Chapter 12: A Dangerous Plan

Ozeki yang memasuki ruangan setelah meminta izin untuk pulang dan membersihkan dirinya dibuat terheran-heran saat ia melihat komandannya sedang berdiri di depan papan dengan senyuman miring tergambar di sudut bibirnya. Risa sendirian di dalam sana, dengan papan penuh dengan tempelan-tempelan kertas, peta kota yang dicoret-coret dan foto-foto korban yang ditempel menggunakan pinset. Di tangan kanannya terselip sebuah spidol, Risa mengetuk-ngetuk spidol itu pada dahinya sembari terus memperhatikan isi papan dengan tatapan serius.

Barangkali Risa sudah tenggelam begitu jauh dalam pikiran dan halusinasinya sendiri sehingga ia tak mendengar Ozeki menggeser kursi dan menempatkan diri di belakang meja kerjanya.

Risa kembali menuliskan beberapa kata pada papan, ketukan-ketukan nyaring terdengar mengisi keheningan saat Risa menyelesaikan tulisannya dan kembali tenggelam dalam lamunan. Nampaknya ia masih berpikir keras saat ini. Dan jika sudah begitu, Ozeki tidak akan berani untuk mengganggu atau mengajaknya berbicara. Pernah suatu ketika ia mengganggu Risa yang sedang berdiam diri bersama dengan salinan laporan kasus. Dan yang ia dapatkan adalah ucapan sebagai bentuk kekesalan yang berlarur-larut selama seminggu penuh.

"Oh, kau disini. Mengapa tidak mengetuk pintu?" Risa bertanya. Membuat Ozeki mengalihkan perhatiannya dari lembaran laporan pada Risa yang memutar tubuh untuk menghadap dirinya. Kini ia dapat melihat apa yang dikerjakan oleh Risa semalaman suntuk. "aku dan Harada berhasil memecahkan pola pembunuhan ini Oze. Meskipun mungkin hanya kebetulan saja tapi aku memiliki beberapa bukti yang bisa memperkuat dugaan."

"Dimana Aoi dan Akiho? Bukankah mereka seharusnya berada disini untuk membahas hasil analisamu?"

Risa menggeleng, "Harada sedang melobi petugas yang berjaga di gudang penyimpanan barang bukti. Aku masih harus memastikan beberapa hal dan aku tidak bisa datang kesana karena aku pernah memukul petugas itu sebelumnya."

Ozeki menghela napas berat. Sebelumnya ia ingin memprotes karena hal itu hanya akan merusak barang bukti yang seharusnya tak boleh terlalu banyak disentuh. Itu hanya akan merusak bentuk aslinya dan berkemungkinan besar menghapus jejak-jejak yang belum ditemukan. Tapi, Risa adalah personel yang cukup berpengalaman dalam memecahkan kasus-kasus yang cukup rumit sebelumnya. Risa pasti mengetahui hal yang tidak ia ketahui.

"Lalu Akiho?"

"Dia mempersiapkan pemberkasan untuk menghadap Pak Kepala. Aku berencana untuk meminta izin pembentukan divisi khusus yang akan mengusut kasus ini selama beberapa waktu ke depan, bekerja sama dengan Divisi Pelayanan Panggilan Darurat dan Divisi Keamanan Publik." Risa menjelaskan. Matanya tertuju pada tulisan yang berada di papan yang berada di sudut kanan paling atas, ditulis menggunakan spidol merah. "tiga dari enam korban sempat tersambung dengan 110 sebelum panggilan itu dimatikan. Jika kita bekerja sama dengan divisi ini, kita akan mendapatkan kesempatan lebih untuk mendapatkan psikopat itu."

"Tentang itu, Risa... entahlah. Aku tak yakin dengan pembentukan divisi gabungan ini akan berhasil. Maksudku, tentang dirimu. Kau akan memimpin tiga divisi besar dan bertanggung jawab atas apapun yang terjadi pada personel saat berada di lingkup kerja. Itu... terlalu berat." Ozeki menatap komandannya itu dengan tatapan tak percaya, sekaligus khawatir. Tangan kirinya terus menerus mengusap kertas laporannya dengan canggung, "omong-omong sudah berapa kali pelanggaran SOP yang kau lakukan? Mereka akan menurunkan pangkatmu jika mereka tahu akan hal ini."

Risa tidak menyangkal tentang ucapan Ozeki saat ini. Terutama tentang pelanggaran SOP yang sudah ia lakukan lebih dari satu kali. Melukai dan melumpuhkan personel adalah salah satu pelanggaran dalam undang-undang kepolisian yang sanksinya adalah pembekuan sementara—paling lama tiga bulan. Termasuk penyalahgunaan barang bukti dan terakhir... tidak, Risa tidak bisa membocorkan hal itu pada Ozeki sekarang.

Jika ada yang mengetahui hal ini, Risa akan dicopot dari jabatannya sebagai perwira polisi. Padahal jika ia berhasil menuntaskan kasus Black Mail ini, ia akan mendapatkan promosi dan berada di jajaran perwira tinggi.

"Untuk apa berpikir tentang aku. Pikirkan saja pekerjaanmu dan dirimu sendiri, Oze." Ujarnya tanpa menampakkan sedikit keraguan dari caranya berbicara. Keheningan menyelimuti ruangan mereka sesaat kemudian. Bukannya Ozeki tidak menyadari ada sesuatu yang tersembunyi di wajah Risa, tapi ia hanya ragu apakah orang ini akan menjawab jika ia bertanya.

"Lupakan tentang itu. Bagaimana tentang pola pembunuhan Black Mail itu?" Ozeki bertanya. Menggeser kertas laporan yang lusuh itu, meremasnya dan melemparkannya ke tempat sampah. Saat ia kembali ke tempat duduknya

"Kau ingat The Elites?" Risa bertanya dengan cepat dan mengabaikan pertanyaan Ozeki.

"The Six Elites Students of Sakurazaka Academy, ya, aku ingat. Maksudku, siapa yang bisa lupa pada enam orang itu?"

Risa tersenyum miring. Mengeluarkan gelakan kecil yang terdengar menyebalkan. Ia lantas melompat ke atas meja, duduk di atas sana dan berkata, "Nah, Ozeki. Sepertinya kita akan melanggar beberapa kode etik kepolisian lagi." Katanya, memberikan penegasan saat ia mengucapkan kata 'kita'.

Ozeki mengangguk-angguk dengan isi kepala kosong. Kemudian sepersekon kemudian ia terlonjak kaget, nyaris melompat dari kursinya. "HA? Risa, jangan katakan padaku bahwa kau akan—"

"Omong-omong Ozeki..." Risa menyahut. Tanpa ragu memotong ucapan Ozeki yang kemudian berdecak sebal, melihat Risa menunduk dan mengorek sesuatu dari dalam laci meja. Sesaat kemudian ia mengeluarkan sebuah kertas di genggaman tangannya, meletakkan kertas itu di atas meja Ozeki dengan ketukan yang agak keras. "kau tidak memberitahuku jika ada orang yang menitipkan salamnya untukku."

