Chapter 16: I'm Still Waiting To Hold You In My Arms Again
Petugas tadi membuka pintu kaca anti peluru di depannya dengan satu dorongan kuat sebelum mempersilakan Ten untuk masuk ke dalam. Hampir tidak ada cahaya lampu yang benar-benar menyinari keseluruhan ruangan bersekat-sekat itu karena hanya ada dua lampu gantung saja yang dipasang dengan jarak tujuh meter antara satu dengan lainnya. Mengetahui keraguan yang secara tidak langsung membuat Ten menahan diri untuk melangkah masuk ke dalam membuat Hono refleks menyentuh lembut bahu Ten dan sedikit memberinya dorongan.
Ten tentu langsung memalingkan kepala dan Hono sudah berdiri di sampingnya. Wanita itu memang tidak mengatakan apapun tetapi Ten dapat membaca apa yang ia katakan dibalik raut wajahnya yang tenang. Seolah mengatakan kau akan baik-baik saja di dalam sana dan Ten tak yakin isyarat afeksi itu cukup membuatnya tenang.
Tapi, ah sudahlah. Ia sudah berada disini atas keinginannya sendiri atau dengan kata lain ini adalah waktu yang paling ia tunggu seumur hidupnya--mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sepuluh tahun yang lalu guna memberikan afirmasi dari penyelidikan mandiri yang selama ini ia lakukan diam-diam.
Si Yamasaki itu menarik napas pelan, tak lupa memberikan anggukan kecil pada Hono sebelum benar-benar masuk ke dalam ruangan dan membiarkan petugas menutup pintunya.
Ditariknya sebuah kursi yang sudah disiapkan disana dan memaksa dirinya untuk duduk di depan lapisan kaca tebal dengan beberapa lubang kecil pada permukaannya. Hanya satu detik setelah ia berdiam diri, Ten merasa sangat gelisah. Rasanya seperti kau dipisahkan dengan paksa dari dunia tempatmu berada, kemudian terkunci di dalam suatu lubang gelap yang saking heningnya sampai-sampai membuat gendang telinga berdengung hebat. Seperti terisolasi dari dunia luar, saat Ten menengok ke belakang, ia hanya dapat melihat Hono yang tengah menerima panggilan telepon.
Wanita itu berdiri dekat dengan pintu kaca jadi seharusnya Ten dapat mendengar suaranya meskipun kecil, tetapi ini tidak. Ten benar-benar tidak dapat mendengar apapun dari luar sana dan begitupun sebaliknya, Hono tidak akan bisa mendengar apa saja yang Ten katakan di dalam ruangan kecil ini.
Bisa berbahaya jika terjadi kebakaran atau hal lainnya... masih untung pintu ini terbuat dari kaca.
Di depannya terdapat sebuah pintu baja gelap yang tampak tebal. Ten dapat melihat baut-baut dan potongan besi besar yang melapisi sudut-sudutnya. Ia berasumsi, dari sanalah tahanan yang akan ia temui diantar masuk oleh petugas penjara. Sebenarnya ruangan-ruangan itu ada beberapa dan berjejer di samping kirinya--Ten berada di sudut paling kanan--dan hanya dibatasi oleh sekat besi tipis setinggi bahu jika ia duduk dan sisanya dilapisi oleh kaca berbahan sama dengan kaca di depannya.
Kendati hati kecilnya berkata bahwa ia harus lekas-lekas angkat kaki dari sana, akal sehatnya terus memberikan penekanan tegas bahwa ia tidak boleh-belum boleh minggat dari sana sebelum mendapatkan apa yang harus ia dapatkan.
Dengan gugup Ten menautkan kesepuluh jarinya di atas paha. Selain terasa hangat, itu bisa membuat hatinya yang gelisah menjadi sedikit tenang. Tapi hal itu tidak berlangsung lama ketika telinganya menangkap bunyi nyaring dari besi yang didorong terbuka. Refleks, ia mengangkat wajahnya dan jantungnya seketika terasa seperti dimatikan oleh sesuatu. Begitupun dengan waktu di sekitarnya yang membeku, seakan-akan hanya dirinya dan orang tersebut saja yang berada di sana sekarang.
Selama waktu milik mereka membeku, Ten dapat menangkap sudut bibir dari wanita di seberangnya tertarik ke atas dan membentuk kurva tipis--sebuah senyuman yang mengirimkan jutaan volt sengatan listrik hingga ke inti tubuhnya.
Bunyi derak kursi membuat mata Ten mengerjap cepat sebanyak dua kali. Itu adalah suara Rei yang menendang kursi di depannya begitu petugas meninggalkannya berdua saja dengan Ten--sepertinya ia melakukan hal itu karena ia tahu Ten tengah melamun dengan tatapan kosong. Rei tersenyum, bahkan lebih lebar dari sebelumnya karena kini ia melihat seseorang yang sebenarnya juga telah ia tunggu kedatangannya selama sepuluh tahun.
"Yamasaki Ten, kalau aku tidak salah ingat. Kau teman Morita Hikaru..." Rei berujar ringan, untuk membuka pembicaraan di antara mereka. Gemerincing rantai borgol terdengar mengisi keheningan karena Rei menempelkan kedua tangannya pada kaca, seperti ia akan memecahkannya dan menarik kepala Ten masuk ke sisi lain ruangan. "kematiannya membuat kejiwaanmu begini ya?" ia mengangkat kedua jari telunjuknya dan menyilangkan keduanya di depan dahi.
