Chapter 14: Countdown
Orang-orang mungkin meremehkannya karena tubuhnya yang kecil. Berbeda dengan pandangan mereka tentang polisi penjara—sipir—yang memiliki tubuh tinggi, besar, dan kuat. Itulah yang ada di pikiran Rena setelah beberapa bulan bertugas di tempat dinas barunya itu. Satu bulan pertama setelah upacara penyambutan anggota baru, tak sedikit narapidana yang melakukan penghinaan kepadanya. Terkadang saat Rena berjalan di depan deretan sel, mereka seringkali berteriak, mengolok-olok dan menertawakan dirinya. Mengatakan bahwa seharusnya ia bekerja menjadi badut saja di taman hiburan yang bangkrut.
Bahkan mereka juga pernah dengan sengaja melukai Rena dalam tugasnya. Petugas itu sampai harus mendapatkan tujuh jahitan di pelipis karena lemparan botol kaca yang entah berasal dari mana.
Tak hanya narapidana brengsek yang melakukan perundungan padanya di tempat kerja. Beberapa sipir senior juga tak jarang menyindir dan menghinanya secara terang-terangan. Sekali lagi, mereka merendahkan fisiknya yang berbeda. Benar seperti yang dikatakan orang luar, bekerja di penjara sama dengan menempatkan diri di dalam neraka atas keinginan sendiri. Perkelahian antar narapidana, penyelundupan senjata tajam, senjata api hingga obat-obatan terlarang—semuanya sudah Rena lihat dan ia tak bisa melakukan banyak hal untuk mencegah hal itu terjadi.
Meskipun ia begitu membenci pekerjaannya ini, ia tetap tak bisa mengundurkan diri karena ia sangat membutuhkan uang untuk menghidupi ibu dan membayar biaya sekolah adiknya. Tentu saja, karena hal sudah tak sebaik dulu, tepatnya sebelum ayahnya meninggal dunia karena sakit sehingga Rena yang kini menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus menekan egonya kuat-kuat dan terus memperkuat mentalnya dari waktu ke waktu—suatu saat nanti, ia juga akan menjadi senior.
Sore itu, setelah menghabiskan setengah gelas kopi yang ia buat dengan setengah mengantuk, Rena membalutkan seragam dinas malamnya yang telah terpasang atribut lengkap—seperti plakat nama, pangkat, dan lainnya—kemudian mengenakan jaketnya untuk menutupi seragam yang ia pakai di dalam. Ia baru akan berangkat pada pukul enam sore, jadi ia masih memiliki cukup waktu untuk memasak makan malam sederhana untuk keluarganya.
Setelah mengunci pintu dan menempelkan sticky note pada pintu rumahnya, Rena mengenakan sepatu bootsnya dan segera masuk ke dalam mobil. Jarak antara rumah dan tempatnya bekerja sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya menghabiskan waktu 45 menit jika kondisi jalanan sedang tak macet. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya perjalanan menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya.
Berbicara tentang Ozono Rei, wanita itu selama ini terlihat tak memiliki masalah apapun dengan pihak penjara. Pada saat jam keluar sel—yang biasanya dilakukan mulai pukul 9 hingga 3 sore—Rei cenderung berdiam diri dengan duduk di suatu tempat yang terpisah dari narapidana lain bersama sebuah buku dan satu orang rekannya yang selalu bergabung dengannya. Hal yang menurut Rena aneh adalah; tidak ada narapidana lain yang bergabung dengan mereka sejauh ini. Mereka berdua bahkan hanya berbicara seperlunya saja dan tidak bercanda keras-keras seperti orang lainnya, tersenyum pun jarang dan dapat dihitung jari.
Tidak mungkin mereka semua takut pada dua orang ini kan? Memangnya seberapa berbahayanya mereka di dalam kandang?
Apapun itu, setidaknya Rena bersyukur karena ia jarang sekali mendapatkan jadwal dinas pagi sehingga ia tak harus menemukan dua psikopat itu dalam penjagaannya. Mungkin hanya perasaannya saja, tetapi ia selalu merasa bahwa ada seseorang yang selalu mengawasinya sepanjang waktu. Dan itu tak terjadi hanya saat ia sedang melakukan patroli. Saat ia sedang berada di rumah pun perasaan aneh itu tetap tak luput darinya—seolah ia telah membawa pulang sesuatu dari penjara untuk masuk dan tinggal di dalam rumahnya.
Rena tak mengerti. Apakah akan buruk jika ia terus menerus mengabaikannya?
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam saat Rena memarkirkan mobilnya dan berjalan cepat untuk masuk ke dalam pos jaga. Ia meletakkan tas ranselnya di atas meja dan mengeluarkan beberapa benda dari sana—botol air, ponsel dan snack bar—juga melepaskan jaket dan melipatnya asal di atas meja. Ia terdiam sejenak begitu mendapati lembaran kertas yang menempel pada papan. Jelas itu adalah pesan yang dituliskan oleh rekan piketnya.
Aku sedang keluar membeli makanan untuk malam ini. Kunci pos saat kau berpatroli, sebab mereka memberiku laporan tentang hilangnya silet lipat sore tadi.
Rena membaca tulisan kecil pada kertas itu dengan serius, "Tentu saja."
Ia menghabiskan waktu selama sepuluh menit untuk mengambil semua peralatan yang ia perlukan sebelum ia benar-benar pergi dan mulai berjalan menyusuri koridor gelap di sekitar pos penjagaannya.
"Sayang sekali kau tidak mendapatkan jadwal dinas pagi karena Takemoto terlihat bersemangat saat aku bercerita tentangmu." Jantung Rena tiba-tiba seperti meledak di dalam rongga dadanya ketika ia mendengar suara dingin Rei menembus pintu baja di sampingnya. Dinginnya suasana malam itu seolah merangsek masuk ke dalam tubuhnya dan membuat Rena seketika kehilangan kekuatannya untuk melangkahkan kaki.
"Siapa Takemoto?" Kedua alis Rena lantas bertaut saat nama tersebut masuk ke dalam indera pendengarannya. Ia merasa pernah mengetahui nama itu sebelumnya.