"Kenapa anak ini datang kemari, eh?"

Mendengar suara lantang tersebut, Yuuka menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan-lahan melalui rongga mulutnya. Suasana santai dan tenang beberapa saat yang lalu seketika berubah menjadi tegang saat Risa masuk ke dalam ruang utama dan mulai berteriak marah. Ia bahkan meletakkan ranselnya di lantai dengan sedikit membantingnya.

Orang yang dimaksud itu adalah Yamasaki Ten—yang menurut Risa merupakan orang yang tidak memiliki sangkut paut dengan The Elites.

"Kupikir sejak pembicaraan pribadi kalian di kantor polisi, kau sudah berkawan baik dengannya, Risa." Ia sengaja menyindir Risa secara halus dengan ucapannya itu karena ia tahu apa yang dilakukan Risa kepada Ten saat ia ditahan di kantor polisi.

Akane berdiri dari tempat duduknya di samping Yuuka dan berpindah ke samping Ten, membiarkan Risa menempati posisi kosong di samping Yuuka—bersebelahan dengan Yui. Posisi yang canggung, tapi tak apa.

"Ini bukan reuni The Elites, Risa. Hanya mengumpulkan siapa orang yang menerima surat tersebut—yang berpotensi menjadi korban selanjutnya." Yuuka menepuk-nepuk bahu Risa yang tegang. Berhasil membuatnya melemas selama beberapa detik. "tasmu terlihat berat. Kau tidak membawa bahan peledak disana, benar?"

Risa memukul pelan punggung belakang Yuuka. Sedikit bercanda, tapi dengan wajahnya yang tampak serius tentu teman-temannya akan menganggap Risa benar-benar memukul Yuuka. Yang dipukul hanya melemparkan tatapan sinis kepada Risa, saling menyampaikan ancaman-ancaman bodoh dalam diam.

Setelah puas bertelepati dengan personel polisi itu, Yuuka kini mulai membuka mulut dan memulai pembicaraan yang lebih serius.

"Aku akan membutuhkan bantuan kalian dalam penyelidikan kali ini. Seharusnya aku tidak boleh melibatkan orang asing dan membeberkan perkembangan penyelidikan, tapi, aku sudah menganggap kalian sebagai orang-orang yang bisa diandalkan." Risa memberikan kode bagi Akane untuk mengoperkan ransel yang disandarkan pada meja ke pemiliknya. Tas itu terlihat berat. "untuk sekarang, tuduhanku tertuju pada salah satu tahanan yang kabur dari penjara. Identitasnya masih belum diketahui karena lapas sengaja merahasiakan hal tersebut."

Semua surat dikumpulkan di atas meja, saling bersebelahan. Surat milik Ten, Risa, dan Yuuka—termasuk tiga lembar foto. Yui memang tidak memiliki surat tersebut. Tapi dikarenakan ia memiliki hubungan khusus dengan pembunuh Black Mail dan anggota The Elites, maka ia tetap dihitung. Risa juga mengeluarkan laptop dan segera menyambungkannya dengan server pribadi milik Harada Aoi, secara otomatis membuat benda itu terkoneksi dengan komputer pribadi milik Harada yang ada di kantor.

"Harada, aku ingin kau mendokumentasikan suaraku dan memvisualisasikan apa yang akan aku katakan. Selanjutnya, kau tahu apa yang harus aku lakukan."

"Tentu, Keishi."

Risa kemudian membuka map besar yang ada di dalam tasnya, mengeluarkan semua isinya dan menatanya di atas meja. Itu adalah lembaran kliping berisi keterangan korban secara mendetail. Dari pembunuhan pertama yang terjadi 4 bulan yang lalu, hingga yang terjadi 3 minggu terakhir. Nishioka Shiji si kepala sekolah, Kou Matsubara si anak SMA, Kaishicho Mamoru Yamasaki, Yuuki Nakamura si anggota dewan, pemain baseball yang tak dikenal, dan yang terakhir mayat di tempat parkir yang tak bisa dikenali. Ia mengurutkan file itu dari yang paling awal hingga yang paling terakhir.

"Sejak ditemukannya mayat di tempat parkir gym waktu itu, tidak ada lagi pembunuhan-pembunuhan selanjutnya. Harada, Kobayashi memang bukan target utamanya malam itu karena ia memang hanya kebetulan berada disana. Tapi, Kobayashi adalah tujuan akhir setelah ia menyelesaikan pola yang ia buat. Jadi ia berusaha mencari Kobayashi dan dalam pencariannya itu ia menemukan kalian satu persatu."

"Yamasaki Ten mendapatkan surat yang paling pertama diantara kita karena memang hanya dirinya yang paling mudah ditemukan—ia tidak berpindah-pindah seperti yang lainnya. Berarti si pembunuh sebelumnya sudah mengetahui dimana Yamasaki tinggal. Kemudian Yuuka, lalu aku. Dan mungkin Kobayashi akan mendapatkan yang paling terakhir."

Risa melirik pada layar laptopnya, memperhatikan Harada yang tengah sibuk mengikuti apa yang Risa katakan. Sesaat kemudian ia menghilang dari jangkauan kamera dan kembali beberapa detik kemudian dengan membawa sebuah arsip di tangannya.

"Kita sempat berpikir jika pola pelaku kacau karena kita sempat terjebak di titik ini—dimana kita menganggap Kobayashi adalah korban keenam. Tapi, dua hari terakhir, aku menemukan identitas asli dari korban keenam dan pola ini—yang menjadi kode, identitas yang menunjukkan siapa dia sebenarnya—menjadi lengkap."

Layar laptop Risa menunjukkan sebuah foto dari korban keenam semasa ia hidup. Ia tidak mau menunjukkan foto terakhirnya karena itu akan membuat teman-temannya merasa terganggu. "Orang yang dibunuh di halaman parkir saat itu adalah orang asing yang tengah melanjutkan studi di Jepang. Dengan ini dugaan kami menjadi beralasan."

"Jika kalian memperhatikan latar belakang dari para korban. Baik itu dari pekerjaan dan keluarga, maka kalian akan mendapatkan ini." Kepala inspektur itu menunjuk lembaran kertas berisi keterangan-keterangan korban, "Si Kepala Sekolah; Kobayashi Yui. Anak SMA; Sugai Yuuka. Kaishicho; Watanabe Risa. Anggota Dewan; Seki Yumiko. Atlet Baseball; Fujiyoshi Karin. Orang asing; Tamura Hono."

"Itu berarti pelakunya adalah orang yang memiliki hubungan dekat ataupun pernah terlibat dengan kasus itu sampai-sampai ia tahu betul seluk beluk kita." Yui menggumam. "berarti pembunuh itu bisa jadi ada disini, bersama kalian."