Ten sontak tercekat melihatnya sementara Rei hanya terkekeh, meremehkan dirinya. Ia harus mengontrol emosinya sendiri sebelum ia sepenuhnya kehilangan kendali dan mengamuk seperti beruang disana. Jadi Ten menarik napas sedalam mungkin dan menghembuskannya perlahan-lahan. Memberikan hitungan singkat untuk membantu menjinakkan amarah dan dendam yang mulai merengkuhnya.
"Bagaimana rasanya berada di dalam sana?" tanyanya.
Rei memiringkan kepala, sepertinya pertanyaan Ten itu membuatnya tertarik. "Seperti manusia pada umumnya. Bangun di pagi hari, menakuti orang-orang, mengantre untuk mengambil jatah makan, berada di lapangan sana, dan kembali ke sel pada sore harinya."
Selama mendengarkan penjelasan Rei, Ten tidak berhenti melipat dahinya. Dengan nada bicara yang terdengar berbeda dari sebelumnya, Ten kembali bertanya, "Kau... sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang kau lakukan pada malam itu?"
"Untuk apa aku merasa bersalah? Aku hanya membalaskan dendam dari jiwa-jiwa penasaran yang sudah mereka bunuh, itu pun masih belum tuntas karena aku harus ditahan di dalam penjara." Wanita dari balik kaca tebal itu mendengus pelan. Suara gemerincing dari rantai borgol kembali memenuhi telinga Ten. "tapi kau tahu? Meskipun aku berkata begitu, bukan aku orang yang membunuh anak-anak Elites. Kau ingin tahu siapa yang aku bunuh?"
"Siapa?"
"Morita Hikaru."
BRAK
Di luar sana Risa pasti sudah terkejut setengah mati karena tiba-tiba mendengar suara dentuman keras yang tidak seharusnya ada, wanita itu pasti akan segera datang dan melihat apa yang sudah terjadi di tempatnya. Tetapi, Ten tidak peduli. Tangan kanannya yang mengepal terus menerus memukul kaca anti peluru di depannya, telinganya tiba-tiba berkedut--mungkin ia mendengar detak jantungnya sendiri karena ia merasa rongga telinganya sudah benar-benar buntu.
Selama beberapa detik, Ten yang telah sepenuhnya dikuasai oleh amarah dan dendam yang menggebu masih tidak berhenti memukuli kaca tebal disana. Wajah hingga telinganya merona merah, jelas sekali ia sudah benar-benar di ujung kewarasannya sekarang.
"Aku harus berterima kasih pada orang tanpa nama itu. Karena dia yang melaporkan padaku bahwa Hikaru memukulnya dan memalsukan luka tembak di lengannya. Jika tidak begitu, aku tidak akan tahu kalau dia pengkhianat."
Wajahnya menyalang tajam. Sorot mata merahnya masih tak lepas dari seorang Ozono Rei saat Ten kembali menghantamkan kepalan tangannya pada kaca, membiarkan tangannya menempel disana sementara waktu.
Sementara Rei? Ia hanya diam dan memperhatikan Ten mengamuk dengan senyuman lebar. Sebegitu mudahnya ia memancing orang di depannya ini. Apakah nyawa-nyawa itu cukup berharga baginya sampai-sampai ia menggila seperti ini? Pikirnya.
Rei tidak pernah mengerti bagaimana cara hati manusia bekerja-seperti keterikatan mereka dengan manusia lain dan bagaimana mereka membentuk suatu bonds yang membuat mereka seolah tak bisa dipisahkan.
Bahkan oleh kematian sekalipun.
Hal inilah yang membuat Rei merasa senang--bukan karena orang-orang yang dia bunuh selalu mengutuk atau memohon-mohon hingga bersujud di kakinya, melainkan karena wajah penuh putus asa dari orang terdekat mereka. Melihat kesengsaraan yang akan mereka derita berkepanjangan karena mengetahui sosok tersayang mereka mengalami hal-hal mengerikan di akhir hidup mereka dan akhirnya tewas dengan keadaan yang paling buruk di mata manusia normal.
Ten bernapas berat, sempat menundukkan wajahnya sejenak dan bangkit dari tempat duduk untuk melangkah semakin dekat dengan Rei. "Kau membunuhnya? Apa yang sebenarnya kau lakukan kepadanya, orang gila!" tidak mempedulikan tangannya yang membiru, Ten kembali memukul kaca tebal dan begitu bernafsu untuk memecahkannya.
"Kaki. Tangan. Jari. Tubuh." Rei melanjutkan. Tiap kali ia menyebutkan salah satu anggota badan, tangan kanannya turut bergerak untuk menunjuk bagian yang dimaksud. Hingga akhirnya ia memberikan jeda pada bagian terakhir. Dengan penuh penghayatan ia menorehkan jari telunjuk di sepanjang garis lehernya seraya berkata dengan suara rendah, "kepala."
Ten menggeram, merasakan rasa besi berkarat pada lidahnya. Ia tak sadar bahwa sedari tadi ia terus menggigit bibirnya sendiri hingga robek. Kini ia sudah tahu apa yang menyebabkan kematian Hikaru dan alasan mengapa Yuuka dan Akane selalu berkelit saat ia bertanya tentang kebenarannya.
Itu karena mereka tak mau Ten semakin terguncang--karena memang, pada malam itu peristiwa yang terjadi jauh di luar nalarnya sebagai manusia normal. Lebih keji dari semua skenario yang telah ia rekonstruksi di dalam kepalanya selama bertahun-tahun.