"Dia orang yang hebat." Rei menjawab lagi. Kali ini ia berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati pintu baja. Wajahnya menengok ke luar dari rongga besi pintunya, mengintip keluar dan menangkap sosok Rena yang membeku di depannya. "itu jika kau menganggap mencongkel bola mata manusia dengan pisau dan menariknya dengan tangan adalah hal yang luar biasa."
Mencongkel... mata manusia? Orang sinting ini... pasti bercanda, kan?
Rena menjatuhkan senter yang ia genggam ke lantai, menimbulkan suara keras saat permukaan kaca yang melindungi bohlam lampu di dalamnya pecah berserakan di bawah kakinya. Tangan kanannya kini berpindah untuk menutupi mulut, berusaha menekan keinginannya untuk memuntahkan seluruh isi perutnya.
Otaknya dapat dengan mudah memvisualisasikan apa yang dikatakan Rei kepadanya. Tentang seseorang yang menusukkan pisau pada rongga mata, kemudian mencungkilnya keluar hingga bola matanya pecah seperti telur. Rena terbatuk-batuk, kali ini ia sudah benar-benar di ujung. Berkali-kali ia membujuk dirinya sendiri agar tak begitu saja percaya dengan ucapan Rei karena ia tahu, hal-hal seperti itu hanya ada di dalam film dan mustahil terjadi di dunia nyata.
Hanya orang sinting yang bisa melakukan tindakan sekejam dan semenjijikkan itu.
Telinganya menangkap suara hembusan napas berat dari seseorang yang ada dibalik pintu. Rena tidak dapat melihat wajah Rei yang tersenyum tipis disana karena ia tengah membungkuk, menjauh dari depan selnya. "Dia juga cukup berani untuk menghancurkan bola mata itu dengan meremasnya menggunakan tangannya sendiri. Ah, aku bahkan tidak berani melakukan hal semacam itu, Rena."
Brengsek. Rena mengerang, semakin mengeratkan dekapan tangannya pada mulutnya. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi kerah dari ujung rambut, dahi, dan lehernya. Membuat tetesan-tetesan kecil di seragam dinasnya. Tidak, jangan takut. Dia hanya bercanda. Itu semua tidak mungkin. Rena memejamkan matanya rapat-rapat sementara Rei berdiri di depannya sembari tersenyum lebar. Pintu baja di antara mereka seolah menghilang karena Rena dapat merasakan kehadiran Rei dengan sangat dekat di depannya.
Sesaat kemudian, setelah berusaha sekuat tenaga untuk membujuk dirinya sendiri untuk tak mempercayai apa yang Rei ucapkan, otaknya secara otomatis mengingat suatu insiden yang pernah terjadi di masa lalunya. Ia lupa bahwa ia tengah berhadapan dengan pembunuh yang bertanggung jawab atas kasus tersebut. Memikirkannya lagi, langsung membuat isi perutnya bergejolak hebat dan naik mengisi kerongkongannya. Itu berarti, apa yang ia katakan adalah benar.
Mengangkat kepalanya dan mendapati Rei tengah memperhatikannya dari rongga-rongga besi pintu baja, ia memaksa kakinya yang gemetar setengah mati untuk berdiri dan berlari secepat yang ia bisa untuk meninggalkan area tersebut—meninggalkan senternya yang menyorot koridor gelap arahnya berlari.
"Aku belum menyelesaikan dongengku." Rei berucap dengan agak bercanda meskipun tak ada seorangpun lagi disana. Ia akhirnya berbalik untuk duduk di atas tempat tidurnya. Aku tak bermaksud membuatnya takut seperti itu. Apa memang orang-orang mudah takut akan hal-hal kecil seperti ini, ya?
Rei tak pernah berhenti menertawakan orang-orang menyedihkan semacam itu di dalam hidupnya dan terus memuji kebodohan sebagian besar penegak hukum yang berkeliaran disini. Ia tak pernah lupa bagaimana wajah-wajah ketakutan yang ia lihat saat mereka menemukan mayat polisi penjara yang ia letakkan di bangunan kosong di sayap belakang penjara. Padahal Rei sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menakuti, ia hanya memberikan sambutan dan perkenalan kepada orang-orang baru disini. Bodohnya lagi, hingga kini kasus itu masih tetap dibiarkan tanpa diselidiki lagi penyebab kematian korban.
Orang-orang itu memang busuk tindak-tanduknya. Sangat pandai menggali lubang mayat dan menguburnya lagi dengan lelehan aspal hingga mayat itu tak tercium bau bangkainya. Seperti cara mereka menyembunyikan kematian sipir itu sebagai bunuh diri bagi sumber berita golongan wartawan dan keluarga korban. Ia masih ingat, ketika Pak Kepala tua itu lewat tengah malam di depan pintu selnya bersama dengan koleganya. Rei dapat mendengar suara bisikan mereka yang sengaja ditekan hingga volume yang sangat kecil, tapi telinga Rei cukup jeli untuk mendengar suara tersebut.
Mereka mengatakan sesuatu mengenai tahanan yang kabur, uang asuransi, perjanjian bagi hasil, dan kontrak kerja.
Tapi sesuatu seperti itu sama sekali bukan hal yang menarik baginya. Orang-orang di penjara ini juga tak membuatnya tertarik sedikitpun. Namun, berikan pengecualian pada Moriya Rena. Seorang sipir wanita yang baru saja bergabung beberapa bulan lalu itu memberikan jarak dan dinding saat ia berada dekat dengan Rei, juga membujuk dirinya sendiri agar tidak takut padanya. Dan itu, bagi Rei, terasa sangat menggelikan.
Ia jadi membayangkan, bagaimana jika orang itu menjadi hewan peliharaannya? Apakah ia akan tetap menjaga benteng pertahanannya yang kokoh itu?