"Ada terlalu banyak kemungkinan sejauh ini kami hanya bisa mengonfirmasi bahwa pelaku ini memiliki keterkaitan dengan kita." Risa menjawab. "aku mencurigai ini berasal dari salah satu kawanan Rei. Aku mendapatkan laporan bahwa ada narapidana kabur tapi aku tidak bisa mendapatkan informasi lebih lanjut siapa narapidana kabur tersebut. Pihak Lembaga pemasyarakatan sengaja menyembunyikan hal ini."

"M-Maksudmu, Rei kabur dari penjara...?" Yuuka mengulang. Kengerian jelas nampak dari wajahnya.

"Kami masih menyelidik hal itu. Polisi tidak bisa melakukan penyelidikan langsung ke sana karena jika lapas tahu bahwa polisi sudah mengendus kebusukan itu, mereka akan segera menghapus bukti yang tersisa. Itulah mengapa—"

Ten tiba-tiba mengangkat tangannya dan tanpa berpikir dua kali, ia berkata, "Aku akan ke penjara dan menemui mereka."

"Apa? Ten!" Akane memalingkan wajahnya dari juniornya itu, kepada Risa yang menatap keduanya dengan tatapan datar. "tidak. Untuk beberapa alasan, kau tidak boleh bertemu dengan mereka. Tidak ada satupun dari kita yang boleh bertemu dengannya."

Suara bel pintu membuat ucapan Akane terpotong. Bel tersebut menggema di seluruh ruangan, tidak terlalu keras tapi cukup untuk memecahkan ketegangan yang ada disana. Itu memberikan waktu bagi mereka untuk bernapas sejenak, "Aku akan melihat siapa yang datang. Lanjutkan saja diskusi kalian."

Dengan mengucapkan hal itu, Akane segera meninggalkan ruangan utama dan menutup kembali pintunya. Ten memperhatikan sejenak dan memastikan Akane sudah tidak terlalu dekat dengan ruangan tersebut karena jika tidak, ia pasti akan menolak keras rencananya tadi.

"Tidak masalah, inspektur. Katakan saja apa yang harus aku lakukan disana." Tukasnya. "tapi apakah tidak masalah jika aku menanyakan sesuatu diluar skenariomu?"

"Tentang Morita Hikaru?" Yui menyahut.

"Ten... yang satu itu, sedikit..." Yuuka berkata. Kali ini dengan wajah khawatir yang ditujukan kepadanya. Karena memang seharusnya Ten tidak perlu tahu bagaimana Hikaru mati.

Ten berdiri dari tempat duduknya, menjawab perkataan Yuuka dengan intonasi yang sedikit dinaikkan. "Aku hanya ingin tahu dengan pasti apa yang mereka lakukan pada Hikaru! Psikopat adalah orang yang sedikit narsis. Jika aku bertanya dan berpura-pura tertarik dengan hal itu, pasti Rei mau menjelaskan semuanya padaku!"

"Sudahlah Yuuka. Jika memang dia ingin tahu, biarkan saja. Dia bukan anak-anak." Risa menghela napas kasar. Lirikan tajamnya kemudian kembali tertuju pada Ten. Secara jelas memberinya perintah untuk kembali duduk. "lagipula personelku akan memberinya perlindungan jika terjadi sesuatu yang membahayakan keselamatannya di penjara."

Tetap. Ucapan Risa tidak serta merta membuat Yuuka akan tenang begitu saja. Jika memang benar pembunuhnya adalah tiga psikopat yang sudah mewarnai masa remaja mereka dengan memori kelam, maka membiarkan Ten yang telah ditandai sebagai calon korban untuk bertemu dengan mereka sama seperti melemparkan daging ayam ke dalam kendang buaya.

Meskipun Risa sudah mengatakan bahwa ia akan menjamin keselamatan Ten selama berada di dalam, bukan tidak mungkin Rei akan melakukan sesuatu yang berbahaya pada juniornya itu. Ia tahu selama ini Ten memiliki keadaan mental yang tak baik. Sementara Rei memiliki kemampuan hebat untuk memanipulasi orang lain hanya dengan berbicara. Apabila dua orang ini digabungkan maka jelas, Ten akan menjadi makanan lezat bagi Rei di dalam sana.

"Aku akan pergi bersamanya, kalau begitu." Yui kali ini mengutarakan pendapatnya. Ia telah membaca kekhawatiran di wajah Yuuka. "aku juga ingin bertemu dengan orang yang sudah mencongkel bola mataku."

"Aku hanya akan meminta bantuan kalian untuk yang satu ini saja. Setelah kalian memberikan informasi yang kami butuhkan, maka semuanya sudah selesai." Risa menjawab. Ia kemudian memutar laptopnya dan berbicara pada Harada yang masih setia mendengarkan walaupun Risa tahu sersan itu sedang menahan kantuk. "bagaimana perkembangan dari Akiho?"

"Masih belum. Ia masih menunggu persetujuan yang akan diberitahukan oleh staf komando empat jam lagi," Risa mendesis. Mengusap kedua matanya yang panas dengan kedua tangannya. "Akiho juga sedang diluar kantor sekarang. Katanya ia ingin meninjau ulang TKP."

"Tentang itu, kabarkan lagi perkembangannya kepadaku. Untuk ini, aku ingin kau mempersiapkan peralatannya."

"Segera, Inspektur Watanabe."

Keempat orang itu kembali diam setelah Harada memutuskan sambungan video dengan laptop Risa. Tiba-tiba Yuuka seperti diserang dengan kecanggungan yang luar biasa. Dihimpit oleh Yui dan Risa yang mengeluarkan aura tidak bersahabat sementara Ten yang tampak bimbang dan sibuk memainkan ponselnya sendiri untuk menghapus kegelisahan, membuat Yuuka merasas sendirian disana.

"Inspektur Watanabe, ya? Aku ingin tahu bagaimana rupamu itu saat memakai seragam dinas lengkap." Ucap Yuuka. "dulu Yui sering bercerita padaku bahwa Risa terlihat sangat keren dengan seragam hitam itu."

Risa hanya tersenyum canggung mendengar candaan Yuuka. Namun, berbeda dengan Yui yang lebih memilih untuk mengabaikan usaha Yuuka melelehkan es batu diantara mereka dengan respon yang singkat.

"Benarkah?"

"Iya," Yuuka menjawab singkat, tak lupa ia tertawa pelan pada Risa. Sungguh, aku akan mendorong kalian berdua ke jurang, batinnya.

Karena respon tidak menyenangkan karena candaannya yang canggung, Yuuka memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya pada tubuh Ten di sampingnya. Sesekali Ten menunjukkan apa yang menurutnya lucu dari media sosial untuk menghibur Yuuka.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang utama terbuka. Seseorang yang sejak tadi ditunggu kedatangannya muncul dari pintu bersama dengan satu orang lain yang mengekor di belakangnya.

