakhir mereka bertemu adalah momen mereka saling menarik urat leher—tepatnya pada hari dimana mereka bertengkar hebat dan Yui nyaris terbunuh—kedua insan ini masih tidak melakukan komunikasi barang sebentar saja kecuali saat sore tadi, saat Risa dengan emosi yang sudah benar-benar tidak stabil langsung memeluknya. Sekarang pun, saat berada di mobil tidak ada satu pun dari mereka yang mau membuka pembicaraan sehingga suasana di dalam mobil yang cukup suram menjadi semakin jatuh ke titik terbawah.
Tapi tunggu dulu. Mengapa Risa bisa berada dalam satu mobil bersama Yuuka dan Yui? Sebelum berangkat, Risa sudah memberikan kunci mobilnya pada Ozeki mengingat mereka datang bersama-sama ke TKP. Ia tidak bisa membiarkan kedua tangan kanannya luntang-lantung tanpa kendaraan jadi ia meminjamkan mobilnya pada Ozeki agar mereka bisa mondar-mandir dari HQ ke TKP. Tentu dengan syarat untuk tidak membuat kerusakan fisik pada mobil kesayangannya itu.
Risa berada di kursi penumpang bersama Yui di sampingnya, membiarkan tempat duduk di samping kursi kemudi kosong dan diisi oleh kantung plastik berisi makanan dan minuman yang Yuuka beli saat mereka berhenti di minimarket. Entah sejak kapan Yui tertidur dengan kepala menunduk.
Yuuka melepaskan tangan kiri dari roda kemudi, mengorek isi kantung plastik dan mengambil tiga buah roti isi. Satu ia letakkan di paha untuk dirinya sendiri, dua lain untuk Risa dan Yui.
"Kau mau roti, Risa? Aku tahu kau sama sekali tidak memasukkan apapun dalam mulutmu sejak siang." Yuuka melirik Risa dari rearview, tangan kirinya menawarkan roti pada sahabatnya itu. Ia sudah cukup peka, melihat wajah Risa yang kuyu seperti gelandangan. "Oh, dia tidur rupanya. Kenapa kau tidak menyandarkannya pada bahumu?"
Risa terdiam sejenak, membisikkan ucapan kasar kepada Yuuka, kemudian agak memajukan tubuhnya dan menerima roti dari uluran tangan Yuuka. Menimang dua bungkusan roti isi keju itu di tangannya sendiri, ia menjawab sembari melirik Yui disampingnya. "Aku tidak akan pernah bisa makan dengan tenang selama beberapa hari. Tadi benar-benar mengerikan, aku tidak bisa melupakannya begitu saja."
Tampak Yuuka meremas roti yang ia makan di tangan kirinya yang juga memegang roda stir. Ia mengerti apa yang telah membuat Risa sampai seperti itu. Walaupun Yuuka tidak sampai mendekat dan masuk ke dalam rumah, ia sempat melihat potongan kepala yang tergantung di pintu depan. Sangat jelas bahkan, meski Risa terlihat berusaha keras menutupinya dengan tubuh besarnya.
Sama seperti Yui. Dirinya juga kehilangan orang tuanya di usia muda, membuatnya hidup tanpa tujuan selama bertahun-tahun dan berakhir menghabiskan masa mudanya di penjara. Yuuka sadar, keadaannya mungkin lebih baik dari Yui yang mengetahui kedua orang tuanya meninggal secara tragis, di kediamannya. Rumah besar bercat putih tulang yang dahulu merupakan tempat yang hangat, penuh dengan kekeluargaan itu kini telah berubah menjadi tempat mengerikan yang penuh dengan darah.
Dia tidak perlu tahu dan menanyakan lebih lanjut mengenai hal itu, sehingga Yuuka sengaja membelokkan pembicaraan ke arah yang lain.
"Aku merasa tak tenang sejak kita menemukan tulisan itu di penjara. Seakan-akan siapapun yang meninggalkannya disana memang menulis itu dan menunggu untuk kita temukan."
"Rei... aku merasakan aura yang tidak mengenakkan darinya. Kau tahu apa yang ia katakan saat aku datang ke sana dan menemukan Ten memukulkan kepalanya pada kaca? Dia berkata apakah aku menunggunya selama ini. Rekaman suara dari alat yang kuberikan pada Ten juga menyebutkan tentang pengantar surat," Yuuka mendengarkan ucapan Risa dengan sangat serius. Bahkan dapat dikatakan ia lebih menekankan atensi pada Risa daripada jalanan lengang di depannya. Pengantar surat? Sepertinya rekannya ini telah menemukan sesuatu yang menarik. "ia sepertinya tahu tentang Black Mail. Ia tahu apa saja yang terjadi di dunia luar yang mana seharusnya ia tidak mengetahui itu semua karena ia terkurung di dalam penjara."
"...jika dugaanmu benar, berarti untuk kedua kalinya kita akan bertarung dengan kematian. Dengan satu pembunuh yang sama."
"Tidak. Ada dua, mungkin. Kami belum mengidentifikasi dan memastikan jika pembunuhan keluarga Kobayashi termasuk dalam kasus Black Mail." Memperhatikan keju cair dan lengket pada potongan roti yang masih terbungkus di tangannya, Risa mendengus pelan. Isi perutnya kembali berunjuk rasa. Bayangannya tentang darah dari rumah Kobayashi masih terbawa sehingga ia menganggap lelehan keju itu adalah lelehan darah. "aku akan berusaha lebih keras lagi untuk melindungi kalian semua. Juga dia."
Telinga Yuuka sedikit bergerak ketika Risa secara tidak langsung menyebutkan Yui di dalam kalimat yang ia ucapkan. Menengok ke belakang, Risa tampak memperhatikan wajah samping Yui yang masih tertidur. Kali ini kepalanya bersandar pada kaca jendela, sedikit terbentur karena gerak mobil pada jalanan yang tak terlalu rata. Kehangatan menjalar memenuhi hati, membuat tangan Yuuka yang dingin karena AC berangsur-angsur menghangat karena ia menyadari bagaimana Risa memperhatikan Yui dengan lembut.