Ia berada di puncak kegilaan dan... Tuhan, kenapa ia harus terlahir untuk mengalami sesuatu seperti ini sepanjang hidupnya.
"Aku menggelindingkannya ke suatu tempat. Dan sepuluh tahun kemudian rekanku membawanya keluar dari tempat persembunyian dan memecahkannya."
Mengusap darah yang merembes keluar dari bibirnya yang robek, Ten berkata dengan suara cukup lirih. "...siapa orang yang kau maksud?"
"Kau tentu sudah bertemu dengannya. Dia tukang pos yang baik."
BRAK
BRAK
BRAK
"ITU BUKAN JAWABAN, BRENGSEK!" kali ini Ten tidak lagi menggunakan tangannya untuk memukuli kaca, melainkan kepalanya. Tak hanya sekali atau dua kali, Ten menghantam kepalanya pada kaca itu lebih dari tujuh kali. Mulai pada hantaman ke delapan, darah mulai menempel pada kaca disana dan mengalir turun ke bawah.
Darah dari kepalanya terus bercipratan ke karena Ten masih juga tidak berhenti melukai dirinya sendiri saat itu. Nyeri, pening, semuanya bercampur aduk menjadi satu dan kepalanya adalah titik pusat dari rasa sakit. Tapi ia sama sekali tidak berniat untuk berhenti dan terus memukulkan kepalanya pada kaca seakan rasa sakit itu bukanlah apa-apa.
Ia sangat marah, entah kepada siapa. Pada orang yang membongkar identitas Hikaru, pada orang yang telah membunuhnya, atau pada dirinya sendiri. Tapi kepada siapapun amarahnya ditujukan, ia tetap menggunakan dirinya sendiri untuk melampiaskan amarahnya itu. Dan ia bersumpah, akan membuat dirinya dan orang yang terlibat dengan pembunuhan itu sangat tersiksa, selama-lamanya.
Pintu di belakangnya di dorong terbuka dengan tergesa. Secepat apapun orang tersebut berlari untuk datang ke tempat itu, ia tetaplah terlambat. Pemandangan di depannya benar-benar menunjukkan kegentingan yang tak bisa dibiarkan terus menerus. Risa bersyukur karena ia sudah terbiasa bergerak cepat di situasi darurat, jadi begitu ia melihat banyaknya darah yang menempel pada kaca ia segera menerobos masuk dan mengalungkan lengannya di leher Ten--menariknya menjauh dari kaca yang mulai retak.
Tak ada yang tahu seberapa keras Ten membenturkan kepalanya pada permukaan keras itu. Tapi jika melihat kaca setebal 35mm yang seharusnya cukup kuat untuk menahan peluru berkaliber 5.52 mengalami sedikit keretakan hanya karena dihantam oleh kepala manusia, sudah jelas power yang dilepaskan untuk melakukan benturan itu sangatlah kuat.
"Ten! Yamasaki Ten! Sialan, kau menghancurkan dirimu sendiri. Sadarlah, bocah!" tangan kanan Risa mengobrak-abrik saku jaketnya, berusaha mencari kain, tisu atau sapu tangan untuk menghambat aliran darah dari kepalanya. Begitu ia mendapatkannya, ia langsung menutup luka di kepala Ten. Kini, perhatiannya teralih pada Rei yang ditarik oleh petugas keamanan. "apa yang kau katakan pada anak ini, Ozono!"
Di lengannya, Risa dapat mendengar Ten berbisik lemah. "Hikaru..."
"Ya--Ya, Hikaru. Hono, Yuuka, bawa anak ini keluar. Tenangkan dia!" tanpa berkata apapun lagi Risa segera menuntun Ten keluar dan menyerahkannya pada kedua temannya. Tampak Yuuka begitu terkejut dengan apa yang terjadi, terutama karena darah yang menempel di kaca serta di kepala Ten.
Pintu terbuka, begitupun dengan bibirnya. Setelah sekian lama tidak bertemu dengan wajah yang selalu menghantui pikirannya karena ia pernah berpikir bahwa sebenarnya ia telah mati terbunuh karenanya. Di antara ribuan kalimat yang sudah tersusun rapi di dalam kepala, ia tetap tak bisa mengutarakan apa yang seharusnya ia katakan.
Kapten Tsuchida pernah berkata kepadanya, tentang apakah ia memiliki rasa takut atau tidak. Pada waktu itu, ia menjawab tidak karena ia masih tidak memahami dirinya sendiri.
Sebelum Rei ditarik keluar dari ruangan, Risa dengan tubuhnya yang masih membeku di bibir pintu masih sempat mendengar kalimat yang ia ucapkan dengan intonasi paling mengerikan. "Hei, Watanabe Risa. Kau sudah menungguku, bukan?"
Anggota tubuhnya sama sekali menolah untuk merespon perintah otaknya untuk segera meninggalkan ruangan tersebut dan membantu Yuuka dengan Ten. Sementara Risa mengulik jauh, ke dalam labirin memori gelapnya, dimana bayangan-bayangan menyeramkan yang membuat sorot matanya berpendar kemerahan.
Dalam pandangannya, noda darah pada kaca retak di depannya membesar dan menyelimuti warna gelap dari dinding dan langit-langit. Semakin lama semakin melebar hingga perlahan-lahan menutupi lantai putih yang ia pijak dan mulai menggerayangi kakinya.
Detik itu, ia tidak bisa menampik lagi jika sebenarnya ia juga takut.
Ia takut mati dan kehilangan seseorang yang berharga baginya, lagi.