"Jadi... aku membawa tamu. Dari Inggris."

Ketiga anggota The Elites itu kompak terbelalak ketika menyadari siapa orang yang berdiri di depan mereka saat ini. Orang tersebut berambut panjang, dengan dimple yang tampak tiap kali ia berbicara atau tersenyum. Terutama Yuuka. Ia tak akan pernah lupa dengan bekas luka yang membelah alis perempuan itu. Yuuka lah yang menggoreskan pecahan kaca pada alisnya, membuat luka permanen yang membuat alis kirinya terpisah.

Itu adalah Tamura Hono. Sosok yang lebih mereka kenal sebagai pengkhianat.

"Kau sialan. Keparat, bajingan, pecundang, kriminal, sampah masyarakat!" Yui berteriak keras. Menggeser kursi dan meja yang ada di depannya dan membuat semua orang yang berkumpul di sana memekik kaget. Risa bahkan langsung menahan lengannya, dibantu oleh Yuuka meskipun usaha mereka sia-sia.

"Kau berani sekali menunjukkan batang hidungmu lagi disini. Padahal aku sudah berusaha untuk membujuk diriku sendiri agar aku percaya bahwa kau mati dibantai, di dalam lubang sialan itu!" menggunakan kedua tangannya yang kuat, Yui menarik pakaian yang dikenakan oleh Hono. Memaksa perempuan yang lebih tinggi itu untuk menundukkan tubuhnya.

Hono tak diberi kesempatan untuk berbicara. Ia terus dicerca oleh teriakan dan sumpah serapah yang keluar dari bibir Yui. Risa, Yuuka, Ten, dan Akane bahkan tidak menduga bahwa Yui akan bertingkah seliar ini. Tidak pernah sekalipun mereka mendengar Yui mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, bahkan ketika marah.

Bagi Risa dan Yuuka, hal tersebut mungkin beralasan. Karena orang terakhir yang menemui Hono selain Yuuka adalah Yui sendiri. Mungkin mereka memiliki perkelahian yang belum diselesaikan dalam sepuluh tahun terakhir. Hono juga lah yang menculik Yui dan menembaknya saat itu. Tapi berbeda dengan Akane dan Ten yang benar-benar terkejut dengan sifat barunya ini sehingga mereka berdua sepakat untuk berpindah tempat duduk.

"Kau, membunuh Yumi. Kau membunuh Seki Yumiko!" Hono mendesis. Kini tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Yui, ia dapat merasakan otot dan pembuluh darah disana timbul dan mengeras. Ia tak takut, ditatapnya mata Yui yang terbakar oleh emosi yang meledak-ledak. Kedua bola matanya tampak memerah, menahan emosi yang sudah tak mampu dibendung lagi. "kau membunuhnya, Yui. Kau menusuknya hingga ia mati kehabisan darah."

Mendengar itu, Akane dan Ten terkejut. Itu jelas, karena selama ini mereka tidak mengetahui bahwa Kobayashi Yui membunuh Seki Yumiko. Mereka hanya mengetahui apa yang dikatakan oleh para anggota The Elites saat bersaksi di pengadilan, semua pembunuhan dilakukan oleh Rei dan teman-temannya—apakah itu hanya skenario? "Apa? Seki—?"

Hono dapat melihat perubahan ekspresi pada wajah Yui, pun juga dengan cengkeramannya di kemeja yang ia kenakan. Tapi sedetik kemudian ekspresi itu menghilang, digantikan oleh ekspresi meradang.

"Kau ini bicara apa, brengsek..."

"Tamura, kau datang ke Jepang hanya untuk mengkonfrontasi kami dan membuat masalah. Kau tidak tahu berapa nyawa yang habis dibabat hanya karena tindakanmu di masa lalu!" teriak Yuuka. "karena tindakanmu Yui kehilangan kontrol atas dirinya sendiri dan harus melihat dengan satu mata seumur hidupnya." Yuuka mendorong dada Hono ke belakang dengan beberapa sentakan kuat, "Karenamu juga Karin dan Seki tewas terbunuh. Kau ingat, huh? Seki Yumiko! Orang yang sangat berharga bagimu, orang yang telah membangkitkan semangatmu kala itu." Yuuka terdiam sejenak, mengatur napasnya yang sesak dan suaranya yang parau. Ia tak boleh terlihat menangis sekarang. "dia mati di tanganku, Tamura. Sementara Karin? Kepalanya dipenggal, di depan Risa. Aku melihat Morita dimutilasi oleh Rei di depan mataku!"

Kau tidak harus mengatakan itu di depan Yamasaki, bodoh. Risa dan Yui lantas kompak menatap Yuuka dengan sorot mata tajam, sedikit melirik pada Ten yang semakin terkejut. Tampak perempuan itu kini telah menutupi kedua telinga sembari dan terus menundukkan kepalanya. Sepertinya Akane harus mempertimbangkan untuk mengajak Ten pergi dari itu dan menuju suatu tempat yang lebih tenang.

Hono melangkah maju, tanpa sadar menyeret Yui yang masih menggeram-geram bengis. Ia mengacungkan jari, menunjuk wajah Yuuka dan berbicara dengan penekanan di setiap kata yang diucapkan. "Hei, semua nyawa yang melayang saat ini adalah hasil dendam dari masa lalu. Korban dari kebodohan anak-anak muda berpikiran sempit yang menganggap bahwa dunia dapat dengan mudah dibalikkan seperti memutar telapak tangan!"

Telinga Risa memekak begitu mendengar pembelaan Hono. Kebenciannya kepada orang ini yang sempat terlupakan, seketika kembali lagi kepadanya seperti seember air panas yang disiramkan pada kepalanya.

Risa bangkit berdiri, meloloskan pistol dari holster kemudian tanpa berpikir panjang ia mengacungkan moncong pistolnya pada kepala Hono. "Aku sudah muak dengan pembelaan dirimu, pengecut. Kau pikir kau tidak lebih buruk dari kami? Kau itu sama dengan kami, bahkan lebih hina lagi! Sudah bagus kau pergi saja keluar negeri agar aku tidak datang kepadamu dan melubangi kepalamu yang tidak berisi itu, bajingan!"

"Shit!" Yuuka berteriak, menggenggam tangan Akane dan Ten untuk menjauh dari tiga orang yang tengah berkonflik tersebut. Ia tak mau melawan risiko berbahaya yang akan terjadi jika memaksa untuk memisahkan mereka sementara membiarkan Akane dan Ten yang merupakan outsider terluka.

"Apa yang kau lakukan? Turunkan pistolmu!" Yui berkata, ia telah melepaskan belenggunya dari pakaian Hono dan berusaha menurunkan pistol milik Risa yang kapan saja dapat memuntahkan timah panas. "Risa!"