Yuuka membiarkan suara deru mobil menjadi pengisi latar belakang dari suasana berat disana. Termasuk saat Risa perlahan-lahan meletakkan dua bungkus roti dalam seat organizer dan melepaskan mantel yang melapisi pakaian dinasnya, lantas menyelimuti tubuh Yui dengan kain tebal itu. Tak berhenti disitu, Risa melingkarkan lengannya pada tubuh Kobayashi, memastikan agar ia tidak terbangun karena gerakannya yang terlalu tiba-tiba saat ia menyandarkan Yui pada tubuhnya.
"Aku akan kembali menjadi penjaganya. Tidak peduli dengan apa yang terjadi nanti, keselamatannya adalah yang terpenting."
Tawa kecil yang bercampur dengan helaan napas keluar dari celah bibir Yuuka. Di telinganya, ucapan Risa hanya terdengar seperti kebohongan belaka. Seakan ia tahu Risa akan mengingkari janji itu dalam waktu dekat—seperti dirinya yang lalu. Orang bilang Tuhan selalu memaafkan dan memberikan kesempatan kepada manusia untuk memulai kembali.
Akan tetapi, ia bukan Tuhan. Ia tidak berhak dan tidak percaya juga Risa akan memanfaatkan kesempatan kedua itu dengan baik. Entah sejak kapan rasa saling percaya di antara mereka memudar, terhempas oleh memori buruk akan sifat masing-masing yang sama-sama sekeras batu.
"Aku sempat berpikir untuk pindah ke tempat yang jauh." Yuuka berucap dengan begitu ringan. Tampak sekelumit perasaan senang yang tersembunyi jauh di dalam suaranya. Risa mengetahuinya karena rearview yang ada di depan sana memantulkan cerminan dari wajah Yuuka yang sempat berubah, bibirnya tertarik ke atas membentuk kurva senyuman. "kami—Akane dan aku sudah membicarakan hal ini sebelumnya dan ya, dia menyetujuinya meskipun tidak dalam waktu dekat."
Yuuka... kau juga akan pergi?
Risa tahu dirinya tidak memiliki hak untuk menyanggah pilihan Yuuka untuk pindah ke kota lain. Itu haknya sendiri dan Yuuka bebas untuk memilih bagaimana hidupnya akan bergulir selanjutnya. Tapi entah mengapa Risa merasa seseorang telah merenggut sesuatu yang berharga, membuat hatinya tiba-tiba mencelus nyeri.
Ia sudah terbiasa akan presensi Yuuka di sekitarnya. Mereka sudah saling mengenal satu sama lain sejak berusia tujuh tahun, bersama dengan Yui yang kemudian menyebut diri mereka sendiri sebagai tiga serangkai. Tumbuh menjadi remaja dan memperhatikan perkembangan masing-masing, terlibat aksi kriminal serta perkelahian, hingga nyaris meregang nyawa bersama-sama. Dengan begitu banyak memori yang mereka habiskan bersama, Risa berpikir ia tidak siap untuk hidup tanpa kehadiran Yuuka.
Tetapi Risa tetaplah Risa, meskipun telah banyak peristiwa yang mengubah caranya bersikap. Alih-alih membiarkan kesedihan bermuara pada wajahnya, wanita itu pada akhirnya memaksa untuk menyematkan semburat tawa.
"Keputusan bagus. Aku juga berpikir demikian. Mungkin itu satu-satunya caramu agar terbebas dari belenggu duka yang menyelimuti Tokyo."
Si Sugai itu lantas memutar roda stir, berbelok memasuki jalanan yang lebih kecil dari jalan utama yang tadi mereka lewati. Jajaran rumah besar berpagar tinggi berada di kanan-kiri mobil dan dengan itu, perjalanan mereka bertiga akan segera berakhir. Melambatkan laju mobil dan menepikannya di dekat pagar rumah bercat gelap—lampu halaman dan lampu yang mengarah ke jalanan menyala terang. Berbeda dengan keadaan di dalam rumah yang gelap gulita jika dilihat dari luar.
"Risa, kau ini sudah benar-benar menjadi orang dewasa, ya." Yuuka menengok ke belakang, memberikan senyuman getir pada Risa. "Kau harus. Dan kau tidak boleh sampai mati terbunuh karena aku sendiri yang akan membunuhmu jika kau melakukan kesalahan yang sama, lagi."
"Oh, tentu, president. Ajudanmu tidak akan membuatmu kecewa."
Perhatian Risa kini beralih pada wanita yang masih tertidur di bahunya. Ia mengangkat tangan kanannya, menepuk lembut pucuk kepala Yui, membangunkannya dari tidurnya yang dalam. Yui, tentu saja, masih dengan setitik nyawa yang tersisa hanya bisa menggumam tak jelas. Ia hanya ingin melanjutkan tidur dan kabur dari kenyataan pahit yang ada dalam hidupnya, orang di sampingnya ini benar-benar memberinya kehangatan dan membuatnya ingin terus berada dalam posisi itu meskipun lehernya akan nyeri setelah ini.
Tapi sepersekian detik kemudian, setelah indra penciumannya menangkap bau familiar dari orang ini. Sontak saja ia mengerjap, dengan mata terbuka lebar Yui menyadari siapa pemilik bau tersebut.
Risa?
"Ah, maaf. Lehermu... bisa sakit jika kau terus bersandar." Risa mengutuk dirinya sendiri. Netra cokelat terang yang kini berubah segelap obsidian itu menatap jauh ke dalam jiwanya, sukses membuatnya kehilangan kata-kata.
Tidak bisa dipungkiri jika Yui juga sama terkejutnya dengan Risa. Tetapi dengan alasan yang berbeda. Ia lebih memikirkan mengapa wanita polisi itu bisa ikut menumpang bersama Yuuka di mobilnya dan tidak singgah di TKP seperti yang biasa ia lakukan. Tapi mengingat jabatan Risa yang bertugas sebagai pimpinan dari pasukan khusus, petugas itu mungkin telah menitipkan tanggung jawab itu pada bawahannya sementara waktu.
