Chapter 13: Under The Night, We Facing Our Breakup

"Siapa yang membunuh siapa?"

Begitu mendengar suara serak dan nyaring dari seseorang yang baru saja keluar dari mobil hitam yang terparkir beberapa blok dari tempat mereka berada, Yui langsung mengambil beberapa langkah ke belakang dan segera membenahi kemeja yang ia kenakan, tak lupa juga sisa-sisa darah yang ada di wajahnya segera ia hapus dengan sekali usapan tangan. Agak sulit baginya untuk berdiri dengan sempurna karena nyeri di ulu hatinya terus membuatnya seakan membisu.

Tapi itu tak memerlukan waktu lama bagi Yui untuk mengabaikan rasa sakitnya itu sehingga kini, ia telah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Berbeda dengan Ten yang masih tergeletak di atas permukaan dingin tempat parkir basement. Ia mengerang kecil, memegangi rahang dan bagian tubuhnya yang ngilu.

Mengabaikan suara-suara kesakitan dari Ten yang terus memaksa untuk berdiri, Yui menghadap pada pemilik suara dan berbicara dengan nada marah. "Apa yang kau lakukan di tempat ini? Ada banyak spot parkir kosong di atas sana."

Perempuan yang lebih tinggi darinya itu lantas mendengkus pelan. Baru saja ia ingin membalas dengan tak kalah agresif, tetapi niatnya itu ia urungkan karena ia menyadari bahwa dua orang tersebut sedang dalam kondisi yang tak baik fisiknya. Risa tidak berniat menjawab pertanyaan Yui tersebut, malahan ia mengerutkan dahi dan bertanya-tanya apa yang dua orang ini lakukan di belakangnya hingga mereka sampai terlibat dalam perkelahian seperti ini?

Noda merah yang menempel di punggung tangan Yui yang tak sempat ia bersihkan juga turut menarik atensi Risa. Dan jelas saja, itu sontak mengirimkan perasaan takut dan khawatir yang besar di dalam lubuk hatinya. Itu seperti mengulas kembali sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu dan Risa cukup pandai untuk menyadari bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.

"Yamasaki Ten, aku akan memberimu sejumlah uang sebagai kompensasi sekaligus jaminan agar kau tidak mengatakan apapun kepada siapapun." suara Risa terdengar seperti perintah di telinga perempuan bermarga Yamasaki itu. Tetapi ia tetap tidak menyukai bagaimana Risa menganggapnya begitu murah. Seberapa asing dirinya bagi inspektur polisi itu sampai-sampai ia perlu membayar Ten untuk tidak berbicara apapun pada orang lain di luar sana.

Lagipula, Ten cukup dewasa untuk memahami apa saja yang perlu dibiarkan menjadi rahasia dan tidak.

Jadi saat Risa mengulurkan tangannya untuk memberikan bantuan padanya, Ten tidak berpikir dua kali untuk menepis tangan Risa dari depan wajahnya. "Kau tidak perlu membantuku dalam hal seperti ini. Dan aku juga tidak membutuhkan uangmu," dahi Risa jelas mengernyit begitu Ten mengatakan itu dengan nada yang sedikit menantang. Tapi ia tak mau memaksa dan hanya berdiri memperhatikan Ten yang tertatih-tatih dan berusaha berdiri dengan berpegangan pada mobil.

"Ha... jadi ini Inspektur Watanabe Risa adalah anggota polisi yang hobi membayar orang lain untuk menutup mulut mereka?" Yui berujar tanpa ragu di belakang Risa. Perempuan itu memalingkan kepalanya saat mendengar suara dalam dari perempuan yang lebih muda. "bagus. Dua orang yang menguntitku seperti orang sinting akhirnya menampakkan batang hidungnya di depan wajahku."

"Kau akan terkena masalah jika ada yang melaporkan tindakanmu, dan kau seharusnya berterima kasih kepadaku karena hal ini." Risa menjawab singkat.

Namun, di sisi lain, seolah Yui tidak memiliki keinginan untuk berdiri di sana dan menghabiskan waktunya untuk berbincang pada dua manusia yang ia anggap pembuat masalah, hal yang ia lakukan adalah melemparkan senyuman dan tawa yang cenderung meremehkan sebagai balasan dari ucapan Risa. Bahkan sorot mata teduhnya kini berubah menjadi lebih keji dan cenderung tidak menunjukkan perasaan apapun selain amarah yang terus ia tahan.