Rei terkekeh pelan, mengeluarkan tabung pulpen berisi tinta dari lipatan pakaiannya. Tabung itu cukup pendek, mungkin sepanjang jari kelingking—ia selalu menyembunyikan benda itu di bawah lidahnya setiap ada penyidakan rutin di pagi hari dan petugas tak pernah berhasil menemukan. Biasanya Rei menggunakannya untuk memberikan rona gelap dan tegas pada sketsanya, tetapi kali itu Rei menggosok-gosokkan ujungnya pada bagian tajam tempat tidurnya dan sudah berminggu-minggu ia melakukan hal itu.
Terhitung sudah delapan bulan Rei melakukan hal itu secara repetitif. Sehingga ujung tabung tinta itu menjadi semakin tipis dari ujung lainnya, bagiannya yang semula tumpul kini menjadi semakin tajam. Tapi menurut Rei, itu masih tak cukup tajam baginya. Sementara mulutnya menguap lebar, tangan kanannya terus bekerja untuk menggosok benda tadi di sisi ranjang. Sel temaramnya yang sempit mungkin terlihat membosankan, tapi ia sudah terbiasa dan menganggap itu sebagai rumahnya sendiri selama bertahun-tahun.
Matanya lantas melirik ventilasi kecil yang berada di bagian paling atas dinding. Meski begitu kecil, Rei dapat melihat hitamnya langit malam disana. Ia membayangkan ada titik-titik cerah yang mewarnainya meski pada kenyataannya hanya kehampaan yang gelap diluar sana.
Rei jadi berpikir, kiranya apa yang dia lakukan di luar sana, ya? Ah, berpikir mengenai hal itu semakin membuat kepalanya yang terluka menjadi semakin sakit saja.
Biasanya pada pukul 11 hingga 12 siang, café miliknya akan selalu penuh terisi oleh anak-anak muda yang datang dengan membawa laptop dan buku-buku mereka serta pekerja lain yang sedang menikmati istirahat siang sehingga nyaris tak ada meja kosong di dalamnya. Pelayan café sampai harus menempelkan tulisan peringatan di depan pintu untuk memberitahu bahwa mereka hanya akan melayani take away untuk menghindari adanya antrian orang-orang yang menunggu meja kosong.
Akane, mengambil tempat di meja paling sudut, terpisah dari keramaian dengan setumpuk kertas di atas mejanya. Ia sengaja mengambil tempat di sana agar tak terganggu dengan suara bersahut-sahutan yang diselingi gelak tawa dari pengunjung café. Akane tak perlu takut akan kehilangan fokus atas pekerjaannya di tempat ramai seperti itu karena ia memiliki kemampuan khusus untuk menyumbat telinganya secara otomatis. Jadi, jangan heran jika Akane tidak memberikan jawaban apapun saat ia sudah duduk berhadapan dengan tumpukan berkas perkara ketika dipanggil namanya.
Seperti yang terjadi saat ini. Yuuka telah memanggil nama sahabatnya itu selama beberapa menit terakhir di saat ia sedang melayani customer. Bahkan beberapa kali ada yang mengira Yuuka tengah memanggil nama salah satu customernya padahal sebenarnya ia tengah memanggil wanita berkuncir kuda yang mengasingkan diri disana.
Yuuka harus menunggu beberapa saat untuk menyelesaikan tugasnya sebelum menyerahkan tanggung jawab itu kepada karyawannya yang baru saja kembali dari toilet. Setelah mengacungkan jempol padanya, Yuuka segera melepaskan apron berwarna biru tua yang sejak tadi ia pakai dan membawakan sesuatu untuk rekannya itu.
"AKANE!"
"YA?"
Akane memindahkan atensinya dari kliping yang ia kerjakan pada Yuuka yang datang kepadanya sembari membawa secangkir kopi hitam. Wanita itu menggeser kertas-kertas milik Akane dan meletakkan cangkirnya di atas meja dengan sangat berhati-hati.
"Apa ini?" Akane bertanya, mengangkat cangkir kopi mendekati hidungnya dan mengendus baunya. Dahinya sedikit berkerut seakan ia menemukan sesuatu yang aneh dari dalam kopi yang Yuuka sajikan padanya.
"Black Eye." Jawab Yuuka. Ia melihat Akane menganggukkan kepalanya dan menyesap kopi miliknya—tidak mempedulikan uap yang masih menguar dari dalam cangkir. Wanita itu tampak menikmati minumannya karena Akane terus menerus menyesapnya—sebentar cangkir itu diletakkan, sebentar kemudian diangkat lagi. Begitu seterusnya.
Kopi di dalam cangkir tersisa setengah saat Akane benar-benar selesai dan kembali "Siapa yang membuatnya? Ini terlalu enak untuk kau buat, jadi aku sedikit curiga."
Sebuah ide tiba-tiba muncul di dalam kepalanya, membuat Yuuka diam-diam tertawa penuh kemenangan. Ia tidak pernah menggoda Akane sebelumnya jadi mungkin ini adalah saat yang tepat. "Tentu saja aku membuatnya. Kau tahu, sesuatu dari botol kaca yang kau simpan di dalam lemari? Mungkin itu yang membuatnya terasa berbeda."
"Yuuka, aku bersumpah jika—baiklah, kau... tidak bercanda bukan?"
Memiringkan kepalanya sebagai tanda tak mengerti akan ucapan Akane yang terbata-bata, Yuuka menjawab, "Kenapa begitu panik? Kau tidak memiliki alergi kopi, jika aku tak salah ingat."
"Yuuka... itu cairan karbol."
Hening. Tidak ada salah satu dari mereka yang berbicara lagi setelah Akane mengatakan bahwa isi dari botol kaca kecil yang ada di counter adalah cairan karbol yang ia simpan untuk membersihkan noda yang lengket pada cangkir dan alat makan keramik. Yuuka sudah tahu mengenai hal itu, jadi ia sengaja mengikuti alur permainan Akane dan membiarkan wanita itu terdiam, merenungi hidupnya yang ia kira tidak akan berlangsung lama karena ia telah meminum kopi dan campuran karbol.