Memeluk sebuah kantung plastik dan lembaran dokumen yang dibungkus oleh sebuah map tebal, Yuuka membunyikan klakson mobil dengan satu pukulan tangan. Dengan nada mengejek, ia menoleh ke belakang dan berucap, "Iya, aku tahu jika aku hanya menumpang tinggal di dalam dunia milik kalian. Tapi setidaknya, berhentilah saling menatap seperti kalian sedang berada dalam drama. Itu memalukan."
"Aish, jaga ucapanmu, Sugai Yuuka." Jawab Risa sembari memukul lengan sahabatnya itu.
Mereka kemudian meninggalkan mobil, membiarkan Yui berjalan di depan untuk membuka pagar dan pintu depan sementara Yuuka dan Risa mengekor di belakangnya seperti Yui adalah ibu mereka. Kedua wanita dewasa itu saling menyikut satu sama lain seperti yang mereka pernah lakukan saat mereka duduk di sekolah tinggi.
Kala itu mereka tak sengaja memecahkan vas bunga milik Yui di ruang Dewan Pelajar hanya karena mereka saling bergulat demi memperebutkan barang flash sale di e-commerce. Mereka berakhir saling menyalahkan satu sama lain saat Yui menginterogasi mereka sementara Karin, Hono, dan Seki menertawakan mereka di belakang Yui. Proses sidang itu berlangsung selama tiga puluh menit dan berakhir pada satu kesepakatan dimana Risa dan Yuuka harus membersihkan kantor mereka selama satu bulan.
Dan selama satu bulan itu, Yui menyuruh tiga orang lainnya untuk mengotori lantai dan jendela secara terus menerus.
Rasanya ingin kembali ke masa lalu saja, Risa mendorong Yuuka untuk terakhir kali sebelum menariknya agar berdiri di depannya.
Tepat setelah Yui membuka kunci pintu dan memutar kenop pintunya, mereka bertiga masuk dan berada di ruang depan. Disana terdapat beberapa sofa yang berderet rapi di tengah ruangan, dengan karpet bulu berwarna cokelat gelap yang membentang pada lantai.
Pada dindingnya tergantung sebuah bingkai foto yang membuat mereka bertiga sempat berdiam diri di ruangan tersebut selama empat menit penuh hanya untuk menatap, atau meratapi foto tersebut dalam diam.
Masih terekam jelas dalam labirin memori mereka bagaimana riuhnya pengambilan foto tersebut di belakang layar. Melibatkan perkelahian antara Risa dan Karin yang berebut posisi di samping president dan Yui yang menyeret mereka berdua keluar untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri di luar ruang pemotretan.
Paling tidak kekacauan itu menghasilkan sebuah foto terkutuk yang nyatanya berbanding terbalik dengan suasana cerah yang tergambarkan di dalamnya.
"Well, sepertinya kalian membutuhkan waktu pribadi untuk berbicara dan artinya ini adalah waktuku untuk berpamitan." Yuuka mengerang pelan setelah meletakkan dokumen milik Risa di atas meja ruang keluarga. Nyeri pada buku-buku jari yang ia kira telah pergi kini tiba-tiba datang, membuat Yuuka mengibaskan tangan kanannya dan membuat gemerincing dari kunci mobilnya memenuhi keheningan.
Brengsek, Yuuka. Kau sengaja meninggalkanku disini ya. Risa terpaksa tersenyum meskipun ia sangat ingin menggaet lengan Yuuka dan memaksanya untuk duduk. Ia tentu tidak bisa melakukannya jadi ia hanya menjawab, "Hati-hati di jalan, Yuuka. Terima kasih banyak."
"Aku akan datang bersama Akane besok. Pastikan kau cukup beristirahat, Yui."
Wanita yang disebut namanya itu mengangguk sekilas dan melambaikan tangannya saat Yuuka berbalik untuk keluar melalui pintu yang tadi mereka masuki. Begitu pintu yang terbuat dari kayu akasia itu berayun menutup dan membuat suara klik yang ringan, Yui mengacak rambutnya yang berantakan dan berjalan meninggalkan Risa untuk masuk ke dalam kamar mandi.
Ia tidak terlalu diinginkan disini, Risa tahu betul. Sikap Yui yang apatis seakan membuat hatinya yang telah remuk redam kembali dirajam oleh ribuan jarum panas. Untuk mengalihkan emosi negatif yang ada dalam kepalanya, Risa memutuskan untuk melihat-lihat rumah yang mereka beli berdua tiga tahun lalu.
Langkah Risa terhenti saat ia masuk ke dalam ruangan tengah. Disana, sebuah foto mereka berdua yang masih terpajang dengan bingkai berwarna emas. Mereka mengambil foto tersebut satu tahun setelah Risa mendapatkan promosi menjadi perwira tinggi, juga satu hari setelah mereka memutuskan untuk bertunangan.
Tempat ini masih tetap sama seperti saat terakhir aku meninggalkannya. Tidak ada perabotan yang berubah, bahkan Yui juga masih membiarkan foto itu tergantung di dinding.
Risa tiba-tiba merasakan rasa sakit yang luar biasa di dadanya. Ia berjalan menjauh dari bingkai foto menuju area dapur yang lebih gelap dari ruang utama. Disana ia menemukan beberapa botol obat kosong yang dikumpulkan menjadi satu dalam kotak kardus.
Sebuah penyesalan yang hebat. Meninggalkan Yui tanpa kejelasan dan membuatnya hidup dalam kesulitan yang ia pendam sendiri. Begitu banyak rencana masa depan yang mereka buat menjadi berantakan karena tindakannya yang begitu sembrono. Pukulan Yuuka tempo hari sepertinya berhasil membuat otaknya yang mengalami korslet kembali normal.