Tidak... ada apapun yang terjadi. Risa mengeratkan kepalan tangannya yang basah karena keringat pada ujung jaketnya. Berusaha untuk mengabaikan tatapan tidak bersahabat Yui yang masih juga tak lepas dari dirinya. Suasana pengap dan dingin dari tempat parkir basement yang didominasi ambulans itu membuat perasaannya semakin berkecamuk. Kemudian karena tak ingin ada sesuatu yang lebih berbahaya lagi, Risa berpikir untuk segera menyelesaikan apapun apapun yang sedang terjadi di antara mereka bertiga saat ini.

"Pergi dari sini. Aku akan menghubungimu besok pagi." Risa berucap pada Ten dari balik punggungnya.

"Apa? Aku—"

Helaan napas kasar terdengar begitu mencolok saat Risa mengacak-acak surai cokelatnya dengan kasar. Saat ia berbicara pada Ten, suaranya terdengar lebih serak dan kasar dari biasanya. "Kau tidak bisa membantuku untuk masalah yang satu ini! Pergilah dan obati wajahmu itu, Junior!"

Samar-samar Risa dapat mendengar Yui menggumam beberapa kalimat seperti ah, mereka malah bertengkar di depanku dan beberapa keluhan pendek lainnya. Tapi perhatian Risa tidak tertuju padanya selama Ten masih berdiri di depannya dengan kepayahan. Ia tahu Ten akan membantahnya lagi dengan alasan yang terdengar naif, tapi ternyata perkiraannya itu meleset karena Ten segera meninggalkan tempat itu dengan langkah terburu-buru seperti tengah dikejar oleh beberapa ekor anjing liar.

Perempuan jangkung itu berjalan cepat menuju mobilnya tanpa sedikitpun menengok ke belakang, kemudian membanting pintu mobilnya sebelum menginjak pedal gas dari tunggangannya besinya itu-membawa mobilnya meninggalkan area basement dan berbelok menuju gerbang rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Mereka berdua dapat mendengar decitan rem yang cukup keras karenanya.

Setelah merasa tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua, dengan sedikit keraguan Risa berputar untuk menghadap lawan bicaranya yang lain. Dan ia agak terkejut karena sejak tadi Yui masih berdiri disana dan tidak bergerak dari tempatnya. Toh, Risa tidak keberatan dan justru merasa senang. Karena ia jadi tak perlu lagi untuk menyusun serangkaian kalimat panjang agar perempuan di depannya ini mau untuk tetap bersamanya selama beberapa jam ke depan.

Risa mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam saku celana, kemudian tanpa membiarkan Yui mengatakan sesuatu yang seharusnya akan diucapkan, Risa berucap, "Dan kau, kita harus berbicara."

Risa memutar kemudi ke kiri setelah melirik rearview dan memastikan mobil Yui masih mengekor di belakangnya. Hembusan napas lega terdengar darinya ketika mobil BMW berwarna ice white itu tampak ikut berbelok dan melakukan akselerasi sehingga jarak antara masing-masing mobil mereka hanya terpaut beberapa meter saja. Hanya beberapa menit tersisa sebelum ia tiba di tempat di mana ia akan berbicara dengan mantan tunangannya ini dan selama sisa waktu tersebut baru terpikir di benak Risa apa saja yang harus ia bicarakan saat mereka berdua sudah tiba disana.

Katakan saja Risa sebagai orang seringkali bertindak tanpa berpikir dua kali. Terutama jika itu melibatkan Kobayashi Yui. Ia juga sadar, sama seperti dulu, bahwa sirkuit di otaknya seolah menolak untuk bekerja tiap kali perempuan itu ada bersamanya. Sehingga mungkin ada benarnya juga jika perempuan dikatakan lebih mengutamakan perasaan daripada logika—apabila dalam suatu skenario tertentu. Dan skenario tersebut berlaku secara mutlak bagi Watanabe satu ini.

Dan lagi, mengingat alasan mengapa Risa berpisah dengannya juga... menjadi alasan berat baginya untuk dapat bertemu.

Beberapa menit itu seolah terlewatkan begitu cepat. Tanpa ia sadari, ban mobil Risa tidak lagi melindas jalanan kasar berbatu dan sudah berhenti di atas permukaan halus dari rerumputan hijau yang tebal. Terakhir ia ingat, tidak ada rumput disana. Hanya tanah pasir coklat dan kerikil tajam yang beterbangan ketika ditiup angin laut yang kencang. Tanpa membuang waktu lagi, dengan memberikan tatapan terakhir pada Yui yang telah keluar dari mobil dan menunggu di depan mobilnya, Risa mengambil ponsel dan melangkah keluar dari kendaraannya.