Setelah beberapa menit dan merasa cukup kasihan dengan Akane yang tiba-tiba menutup mulutnya dan hanya menatap kosong pada apapun yang ada di depan matanya, Yuuka segera beranjak dari tempatnya berdiri dan menepuk-nepuk bahu sahabatnya. Mengeluarkan tawa lepas yang benar-benar menunjukkan kepuasannya bahwa telah ia berhasil menggodanya kali ini. Sontak itu membuat Akane memalingkan wajahnya dengan cepat. Ingin sekali ia memukul wajah Yuuka dengan map besar yang ada di samping kursinya.
Melihat Yuuka yang justru tertawa terbahak-bahak seperti itu, tentu membuat Akane sedikit kesal. Ia menggoyangkan bahunya agar Yuuka tak bisa mendaratkan tangannya disana, menatap rekannya itu dengan tatapan tajam. Ini pertama kalinya dalam satu tahun Yuuka memberinya prank jadi Akane sama sekali tidak dapat menduganya. Ditambah lagi raut wajah Yuuka yang sangat-sangat mendukung kebohongannya itu.
Rasanya seperti melompat ke masa lalu. Saat dimana Akane selalu memandang Yuuka dengan emosi yang meledak-ledak setiap harinya, karena ia selalu menganggapnya sebagai president yang bersifat otoriter terhadap siswi lainnya. Memang benar jika takdir itu suka bermain-main dengan manusia sebab kini ia hampir tak pernah merasakan emosi seperti itu lagi saat ia bersama Yuuka. Justru, ia merasa tenang setiap kali Yuuka ada di sisinya. Mungkin perasaan benci itu telah berubah sejak kedua mata mereka bertemu di pengadilan, hingga kini, ia tak dapat menampik bahwa ia sangat menyayangi wanita ini dan berjanji agar tidak meninggalkannya lagi.
Terlampau gemas, Akane tak bisa menahan tangan kanannya yang refleks terangkat dan mendorong wajah Yuuka ke belakang, Akane melakukannya dengan tidak terlalu keras jadi ia tak akan sampai terjungkal dari kursi.
"Aish... kupikir kau benar-benar serius! Lain kali jangan bercanda seperti itu padaku. Ah, sialan sekali kau ini, Sugai!"
"Tidak mungkin aku melakukan itu kepadamu. Aku hanya berniat menggodamu saja, lihat, kau terlalu serius menyelesaikan ini sampai-sampai kau tidak menyadari bahwa sejak tadi aku menahan keinginanku untuk tertawa." Yuuka mencoba menjelaskan. Kemudian ia menarik kursi kosong di seberang meja Akane dan duduk disana. Tangan kanannya digunakan untuk memangku dagu sementara tangannya yang lain ia lipat di atas meja, tentu tidak di atas lembaran kerja milik Akane.
Akane menghela napasnya panjang. Menatap kosong pada cangkir kopi di atas mejanya. Karena Yuuka mengetuk-ngetuk permukaan meja, permukaan kopi tersebut seperti bergetar dan membentuk lingkaran. "Padahal aku sudah siap mati, Yuuka."
Yuuka terbelalak. Perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, menatap wanita di depannya dengan ekspresi aneh. "Akane..." bibirnya mengucapkan nama tersebut "Tidakkah lebih baik kau mengerjakan ini di rumah atau di kantormu saja? Akan berbahaya jika berkas penting seperti ini tak sengaja kotor karena terkena tumpahan kopi atau sesuatu yang lain."
Jelas Yuuka berusaha memutarbalikkan alur pembicaraan Akane ke arah lain.
Akane menggeleng. Ia mengumpulkan kertas dan kliping miliknya yang sedemikian banyak dan memasukkannya dengan rapi ke dalam map berwarna hitam besar. Yuuka dapat melihat logo yang ada pada salah satu lembaran kertas yang Akane simpan di dalamnya, adalah sebuah logo dari salah satu pengadilan tinggi di kota mereka. Baru kali ini ia melihat bagaimana Akane menggarap pekerjaannya untuk meneliti dan membahas berkas perkara penyelidikan yang diberikan oleh pihak kepolisian—melihat kertas-kertas itu saja ia sudah pening, bagaimana jika ia melihat dan membaca isinya yang bahkan ia tidak mengerti apa saja arti istilah-istilah asing disana.
Tidak. Akane sama sekali tidak berkaitan dengan kasus Black Mail. Saat ini, pelakunya saja masih belum ditetapkan dan berstatus buron, bagaimana mungkin ia bisa dituntut ke pengadilan?
"Akane, aku membutuhkan—oh, apakah aku mengganggu kalian?"
Suara lonceng dari bel pintu dan suara nyaring dari seorang wanita tinggi yang berjalan mendekati tempat mereka duduk membuat kedua manusia itu kompak menengok ke arah sumber suara. Wanita bertubuh ramping dan sangat tinggi—Habu Mizuho berdiri disana. Ia mengenakan celana bahan berwarna hitam, kemeja putih, dan sweatshirt biru tua. Wanita itu masih menenteng tasnya jadi mungkin ia langsung datang ke café setelah jam mengajarnya selesai.
"Tentu saja, tidak. Duduklah disini, Habu." Yuuka memberikan gestur dengan menunjuk kursi kosong yang ada di sampingnya, meminta Habu untuk mengistirahatkan bokongnya disana. "kau ingin memesan apa?"
Habu meletakkan tasnya di bawah kakinya, mengeluarkan ponselnya dari dalam dan meletakkannya di atas meja. "Tidak. Sudah cukup kafein bagiku untuk hari ini. Sebenarnya tujuanku kemari hanya untuk berbicara tentang beberapa hal. Ini... sesuatu yang... penting, atau darurat kupikir?"
Memahami ke arah mana Habu akan membawa pembicaraan mereka selanjutnya, Yuuka segera mengangkat tangannya dan tersenyum, meminta maaf pada karyawannya yang baru saja akan datang mendekati mereka untuk menawarkan bantuan kepada Habu—karena ia adalah teman bosnya—dan karyawannya itu mengangguk, berbalik ke meja lain. Akane mengangkat cangkir kopinya dan menghabiskannya begitu saja, nyaris tersedak oleh ampas kopi yang tak sengaja bercampur mengotori tenggorokannya.