Ternyata memang benar. Aku akan berhadapan dengan kalian untuk kedua kalinya. Kali ini, siapa lagi yang akan kalian renggut dariku?
Yuuka membuka pintu rumah yang ia tinggali berdua dengan Akane. Kaus abu-abu tuanya terlihat begitu lusuh jika ia tidak mengenakan jaket-fabrik itu dibiarkan tersampir pada bahunya. Tampak noda-noda cokelat gelap seperti bercak darah yang telah teroksidasi. Noda itu menempel di sepanjang lengan hingga bagian dada--dimana tempat darah itu berpusat.
Wanita itu menggeleng pelan, memikirkan bagaimana ia akan membersihkan kekacauan ini karena Akane jelas tidak akan senang dan mengira ia telah melakukan tindakan kriminal.
Setidaknya ia dapat bernapas lega karena sejak tadi Akane tidak ada di lantai bawah. Ia telah mencoba mencari di dapur, tempat penyimpanan bahan makanan, dan ruang cuci. Barangkali wanita itu sedang merapikan bahan makanan setelah memborong satu baris barang-barang diskonan di swalayan. Tapi ternyata ia tidak menemukan Akane di semua tempat itu jadi ia berasumsi Akane langsung tidur begitu ia kembali dari kantor.
Karena itu, Yuuka dapat melenggang santai dari basement dan naik ke dapur untuk merebus air hangat guna menyeduh teh untuk menghangatkan tubuh pegalnya.
Akan tetapi, langkahnya mendadak berhenti begitu ia menutup pintu basement dan menemukan seorang wanita berambut panjang kecoklatan yang berdiri di dekat meja makan. Jaket bernoda darah milik Yuuka ada di tangannya dan ia tampak mengamatinya dengan serius.
Mati aku.
Wanita yang dimaksud lantas mengalihkan fokusnya pada wanita lain yang kini berdiri dengan senyuman canggung yang begitu ketara. Ia menghela napas berat, mengangkat jaket itu tinggi-tinggi di hadapan Yuuka.
"Darah siapa ini?"
Yuuka membuka mulutnya untuk menjawab asal. Tetapi ia buru-buru menutupnya kembali karena tahu-tahu Akane berjalan cepat ke arahnya dan menyentuh kedua bahunya. Itu membuat punggung Yuuka sempat bertubrukan pada pintu basement dan mengeluarkan bunyi ketukan yang cukup keras. Hantu-hantu yang tinggal di bawah sana masih sangat terkejut karena mengira mereka berdua tengah melakukan KDRT, kasihan sekali.
Yuuka segera memejamkan matanya begitu menyadari wajah Akane semakin dekat. Ia mengira Akane akan memukul atau menamparnya, siapa tahu? Ia hanya mengantisipasi saja.
"Kau terluka?"
Eh?
Yuuka membuka matanya dengan cepat dan mendapati wajah Akane yang dipenuhi warna kekhawatiran, berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan sebelumnya. "Aku baik-baik saja. Darah itu bukan milikku, kau tidak perlu khawatir."
Bibir Akane sedikit bergerak, ia mengatakan oke tanpa suara dan Yuuka sempat merasa heran atas tindakannya yang tidak biasa. Apakah ia memiliki masalah di tempat kerjanya? Apakah itu menyangkut rekan satu kantor yang selalu membuatnya sebal karena terlambat memberikan kertas kerja?
Yuuka, berusaha keras menghapus kecanggungan yang sempat muncul dan menggenggam tangan Akane, "Ada yang berbeda dari caramu menatap. Kau memiliki sesuatu untuk diceritakan?"
Akane tak menjawab apapun selain menuntun Yuuka untuk duduk bersandingan di ruang utama. Tentu saja Yuuka semakin tidak mengerti dengan temannya ini. Tindakannya itu jelas menunjukkan bahwa ia kesal--lihat saja lipatan pada dahi Akane, dan kau akan segera mengerti apa yang Yuuka maksud--tetapi di sisi lain, ia merasa Akane tidak memiliki alasan apapun untuk marah padanya saat itu juga. Yeah, sebenarnya untuk itu Yuuka hanya menenangkan dirinya sendiri saja.
Lebih dari lima menit sepasang insan itu saling berdiam tanpa melemparkan ucapan-ucapan singkat seperti biasa. Karenanya, Yuuka menjadi semakin gugup. Tangannya yang semula terlipat di atas paha kini mulai saling bertaut dan bermain-main dengan jari-jarinya sendiri seperti bocah lima tahunan.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tapi, tolong, jangan berkomentar apapun sebelum aku selesai mengatakannya. Apakah bisa?"
Yuuka agak tersentak karena suara dalam Akane tiba-tiba terdengar. Tapi ia segera mengangguk, "Tentu saja."
"Sudah berapa bulan ya aku memendam hal ini sendirian dan selalu menahan diri agar tidak menyampaikannya padamu. Mungkin sekitar empat atau lima bulan yang lalu? Aku tak tahu pasti. Kemarin malam akhirnya aku memantapkan diri untuk well mengajakmu untuk duduk sebentar dan berbicara sejenak, karena kau tahu... akhir-akhir ini aku sangat sibuk." Akane terkekeh pelan. "sebenarnya, hal yang ingin aku katakan itu benar-benar sepele. Jadi aku sedikit malu."
"Tidak masalah, katakan saja. Jangan seperti orang asing begitu, Akane. Kita sudah saling mengenal selama beberapa tahun. Anggap saja aku seperti keluargamu sendiri."