Rambut pendeknya langsung beterbangan menutupi wajah dan matanya begitu ia keluar. Angin tampak sedang berada di kecepatan tertingginya hari ini. Tetapi, kendati waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, cuaca di tebing itu tidaklah terlalu panas sampai membuat kulit mereka menjadi kemerahan. Awan berwarna kelabu tampaknya sedang menghalangi cahaya matahari—oh, apakah beberapa jam lagi akan turun hujan?

"Inspektur Watanabe Risa... sudah lama sekali ya? Kita tidak berbicara secara pribadi seperti ini dan aku bertanya-tanya apa yang membuatmu berani begini?" Yui tidak menunggu waktu lagi untuk memulai pembicaraan di antara mereka berdua. Dan ia yakin sekali Risa tidak akan mau repot-repot untuk mulai berbicara. Dokter itu lalu menegakkan tubuhnya yang semula duduk di atas kap mobil untuk menatap wajah Risa, menangkap senyuman getir terpoles di wajahnya. "kau baru berani bertemu denganku setelah kau tertangkap basah membuat masalah seperti ini."

"Apa yang kau bicarakan dengan Yamasaki? Kau memiliki suatu rahasia dengannya atau bagaimana?" Risa membalas, dan ia langsung memberikan beberapa pertanyaan sekaligus padanya. Kemudian ucapannya terpotong begitu saja saat ia melihat Yui memberikan senyuman miring kepadanya, "aku berbicara padamu sebagai seorang penyidik saja, bukan sebagai apapun selain itu."

Kenapa kalian berdua sampai saling melukai seperti itu? Kau tahu betul bahwa kau tidak boleh membiarkan dirimu sendiri terluka. Risa mengutuk dirinya di dalam hati karena tidak mampu mengatakan kalimat yang justru malah tenggelam jauh di dalam tenggorokannya—seolah menolak dan berniat untuk menghancurkan hubungan mereka lebih jauh lagi.

"Apakah perlu kau berbicara padaku dengan mengutamakan jabatanmu seperti itu?" Yui menyugar rambutnya ke belakang, kemudian menyelipkan helaiannya di belakang daun telinganya.

"Aku tidak bermaksud seperti itu..." Entah sudah berapa kali Risa mengutuk dan memberikan sumpah serapah kepada dirinya sendiri. Atas kebodohannya karena tidak mampu mengolah kalimat dengan baik sehingga tiap kali ia berbicara, kalimat yang keluar dari bibirnya itu justru cenderung mengintimidasi dan memojokkan orang lain.

Mungkin ia terlalu tenggelam dengan pekerjaannya; menekan, mengintimidasi, memojokkan seseorang yang masuk ke dalam kukungannya—ruang interogasi—sehingga ia nyaris tak bisa lagi membedakan bagian mana yang merupakan dunia pekerjaan dan dunia pribadinya. Kedua dunia itu melebur menjadi satu dan membuat Risa menjadi sosok aneh yang memiliki kesulitan dalam menyampaikan isi hatinya dengan baik. Ketika ia berbicara, seolah-olah ia tengah berbicara dengan tersangka maupun saksi.

Seolah mengerti dengan perkelahian internal yang ada di dalam jiwa Risa, Yui segera menjawab pertanyaan tersebut. Berusaha menjaga agar caranya berbicara tidak terdengar aneh. "Ten tahu aku juga berada di lokasi pembunuhan sehingga ia menduga aku adalah pelakunya. Ditambah lagi ia pernah berada di rumahku dan mengetahui jika aku menggunakan obat-obatan. Itu saja."

"I-Itu saja?" Risa membalas.

"Tidak," Yui menggeleng. Sesekali melirik Risa yang tengah berdiri membatu di dekatnya melalui sudut mata. "dia memperlihatkan kepadaku beberapa barang milik Hikaru."

Barang milik Hikaru? Tunggu, anak itu tidak pernah berbicara kepada kami tentang barang-barang tersebut. Termasuk dengan Yuuka. Risa mengernyitkan dahinya, kebingungan. Sebenarnya mengenai barang-barang milik mendiang, tidak ada kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut kepada sanak saudara kecuali jika diminta. Sementara tidak ada seruan apapun dari pihak keluarga korban mengenai hal tersebut. Aku tidak tahu jika barang-barangnya sampai disimpan oleh Yamasaki. Kupikir ia juga akan mengosongkan apartemennya. Anak itu... menyeramkan juga dilihat-lihat.