Suara pintu terbuka disusul suara aliran air membuat Risa sontak menoleh dan mengusap air mata yang nyaris menetes dari kedua mata.
"Apa ini?" Yui bertanya, mengangkat sebuah dokumen bersampul coklat yang Risa letakkan di atas meja. Ia baru keluar dari kamar mandi, terlihat dari titik-titik air yang menetes dari rambut dan dagu.
Ia tidak sedang memakai eyepatch tetapi menggunakan tangan untuk menutupi rongga mata kanannya yang kosong, Risa berpikir mungkin ia menghabiskan waktu di kamar mandi untuk membersihkan rongga matanya.
Inspektur polisi itu lantas sedikit memutar kepalanya ke samping, dengan nada yang dibuat setegar mungkin agar tidak menunjukkan kesedihan, Risa menjawab, "Surat persetujuan autopsi. Kami tidak akan memulainya jika kau tidak memberikan izin." ia berjalan mendekat, sedikit terkejut karena Yui tetap bergeming meskipun Risa ada di dekatnya.
Senyap menyerang, membuat suasana di sekitar mereka kembali diselimuti oleh kegelapan dan perasaan duka. Sementara itu, Risa membiarkan Yui mengambil waktunya untuk memikirkan keputusan yang tepat baginya dan apapun keputusannya nanti, Risa tetap tidak bisa memaksa. Yui mendengus, kemudian menutup lembaran dokumen dan mengembalikannya di atas meja seperti semula. Matanya kembali memerah, dipenuhi oleh air mata yang menganak di sudut mata.
"Aku menolak." Yui akhirnya berujar. Suaranya nyaris menghilang di tengah-tengah karena ia berusaha menahan tangisnya di tenggorokan. "biarkan mereka beristirahat dengan tenang setelah apa yang mereka alami sebelum kematian mereka. Tidak perlu memperburuk keadaan mereka dengan autopsi atau apapun itu. Aku hanya ingin mereka segera dikuburkan sebagaimana mestinya."
"Apakah kau sudah yakin dengan keputusanmu itu? Kita mungkin akan mendapatkan petunjuk yang lebih baik jika kita melakukan autopsi."
"Ucap seorang polisi yang tidak kompeten dalam tugasnya!" suara tinggi Yui terdengar begitu keras dan menyentak di telinganya, bahkan cenderung mengancam.
Risa merapatkan bibirnya. Cukup terhenyak berkali-kali saat Yui mengacungkan jari tepat di depan wajahnya. Kedua matanya terpejam rapat, mengantisipasi jika sewaktu-waktu Yui akan benar-benar menampar dan menggasaknya dengan pukulan tangan kirinya yang mematikan.
Meskipun apa yang ada dalam imajinasinya tidak pernah terjadi, Risa baru berani membuka matanya saat Yui benar-benar tidak mengeluarkan suara apapun selain suara napas yang tersengal.
Siapa yang bisa disalahkan dalam keadaan seperti ini?
Dari sudut pandang keluarga korban, tentu aparat penegak hukum yang dijadikan kambing hitam karena telah gagal melaksanakan tugas mereka untuk melindungi masyarakat. Mereka bisa mengatakan itu karena mereka tidak tahu apa yang terjadi di balik layar.
Dan seharusnya Yui adalah orang yang cukup terpelajar untuk memahami hal itu seperti halnya ia meminta permakluman dari keluarga pasien yang ia tangani. Tampaknya semua guncangan mental yang ia alami bertahun-tahun telah menonaktifkan sebagian besar sel otaknya.
Kendati itu hal yang wajar karena orang-orang juga akan melakukan hal yang sama—mencari orang lain yang dapat disalahkan untuk memuaskan emosi.
Tidak ada yang menginginkan serangkaian pembunuhan ini terjadi, tidak ada yang ingin belasan nyawa tak berdosa turut menjadi korban kebengisan Black Mail. Kalaupun bisa, Risa juga tidak masalah mengajukan diri untuk menjadi tumbal agar pembunuhan berantai ini segera berakhir.
"Ini salah satu cara yang bagus untuk membantu penyelidikan. Aku tidak memaksamu untuk menyetujuinya, Yui. Aku hanya memberimu kesempatan untuk memikirkan kembali pilihanmu itu."
"Keputusanku sudah bulat, Risa." Yui kembali menepis ucapan Risa dengan penekanan pada setiap silabel yang terucap dari lidah. "seperti kalian tidak bisa menemukan bukti lain yang ada di TKP saja." Kemudian seolah ia menganggap tidak ada orang lain selain dirinya sendiri disana, Yui memutar tubuhnya dan berjalan masuk ke dalam kamar—menutup pintunya dengan keras dan meninggalkan Risa dengan perasaan kacau.
Sekitar tiga menit lamanya kedua tungkai Risa seperti disiram oleh satu ember lem dengan daya rekat tinggi yang membuatnya tak bisa melangkah barang sedikit saja. Ia sudah mengatakan pada dirinya sendiri untuk memperbaiki hubungannya dengan Yui yang telah runyam, tapi tidak sadarkah dirinya bahwa ia baru saja menambah retakan pada hubungan mereka sesaat yang lalu?
Ini salahku.
Akhirnya setelah memaksa kedua kakinya yang seolah lumpuh untuk melangkah, Risa mendekati pintu yang tertutup tersebut dengan langkah gontai.
"Aku... ingin mengatakan sesuatu padamu. Kau tidak perlu membuka pintumu, aku tidak masalah." Sentuhan tangan Risa jatuh dari permukaan dingin kenop pintu yang semula ia cengkeram kuat. Tangannya itu kini bergelantung lemas di sisi tubuh sementara ia sendiri menempelkan kening pada permukaan pintu. "karena aku hanya ingin kau mendengarkan saja. Ini tentang alasanku meninggalkanmu tanpa penjelasan waktu itu dan segala perbuatanku yang telah menyakitimu."