"Benar juga..." Akane memalingkan wajahnya ke depan. Menatap lurus pada layar televisi besar yang mencerminkan bayangan gelap mereka berdua. "Yuuka, maukah kau berpacaran denganku?"
Huh?
"Aku tahu usia kita sudah terlalu tua untuk hal-hal seperti ini. Maksudku, mengajakmu berpacaran? Mungkin itu hanya dilakukan oleh anak-anak muda. Tapi, aku tidak masalah karena ehem, kupikir aku perlu melakukan pendekatan kepadamu sebelum... mengajakmu ke jenjang yang lebih serius. Aku benar-benar serius dengan ini, jika kau bertanya."
Huh? Akane tidak sedang di bawah pengaruh alkohol, bukan?
"Jadi... bagaimana, menurutmu?"
Perlu waktu beberapa detik bagi Yuuka untuk benar-benar mencerna dan memahami setiap kata yang Akane ucapkan. Dan selama keheningan itu, Akane memilih untuk tetap diam. Ia tahu apa yang ia utarakan benar-benar terlalu mendadak dan tidak pernah diduga sebelumnya. Ia hanya melirik Yuuka dari sudut mata. Wanita itu tampak berpikir keras dengan tatapan kosong-seperti kehilangan kehidupannya.
"Aku--entahlah. Aku tak pantas untukmu. Ada begitu banyak orang-orang hebat di luar sana yang memiliki kemampuan lebih dariku, bahkan mungkin lebih terjamin hidupnya dan kau tak perlu kesusahan lagi seperti dulu. Jadi--jadi pertanyaanku adalah," Yuuka menggigit bibir bawahnya. Merasakan sentuhan tangan yang lembut pada pipinya, Yuuka tak lagi dapat menahan air mata. "kenapa harus aku?"
"Yuuka..."
"Kenapa aku? Kenapa harus aku? Aku tidak bisa memenuhi semua ekspetasimu. Ditambah lagi dengan keadaan fisikku yang seperti ini dan dosa yang pernah aku lakukan di masa lalu, aku tak yakin kau mau menghabiskan waktu bersamaku sepanjang hidupmu. Percayalah, aku bukanlah orang yang pantas untukmu dan kau sendiri terlalu sempurna bagiku, Akane."
Sudah kuduga ia akan berbicara seperti ini. Akane tersenyum tipis atas jawaban Yuuka, ia memahami perasaan rendah dirinya dan ia tak ingin Yuuka merasa seperti itu sepanjang waktu.
Akane sudah sepenuhnya menyadari bahwa ia memiliki suatu perasaan khusus kepada Sugai Yuuka. Sejak ia duduk di sekolah tinggi--saat pertama kali ia menyadari kedekatannya dengan Yuuka tak hanya sebatas teman satu angkatan yang kebetulan sering terlibat bersama karena suatu masalah.
Perasaan itu sempat hilang begitu saja seolah memang rasa suka itu tidak pernah ada sebelumnya selama ia melanjutkan pendidikannya di Inggris. Kegiatan perkuliahannya yang sangat sibuk dan kegiatan sosial lain disana membuat memorinya tentang segala sesuatu di Sakurazaka Academy seakan terhapus.
Selama kurang lebih tiga tahun Akane melupakan eksistensi Yuuka dalam pikirannya hingga pada akhirnya, pada hari dimana ia akan pulang ke Jepang setelah mendapatkan gelar master, sebuah notifikasi email muncul di layar ponsel.
Itu adalah email dari Kobayashi Yui.
Email itulah yang membuat seluruh ingatan Akane mengenai orang-orang dan peristiwa bertahun-tahun yang lalu bersamaan kembali lagi padanya--termasuk seseorang dengan nama Sugai Yuuka. Orang yang pernah singgah di hatinya selama beberapa waktu.
Bahkan hal pertama yang ada di pikirannya setelah pesawat yang ia tumpangi mendarat di Bandara Haneda bukanlah rumah orang tuanya, melainkan rumah milik keluarga Sugai. Terdengar menggelikan, tentu saja. Tapi memang seperti itulah faktanya. Tempat itu muncul begitu saja di dalam kepalanya dan sesuatu di dalam hatinya bersikeras, memaksanya untuk datang ke sana.
Dalam hati ia bertanya, ada apa? Kenapa?
Hingga akhirnya ia menemukan jawabannya. Di tempat itu, setelah bertahun-tahun lamanya, ia bertemu dengan Sugai Yuuka. Perasaan itu sekali lagi merayap di dalam hatinya secara tidak sopan. Sebuah keinginan untuk menjaganya dari segala hal yang akan mengganggunya--Akane ingin melindungi Yuuka, sebagaimana yang telah ia lakukan padanya.
"Menyangkut apa yang kau katakan barusan... aku tidak peduli akan hal itu. Yuuka, aku tidak tahu bagaimana caraku membuat ini menjadi bentuk kalimat yang pantas tapi..." gaya bicara Akane yang sempat terlihat terburu-baru tadi segera berhenti. Wanita itu menarik napasnya, berusaha menenangkan diri selama sepersekon waktu. "aku sangat menyayangimu. Aku ingin kau ada untukku, sepanjang waktu. Kau adalah hal pertama yang ingin aku lihat saat aku bangun dari tidurku dan--"
Akane meraung frustasi tepat setelah ia memutus ucapannya secara langsung. Dengan napas memburu, "Aku mencintaimu, Sugai Yuuka. Tidak pernah sekalipun aku mengucapkan hal seperti ini sebelumnya dan kau satu-satunya orang yang berhasil membuatku melakukannya."