Risa menahan tangan Yui, menurunkan pistolnya dan sempat menodongkan senjata api pada Yui. Melihat itu, Hono berusaha mendorong tubuh besar Risa menjauh termasuk Yuuka yang segera mengamankan Risa dengan mencengkeram erat pergelangan tangan Risa dan menurunkannya.

Inilah sifat yang Yui paling tidak sukai dari Risa—emosinya yang mudah terpantik. Sejak berurusan dengan kasus pembunuhan berantai ini, sifat Risa seperti berubah 180 derajat menjadi Risa yang berbeda. Risa yang tidak ia kenal. Ia bisa merasa tersinggung dan marah kapan saja. Mungkin lebih baik jika Risa yang dimasukkan ke dalam Silver Lake, bukan dirinya.

"Diam, Yui! Kau ingin Hono mati, bukan? Sekarang adalah saatnya, kenapa kau justru tidak memanfaatkan momen seperti ini!" Risa membalas. Ia mencengkeram kuat bahu Yui, berusaha menahannya agar tidak mendekat dan memberikan jarak. Ia masih juga tidak menurunkan pistol dari depan wajahnya. "jika kalian berdua tidak menjauh, demi Tuhan, aku akan menembak. Aku akan tembak!"

Hono, tak mau kalah tentu saja. Ia membalas gertakan Risa dengan kalimat yang tak kalah kasar. "Berhenti berteriak seperti orang sinting, Watanabe. Kau pikir aku kembali kemari tanpa alasan? Aku juga tak mau menginjakkan kakiku di tanah terkutuk ini, bangsat!"

"Yui, Yui, Yui, Yui—tahan dia, tahan. Aku tidak mau ada pertumpahan darah lagi." Yuuka berucap dengan terbata-bata. Sedikit kewalahan karena harus menahan tubuh Risa.

"Risa. Tenang. Tenanglah dulu, aku mohon padamu." Kali ini suara Yui terdengar lebih lembut. Sementara tangan kanannya menyentuh tangan Risa, menurunkan moncong pistolnya perlahan-lahan ke bawah. "bagus. Kau hebat, Risa. Tenang, mengerti?" Yui masih menggenggam tangan Risa, memperhatikan dada Risa yang bergerak naik turun tak beraturan. Setelah beberapa saat, Yui mengambil pistol dari genggaman Risa dengan berhati-hati dan mengembalikan pengamannya sebelum melemparkan benda itu pada Akane.

Yuuka, Akane, dan Ten akhirnya bisa kembali bernapas lega setelah senjata api milik Risa diamankan. Tanpa perlu merasa khawatir telinga mereka akan dibuat tuli oleh suara tembakan yang luar biasa kerasnya. Setelah memastikan Risa kembali dalam keadaan yang tenang, si Sugai itu kemudian berjalan mendekati Hono, berusaha mengesampingkan kebencian dan dendam atas apa yang telah ia lakukan kepadanya—kepada teman-temannya, sepuluh tahun yang lalu.

"Katakan, apa tujuanmu kembali ke Jepang. Dan bagaimana caramu menemukan kami semua disini?"

"Satu minggu yang lalu, ada sebuah e-mail berasal dari akun yang sudah dinonaktifkan masuk ke dalam kotak e-mailku. Isinya kurang lebih memintaku untuk kembali ke akademi." Jawab Hono. Suaranya masih terdengar begitu serak. Sepertinya ia benar-benar menggunakan pita suaranya sampai pada titik dimana ia akan mengeluarkan suara parau yang aneh sekarang. Ia berdeham dan melanjutkan, "tidak sulit menemukan kalian. Aku hanya harus kembali ke Sakurazaka Academy dan melihat arsip serta dokumentasi kelulusan. Mereka selalu menyimpan informasi terbaru mengenai alumni pada personal database."

"Kemarikan e-mailnya." Hono mengambil ponselnya dan menunjukkan tangkapan layar dari email tersebut kepadanya. Risa berjalan mendekati meja, mengambil ponselnya yang diletakkan di atas sana, bersebelahan dengan tumpukan buku milik Yuuka. Ia memotret tangkapan layar tersebut dan melemparkan ponsel itu kembali pada pemiliknya. "sepertinya memiliki gaya penulisan yang sama dengan milik kalian."

Yui menghela napas panjang, berjalan kembali ke tempat duduknya semula. Saat itulah Risa tiba-tiba berdiri dan mengambil langkah lebar untuk kembali mendekati Hono, menarik lengan perempuan itu dan menyeretnya mendekati teman-teman yang lain. Sementara tangan kiri Risa menarik lengannya ke belakang, tangan kanannya mendorong leher dan kepala Hono ke bawah—menekannya pada meja.

"Sial. Risa, kau bisa mematahkan tanganku." Hono menggeram. Merasakan Risa semakin menekan dan memelintir tangan kirinya hingga ia merasakan persendiannya mengeluarkan suara.

"Apakah aku dapat mempercayaimu?" suara dingin Risa menggelegar di dalam ruangan. Dengan penekanan pada tiap kata yang dilontarkan.

Tekanan Risa pada tangan kiri Hono menjadi semakin kuat. Hono mengerang, menahan ngilu dari persendian dan tulang yang mulai bergeser dari tempatnya semula. Risa telah mematahkan tangannya dengan lembut. "Aku tidak bisa menjamin itu. Tapi aku ingin menebus dosaku! Argh!" Hono mengepalkan tangannya tepat saat Risa memutar dan menekan tangan kirinya ke arah berlawanan.

Semua orang yang ada disana tersentak kaget saat mendengar suara nyaring dari tulang yang patah. Seperti menarik tulang ayam, Risa dengan mudah menghancurkan ligamennya. Ten mendesis ngeri dan mengalihkan pandangannya. Yuuka memegangi lengannya sendiri, dapat merasakan nyeri yang sama pada alat geraknya. Tidak ada yang berani mencegah Risa melakukan hal tersebut. Setidaknya itu lebih baik daripada Risa mengeksekusi Hono menggunakan senjata api.

Hono meringis. Nyeri yang ada di tangannya menjadi semakin tak tertahankan saat Risa menarik lengannya yang patah ke atas, memaksanya untuk berdiri berhadap-hadapan dengannya. "Jika kau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya, aku akan menghancurkan satu persatu tulangmu. Akan kupastikan kau merasakan rasa sakit yang akan kau bawa sampai mati." Ancam Risa, kemudian mendorong Hono menjauh darinya. "Kau akan berada di bawah pengawasan Yuuka dan Kobayashi."

Perempuan itu mengeluarkan erangan tertahan. Merasakan lengannya mulai terasa panas dan kebas. Ia tak bisa membiarkan lengannya tergantung jadi ia terpaksa menahan tangannya yang lemas itu dengan tangannya yang lain.

"Mengenai alasanku mengapa tim penyidik menganggap kasus ini akan menjadi kasus Sakurazaka Academy jilid kedua adalah; penemuan potongan tengkorak milik Morita Hikaru di lokasi pembunuhan, bersandingan dengan korban. Ini menjadi bukti kuat bahwa memang kasus ini berkaitan dengan kasus sepuluh tahun yang lalu. Karena itu, aku ingin kalian bersiap dan melindungi diri masing-masing selama pembunuh itu masih buron."