"...aku ingin kau membenciku." ujar Risa. Entah karena telah mendapat keberanian dari mana, akhirnya ia dapat mengutarakan seluruh isi pikirannya selama ini. "dokter memberitahuku jika aku adalah salah satu faktor yang memiliki potensi membuatmu mengingat kembali seluruh memori buruk yang mampu membangunkan sisi lain dari dirimu. Aku tidak bisa memberitahumu hal ini karena... kau pasti menolak. Sehingga satu-satunya jalan adalah membuatmu benci padaku."
"Aku sangat takut. Aku tidak ingin kau hidup dalam penderitaan yang berlarut-larut karena aku hanya akan memantik alter dalam dirimu untuk keluar dan mengendalikan tubuhmu. Aku tahu betapa besar rasa sakit yang kau rasakan saat dia mengambil kesadaranmu, aku tidak ingin hal seperti itu kembali terjadi kepadamu."
Risa menundukkan kepalanya. Ia sangat malu. Kenapa ia datang kembali di saat semuanya sudah benar-benar berantakan? Ia bahkan tidak bisa menyembunyikan suaranya yang terdengar begitu sesak. "Kematian Karin telah membuatku tenggelam dalam rasa bersalah yang berkepanjangan. Meskipun kau, dengan kondisimu yang juga tidak begitu baik, tetap memberikan dukungan mental kepadaku, menguatkanku saat itu. Dan aku malah membalasmu dengan meninggalkan kenangan buruk."
Risa menggaruk permukaan pintu dengan kuku-kukunya, kemudian mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat.
"Aku pecundang. Aku lah pecundang terburuk yang pernah kau kenal. Aku bahkan tidak memiliki cukup nyali untuk sekedar berbicara dan mengatakan bahwa aku sangat merindukanmu. Sampai akhirnya aku menyadari jika kesehatanku sudah menurun drastis sejak kita berpisah. Itu saat aku datang ke rumah sakit atas bantuanmu dan kita bertemu tanpa bertegur sama di sana. Saat itu aku melihat kepalamu terluka, aku ingin sekali bertanya darimana dan siapa yang melukaimu tapi—tapi kau membalikkan tubuhmu di depanku."
"Begitu aku tahu apa saja yang kau alami selama aku pergi, aku merasa begitu hancur. Setiap malam aku termenung di dalam kamar, dengan senjata api di tanganku. Berkali-kali ujung pistol aku masukkan ke dalam mulutku tetapi saat aku hendak menarik pelatuk, jariku selalu bergetar hebat. Aku ingin mati, sangat ingin mati tiap kali aku mengingat kembali semua dosa yang aku lakukan kepadamu."
Risa terus melanjutkan, tanpa memberikan jeda sedikitpun kendati suaranya semakin lama semakin tenggelam oleh tangisannya sendiri. Sementara Risa menghentikan rentetan kalimatnya, tangan kanannya tidak berhenti untuk menekan dadanya untuk mengalihkan nyeri yang menjalar seperti akar tanaman.
Marah dan kesedihan. Risa tidak pernah menyukai saat kedua emosi itu berperang hebat di dalam dirinya. Ketika ia menahan diri agar tak berhasil dikuasai oleh keduanya, dadanya selalu berderak nyeri.
Dari balik pintu Yui dapat mendengar suara napas Risa yang kepayahan. Setitik kekhawatiran muncul di dalam hati saat mengetahui Risa terlihat begitu tersiksa dari balik pintu. "Seharusnya kau mengatakan itu sejak awal. Jika begitu, luka yang ada di dalam diriku tidak akan sedalam ini, Risa."
Yui membuka pintu kamar, dan benar saja, Risa masih berdiri di sana. Menangis seperti remaja berusia tanggung yang telah dirundung patah hati. "Aku... sangat ingin melakukan seppuku." Ucap Risa.
"Lihat, bahkan saat bersamaku kau terus meninggikan prestisemu." Yui tersenyum tipis, kini ia tak lagi mengabaikan Risa dari balik pintu dan sepenuhnya menghadap wanita berambut pendek yang tengah mengusap air mata yang mengalir bebas di pipinya.
Risa mengangguk, sejenak mengulum bibir. "Iya, maafkan aku, Koba."
"Tubuhmu itu besar tapi kau mudah sekali menangis. Bagaimana ini?" Suara dalam dan serak dari wanita yang kini meletakkan genggaman hangatnya pada pergelangan tangan Risa sempat membuat polisi itu kehilangan kata-kata. Dirasakannya permukaan kasar dari balutan perban dan beberapa luka yang ada pada telapak tangan itu, membuat Risa spontan membalas sentuhan kecil Yui. "kembali besok? Aku tidak yakin aku bisa bertahan sendirian di rumah setelah apa yang terjadi."
Pihak forensik harus segera menerima informasi mengenai keputusan Yui yang telah menolak prosedur autopsi. Keberadaan Risa juga diperlukan 24 penuh di HQ karena ia perlu mengawasi olah TKP dan penyelidikan intensif di kantor bersama dengan anggota tim gabungan—Akiho dan Ozeki menjadi petugas lapangan sejak tim gabungan ini dibentuk—juga menunggu hasil identifikasi DNA dari bercak-bercak darah yang sedemikian banyak dari TKP. Untuk identifikasi DNA dari darah kering yang ada di penjara, ia tidak perlu khawatir karena Harada yang akan menerima laporan tersebut dan menyimpannya.
Mungkin ia bisa tinggal sementara waktu sampai Yui kembali tidur dan ia akan kembali esok pagi untuk membawakan sesuatu padanya.
"Kembalilah tidur. Aku... tidak akan mengganggu." Risa membalas selembut mungkin. Rasa nyeri dari hatinya yang sempat hancur seketika berbalik 180 derajat, tergantikan oleh desiran aneh yang membuat wajahnya memanas. "kau bisa meneleponku kapan saja. Makan rotimu, Yuuka sudah susah payah mencari tempat parkir untuk membelinya."
"Terima kasih."