"Tidakkah kalian merasa... seperti diikuti oleh seseorang selama beberapa hari terakhir?"
Akane dan Yuuka kompak saling berpandangan kemudian Yuuka menggumam sejenak. "Tidak. Ada apa denganmu?"
"Mii-chan mengatakan padaku bahwa ada seseorang yang berkali-kali lewat di depan rumah. Dan itu tidak hanya terjadi dalam satu hari, itu terjadi selama tiga atau empat hari terakhir. Aku sudah melapor pada polisi tapi saat mereka datang dan menyelidiki siapa orang itu... mereka tidak menemukan petunjuk apapun."
Yuuka dapat melihat Habu sedikit ketakutan saat ia bercerita panjang lebar sesaat yang lalu. Dan, Yuuka sebenarnya juga merasakan hal yang sama. Ia mengangkat wajahnya, hendak memberikan respon pada Habu.
Meski pada akhirnya wanita jangkung itu kembali melanjutkan ucapannya dan membuat Yuuka menurunkan bahunya.
"Kalian mendengar sesuatu dari Risa? Ia tidak menghubungiku selama satu minggu ini. Jujur saja, aku khawatir padanya karena biasanya ia tak pernah absen untuk menanyakan kabar Kobayashi." Habu memulai pembicaraannya dengan membawa nama Watanabe Risa.
Hal itu tentu beralasan, karena sejak inspektur itu ditemukan tak sadarkan diri di dalam mobilnya seminggu yang lalu mereka tak lagi menerima kontak darinya. Terakhir kali mereka mendapatkan kabar adalah tentang Risa yang berhasil mendapatkan kembali kesadarannya setelah tertidur selama 20 jam. Keluarga, rekan kerja, dan teman-temannya sudah sangat khawatir dan menduga Risa mengalami gagal jantung atau penyakit lain yang menyebabkan kesehatannya drop secara mendadak seperti waktu itu.
Yuuka sudah tahu tentang sifat Risa yang berubah menjadi gila kerja dari Yui. Jadi ia sudah dapat menebak alasan mengapa Risa tidak memiliki waktu untuk menghubungi mereka lagi untuk sekedar berkabar. Lagipula, nampaknya polisi melakukan pekerjaannya dengan baik karena tak ada lagi kasus pembunuhan sejak dua bulan terakhir.
"Ia pernah mengatakan padaku tentang pembentukan divisi baru di tempat kerjanya. Jadi mungkin ia sangat sibuk karena hal itu. Lagipula Risa adalah orang yang sangat gila kerja, jadi itu hal yang wajar." Akane menjawab. "ha... dia bisa mati muda kalau terus begitu."
"Tapi tidak wajar jika ia sampai mengorbankan kesehatannya sendiri..." ia memutuskan ucapannya di tengah jalan. Terlihat berpikir begitu keras. "bersamaan dengan hari itu, Koike menemukan Yui dalam keadaan kritis di tebing... ehem... bekas kecelakaan."
"Tunggu, kau ingin mengatakan bahwa Risa adalah orang yang melukai Yui?" Habu menyahut cepat. Jemarinya mengepal kuat disana, nyaris membuat hentakan cukup kuat di atas meja. "sial, Kobayashi sampai terluka separah itu..." Habu mendadak berdiri dari tempat duduknya, menarik tasnya dan hendak berjalan keluar. Tetapi Yuuka dapat menarik pergelangan tangannya tepat sebelum Habu mengubah haluannya dan memaksa wanita tinggi itu kembali duduk.
Mengabaikan perhatian beberapa pasang mata yang sempat tertuju pada mereka karena suara keras dari gesekan kursi, Yuuka menarik tubuh Habu mendekat. Sementara wanita itu malah menyentak Yuuka. "Si Watanabe itu harus diberi pelajaran, Yuuka. Kau lihat sendiri, bahkan setelah Kobayashi tengah berjuang melawan kematiannya ia tak mau repot-repot untuk menjenguk." Habu mengakhiri umpatannya dengan geraman kesal.
"Kau tidak bisa melihat semuanya dari satu sudut pandang, Habu. Risa juga mengalami breakdown di hari yang sama. Jelas ada terjadi sesuatu pada masing-masing dari mereka." Kali ini Moriya yang memberikan pendapatnya pada Habu. Berusaha menekan emosinya yang sempat naik ke pucuk kepalanya. Akane dapat membayangkan adanya uap panas yang keluar dari kepala Habu. "jika dipikirkan lagi, Risa ditemukan di siang hari. Sedangkan Yui di malam hari. Jeda waktunya terlalu panjang. Sangat mustahil Risa melukai Yui karena ia sudah dilarikan ke rumah sakit."
"B-Benar juga. Aku tak berpikir mengenai rentang waktunya."
"Risa juga sama sekali tidak mengetahui tentang hal ini. Untuk kebaikannya sendiri." Yuuka tersenyum getir. Tapi kemudian senyuman itu tiba-tiba menghilang dari wajahnya, bersamaan dengan suaranya yang menjadi semakin dalam dan pelan. Tangannya menyentuh lengan Akane, meremasnya dengan kuat.
Karena terlalu terbuai dengan ketenangan hidup yang telah ia dapatkan selama satu minggu terakhir, Yuuka menjadi lengah dan hampir melupakan apa yang Risa sampaikan kepada mereka waktu itu. Labirin memori di otaknya membuatnya sadar akan sesuatu yang berbahaya, hal-hal yang kemungkinan akan terjadi setelah ini.
Perubahan air wajah Yuuka yang begitu mendadak itu lantas membuat Akane dan Habu kompak merasa panik. Tapi sebelum mereka berdua dapat menanyakan apa yang sempat membuat Yuuka menjadi seperti itu, ia terlebih dahulu angkat bicara. "Akane, bukankah Yui pernah bertemu dengan si pembunuh... bukankah itu berarti apa yang menimpanya ini berkaitan?"