Dengan susah payah Yuuka meneguk saliva miliknya sendiri. Meskipun tenggorokannya sempat tercekat karena efek kejut dari pernyataan Akane membuatnya hampir saja membuatnya kehilangan kesadaran selama satu detik. Sepasang iris coklatnya memandang lurus pada milik Akane yang lebih terang. Yuuka tidak dapat menemukan dusta di dalam sana.
Meski begitu, Yuuka tetap tak tahu bagaimana baiknya ia bersikap. Pikirannya seperti menolak untuk bekerja sama dengan situasi yang menegangkan seperti ini.
"Aku mendengar kau mengatakan hal yang sama padaku waktu itu, Sugai. Kau tak bisa berkelit lagi." Akane menurunkan bahunya yang semula tampak begitu kaku dan tegang. Kali ini ia tertawa lepas dan menengadahkan kepalanya menghadap langit-langit rumah. Dengan senyuman lembut di bibir dan satu hembusan napas, ia kembali berkata pada Yuuka. "jika kau hendak menolak pernyataanku, tidak apa-apa. Aku tak akan memaksamu dan memohon padamu untuk kedua kalinya. Selebihnya, kita tetaplah teman."
Tidak, Akane. Bukan seperti itu maksudku.
Argh, Yuuka! Bicaralah, pengecut. Jangan biarkan dia terabaikan begitu!
"...aku juga." Akane mengangkat satu alisnya ke atas. Ditegakkanlah tubuhnya yang semula duduk santai di sofa karena ucapan Yuuka terdengar seperti gemeresak angin yang lewat di telinganya. Dengan tatapan menuntut pengulanan dari Akane, Yuuka terpaksa memperjelas ucapannya. "aku juga. Ya-aku juga mencintaimu, Akane. Ah, Maaf, tunggu sebentar--"
Yuuka tiba-tiba menangis lagi dan Akane sampai hati melihat wanitanya terisak seperti itu. Segera saja ia beringsut mendekat, melingkarkan kedua lengannya dan menyelimuti tubuh Yuuka dengan kehangatan dirinya, berharap bahwa gestur sederhana itu Yuuka dapat perlahan-lahan menenangkan dirinya.
Tangan kanan Akane mengusap-usap bagian belakang kepala Yuuka. Sesekali pula ia berbisik pelan kepadanya, mengucapkan kata-kata penuh perasaan untuk menenangkan hati Yuuka yang rapuh.
"Maaf. Aku hanya takut jika kau berhubungan denganku--"
"Seperti yang telah kukatakan padamu waktu itu, saat bersamaku, tidak akan ada yang bisa melukaimu lagi. Sebab kau adalah wanitaku, dan semua orang tahu jika mereka bermain-main dengan milik Moriya Akane hal yang terjadi selanjutnya pada mereka bukanlah hal yang baik," Akane menambahkan lagi. Kali ini ia semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Yuuka yang hangat. "bagaimana kalau kau mengganti nama belakangmu dengan Moriya? Ide yang bagus, bukan begitu?"
Yuuka menggumam pelan. Sepenuhnya menyamankan diri dalam pelukan hangat Akane. Itu ide yang bagus, memang. Meski ia menyetujuinya dalam hati, pada akhirnya Yuuka menggeleng, "Tidak. Nama ini adalah satu-satunya yang tersisa dari keluargaku. Aku ingin menyimpannya."
"Baiklah, jika itu yang kau inginkan." Jawab Akane. Yuuka melepaskan pelukannya, menatap wajah orang terkasihnya itu.
"Akane..."
"Ya, Yuuka?"
Ah, jadi ini rasanya memiliki seseorang untuk bersandar? Ini tidak terlihat buruk juga.
Sepanjang hidup, ia memutuskan untuk menghapus definisi cinta dalam kamus pribadi yang ia simpan jauh di dalam otaknya sejak Ibunya meninggal dunia. Pengkhianatan dari Sang Ayah dan ujaran kebencian yang setiap hari terpaksa ia dengar telah membuat hatinya nyaris mati.
Sesuatu yang palsu, sesuatu yang fana, sesuatu yang hanya akan ada sementara sebelum hal lain yang mereka beri nama sebagai kebencian menghapus perasaan cinta dan menenggelamkannya ke lautan yang paling dalam.
Detik ini, Yuuka akan membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia akan menuliskan semua kisah hidupnya dan menerima masa lalunya. Kali ini ia tidak sendirian lagi, karena Moriya Akane akan selalu ada bersamanya.
Hingga akhir nanti.
"Sekarang, ceritakan padaku apa saja yang kau alami hari ini. Termasuk dari mana darah itu kau dapatkan."
Suasana pengap, gelap, bau anyir darah. Semuanya bercampur aduk dan membuat suasananya menjadi sangat mengganggu bagi beberapa orang. Lampu depan rumah sudah dinyalakan dan lampu ruangan utama dimatikan seluruhnya guna memberikan kesan kepada orang di luar sana bahwa sang pemilik rumah sedang tidak ada di tempat. Bercak darah dan bekas darah memanjang tampak membentang dari lantai atas, melewati ruang tamu, dan berakhir di dapur.
Memang. Karena pasangan suami-istri yang dimaksud itu sedang tergeletak tak sadarkan diri di sana, di hadapan seseorang dengan pakaian gelap dari ujung kepala hingga kaki. Di tangannya tergenggam sebuah asbak retak lengkap dengan noda darah di seluruh permukaannya.