"Barang seperti apa yang kau maksudkan itu?"

Yui tersenyum remeh, memutar bola matanya dengan malas. "Padahal kau sendiri yang memberikan perintah agar Ten mengikutiku, kenapa kau sendiri justru tidak mengetahui apa saja yang dia simpan dan lakukan? Apakah Ten sebodoh itu atau memang di antara kalian tidak memiliki kesepakatan tertentu?"

"Jawab saja pertanyaanku. Itu tidak akan melukai siapapun dan tidak membuat waktu kita terbuang dengan percuma."

"Hanya barang biasa. Peninggalannya selama ia menjadi pembunuh."

"Untuk apa Yamasaki menyimpan barang-barang berbahaya seperti itu di apartemennya?"

"Jangan bertanya padaku. Tanyakan itu pada Yamasaki sendiri."

Risa jatuh terdiam setelah itu. Sibuk tenggelam dengan imajinasi dan asumsi-asumsi baru yang berjejal dengan tak sabaran ke dalam otaknya. Untuk apa Yamasaki Ten menyimpan barang-barang berbahaya seperti itu dan juga, mengapa ia menunjukkannya kepada Kobayashi? Apabila hanya berdasarkan unsur kepercayaan, jelas itu tak akan cukup. Pasti ada alasan lain mengapa Yamasaki melakukan hal itu kepada Kobayashi dan itu kemungkinan berkaitan dengan anggapan pribadi Yamasaki bahwa Kobayashi adalah pelaku pembunuhan.

Juga ada alasan lain mengapa Yamasaki cukup cerdik menyimpan benda-benda tersebut jauh dari endusan polisi.

Risa tidak bisa menggeledah semuanya sekaligus. Anggota timnya saat ini terlalu sibuk di HQ untuk mempersiapkan presentasi di depan Kepala Polisi dan anggota-anggota divisi lain, jadi mungkin Risa akan mencatat Yamasaki dalam catatan pribadinya untuk digeledah di kemudian hari. Karena jika dilihat dari pola pemilihan korban yang kebetulan disamakan dengan profesi, itu berarti si pelaku sudah mengenal mereka dengan sangat baik—dimulai dari tahun pertama mereka di Sakurazaka Academy.

"Hanya itu, Watanabe? Jika kau tidak memiliki pertanyaan lain, maka sekarang giliranku yang akan mengajukan beberapa pertanyaan padamu." Mengetukkan jari-jarinya pada permukaan metallic kap mobilnya, Yui melanjutkan tanpa ragu. "kau memberitahu Sugai Yuuka tentang diriku... juga tentang kita. Tetapi kau tidak menjawab pertanyaanku delapan bulan yang lalu?"

Yuuka... si brengsek itu. Risa menarik napasnya dengan kasar begitu mendengar nama Yuuka tahu-tahu disebutkan oleh Yui. Itu adalah hal yang buruk, tentu saja.

"Kau akan merasa tak baik jika aku terus berada di dekatmu. Aku... tak baik untukmu."

Risa mengangkat kepalanya, mengalihkan atensinya dari rumput hijau yang berada di bawah kakinya pada perempuan dengan eyepatch di mata kanannya. Bukti dari luka dan rasa sakit yang pernah ia rasakan di masa lalu, dan dirinya, adalah orang yang ia anggap dapat menjadi obat dari luka berkepanjangan itu.

Setidaknya itulah yang pernah Yui percaya dan katakan kepadanya.

Risa meneguk saliva dengan susah payah. Seolah ada sepasang tangan yang sengaja mencekik lehernya kuat-kuat, membuat rongga pernapasannya menyempit dan membuatnya kesulitan untuk bernapas—sekaligus berbicara. Bahkan rasanya ia seperti akan muntah sekarang. Sebegitu canggung, gelisah, bingung, takut, ragu—entah ada berapa banyak emosi yang kini teraduk-aduk menjadi satu di dalam kepalanya yang terasa akan meledak kapan saja.

Terutama saat Yui kini benar-benar menatapnya dengan mata cokelatnya yang terlihat lebih terang dari biasanya. Sesuatu membuat hati Risa yang hancur berkeping-keping menjadi semakin berserakan ketika ia melihat luka disana.

Perempuan yang lebih tinggi tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya—yang mana dirinya sendiri juga tidak ingin mengatakannya, paling tidak untuk sekarang. "Mereka mengatakan padaku untuk menjaga jarak darimu. Itu... berbahaya."