Risa mengeratkan genggamannya pada ransel miliknya. Merasakan udara di sekelilingnya berubah menjadi sangat berat dan tidak nyaman. Ditandai oleh ekspresi yang tak dapat dijelaskan dari teman-temannya yang duduk berkeliling, menatap kosong pada lembaran foto main building dari Sakurazaka Academy.

"Pola milik si pembunuh sudah selesai. Ia bisa datang kepada kalian kapan saja. Apapun yang terjadi, jangan mati." Kepala inspektur itu kemudian membereskan kembali kliping dan laptop miliknya, memasukkannya ke dalam tas. Ia kemudian melirik Hono, yang masih merintih kesakitan. "kecuali kau. Mati saja, tidak apa-apa."

"Yui, a moment, please?"

Yuuka berlari kecil mendekati perempuan berambut sebahu yang berjalan beberapa meter jauh di depannya. Dokter itu menoleh sekilas, satu tangannya sudah berada di handle mobil, sepertinya ia sudah siap untuk meninggalkan area rumah Yuuka setelah pertemuan singkat mereka dibubarkan. Yui diminta untuk membawa Hono ke rumah sakit jadi setelah memastikan Hono berada di dalam mobilnya, ia segera berbalik dan menemui Yuuka.

"Membutuhkan sedikit bantuan, Yuuka?"

Ia menggeleng, mengintip Hono yang menempelkan kepalanya pada kaca jendela mobil. Rupanya Hono sedang mengistirahatkan matanya untuk melupakan nyeri di tangannya sejenak. Perempuan itu tidak mungkin bepergian sendiri dengan keadaan tangan seperti itu jadi rasanya tak masalah jika Yuuka meminjam Yui selama beberapa waktu.

"Tidak, tapi bisakah kita berbicara empat mata? Ini tidak akan membutuhkan lebih lama dari sepuluh menit, mungkin." Tanya Yuuka.

Yui memiringkan kepalanya. Bertanya-tanya masalah seperti apa yang membuat Yuuka ingin mengajaknya untuk berbicara secara pribadi. Yui tak langsung membiarkan jawaban karena ia harus mempertimbangkan sesuatu terlebih dahulu. Mengingat bagaimana hubungan mereka berdua di masa lalu dan status Yuuka yang bisa dibilang dekat dengan jaksa Moriya Akane, ia menjadi ragu untuk menerima ajakan Yuuka. Ia hanya tak mau Akane memandang dirinya dengan konotasi negatif.

Baik untuk yang terakhir itu, mungkin ia sudah terlalu banyak berpikir.

"Tapi aku harus segera membawanya ke rumah sakit." Akhirnya ia menjawab, secara tidak langsung menolak permintaan Yuuka. Tapi sejenak kemudian ia terdiam dan memperhatikan wajah Yuuka yang terlihat kecewa saat mendengar jawabannya beberapa saat yang lalu. "baiklah... ayo kita berbicara. Tapi tidak terlalu jauh dari tempat ini karena aku tak mau dia membawa kabur mobilku."

Yuuka tersenyum lega. "Astaga, tentu. Kita akan berbicara disini saja," perempuan yang lebih tinggi itu tampak kebingungan sejenak, entah pertanyaan seperti apa yang pantas untuk ditanyakan kepada Yui saat ini. Pada satu sisi ia takut ucapannya akan membuat Yui merasa terganggu, tapi di sisi lain ia lebih takut lagi jika ia tak mengetahui kebenarannya dan membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Terutama setelah ia tahu bahwa masalah ini berhubungan dengan fasilitas rehabilitasi.

"Kudengar kau akan berkuliah?" Yui bertanya. Ia sadar bahwa Yuuka sudah terlihat seperti orang asing yang pertama kali bertemu dengannya. Orang asing yang bertanya-tanya mengapa ia menutupi mata kanannya dengan eyepatch dan Yui tidak menyukai hal itu.

"Ya. Tapi aku harus mengikuti ujian kesetaraan untuk mendapatkan sertifikat kelulusan sekolah tinggi." Yuuka menjawab. Menarik napasnya dengan cepat, "hal yang ingin aku bicarakan adalah tentang dirimu dan Risa."

Yui memicingkan matanya begitu mendengar nama Risa dengan polosnya keluar dari bibir Yuuka. Ia sudah menduga cepat atau lambat temannya yang satu ini akan mempertanyakan tentang keanehan hubungan mereka berdua. Yui juga sudah tahu bahwa Yuuka menaruh ketertarikan pada masalah pribadi mereka sejak pesta penyambutan waktu itu dan Yui sudah mempersiapkan diri jika suatu saat Yuuka akan datang langsung kepadanya untuk bertanya—dan inilah saatnya.

Masalahnya disini adalah perubahan sikap dari dua orang ini yang benar-benar berputar 180 derajat. Dahulu Yuuka bahkan sering terlibat perkelahian dengan Risa hanya karena Yui—drama remaja yang berusia tanggung—dan semuanya tahu bahwa Risa memiliki perasaan dan ketertarikan tersendiri pada Kobayashi Yui sehingga itu membuat perseteruan bodoh antara Sugai dan Watanabe—yang berakhir pada penembakan di bangunan tua. Dan sepuluh tahun kemudian, setelah dua orang ini terikat dalam pertunangan, mereka malah memutuskan untuk berpisah tanpa alasan jelas.

Rasanya Yuuka ingin marah sekarang.

"Ada apa dengan itu?" Yui balas bertanya.

"Tidak adil, kau tahu? Aku tidak tahu apa yang terjadi diantara kalian selama aku dipenjara dan begitu aku dibebaskan, apa yang kulihat? Dua orang temanku yang bercerai." Sahut Yuuka dengan cepat. "apa... apa ini ada hubungannya dengan sesuatu dari masa lalu?"

"Kami tidak menikah, Yuuka. Sudah berapa kali aku membicarakan hal ini pada orang lain, urgh..." Yui menghela napas berat, sedikit merasa kesal atas ucapan tersebut. Tapi karena ini Yuuka maka ia memaklumi hal itu. "ada sesuatu diantara kami... aku tidak tahu apa itu karena ia tak pernah mengatakan kepadaku secara spesifik. Tapi jika aku diminta untuk menyimpulkan maka mungkin ini ada kaitannya dengan Risa dan hukumannya pada dirinya sendiri."

Yuuka tertegun. Sebelumnya ia pernah menebak bahwa alasan Risa meninggalkan Yui adalah meninggalnya Fujiyoshi Karin yang terus menghantuinya dan Yui mengatakan itu karena Risa yang menghukum dirinya sendiri. Jadi, apa maksudnya? Tanpa ia sadari, sedari tadi Yuuka telah mengepalkan tangannya sendiri. Ia ingin sekali memukul pagar beton rumahnya sekarang.