Risa tersenyum simpul. Genggaman tangannya masih tidak melepaskan pergelangan tangan Yui. Padahal ia baru saja memintanya untuk tidur, tapi mengapa ia masih menggenggam tangannya seakan wanita yang lebih pendek darinya itu bisa pergi dan meninggalkannya lagi. Rasanya seperti bertahun-tahun lamanya ia tidak menatap iris coklat muda itu dengan begitu lekat. Dan saat itu, ia kembali menyadari—jika memang ia tidak akan pernah bisa menghapus eksistensi dari seorang Kobayashi Yui di dalam hatinya, sekeras apapun ia mencoba.
"Maaf," setelah mengatakan itu, Yui melangkah maju. Merengkuh tubuh tinggi Risa dalam dekapannya, sangat erat. Ia membenamkan wajahnya di dada Risa meskipun wajahnya bersentuhan dengan fabrik seragamnya yang kasar.
Risa terkejut, sempat terhuyung ke belakang tetapi ia segera menarik satu kakinya untuk menumpu beban tubuh. Tapi tak membutuhkan waktu lama bagi Risa untuk memalas pelukan itu dengan begitu hangatnya. Ia merindukan ini, sangat merindukan kehangatan yang pernah menjadi miliknya. Rasanya masih sama, desiran yang ia rasakan juga masih sama seperti saat mereka pertama kali saling bertukar sentuhan.
"Beristirahatlah. Aku akan mengurus semuanya." Ia berbisik di telinga Yui, mengusap lembut pucuk kepalanya dan melepas pelukan mereka—meskipun sebenarnya ia tak ingin.
Selama beberapa menit setelah menutup pintu kamar, Risa akhirnya dapat berpindah dari tempatnya berdiri menuju kamar mandi. Wajah dan tangannya seperti dilapisi oleh minyak berbau seamis darah.
Menimba air dari wastafel dan membasuh keseluruhan wajahnya tanpa terlewat hingga rambut, kemudian menyugar rambutnya ke belakang, memperhatikan tiap inci pahatan indah yang ada pada wajahnya yang rupawan. Sudah berapa hari ia tidak dapat tertidur tenang? Tiga hari? Satu minggu? Atau bahkah lebih dari itu? Ia mengedipkan matanya berulang kali. Mendadak kepalanya berdenyut hebat, mengingatkannya mengenai jadwal istirahat yang hampir tidak ada.
Semua akan baik-baik saja. Pasti.
Selesai membangunkan dirinya sendiri dengan membasuh wajah, Risa keluar dari kamar mandi dengan kondisi lebih segar dari sebelumnya. Pandangannya langsung tertuju pada pintu gelap dengan plakat emas dengan tulisan yang terukir di atasnya—ruang kerja. Seperti dikendalikan oleh kekuatan magis, Risa tak sadar saat kedua kakinya membawanya mendekat dan ia memutar kenop pintu itu sebelum mendorongnya dengan bahu. Ia tahu tindakannya cukup lancang karena secara harfiah, ia telah masuk dalam ruang kerja pribadi milik Yui.
Ruangan dengan cat abu-abu gelap dengan meja persegi panjang besar di tengah ruangan, jendela besar yang tertutup tirai putih di belakang meja, dua buah rak buku tinggi dan satu buah rak arsip, sebuah brankas, dan satu lemari kaca berisi dua buah senapan M4A1, sebuah senapan AW50, dan tiga pistol berjenis dessert eagle. Semua senjata itu adalah pemberian Ayahnya. Ia masih ingat, Yui paling suka dengan deagle meskipun lecutannya terlalu kuat bagi orang awam.
Beralih pada barang-barang dan sebuah laptop di atas meja. Risa menemukan sebuah buku lawas berjudul The Four Winds karya Kristin Hannah yang ia berikan pada Yui ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke-25. Sebuah kisah tentang seorang wanita muda yang berjuang seorang diri merawat dua orang anak pada masa krisis ekonomi atau lebih dikenal dengan The Great Depression di Amerika Serikat pada tahun 1921.
Selain buku, foto, dan koleksi senjata api, semua perabotan dan barang-barang miliknya masih tetap ada disana. Yui tidak membuangnya atau menjualnya seperti yang ia duga. Agaknya itu memberinya harapan besar untuk memperbaiki hubungan mereka seperti yang Risa inginkan.
Sebuah kotak, atau mungkin seperti kotak besi ia temukan diletakkan di bagian dalam lemari. Di antara semua arsip, brankas, peralatan elektronik, bahkan koleksi senjata api yang masih berada di ruang kerja, hanya benda itu satu-satunya yang tidak dapat Risa ingat. Setelah memastikan tidak ada siapapun yang berada di sana selain dirinya sendiri, Risa memberanikan diri untuk mengambil kotak tersebut dan meletakkan di atas meja kerja. Kotak itu tidak terkunci sehingga Risa tidak perlu memutar otak untuk memecahkan kode kuncinya.
Risa perlu menyalakan lampu meja dan meletakkan lampu itu tepat di samping kotak agar ia dapat melihat lebih baik benda apa yang tersimpan disana. Benda apa ini? Kaset? Disket? Floppy disk?
Satu, dua, tiga. Tidak, empat. Kotak itu berisi empat buah kaset rekaman lawas, yang terlihat tidak pernah dibuka dari tempat penyimpanannya. Keempatnya memiliki kode angka yang berurutan, dimulai dari angka 100 hingga 104 yang berarti kaset tersebut adalah sebuah serialisasi yang saling terikat. Yui masih menyimpan benda seperti ini? Risa mengambil satu kaset tersebut, memperhatikan kepingan CD yang berkilat menyerupai warna pelangi yang berubah-ubah setiap kali Risa menggerakkannya.
Di masa sekarang semua orang selalu menggunakan mini solid state drive yang bentuknya menyerupai flash drive yang sangat ramai digunakan pada masanya. Compact disc seperti ini seharusnya sudah ditinggalkan bertahun-tahun yang lalu sehingga rasanya aneh jika ia bisa menemukan empat buah yang masih dalam bagus di rumahnya—koreksi, rumah Yui.