Yui tersenyum miring mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Risa. Saat Risa menengok untuk melihat wajah lawan bicaranya saat ia mengucapkan hal itu, ia tidak dapat menunjukkan emosi apapun selain kekecewaan, keterkejutan, dan kesedihan yang bercampur aduk menjadi satu.

"Benar... seharusnya aku tahu lebih awal jika memang aku tak bisa hidup berdampingan dengan siapapun. Seharusnya aku tidak perlu memberikan seluruh hidupku hanya untuk orang lain." Perempuan bermata satu itu mengangkat satu tangannya yang dibalut perban tipis dengan noda coklat di beberapa sisinya. Tangannya menegang, urat-urat di pergelangannya turut bertonjolan disana. "monster."

Dan... Demi Tuhan, Risa nyaris tidak bisa menahan diri untuk tidak meloloskan setetes air mata—cairan bening itu meluncur begitu saja, membasahi pipinya. Dengan jarinya, Risa menghapus sisa air mata menyedihkan itu, menggelengkan kepalanya dengan gerakan lemah.

"Kalau begitu, katakan padaku, Risa!"

Yui mendadak dapat mendengar napas Risa tersengal-sengal saat Risa secara tiba-tiba mendekatinya dan mendekapnya dengan kedua tangannya yang kuat. Ia tersentak, selama beberapa detik hanya mampu diam membeku dan berusaha mencerna apa yang terjadi padanya saat Risa meremas punggungnya—seperti Risa tak ingin melepaskannya begitu saja. Ia berusaha berontak, mendorong Risa sekuat yang ia bisa meskipun usahanya tak membuahkan hasil.

Di sisi lain, Risa merasa napasnya itu seperti dipaksa keluar dari rongga pernapasannya yang buntu, membuat suaranya menjadi sedikit serak dan bergetar. Ia hampi saja menangis saat berkata, "Tidak. Kau bukan monster. Siapa yang mengatakan hal jahat itu kepadamu, huh? Kau bukan monster. Kau—Kau Kobayashi Yui. Hanya itu, tak ada yang lain lagi. Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu, Koba."

"Kalau begitu, kenapa?" Ia memotong kalimat Risa secara sepihak tanpa mau menunggu lawan bicaranya menyelesaikannya terlebih dahulu. "kenapa kau meninggalkanku?"

Merasakan lengan Risa pada tubuhnya tak lagi mengikatnya sekuat tadi, Yui kembali memberontak dan mendorong bahu Risa menjauh, berusaha mengabaikan sorot mata terluka dari wanita di hadapannya. Ia tahu Risa hanya akan berdiri diam dan tidak akan memberikan jawaban melalui mulutnya yang setengah terbuka—dan Yui sudah tak sanggup lagi untuk terus menunggu dan menahan sakit dari hatinya yang hancur berserakan.

Mengapa ia bungkam? Mengapa Risa selalu bungkam setiap kali Yui bertanya alasan mengapa ia meninggalkannya?

Monster.

Tentu saja. Alasannya cukup simple dan mudah dinalar—itu karena Yui menyimpan sosok yang berbahaya di dalam dirinya.

"Karin. Ingatkah kau aku pernah menyebutkan tentang itu kepadamu beberapa minggu yang lalu? Dia muncul pertama kali saat si pembunuh itu menemukanku di tempat parkir. Akhir-akhir ini ia mengikutiku di rumah. Ia biasanya menampakkan diri dengan sosoknya yang baik dan ia akan menampakkan diri dengan wujud yang berantakan jika ada sesuatu yang berbahaya. Apakah penjelasan itu cukup untukmu?" Yui menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia membungkuk dan mengambil sebongkah batu besar dan melemparkannya sejauh mungkin ke arah lautan. "kau ingin aku menyampaikan pesan kepadanya? Kalau tidak salah kau pernah berkata bahwa kau merindukannya. Hingga saat ini, masih bukan?"

"Yui-"

Yui, aku masih mencintaimu.

"Jika tak ada hal lain yang ingin kau bicarakan, sebaiknya kau pergi dari sini." Yui mengangkat kepalanya, memberikan satu tatapan terakhir pada Risa. Ia sempat kehilangan kata-katanya saat matanya bertemu dengan sepasang mata milik Risa yang nampak sembab. Wajahnya yang tegas kini terlihat menyedihkan karena sejak tadi Risa terus berusaha menahan tangis.