Wanita itu menghembuskan udara hangat dari rongga mulut. Uap putih transparan samar-samar keluar dari bibirnya tiap kali ia menghembuskan karbondioksida dari mulut. Dalam hati ia menertawakan nasib buruk dua orang manusia yang teronggok di depannya seperti hewan, kepala mereka tertutup oleh kain yang diikat oleh tali pada lehernya. Kain itu kembang kempis dengan tempo yang cukup pelan karena dua orang itu memang dibiarkan hidup untuk sementara waktu.
Mengeratkan sarung tangan karet hitam yang ia kenakan, wanita berpakaian hitam itu berdiri dari kursi meja makan. Ia mengangkat kursi itu tinggi-tinggi dan melemparkannya pada dua orang di depannya sekuat mungkin.
Suara teriakan keras bercampur gumaman tertahan langsung mengambang di udara. Mereka tidak bisa mengeluarkan silabel yang jelas karena ia telah memotong lidah mereka-kedua lidah itu sekarang dibiarkan teronggok di samping kakinya. Darah kental masih mengucur keluar dari bekas sayatan silet dan meninggalkan genangan darah kecil.
"Jangan repot-repot mencoba untuk berbicara. Kalian tidak akan pernah bisa."
Ditariknya masing-masing penutup kepala dari dua orang itu. Ia tak mau hanya melepaskan satu karena ia ingin semuanya mendapatkan jatah yang sama rata. Di sisi lain, ia tidak mau salah satu dari mereka melewatkan hal menyenangkan yang akan ia lakukan pada sepasang pasangan tua ini. Beberapa detik ia memperhatikan wajah mereka-mereka menangis deras dengan air mata bercampur darah yang meluncur bebas dari pipi hingga ke pakaian yang mereka kenakan.
"Kenapa menangis? Itu tidak akan membuatku melepaskan kalian." Ujarnya. Perlahan, ia menurunkan tubuh hingga ke posisi berlutut. Tatapan tajamnya tak lepas dari wanita tua yang terus menerus meracau dengan kalimat tak jelas. "kalian berdua sangat bodoh. Benar-benar bodoh. Kenapa kalian sama sekali tidak memberitahu? Bahkan sejak awal?"
Diambilnya satu potongan lidah dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya digunakan untuk menarik kepala wanita tua itu mendekat, memaksa rahangnya terbuka lebar meskipun ia berteriak makin keras karena hentakan kuat pada rahangnya yang patah. Semakin lama, teriakan itu semakin membuatnya kesal dan terganggu. Jadi tanpa menunggu waktu lama, ia menggelogokkan potongan lidah itu masuk ke dalam tenggorokan. Dengan jari telunjuk dan jari tengah ia mendorong paksa potongan lidah itu masuk semakin dalam, tak peduli dengan korbannya yang tersedak dan mencengkeram jaketnya keras-keras.
Sepertinya ia akan muntah, tapi wanita itu buru-buru menutup paksa mulutnya dan sekali lagi memaksanya untuk menelan lidah dan muntahannya sendiri.
Setelah ini adalah momen yang paling ia sukai. Jadi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia perlu membungkam orang ini terlebih dahulu. "Aku akan segera kembali." Ucapnya pada si laki-laki.
Ia meninggalkan mereka berdua untuk berjalan ke ruang depan dan membuka laci penyimpanan pada lemari kaca yang ada disana. Diambilnya sebuah benang jahit dan segulung benang. Selama berjalan kembali ke dapur, ia menelusupkan benang ke dalam lubang jarum dan menariknya.
Melihat orang ini kembali berlutut di depannya--kali ini membawa separangkat alat jahit--wanita tua itu langsung tahu apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini.
Ia segera memberontak hebat. Menendang, memukul orang di depannya dengan liar kendati kawat berduri menahan seluruh alat geraknya. Pembunuh itu lantas berdecak, ia berdiri dari tempatnya dan mengambil sebilah pisau daging dari counter dapur. Tanpa antisipasi, tanpa memberikan jeda, ia menahan kaki kirinya dan langsung memotong betisnya dengan brutal.
Darah merah bercipratan tak tentu arah saat ia terus mengayunkan pisau untuk memotong permukaan tulang manusia yang cukup keras. Membutuhkan kesabaran dan sedikit kekuatan untuk memotong tulang betis dan yang cukup tebal itu, tapi akhirnya ia berhasil memotong kakinya dan meletakkan pisaunya.
"Aku akan mengambil kakimu yang lain jika kau tidak berhenti berbuat bodoh seperti tadi."
Ia kembali mengambil jarum, menyempatkan sedikit waktu untuk meluruskan benangnya sebelum menahan rahang wanita tua itu lagi. Dengan cepat ia menjahit mulutnya, membiarkannya meronta menahan sakit--pria di sampingnya hanya diam dan tak berhenti menangis. Sepertinya ia cukup pasrah sekarang sampai tak mau melakukan perlawanan--dan panas tiap kali benang jahit tipis itu ditusukkan dan melewati bibirnya. Si pembunuh menyelesaikan jahitan itu dengan cukup rapi meskipun darah masih dapat merembes keluar dari celah benang.
Ia mengambil potongan lidah lainnya dan menarik keluar combat knife yang terselip di dalam celah tactical bootsnya. Dengan senyuman tipis ia menusukkan lidah itu pada ujung pisau dan kembali memaksa laki-laki itu menelannya, termasuk menggunakan pisaunya untuk menyayat rongga tenggorokannya.