"...Silver Lake, 2026. Lima tahun yang lalu Yui menyelesaikan masa rehabilitasinya? Bukankah seharusnya itu selesai pada tahun 2028?"
Berkali-kali Risa membaca ulang tulisan tangan pada kertas yang ditempelkan pada permukaan halus CD, semakin besar keyakinan bahwa matanya tidak bisa dibohongi. Compact disc itu memang berasal dari fasilitas rehabilitasi tempat Yui dirawat dan Risa tidak mengerti mengapa ia tidak tahu tentang benda ini sebelumnya. Dokter yang bertanggung jawab atas Yui juga tidak pernah menceritakan tentang disc ini karena seharusnya benda seperti ini hanya disimpan dalam database mereka.
Apa Yui meminta benda ini untuk dibawa pulang sebagai tanda bahwa ia telah menyelesaikan perawatannya di Silver Lake? Kalau begitu seharusnya semua akan baik-baik saja, kan?
Mungkin Yui akan memarahinya jika ia tahu dirinya telah berbuat tidak sopan dengan membongkar barang pribadinya tanpa izin. Karena yang Risa lakukan selanjutnya adalah mengacak-acak isi laci meja dan setiap lemari serta rak yang ada di dalam sana hanya untuk mencari sebuah notebook yang pernah ia lihat hari itu.
Akiho akan tiba sesaat lagi, dan buku catatan yang ia cari tidak ada disini. Jika benda itu tidak ada disini, dimana kiranya Yui menyimpannya? Tapi... apakah buku catatan itu memang benar-benar ada?
Risa mendadak menghentikan tangannya yang beberapa saat yang lalu bersemangat untuk membongkar lemari arsip dan rak buku yang ada disana. Keberadaan tentang buku catatan itu... tiba-tiba Risa meragukannya.
Seketika ia merasa begitu jahat karena telah mencurigai mantan tunangannya sendiri.
Persetanan. Yui tidak mungkin melakukan hal itu.
Yamasaki Ten baru saja kembali ke apartemennya ditemani oleh Tamura Hono setelah bermalam di rumah sakit untuk pemeriksaan mendalam dari cidera kepalanya. Yuuka harus berpamitan setelah mengurus administrasi dan membayarkan biaya rumah sakit karena ia memiliki urusan pribadi di rumah, jadi Ten harus mau ditinggalkan bersama Hono.
Ten sempat menolak saat pihak rumah sakit memintanya tinggal karena ia yakin kepalanya baik-baik saja—selama ia bisa berbicara dan masih dapat menggunakan otaknya dengan baik, maka Ten merasa tak perlu mendapat perawatan lanjutan di rumah sakit.
Tetapi, Hono yang sepertinya terlihat khawatir padanya juga memaksanya untuk tetap tinggal. Padahal alasan sebenarnya Ten ingin segera meninggalkan rumah sakit adalah karena ia tak ingin berlama-lama dengan Hono. Mereka tidak pernah saling bertemu sebelumnya, ditambah lagi hubungan orang ini dengan teman-temannya yang lain (seperti Yuuka, Risa, dan Akane) tampak tidak baik-baik saja.
Semula ia mengira Hono adalah orang yang mengerikan, menyeramkan, atau orang yang pantas diberikan konotasi negatif dari setiap kata-kata yang ada dalam kamus bahasa. Justru, kenyataannya berbanding terbalik. Hono rupanya adalah sosok wanita yang cukup ramah dan peka dengan orang di sekitarnya.
Sejak ia mengantarkan Ten hingga di depan pintu apartemen dan mempersilakannya untuk masuk untuk sekedar beristirahat, Hono selalu menjaganya kendati mengalami patah tangan.
Mereka berdua telah menerima kabar mengenai kematian kedua orang tua Kobayashi sebanyak dua kali. Kali pertama, Risa mengirimkan sebuah foto yang menunjukkan besi berukiran Kobayashi yang ditulis menggunakan huruf kanji, sebuah police tape tampak menempel pada salah satu sudut plakat besi tersebut. Kedua kalinya, mereka mengetahui dari saluran berita yang menayangkannya satu setengah jam kemudian.
Risa tidak bisa mengonfirmasi secara pasti apakah itu dilakukan oleh Black Mail atau tidak, tetapi ia sudah meminta kepada mereka untuk meningkatkan kewaspadaan.
"Aku mengingatmu. Hikaru sendiri yang memberitahuku agar menjaga jarak dan berhati-hati kepadamu." Ten membuka suaranya sejenak, menggelengkan kepalanya tanpa melepaskan kontak mata dengan Hono. "Yuuka, Risa, Akane, dan Yui selalu mengatakan padaku bahwa kau sudah mati. Sebenarnya kau itu melakukan apa sampai mereka begitu membencimu?"
Hono tidak serta merta menjawab pertanyaan Ten begitu saja. Membuat sapuan ringan pada helaian rambut yang menutupi dahi, ia menenggak getir yang tiba-tiba mengacak-acak tenggorokannya, ia menjawab. "Kau bisa mengatakan akulah yang bertanggung jawab atas kematian Karin dan Yumiko."
Karin? Yumiko? Oh, benar juga. Mereka dua anggota The Elites yang turut meregang nyawa malam itu.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Ten mencoba mencoba peruntungan untuk bertanya lebih lanjut. "Kenapa?"
"Singkatnya aku berkhianat dan tindakan membuat mereka, kedua sahabatku dan beberapa orang lainnya mati terbunuh." Tangannya yang tidak cidera terangkat untuk menutupi hidungnya sejenak sementara ia mengatur napas melalui mulut. "bisakah kau tidak membahas hal itu. Aku—Aku tidak mau mengingatnya lagi."
"Kau berkhianat pada mereka dan bekerja sama dengan Ozono untuk membalaskan dendam?"