Tanpa sadar, Yui mengangkat tangannya. Menghapus bekas air mata yang membasahi wajah Risa. Justru, tindakan itu yang justru membuat si Watanabe itu semakin tak karuan. Rasanya seperti mimpi di siang hari saat Yui mengusap wajahnya. Yang mana ia sangat membutuhkan dan merindukan sentuhan tangannya itu berbulan-bulan lamanya.

"Aku... aku membutuhkanmu jangan pinta aku untuk pergi."

"Jangan bodoh," Yui membalas lagi. Mengambil satu langkah ke belakang, kemudian dengan suara lirih ia melanjutkan, "pergi."

Sekali lagi, Yui mendorong tubuh tingginya menjauh dan berbalik membelakangi Risa. Ia dapat melihat kedua bahunya sedikit bergetar-Yui menangis, dan ia tak ingin Risa melihatnya.

Akhirnya, Risa tak lagi mengatakan apapun dan membawa tungkainya yang lemas untuk masuk ke dalam mobil. Memperhatikan Yui menangis dengan ketenangannya sendiri di depan sana.

Risa memperhatikan semua itu dalam diam dari dalam mobilnya sendiri. Ia tak langsung meninggalkan tebing tersebut dan membiarkan mesin mobilnya menderu dengan lembut. Berbeda dengan degup jantungnya yang berdetak dengan serampangan ketika melihat Yui mengeluarkan buku catatan dari saku kemeja. Kemudian menuliskan sesuatu di atas lembaran kertas notebook kecil tersebut, menggunakan tangan kiri. Setelah menyimpan kembali buku catatannya, Yui tampak termangu. Hingga ia mungkin tidak sadar jika ia terus menggigit ujung ibu jarinya sendiri sembari menatap lurus ke arah hamparan lautan lepas di depannya, seolah tidak terganggu dengan adanya darah yang mengalir dari sela gigi dan bekas gigitan.

Risa memang sudah lama tidak bertatap muka dengan Yui seperti ini. Tetapi setelah mendapatkan kesempatan setelah waktu yang amat sangat lama, ia justru menghancurkan momennya seperti ia memecahkan botol kaca dengan menjatuhkannya di atas jalan beraspal. Kini serpihan-serpihan dari botol yang telah hancur itu telah berserakan di kakinya, dan Risa tak dapat lagi melakukan apapun untuk mengembalikannya seutuhnya.

Bahkan kali ini, untuk kesekian kalinya, ia meninggalkannya sendiri lagi.

Akhirnya, sekeras mungkin menahan keinginannya untuk menengok ke belakang, Risa menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan tebing sialan itu dengan kecepatan yang tak kira-kira. Menggunakan tangannya yang gemetar tak terkendali Risa mengambil ponselnya yang seharusnya berada di dalam kantung jaketnya. Sumpah serapah ia bisikkan ketika tangannya tidak dapat menemukan benda persegi panjang itu disana melainkan benda itu tergeletak begitu saja di atas kursi penumpang, tepat di sampingnya.

"Y—Yuuka... Yuuka!"

"Ya, halo—eh. Ada apa, Risa? Kau mengejutkanku!"

"A..." ia memutus kalimatnya di tengah jalan. Bibirnya mulai bergetar hebat sementara tenggorokannya tercekat. Tak terhitung pula seberapa sakit nyeri yang ada di dadanya karena sejak tadi jantungnya terus berpacu dengan liar. "Yuuka—aku—"

"Risa... kau menangis?"

Ia tidak suka apabila ada orang lain yang mengatakan hal itu. Sama halnya dengan mereka yang mengatakan apakah-kau-baik? Karena Risa tidak pernah mau membiarkan orang lain mengetahui emosinya yang sebenarnya. Mengetahui bahwa dirinya sedang berada di posisi paling rendah dalam hidupnya-mari gunakan itu sebagai permisalan karena untuk saat ini Risa masih belum berada di titik tersebut.

Atau mungkin nyaris?

Mungkin itu adalah kalimat yang lebih tepat untuk menjelaskan kondisi Risa saat ini. Ketika kedua bahu kokohnya seolah ditimpa oleh beban yang luar biasa beratnya sehingga itu mampu membuat hati dan jiwanya yang sekeras karang menjadi gentar. Ia bertanggung jawab atas mereka yang telah pergi—korban pembunuhan berantai Black Mail—sekaligus mencegah agar tak ada lagi korban yang jatuh. Satu hari penuh ia menghabiskan waktu untuk menyelidiki, mengaitkan, menggali, dan berasumsi atas fakta serta bukti-bukti transparan yang mereka dapatkan.