"Hukuman?" tanya Yuuka. Suaranya kini lebih terdengar menjadi bisikan.

"Ia melihat Karin mengorbankan dirinya sendiri dan mati dibunuh saat itu, sehingga selama bertahun-tahun ia terus merasa bersalah atas hal itu. Ditambah lagi kau tahu bagaimana Risa memperlakukan Karin semasa ia hidup. Jika aku adalah Risa, aku pasti juga akan jatuh ke dalam lubang yang sama." Yui menundukkan wajahnya. Menyembunyikan ekspresi wajahnya dari penglihatan Yuuka. Helaan napas berat keluar dari bibirnya, sementara kedua tangannya saling berkaitan satu sama lain. "sejak saat itu ia bersumpah untuk menangkap pembunuh-pembunuh yang berkeliaran, singkatnya ia sangat terobsesi dengan pekerjaannya."

"Tapi... benarkah hanya karena itu saja?" Yuuka bertanya lagi. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap Yui, menyentuh lengan atas temannya itu. "...Silver Lake?"

Silver Lake.

Well, shit.

Yui menarik tangannya, membuat genggaman Yuuka disana terlepas dengan paksa. Ia tak akan pernah lupa dengan tempat itu, dan apa yang ada di dalamnya—Yui membencinya. Mereka tidak melakukan malpraktek medis—sebagai tenaga kesehatan Yui lebih suka menyebut itu sebagai pelanggaran disiplin kedokteran—kepada para pasiennya malahan mereka melakukan hal terbaik agar pasiennya mencapai titik kesembuhan mereka.

Ia hanya tak suka karena tempat itu selalu mengingatkannya dengan sosok yang menyebut dirinya tanpa nama.

Yuuka kembali menyentuh bahu Yui. Kali ini lebih memberikan tepukan karena ia tampak kehilangan pegangannya di dunia nyata selama beberapa detik. "Yui?"

"Jika kau berbicara tentang DID, gangguan itu tidak akan pernah hilang. Tetapi, ia dapat dicegah dengan terapi secara terus menerus dan beberapa obat-obatan. Aku menyelesaikan terapi dengan baik disana, Yuuka. Jika tidak, kau mungkin tidak bisa menghitung berapa orang yang sudah kubunuh hingga sekarang."

Kau tiba-tiba menjadi begitu defensif. Apa kau sendiri juga tidak yakin?

"Kau tak perlu menyembunyikan sesuatu jika itu—"

Yui menggeram, marah. Segera saja ia memukulkan kepalan tangannya pada body mobilnya. Tentu saja itu benar-benar mengejutkan Yuuka yang sama sekali tidak menduga bahwa Yui akan melakukan tindakan yang agak kasar barusan. Tapi Yuuka tidak menyerah begitu saja. Keyakinannya sudah sangat bulat, tentang sesuatu yang kemungkinan memang disembunyikan oleh Kobayashi Yui.

"Kau tahu dia berbahaya! Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau menyembunyikan segala sesuatu yang berhubungan dengan dia! Kita hanya akan terjebak dalam lingkaran setan!" tekan Yuuka. Ia bahkan tak lagi sungkan untuk memajukan tubuhnya agar Yui paham bahwa apa yang ia katakan adalah sesuatu yang sangat serius.

Mendengar itu, Yui langsung mengerutkan dahi sementara satu netra coklat muda miliknya menyorot tajam wajah Yuuka yang tengah menunjukkan ekspresi menuntut. Agaknya ucapan-ucapan Yuuka berhasil membuat jalinan sirkuit di dalam kepala Yui meledak dan hangus terbakar detik itu juga. Ia tak sadar bahwa itu telah memantik emosinya dari titik yang paling dalam. Jadi, Yui nyaris tak bisa menahan diri saat ia membuka mulutnya dan berkata, "Diam... Sugai!"

"Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan gangguan psikologis yang aku derita sekarang. Kau menganggapku sebagai apa? Kau tidak menganggapku sebagai manusia, tapi seorang monster yang sewaktu-waktu dapat membunuhmu?" Yui mengepalkan tangan, menggunakan kepalan tangannya itu untuk mendorong dada Yuuka dan membuatnya mundur selangkah. Raut wajah Yuuka yang semula mengeras seketika berubah menjadi lebih lembut. Ia tidak menganggap Yui sebagai seorang monster. Ia tidak bermaksud seperti itu. "Aku telah menyelesaikan terapi dan menggunakan obat seumur hidup untuk menjaga kewarasanku. Perlu kau catat; aku tak pernah meminta untuk hidup dalam kondisi seperti ini!"

Ada sesuatu yang sekiranya tidak benar menurut Yuuka. Tapi ia tak mengerti, di mana letak pasti dari bagian yang tak benar itu. "Aku tidak bermaksud seperti itu, Yui. Kau—aku hanya khawatir padamu."

Yui mengangkat telapak tangannya dan meminta Yuuka untuk diam selagi Yui menutup mata selama beberapa saat untuk mengatur napasnya yang tak beraturan. "Maaf—aku tidak bermaksud berteriak di depan wajahmu seperti itu. Hanya... sesuatu membuat kepalaku terasa seperti akan meledak akhir-akhir ini." Setelah merasa cukup dengan pembicaraan yang sedikit ofensif ini, Yui segera beranjak dari tempatnya berdiri dan menarik pintu mobilnya dengan agak kasar.

"Kau tahu, aku bisa menjadi seseorang yang akan mendengarkan ceritamu. Kapanpun kau mau."

Yui yang baru saja hendak menunduk untuk masuk ke dalam mobil tiba-tiba membeku saat mendengar ucapan Yuuka. Ia tak mau repot menoleh sekedar untuk menatap sang lawan bicara, tapi pada jalanan panjang di depannya yang menuju jalan utama.

"Huh, kenapa kau tidak melakukan ini kepadaku saat kita masih berhubungan?" Yui mengusak rambutnya. Kemudian sedikit membenahi posisi eyepatch yang ia gunakan sembari menarik sudut bibirnya dan membentuk senyuman satir pada Yuuka. "Moriya bisa salah paham jika begitu. Lebih baik kau fokus kepadanya saja, ya? Aku bisa mengurus diriku sendiri."

Selesai mengucapkan kalimat terakhirnya, Yui tidak serta merta masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Yuuka yang jatuh dalam kebisuan yang ia buat sendiri. Perempuan itu tampak mencengkeram bagian atas pintu mobilnya sebelum mengucapkan salam perpisahan dan memacu mobilnya dengan cepat, sepenuhnya meninggalkan tempat itu.

Meninggalkan Yuuka dengan segala perasaan luar biasa berat yang tak bahkan dirinya sendiri sulit untuk mendeskripsikannya.