"Morita telah memperingatkanku sebelum hari yang mereka sebut dengan hari penghakiman itu datang. Sayangnya aku tidak mempedulikan peringatan itu dan tetap berpegang teguh pada ambisi. Aku hanya belum tahu jika nanti Rei sendiri yang akan berkhianat padaku." Hono memaksakan senyuman—sebuah senyum yang bahkan tidak mencapai mata. "Karin dan Yumi pasti sudah tidak menganggapku sebagai teman lagi sejak mereka tahu akulah pengkhianat di antara mereka. Man, I miss them. I wish they are here, with us."
Ten memutuskan untuk tidak melanjutkan konversasi dengan pembahasan yang sama. Selain karena kepalanya yang mendadak pening seperti telah diinjak oleh kaki kuda, Hono sepertinya hampir kehilangan kendali atas kewarasannya. Di saat seperti itu, Ten tiba-tiba teringat akan ucapan Rei mengenai kematian Hikaru dan sebuah petunjuk mengenai pengirim surat yang ia katakan sebagai temannya.
Ia masih marah, begitu dendam. Mungkin jika Hono tidak ada bersamanya, Ten akan langsung menghantam cermin di kamar mandi dengan kepalanya sendiri hanya untuk memindahkan rasa sakit yang berlarut-larut di dada.
Mereka semua akan selalu ada bersama kita, Senior Tamura. Seperti halnya Senior Fujiyoshi yang terus mengikuti Dokter Kobayashi kemanapun ia pergi.
Kepalan tangannya yang semakin erat akhirnya terlepas begitu saja ketika ponsel miliknya bergetar. Saat Ten membuka layar kunci, ia mendapati sebuah pesan singkat dari Risa. Pesan itu terdiri dari tiga baris kalimat, dengan sebuah kata perintah yang jelas. Watanabe Risa... sudah kuduga ia dapat membantu untuk melancarkan rencanaku. Jika begini, aku tidak perlu repot-repot lagi menyusun rencana penyerangan baru.
Meletakkan ponselnya kembali di atas meja dengan layar terbalik, Ten lantas menatap Hono yang duduk berseberangan dengannya. Wanita itu memperhatikannya, penasaran dengan apa yang membuat perangai Ten tiba-tiba berubah menjadi lebih serius.
"Kau pernah mengatakan jika kau ingin membantuku dan menebus dosamu. Itu bisa dimulai dengan membantuku melakukan penyusupan."
Waktu telah menunjukkan pukul 12 malam dan seharusnya Akane sudah tiba di rumah tiga jam yang lalu. Harusnya ia tiba lebih dulu karena Yuuka jelas masih berada di rumah Yui pada jam itu, tetapi nyatanya saat Yuuka kembali, ia tidak dapat menemukan mobil miliknya terparkir di halaman.
Yuuka mencoba memahami. Mungkin saja ada sesuatu yang tidak direncanakan terjadi di kantornya atau Akane sebenarnya telah berada dalam perjalanan pulang dan ia terjebak oleh kemacetan panjang. Tapi tetap saja, alasan-alasan itu sama sekali tidak berlaku. Karena bagaimanapun juga, meskipun salah satu skenario di atas benar terjadi, Akane masih dapat menerima dan menjawab panggilan Yuuka.
Sedangkan ini? Yuuka yakin ia telah melakukan sekitar 23 panggilan dan 35 pesan yang masing-masing berakhir tanpa jawaban.
Yuuka duduk di sana, pada salah satu kursi meja makan yang menghadap kompor induksi. Sebuah teflon hitam diletakkan di atasnya. Tidak ditemukan uap putih transparan yang menguar dari sana karena memang kompor tersebut dalam keadaan mati.
Entah sudah berapa lama Yuuka memperhatikan teflon hitam tersebut dengan kedua tangannya yang sibuk—tangan kanan mengaduk-aduk semangkuk mi instan yang sudah dingin, tangan kiri tidak berhenti menggulir layar ponsel.
Layar hitam legam itu tiba-tiba menyala, menunjukkan wallpaper bergambar seekor kucing yang tertutup sebagian oleh notifikasi pesan. Pesan itu berasal dari Akane.
Yuuka, sepertinya aku tidak akan pulang malam ini. Klienku tiba-tiba datang ke kantor untuk membicarakan tentang perkembangan kasus yang kami tangani. Ia terus menerus mengajak tim berdebat dan ini sudah dua jam lamanya. Ini sepertinya tidak akan selesai dalam waktu dekat, jadi jangan tunggu aku dan tidurlah terlebih dahulu.
Yuuka menghela napasnya, tidak bisa disimpulkan apakah ia sedikit kesal atau tidak. Jika memang Akane terlambat pulang atau tidak bisa pulang, seharusnya ia bisa memberikan kabar pada Yuuka lebih awal jadi ia tidak perlu menunggu seperti orang bodoh begini.
Ia menggeser mangkuk makanannya ke depan dan hendak membalas pesan tersebut. Baru saja Yuuka akan mengirimkan balasan, layarnya berkedip dan menunjukkan dua opsi berwarna hijau dan merah—Akane menghubunginya. Buru-buru ia menyentuh opsi hijau dan menyalakan speaker.
"Yuuka. A—Aku tidak tahu apakah aku dapat kembali atau tidak malam ini. Uh, aku hanya ingin kau tahu jika aku sangat mencintaimu. Tolong jangan anggap ini yang terakhir dan—" suara Akane sempat tidak terdengar selama rentang waktu beberapa sekon. Dari speaker, Yuuka hanya mendengar suara gemeresak keras dan benda-benda logam yang dihempaskan jatuh ke lantai, menimbulkan suara yang memekakkan. "...beri tahu Risa. Aku sangat ingin pulang."
Panggilan singkat itu terputus secara sepihak setelahnya. Ketika Yuuka menyentuh kontak profil Akane dalam daftar kontaknya dan mencoba untuk menghubunginya kembali, ia hanya mendengar suara stagnan dari operator wanita yang mengatakan,
"The number you are trying to call is not reachable."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top