Habu, tersentak kaget saat mendengar penjelasan Yuuka. Ia tak pernah mendengar tentang hal ini sebelumnya, ini adalah sesuatu yang benar-benar baru di telinganya. Pembunuh? Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Apakah teman-temannya ini telah terlibat dalam sesuatu yang berbahaya?
Sejenak kemudian, Habu berkata, dengan intonasi berbicara agak tinggi dan terburu-buru. Kegelisahan dapat Akane lihat dari caranya menatap Yuuka dan dirinya secara bergantian. "Jangan katakan padaku jika yang kalian maksud ini adalah Black Mail."
Jika sebelumnya jantung Habu berdegup kencang karena mengantisipasi jawaban yang paling tak ia inginkan—mengenai Black Mail yang berkaitan dengan mereka—maka kali ini jantungnya itu benar-benar dicabut paksa dari jaringan-jaringan organ di dalam dadanya. Sebab telinganya menangkap Yuuka menyebutkan tentang pelaku teror yang membuat seluruh kota tidak tidur karena takut selama berbulan-bulan.
"Orang yang lewat di depan rumahmu itu tidak bertujuan menguntit atau mengikutimu, Habu. Sebab, tujuannya adalah rumah di samping rumahmu—rumah Kobayashi." tukas Akane.
"Kalau begitu... pembunuh itu pasti datang untuk menghabisi sisa nyawa Kobayashi."
Ruangan besar yang mengambil tempat di lantai paling atas HQ itu memiliki tata ruang yang lebih padat. Meja besar yang dibariskan dengan beberapa kursi dan beberapa meja dengan komputer, layar proyektor raksasa yang berada di depan ruangan serta pintu dan jendela kaca yang hanya bisa dilihat dengan satu arah. Semua meja itu menghadap ke depan—pada layar besar yang memproyeksikan presentasi—dan tak ada satupun kursi kosong disana. Semuanya terisi, meskipun beberapa pemilik kursinya memilih untuk berdiri lebih dekat di meja depan.
Bendera hinomaru dan bendera dengan logo NPA terpasang bersandingan dengan gagah. Tiangnya menjulang tinggi dengan rumbai emas di setiap sudut bendera.
Tampak beberapa personel khusus dengan senjata laras panjang berdiri di setiap sudut ruangan. Beberapa dari mereka juga berdiri di depan pintu keluar dan berjalan bolak-balik untuk menghindari adanya orang yang mendekati ruangan pertemuan khusus itu. Tidak ada tangan di atas meja, semuanya diletakkan di atas paha.
Keishi-kan Ishii Tokuda, Kepala Polisi yang bertanggung jawab di HQ turut hadir dan duduk di tempat khusus, didampingi oleh dua orang ajudan yang duduk bersebelahan dengan pria besar itu. Beberapa personel tampak segan atas kehadiran Keishi-kan tersebut. Selain karena fisiknya yang begitu tinggi dan kekar seperti algojo, garis rahangnya yang tegas dan kerutan di dahi yang seakan membuatnya selalu terlihat marah itulah yang membuat anggota yang berada disana cenderung untuk menjaga sikap.
Risa duduk di tempatnya, dengan Ozeki dan Akiho di sisi kanan dan kirinya. Sejak tadi ia terus merasa gugup dan gelisah saat menunggu Harada menyelesaikan persiapannya dengan device miliknya untuk menampilkan presentasi yang akan Risa sampaikan di depan perwakilan divisi dari masing-masing biro khusus yang dipanggil siang itu.
Dari Security Bureau dihadirkan perwakilan dari Divisi Keamanan Publik. Info-Communications Bureau mengirimkan tiga perwakilan sekaligus; Divisi Sistem Informasi, Divisi Fasilitas Komunikasi, dan Divisi Kejahatan Teknologi Tingkat Tinggi. Dan terakhir, Traffic Bureau yang hanya mengirimkan Divisi Manajemen dan Kontrol Lalu Lintas.
Orang-orang penting ini datang dengan membawa harapan besar pada Risa, dan itulah yang terus membuatnya gelisah hingga ia tak bisa tidur setiap harinya. Menyandang nama sebagai Perwira Polisi Terbaik selama tiga tahun dan tanggung jawabnya atas kasus pembunuhan yang santer dalam beberapa waktu terakhir? Hell, kalau boleh Risa ingin menghilang saja.
"Keishi Watanabe."
Risa menarik napasnya dengan cepat dan berdiri dari kursinya. "Baik." Ia berbalik ke belakang, membungkukkan tubuhnya dengan sudut sempurna sebelum ia berjalan ke depan seraya meluruskan dan membenahi seragam hitamnya yang terasa berat.
Lengannya nyaris tidak sengaja melepaskan tali kur kuning emas yang meliuk-liuk seperti cacing di dada kanannya. Tapi tangan kirinya dengan cepat menahan atribut itu pada tempatnya. Lampu-lampu utama dimatikan sehingga satu-satunya cahaya berasal dari lampu dengan tegangan kecil yang terletak di sudut dan layar besar di depan sana.
Apakah aku harus langsung ke intinya saja? Kurasa orang-orang ini tak mau repot-repot mendengarkanku dalam jangka waktu lama.
"Kepala Inspektur Watanabe Risa, Kepala Tim Reserse Kriminal dari Criminal Affairs Bureau." Risa berjalan mendekati Harada yang duduk beberapa meter darinya, berada di jajaran meja dengan komputer. Ia mengambil remote laser dari sana dan kembali berjalan hingga layar besar itu berada di atas kepalanya.
"Laporan penemuan mayat pertama kali masuk ke pihak kami pada 21 Desember. Seorang pria Bernama Nishioka Shoji yang bekerja sebagai Kepala Sekolah di SMA Swasta, ditemukan di bekas pabrik cat yang berada di tenggara Tokyo, sekitar 47 km dari HQ. Diperkirakan tewas dua hari sebelumnya." Risa menggunakan laser untuk menunjukkan titik lokasi ditemukannya mayat pada peta dengan membentuk gestur lingkaran. Foto-foto yang TKP yang diambil saat evakuasi korban juga ditampilkan disana. "senjata pembunuhan tidak ditemukan. Jasad korban dimutilasi dan bagian-bagian tubuhnya disebar hingga radius 15 km dari kepala."