Sudah sejak awal Yui merasakan keganjilan. Suatu perasaan aneh yang dapat kau rasakan ketika ada orang lain yang mengikutimu secara diam-diam. Perasaan dingin, gelisah, dan panik yang merayapi punggung hingga leher—membuat Yui tak betah berdiam diri di satu tempat ke tempat lain. Jadi setelah ia menyerahkan Hono pada Koike dan menitipkan pesan bahwa ia harus melakukan rawat inap selama satu hari—dengan pemberkasan yang otomatis diselesaikan pula—Yui memutuskan untuk segera kembali ke mobilnya.

Ia menyalakan mesin mobil sembari terus memperhatikan rearview. Dengan perlahan ia menjalankan mobilnya untuk memasuki tempat parkir basement. Dan benar saja, saat ia mulai memasuki tempat parkir yang sepi dan gelap itu, sebuah mobil yang ia kenal mengikuti beberapa meter di belakangnya.

Yui mengumpat pelan. Tangannya mencengkeram roda stir dan memarkirkan mobilnya di tempat kosong. Ia sengaja berhenti di sana dengan tetap menyalakan mesin mobilnya untuk mengintai mobil yang sedari tadi telah mengikutinya itu.

Mobil SUV hitam dengan strip putih di sisi kiri. Kenapa Yamasaki mengikutiku sampai sejauh ini?

Yui mematikan mesin mobil. Tangan kanannya sudah siap untuk membuka pintu mobil, tetapi hal itu tak kunjung dilakukan olehnya karena ia masih memperhatikan mobil SUV tersebut. Menajamkan penglihatannya untuk mencari tahu apakah benar orang yang mengikutinya adalah Yamasaki Ten. Jika memang benar, maka hal yang dilakukannya itu sudah benar-benar kelewat batas.

Tepat tiga menit setelah kedua mesin mobil mati, Yui melesat keluar dari mobilnya dan mendekati mobil SUV hitam yang berjarak empat meter dari tempat mobilnya diparkir. Sekilas ia melirik pelat nomor yang ada di bagian depan mobil, dan memang benar itu adalah milik Ten. Dengan jengkel, ia segera menarik pintu mobilnya terbuka dan menarik pengemudinya keluar.

"Kenapa, kau ada disini? Mengikutiku?"

Yui menahan leher Ten pada dinding, semakin memperkuat cengkeramannya pada lehernya. Membuat perempuan jangkung itu megap-megap seperti ikan yang terdampar di daratan. "Kenapa kau mengikutiku? Apakah Risa memintamu untuk menjadi penguntit juga?" Yui memutar kepalanya ke samping, memastikan tidak ada seorang pun yang berada di tempatitu selain mereka. Sial bagi Ten, karena Yui tidak menemukan orang lain disana selain mereka berdua dan mobil yang diparkir. "kemari kau."

Ten tersentak tetapi ia tak bisa berteriak karena tangan Yui mencengkeram lehernya dengan kuat dan membuat tenggorokannya terasa sangat sesak. "K-Kobayashi!" Yui menendang satu kakinya, membuat perempuan tinggi itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh dengan satu kaki. Ia menggunakan kesempatan itu untuk menyeret tubuh Ten ke samping mobil yang terparkir—menyembunyikan mereka berdua.

Tak berhenti disitu, Yui juga menghantamkan leher dan kepala Ten pada aspal yang keras sebanyak dua kali. Tentu hantaman keras pada belakang kepala itu membuat Ten seperti kehilangan fungsi atas keseluruhan inderanya selama beberapa saat. Ia tak dapat melihat Yui yang menindih tubuhnya dengan lutut dan menghantamnya dengan satu pukulan mentah di rahang. Ia hanya melihat ribuan titik-titik hitam dan merasakan ngilu dari rahangnya.

"Jawab aku, Yamasaki!" Yui mendesis, menarik tubuh Ten dan memaksanya untuk mengangkat kepala.

Ten sendiri sepertinya sudah mulai kehilangan tenaga karena dicekik dan dipukuli sekaligus. Ia hanya bisa terbatuk-batuk karena tersedak oleh air liurnya sendiri. Kepalanya terasa sangat sakit sekarang dan rasa sakit itu melebar hingga ke pelipis dan pipinya yang mulai membiru. Menggunakan kedua tangannya untuk melindungi wajah dari pukulan Kobayashi, Ten mengerang, menggunakan kedua kakinya untuk menendang Yui menjauh dari atas tubuhnya.

Tendangan itu cukup untuk memberikan waktu bagi Ten untuk berdiri berpegangan pada body mobil. Ia sempat kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh di aspal. Beruntung ia masih dapat menahan beban tubuhnya sehingga ia tidak sampai terkapar sekarang. Lalu, tanpa membuang kesempatan, Ten melayangkan pukulan telak sebanyak tiga kali pada tubuh Kobayashi. Satu di kepala, dua lain mendarat di ulu hati. Cukup keras hingga suara buku jari Ten yang menyentuh tubuh Kobayashi terdengar di telinganya. Ten mengangkat tangannya, mengusap darah yang mengalir keluar dari sudut bibir. Dilihatnya Kobayashi yang berdiri dua meter di depannya, dengan sedikit menunduk.

Nampaknya pukulan Ten yang tak seberapa itu meninggalkan luka. Yui juga menahan rasa sakit karena perempuan itu sekarang sedang berlutut dan menggeram pelan, mengusap sesuatu berwarna merah terang di hidungnya. D-Dia berdarah? Sedetik kemudian Yui menegakkan tubuhnya dan menatap Ten dengan sorot mata lebih bersahabat dari sebelumnya. Tapi kemarahan jelas tidak dapat terhapus begitu saja dari kepalanya.

"K-Kau sendiri yang mengatakan padaku bahwa kau ingin aku dekat denganmu," Ten berusaha membuat pita suaranya bekerja. Meski ia terlihat kesakitan saat berbicara, tapi paling tidak Yui dapat menangkap apa yang ia maksud.

Ten tidak tahu pada bagian mana ia melakukan kesalahan ucapan atau pada bagian mana dari intonasi bicaranya yang mungkin saja terlihat mengesalkan bagi Kobayashi. Tapi ia mendapati perubahan air muka dari dokter di depannya itu—ditandai dari kepalan tangan yang semakin erat

"Aku tidak pernah mengatakan hal itu padamu. Dan lagi, aku mulai muak jika kau terus mengikutiku dengan menggunakan Risa sebagai alasan. Aku tidak mau mendengarmu menuduh atau mencurigaiku lagi sebagai pembunuh."

Yui memaksa tubuhnya berdiri. Menggunakan tangan kanannya untuk menahan darah yang masih mengalir keluar dari hidungnya. Baru saja Yui akan melangkah maju untuk memaksa Ten berdiri, sebuah suara besar sontak mengejutkan mereka berdua.

"Siapa, membunuh siapa?"













ABUNAKKASHII KEIKAKU

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top