Paling tidak pisaunya sukses merusak pita suara, jadi orang tersebut tak bisa mengeluarkan suara apapun selain suara meringkik putus-putus seperti tikus yang terlindas roda mobil. Entah karena gemas atau bagaimana, ia semakin menekan pisau itu dan memasukkannya sedalam yang bisa ia jangkau sebelum menariknya dengan cepat.
Melemparkan pisau miliknya yang kini dipenuhi lumuran darah dan beralih pada bor listrik yang ia ambil dari kotak perkakas di dalam basement. Ia memalingkan kepalanya dan menahan kepala si wanita tua itu agar tidak memberikan yang tak perlu sebelum ia menusukkan bagian mata bor pada bola matanya. Ia harus menahan kepala itu dengan lutut karena rupanya tangannya tak cukup mampu untuk menahan gerakan brutal di bawah kakinya.
Aku terlalu berlama-lama disini.
Segera saja ia menyalakan mesin bor dan membuat bola mata serta isi kepala di dalamnya hancur berantakan, teraduk-aduk menjadi satu dan mengeluarkan suara renyah yang membuat mual. Darah mengalir keluar melalui lubang hidung, telinga, dan mulut. Membasahi lantai di bawahnya dan benar-benar menguras habis otaknya. Satu tarikan cepat dan bor itu berhasil dicabut keluar, tetapi tak sampai disitu saja, ia mengambil kembali combat knife yang tadi ia pakai dan menusuk bola mata lainnya-mencungkil dan mencabutnya secara paksa.
Tusukan-tusukan lain kembali ia sasarkan pada leher--ia terus menusukkan pisaunya disana hingga kepalanya nyaris sepenuhnya putus. Kepala itu bisa saja jatuh jika tidak ada jalinan kulit yang menahannya. Darah sudah bercipratan ke mana-mana. Dinding dan perkakas dapur disana bahkan seperti berubah warna menjadi merah karena percikan darah yang seakan sengaja dioleskan seperti cat. Termasuk dengan jaketnya-urgh¸ia sepertinya harus menyimpan jaket ini di dalam ruang bawah tanah setelah semuanya selesai.
Dengan berpegangan pada meja, si pembunuh memaksa dirinya untuk berdiri. Lututnya tiba-tiba terasa sakit sehingga ia membutuhkan sedikit bantuan dari benda di sekitarnya. Sementara ia membersihkan bilah pisau dari noda darah, ia menyempatkan diri untuk mengeluarkan ponsel dan memotret pemandangan mengerikan di depannya. Sudut bibirnya ditarik ke atas, membentuk kurva tipis senyuman gila yang membuat orang lain yang masih hidup disana semakin panik dan putus asa.
Benar juga. Aku melupakan orang ini.
Sekarang, ia hanya perlu melakukan pekerjaan sisanya dan ia tidak akan berlama-lama seperti tadi. Kini palu yang ia bawa akan berfungsi sepenuhnya.
"Jangan menatapku seperti itu, Tuan. Aku jadi tidak tega lho, bagaimana ini? Padahal kita sudah setengah jalan." Ucapnya.
Lihat, padahal ia sudah bersikap lembut seperti ini, tetapi mengapa orang di depannya tetap meringkik seperti anjing sekarat? Ia tergelak pelan, menundukkan kepalanya dan memasang kembali masker hitam pada wajahnya yang berlumuran darah.
Kau melihatnya kan? Aku tahu kau bisa melihatnya, karena aku sudah memberimu izin.
Palu di tangannya sudah siap diayunkan, tetapi ia tak segera membunuh laki-laki tua ini. Perasaan aneh tiba-tiba muncul di dalam hatinya, memancing gejolak aneh yang mengaduk-aduk isi perutnya dan membuatnya ingin muntah saat itu juga.
Ia bisa menahan keinginan itu, tetapi tidak dengan likuid aneh yang tiba-tiba jatuh menetes pada genangan darah di bawahnya.
Ia... menangis.
Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba begini?
Jadi, kita sudah setengah perjalanan. Hingga saat ini, adakah karakterisasi member dan adegan yang menurutmu paling memorable?
IDK, nulis beginian kadang bikin kena mental sendiri krn otak mesti mikir keras. Dan itu mungkin bikin capek smp buat nulis paragraf yang sempurna (menurutku sendiri) jadi susah PUOLLLL. Atau mungkin juga aku terlalu patok standar yang terlalu tinggi? Setiap tulisan yang aku hasilkan, harus perfect buat semuanya. Jadi... itulah kenapa, aku sering unpublish-republish.
Being such a perfectionist... really makes me suffer.
Akhir-akhir ini aku ngerasa... gaya penulisanku berubah. Sebenernya agak ngga yakin... jadi aku mau mastiin ke kalian. Beneran ada yang berubah ngga?
Hahaha, maaf, aku jadi kurang profesional. Hanya sekali saja, ini tidak akan terjadi lagi. Oh ya, terima kasih sudah membaca tulisanku. Untuk selanjutnya, aku akan tetap memberikan hasil terbaikku disini.
Next, karena ada beberapa KTI yang harus digarap. Jadi mungkin update selanjutnya (sepanjang Desember) bakal jadi lebih lambat. And I'm really sorry for that 🙏
Now, I'm just going to remind all of you to take better care of yourself. Be proud of yourself and calm your little soul.
Regards,
Mark.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top