Terjaga sepanjang malam untuk berdiri di depan crime board yang penuh dengan coretan-coretan tak beraturan dan kertas-kertas acak yang ditempel sembarangan dengan pinset, dihantui oleh perasaan aneh dan menganggap dirinya selalu diawasi setiap saat.

Kemudian, sesuatu yang benar-benar berpengaruh besar dalam hidupnya-hubungannya dengan Kobayashi Yui. Apa yang salah? Siapa yang salah?

"Risa?"

"Yuu—ka..." Air mata yang telah susah payah ia tahan akhirnya tumpah begitu mobilnya berhenti di perempatan karena lampu lalu lintas yang bersinar biru. Risa mempererat cengkraman tangan kirinya pada roda kemudi, menutup matanya rapat-rapat seraya menggigit bibirnya sendiri. Menahan dirinya agar tidak terisak karena ia lebih memilih untuk menangis dalam diam kendati ia tahu bahwa ia hanya sendirian di dalam mobil.

"Yuuka..."

Ponselnya yang berada erat dalam genggamannya itu akhirnya meluncur turun, jatuh menimpa kakinya yang dilapisi oleh sepatu tebal berwarna biru laut. Risa tak bisa menemukan dimana ponselnya jatuh karena kini penglihatannya telah benar-benar buram.

Di ujung sana, Yuuka tak lagi terdengar suaranya. Dan Yuuka juga merasa bahwa ia tak perlu bertanya lagi untuk mengetahui keadaan rekannya karena ia dapat mendengar Risa meringkik pelan dari speaker ponselnya sendiri. Dan bagi Risa, setidaknya kali ini saja, ada seseorang yang mau mendengarkan dirinya. Meskipun jauh di dalam, Risa merasa ada sesuatu yang telah hilang di hatinya.

Lampu berubah warna menjadi hijau, disusul oleh suara klakson tidak sabaran yang bersahut-sahutan dari kendaraan-kendaraan di belakangnya beberapa saat kemudian. Namun, seolah ia merasa hanya dirinya seorang yang ada disana, inspektur polisi itu tak juga memacu mobilnya.

Risa masih tetap memandang ke jalanan kosong di depannya dengan tatapan hampa dari matanya yang berawan.

Yui mengedipkan matanya berkali-kali seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya saat cahaya dari matahari yang tenggelam di garis horizon menusuk masuk ke dalam matanya yang sensitif. Suara lantang dari burung camar yang terbang berputar-putar di atas laut barangkali menjadi musik tersendiri di telinga wanita itu. Terutama jika digabungkan dengan suara deburan ombak yang menghantam dinding tebing di bawahnya. Ia menghela napas, mengambil segenggam pasir dan butiran kerikil di tangannya dan melemparnya ke laut seperti membuang abu mayat.

Dunianya berangsur-angsur menggelap bersamaan dengan bayangan matahari yang benar-benar menghilang di ujung sana. Menggunakan tangan kirinya sebagai tumpuan, Yui bangkit berdiri dan membersihkan celananya dari pasir dan tanah yang menempel.

Meskipun matanya mengalami 45% kecacatan—dimana Yui tak bisa menerima cahaya dengan intensitas yang terlalu tinggi, yang mana Yui merahasiakan kondisinya itu dari orang lain selain Minami-ia tetap bisa melihat dengan jelas di malam hari. Dan justru ini adalah saat dimana ia merasa diuntungkan.

Dahulu, ia memiliki ketakutan tersendiri terhadap kegelapan. Yui tak pernah merasa dirinya aman apabila ia tak bisa membedakan saat dimana matanya terpejam dan terbuka. Apalagi tak bisa menjamin bahwa suara-suara itu tidak akan datang saat dirinya terjebak dalam kegelapan. Dan kini, setelah berjuang menerima kenyataan bahwa ia tak bisa hidup normal sepenuhnya, Yui akhirnya terbiasa menggunakan satu matanya untuk melihat lebih baik di dalam kegelapan dan menganggap itu sebuah kelebihan.

Suara gemerisik dan hawa manusia dapat ia rasakan di belakang tubuhnya, selama sepersekian detik Yui dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Merasakan tanda bahaya dari daerah sekitarnya, Yui refleks berputar 180 derajat ke belakang dan langsung memasang high guard dengan dua kepalan tangan yang melindungi kepalanya. Tidak ada siapapun disana, suara itu sepenuhnya menghilang bersama dengan hawa manusia yang baru saja ia rasakan. Ia hanya dapat melihat ilalang panjang yang berwarna hitam gelap yang berayun-ayun tertiup angin dan tak ada jejak kaki di jalanan tanah di depan sana.