Risa memindahkan slidenya. Kali ini menunjukkan foto kepala korban dan bagian-bagian tubuh yang berhasil ditemukan oleh polisi. Semuanya ditampilkan tanpa sensor sehingga Ozeki sedikit memindahkan perhatiannya pada sesuatu yang lain disana.
"Korban kedua ditemukan pada satu setengah bulan terakhir. Tepatnya pada 30 Juli. Kou Matsubara, putri tunggal dari pengusaha furnitur. Ditemukan di dalam mobil sewaan, beberapa meter dari GYM. Kondisi jasad saat ditemukan sudah mengalami 80% pembusukan, diperkirakan waktu kematian hanya terpisah beberapa minggu dari korban pertama. Mengapa jasadnya masih berbentuk dan tak menjadi tulang meskipun sudah 8 bulan berlalu?" Risa menarik napasnya perlahan. Kemudian melepaskannya dengan cepat. Ia terlalu bersemangat akan hal ini. "hasil autopsi menunjukkan adanya sisa-sisa pembekuan darah di dalam jaringan otak. Artinya korban disimpan selama beberapa bulan di dalam freezer. Pembusukan langsung terjadi tepat setelah jasad dikeluarkan karena terkontaminasi dengan udara sekitar sehingga ia akan langsung hancur saat ditemukan."
"Korban ketiga ditemukan pada 10 Februari di green house. Seorang personel aktif Angkatan Laut, Mamoru Yamasaki. Perkiraan kematian, 37 jam sebelum korban ditemukan. Jasadnya tergantung dengan kait katrol di langit-langit greenhouse. Berbeda dengan korban lain, ia ditemukan dalam kondisi pakaian yang benar-benar bersih."
"Korban keempat, Yuuki Nakamura seorang anggota dewan, ditemukan pada 19 April. Kemudian atlet baseball SMA tanpa nama, John Doe, pada 29 Mei. Dan terakhir, orang asing yang dibunuh di GYM pada 30 Juli."
Slide itu menampilkan foto-foto penemuan korban, proses identifikasi, hingga laporan akhir yang dikeluarkan dokter forensik yang bertugas dalam autopsi.
"Semua korban memiliki satu kesamaan. Di dalam tenggorokan mereka ditemukan sebuah surat yang ditulis sendiri oleh si pembunuh. Keenam surat itu memiliki isi yang sama, intinya ia berterima kasih karena korban mau meminjamkan tubuh mereka kepadanya—kepada pembunuh sinting ini."
"Ada beberapa hal yang akan aku garis bawahi disini. Yaitu pekerjaan pribadi ataupun pekerjaan keluarga terdekat dari keenam korban ini." Risa menyentuh telapak tangan kirinya dengan tangan kanannya. Di atas kepalanya telah ditampilkan dua belas foto dan semuanya berpasangan. Enam foto menunjukkan wajah anggota The Elites dan enam foto lainnya menunjukkan keenam korban Black Mail. "Seki Yumiko, Fujiyoshi Karin, Kobayashi Yui, Sugai Yuuka, Tamura Hono, Watanabe Risa. Ini adalah pola yang diberi oleh si pembunuh. Ia ingin menunjukkan identitasnya kepada polisi, memperingatkan kepada mereka yang masih hidup bahwa ia akan terus berburu—untuk membunuh orang-orang ini. Termasuk diriku."
"Kemudian ada satu korban, kami mengindikasikan ini diluar kasus pembunuhan berantai Black Mail karena ciri-cirinya sangat berbeda. Sehingga kami menyimpulkan ada lebih dari satu pembunuh gila yang sedang berkeliaran bebas di Tokyo."
Suara keras dari ketukan pada permukaan meja terdengar di telinganya. Disusul oleh suara tegas dari "Kau berani memberikan argumen subjektif, mengatakan bahwa kasus ini memiliki kaitan dengan Christmas Eve Massacre di Sakurazaka Academy hanya karena kau memiliki kaitan di dalamnya? Kau menyelidiki kasus ini atas dasar dendam?"
"Tengkorak milik Morita Hikaru—salah satu korban pembunuhan Sakurazaka Academy—ditemukan di dalam mobil, bersamaan dengan korban kedua! Benda ini tak mungkin keluar dengan sendirinya dari liang lahat dan meletakkan dirinya sendiri disana. Hanya ada dua kemungkinan; adanya kesalahan dari investigasi dan orang dalam yang menganggap kasus ini belum selesai!" Akiho tersentak dari tempatnya duduk karena suara Risa yang mendadak meninggi. Ia lantas menempelkan dua jari—telunjuk dan jari tengah—pada kerah kemeja, sebuah kode khusus untuk memberitahu Risa agar ia menjaga caranya berbicara.
"Jika aku melakukan ini atas dasar dendam, aku tak akan berdiri disini."
Risa meliriknya sekilas, memberikan jeda beberapa detik sebelum melanjutkan kalimatnya. "Ada seorang tahanan yang kabur dari penjara dan Lembaga Pemasyarakatan tidak cukup transparan untuk membeberkan informasi penting itu pada pihak luar, hingga saat ini. Untuk saat ini, kami mencurigai tahanan yang kabur itu terlibat langsung dengan pembunuhan dengan beberapa bukti." Ia memberikan kode pada Harada untuk membuka file rekaman cctv yang didapatkan dari tempat persewaan mobil.
Video itu dibiarkan berjalan selama beberapa saat hingga kemunculan seseorang yang mengenakan tracksuit dengan logo bergambar bintang—logo Lembaga Pemasyarakatan, polisi penjaga penjara. Tak berhenti disitu, Risa mengeluarkan recorder dan menyalakannya dengan volume penuh.
"Wajahnya tak begitu jelas karena ia mengenakan masker dan topi. Wajahnya... ia memiliki bekas luka memanjang disana. Ia juga kidal."
"Jari-jari tangan kanan orang itu... tak lengkap. Ia hanya memiliki tiga jari."
Risa mematikan recordernya. Kemudian kembali memusatkan perhatiannya kepada para perwakilan divisi yang duduk memperhatikan dirinya. "Bekas luka memanjang di wajah, kidal, dua jari tangan kanan yang putus. Kita harus mencari orang dengan ciri-ciri ini di riwayat penghuni LAPAS!"
Ia kembali menyalakan lasernya, mengarahkan cahaya merahnya pada foto tiga orang korban. Dengan susah payah ia menarik napasnya, berusaha sekuat tenaga agar warna kemarahan tak muncul dalam suaranya. Ia harus menjaga suaranya agar tetap tenang.
"Tambahan, telepon mereka masuk ke dalam catatan panggilan darurat di hari mereka terbunuh. Sayangnya tak ada satupun, tidak ada satupun dari ketiga orang ini yang berhasil diselamatkan. Semua karena kurangnya integrasi dan komunikasi dari pihak yang bertanggung jawab. Jika ini terus terjadi, bukan hanya Black Mail, aku tidak hanya berbicara tentang itu saja. Tetapi tindak kejahatan lain! Perampokan, penyekapan, penculikan, atau bahkan usaha bunuh diri? Jangan sampai tangan kita menjadi licin atas nyawa seseorang!"
Seorang polisi wanita, sepertinya berusia sedikit lebih tua dari Risa dan memiliki pangkat yang tak jauh lebih tinggi darinya mengangkat tangannya. Ia adalah perwakilan dari Divisi Manajemen dan Kontrol Lalu Lintas. Miyasato Yuki namanya. Rupanya mereka mengirimkan sosok anggota yang cukup berpengaruh juga karena Risa seringkali mendengar namanya disebutkan oleh beberapa personel di HQ.
Wanita itu mulanya menatap Risa dengan mata menyipit, entah dengan tujuan apa. "Tim gabungan dengan banyak anggota seperti ini tidak menjamin keberhasilan penyelidikan. Apakah kau dapat menjamin keamanan personel saat mereka dilibatkan langsung dalam operasi lapangan? Dari catatanku, kau memiliki riwayat buruk dengan beberapa rekan kerjamu, Inspektur. Bukan berarti aku tidak mempercayai kinerjamu, hanya saja, kita sedang melibatkan nyawa manusia disini."
"Kau mencoba mengatakan bahwa nyawa-nyawa korban itu tak penting, Letnan? Bekerja disini berarti kita siap menyerahkan nyawa kita terhadap apapun risiko yang akan terjadi."
"Masalah ini bersinggungan dengan Lembaga pemerintahan lainnya, Inspektur Watanabe. Jika sampai ada kesalahan penyelidikan, entah apa yang akan terjadi terhadap hubungan dua Lembaga ini kedepannya."
Baru saja Risa akan menjawab komentar tersebut, seorang perwakilan dari Divisi Keamanan Publik mendahuluinya. "Itu bagus, karena ia telah membongkar kebusukan birokrasi Lembaga itu. Ini adalah kesempatan, Tim Reserse Kriminal berhasil mendapatkan ciri-ciri pelaku. Jika kita menyia-nyiakan ini, habis sudah!"
"Kepolisian dan Lembaga Pemasyarakatan akan selalu bersinggungan dalam menjalankan tugasnya. Tak boleh sampai ada pertikaian diantara kedua lembaga ini!"
Suasana berangsur-angsur memanas. Perdebatan karena perbedaan kepentingan semakin lama semakin memuncak dan semakin tak karuan—tak ada dari mereka yang mau diam sejenak dan mendengarkan suara perwakilan lainnya, masing-masing tetap kukuh dengan pandangannya sendiri. Geram, Pak Kepala yang sejak tadi berusaha keras untuk tidak meledak kini akhirnya meledak juga. "DIAM!" teriaknya.
Paling tidak suaranya yang menyerupai auman singa itu cukup ampuh untuk membuat anggota-anggota lainnya menutup mulut mereka.
"Yang menyetujui rencana pembentukan Tim Gabungan ini, silahkan angkat tangan kalian."
Pilihan akan ditentukan menggunakan jalan demokrasi. Ini mungkin lebih baik, tapi tetap saja. Risa menurunkan pandangannya ke bawah, berpura-pura menarik-narik seragam dinasnya. Padahal sebenarnya ia tak mau melihat ada berapa banyak perwakilan yang menyetujui rencananya itu. Dilihatnya Akiho, Ozeki, dan Harada juga sama gugupnya. Mereka tampak menjaga pandangan mereka dan tetap duduk dengan tegak meskipun ketegangan tetap terlihat jelas dari cara mereka bersikap.
Beberapa detik berlalu, Risa akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Betapa terkejutnya ia saat menemukan empat dari lima perwakilan divisi menyetujui rencananya. Dan itu berarti, keputusan telah ditetapkan.
"Sesuai keputusan mayoritas. Masing-masing divisi harus mengirimkan nama-nama calon personel tim gabungan pada Junsa-buchō Harada Aoi, maksimal 24 jam sejak rapat besar ini dibubarkan. Watanabe Risa, kau bertanggung jawab besar atas keselamatan anggota dan orang-orang di luar sana. Jangan membuat kecerobohan." Seorang pria bertubuh tinggi besar dengan potongan rambut cepak dan tipis berdiri dari tempat duduknya. Merapikan print-out laporan milik tim Risa yang sedikit lusuh karena diremas-remas, Pak Kepala Polisi itu lantas menatap pada dua orang ajudannya. "berikan surat perintah pada tim intelijen. Mereka harus mendapatkan informasi tentang tahanan yang hilang itu. Rapat selesai, bubarkan!"
"Baik!"
Junsa-buchō = Sersan
Keishi = Letnan Kolonel
Keishi-kan = Letnan Jenderal
Special thanks for Hiyoko919 karena udah bantu jadi beta reader!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top