Apakah itu Karin?

Oh, tentu tidak. Karena Karin tidak memberikan hawa makhluk hidup ketika ia menampakkan diri. Kalau begitu, lantas... siapa?

Napasnya tertahan ketika ia mencoba untuk memindai daerah gelap yang ada disana. Dan ia tak tahu haruskah ia merasa tenang atau tidak saat ia tak menemukan siapapun.

Tanpa membuang waktu lagi, Yui segera merogoh kantong celananya dan mengambil kunci mobilnya. Berada disana lebih lama lagi jelas tidak akan membuatnya selamat karena entah apapun yang bersembunyi di balik kegelapan pasti sedang menunggu waktu untuk menyergapnya. Yui mengusap tangannya yang basah dengan kemejanya, kemudian segera menari pintu mobilnya terbuka. Namun saat ia hendak masuk ke dalam, tiba-tiba ia mendengar suara keras dari bagian belakang mobil dan itu tentu membuat jantungnya nyaris copot.

Seperti sesuatu yang berat dihantamkan pada permukaan baja mobilnya.

Ia menyalakan flashlight ponsel dan mengarahkannya ke bagian belakang mobil, "Siapa disana? Keluar!"

Yui tersentak saat sesosok manusia dengan pakaian gelap itu tiba-tiba menggerakkan tangannya ke depan, mengayunkan sebuah palu besar yang sejak tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. "Oh... sial."

Mati aku! Ia mengutuk dalam hati saat pembunuh itu berlari ke arahnya dan mengayunkan palunya dengan ayunan lebar. Yui sesegera mungkin menundukkan tubuhnya dan menyeruduk masuk ke dalam pertahanan si pembunuh, melingkarkan kedua lengannya sekuat mungkin di pinggangnya kemudian menyelipkan kaki kirinya di belakang kaki si pembunuh-ia berusaha untuk menjatuhkannya ke tanah dan melumpuhkannya.

Tetapi gagal.

Ayunan palu besar itu hanya mengenai udara kosong sehingga membuat si pemilik palu oleng karena beban berat dari senjatanya yang menariknya ke belakang. Dan tentu saja, Yui turut ikut tertarik dan jatuh berguling di samping si pembunuh. Yui terengah, terus memaksa tubuhnya untuk berdiri dan mengunci pembunuh itu dengan tangannya sendiri. Tetapi saat ia telah menarik penutup wajahnya dan akan menghantam kepalanya dengan pukulannya, justru si pembunuh sendirilah yang berhasil melukainya terlebih dahulu.

Yui berteriak keras saat ia merasakan benda dingin dan tajam menusuk lengannya. Darah merah yang hangat segera merembes keluar dari celah luka tusukan dan pisau yang masih menancap dalam di lengannya. Ia beruntung karena seharusnya pisau itu sudah menusuk dan membelah lehernya, si pembunuh hanya tidak menusukkannya dengan tepat sasaran. Tapi seolah memperburuk rasa sakitnya, pembunuh itu malah menarik pisaunya ke bawah dan merobek hampir setengah lengan Yui sebelum mencabut pisaunya dengan gerakan kasar.

Perih dan nyeri yang luar biasa hebatnya itu sukses membuat tubuhnya lunglai di tanah. Yui merintih, berteriak kesakitan. Pisau itu sudah dicabut dari luka tusuknya dan membuat darah tak henti-hentinya membanjir dari lengannya. Yui telah berusaha menekannya dengan tangannya yang lain, tapi tentu saja darah masih tetap merembes dari sela-sela jari tangannya dan menetes-netes di rerumputan.

Pembunuh berantai itu kemudian berdiri, mengambil palu besarnya yang tergeletak beberapa meter darinya. Ia menimang-nimang palu itu dengan dua tangan, berjalan mendekati Yui yang terus menerus merangkak mundur. "S-Siapa kau ini!" Yui mencoba berteriak di sela-sela napasnya yang semakin berat. Tatapannya terpaku pada senjata tumpul yang entah sudah berapa banyak kepala yang dihancurkan dengan alat tersebut.

Aku akan mati. Dia akan membunuhku disini.

"Aku temanmu, Kobayashi." Ia menjawab, mengangkat palunya dan mengayunkannya ke bawah tanpa ampun.

Aku tidak akan mati. Dia yang kubunuh disini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top