Chapter 11: The Lost Souls

Pukul empat lebih tiga puluh menit. Suasana rumah sakit seperti sedang terjadi suatu kekacauan. Berbeda dengan hari-hari biasanya yang berlangsung secara hening dan kondusif. Kalaupun ada pasien yang berteriak, itu tidak akan separah apa yang terjadi pagi itu. Dini hari, dokter jaga di rumah sakit tempat Kobayashi bekerja menghubunginya. Yui sempat mengabaikan panggilan telepon itu karena menganggap mungkin saja itu berasal dari orang sinting yang dalam beberapa minggu terakhir sering melakukan terror bertubi-tubi pada nomor pribadinya.

Hari ini adalah hari dimana ia tidak memiliki jadwal piket di rumah sakit. Dan karena ia juga memiliki janji temu dengan teman-temannya pada pukul sepuluh, Yui berniat untuk menghabiskan pagi yang cerah dengan meringkuk seperti trenggiling dibalik selimut. Sehingga ia jelas mengabaikan panggilan-panggilan tersebut dan membiarkan ponselnya berbunyi sendiri. Selama kurang lebih delapan menit Yui mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan menyembunyikan kepalanya di bawah bantal, berusaha agar tidak mendengarkan nada dering dari alat elektronik yang cukup keras itu.

Hingga pada menit-menit terakhir, dikarenakan sakit kepala sebab tidur yang terganggu dan rasa penat bercampur dengan frustasi membuat kesabaran perempuan bermarga Kobayashi itu habis. Ia bangun dari tempat tidurnya dengan gerakan cepat, menggeser bantal serta boneka landak ke samping, dan menyabet benda persegi panjang tipis itu dari atas nakas. Ponselnya nyaris terselip dari jemari lentiknya karena ia kekuatan genggamannya berkurang.

Sinar terang dari layar ponsel membuat matanya mengerjap dan menyipit selama beberapa detik. Tapi paling tidak ia dapat menangkap siapa orang yang terakhir menghubunginya. Kedua alisnya berkerut saat menyadari bahwa 29 panggilan tak terjawab tadi berasal dari petugas jaga malam di rumah sakit. Yui juga membaca pesan darinya yang mengatakan bahwa terdapat pasien yang tiba dengan keadaan terluka dan shock berat.

Sebenarnya Yui ingin mengabaikan pesan tersebut dan melanjutkan tidurnya, tapi rekan kerjanya itu kembali menelepon karena tahu Yui telah membaca pesannya. Dengan setengah sadar, Yui akhirnya bangkit dari tempat tidurnya untuk berlari ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Ia kemudian mengambil ponsel, jaket dan segera mencari taksi-karena mobil kesayangannya sedang bermalam di tempat reparasi.

Ia berjalan dengan langkah cepat menuruni tangga, menyempatkan diri untuk berhenti dan membasahi tenggorokannya dengan air dingin dari kulkas. Telinganya kembali terasa berdengung saat ia berdiri diam di dekat jendela. Berusaha mencari suatu entitas yang biasanya berdiam diri di dapur rumahnya. Namun, ia tak dapat menemukan apapun-Fujiyoshi tidak ada disana. Padahal ia selalu berdiam diri di dekat lemari penyimpanan, tersembunyi dari sorot cahaya lampu.

Perempuan itu tentu ingin mencari tahu mengapa makhluk transparan itu mendadak menghilangkan eksistensinya dari penglihatan Yui. Tapi ada sesuatu yang lebih penting sudah menunggunya di rumah sakit. Jadi ia berusaha untuk menepis rasa penasaran tersebut dan membawa kakinya yang sedikit lemas untuk keluar rumah-menunggu taksi online yang sudah dipesannya beberapa saat yang lalu.

DUG

Yui terkejut. Bahu kirinya tanpa sengaja menabrak tubuh seseorang yang terlihat sedikit lebih tinggi darinya. "Ah. Maaf, aku sedang terburu-buru." Ia menoleh, sedikit merasa heran. Untuk apa tetangganya keluar rumah pada pukul tiga pagi dengan pakaian seperti itu? Rasa-rasanya kalaupun ia ingin berolahraga, Yui takkan mau melakukannya di pukul tiga pagi dengan udara yang lembab dan dingin.

"Tidak apa-apa." Orang asing tersebut menjawab singkat, sembari melirik Yui dari bahunya sebelum berjalan menjauh dari jarak pandang Yui. Wajahnya tertutup dari dagu hingga dibawah mata sehingga yang dapat Yui lihat hanyalah masker hitam dan kedua matanya saja.

Suara ini?

Mendengar orang tersebut menjawab, Yui merasa lega-sekaligus curiga pada waktu yang sama. Ia tak mengerti mengapa mendadak ada hembusan angin dingin menerpa tengkuknya saat itu. Membuat sekujur tubuhnya yang dibalut oleh pakaian tebal menjadi beku sampai ke tulang. Aksen, intonasi bicara, Yui merasa ia pernah mengetahui itu sebelumnya. Hanya saja, ia telah bertemu ratusan orang dalam hidupnya. Mencari satu diantara ratusan orang tersebut hanya akan mempersulit hidupnya.

Deru mobil terdengar dari sisi samping tubuhnya, membuat Yui tersadar dari lamunannya yang panjang. Cahaya terang dari lampu mobil menerangi jalanan jauh di depan, tempat dimana orang asing tersebut menuju. Yui tidak dapat menemukan apapun, termasuk jejak sepatu. Selama sepersekian detik ia terdiam disana, otaknya masih berusaha untuk mencerna apa yang ia lihat sebelumnya. Astaga, untuk apa aku mencari orang seperti itu. Menyusahkan saja, pikirnya.Masalahnya sendiri sudah cukup pelik untuk dipikirkan dan akan bodoh jika ia menghabiskan waktu berdiri di luar dengan udara yang dingin hanya untuk memikirkan hal tersebut.

Tanpa memikirkan ketidaksengajaan yang terjadi kepadanya, Yui menundukkan kepala untuk masuk ke dalam taksi.

"Kronologi?" Yui bertanya begitu ia mendekati brankar. Tiga orang perawat telah berada disana, melakukan usaha sekeras yang mereka bisa untuk menenangkan pasien yang berteriak-teriak tak jelas. Terlihat kedua tangan dan kaki pasien tersebut ditahan agar tidak bergerak dengan serampangan.

"Dokter Kobayashi..." salah seorang perawat menoleh kepadanya. Ekspresi lelah tergambar jelas disana, dan itu membuat Yui merasa bersalah karena ia sempat berkeinginan untuk mengabaikan panggilan ini. "seseorang menghubungi ambulans dan mengatakan bahwa ada laki-laki yang terjebak di gang sepi dengan keadaan terluka. Tidak terlalu parah, tapi wajahnya penuh luka lebam dan kondisi psikisnya sepertinya sedang tidak baik."

Yui mengangguk pelan, memperhatikan pria itu sekilas. "Apapun itu pasti terjadi sesuatu yang mengerikan hingga korban sampai seperti ini. Mungkin saja dia korban penyerangan? Siapa orang yang menelepon? Harusnya mereka membawanya kemari sebagai saksi atau wali."

"Saat petugas medis datang untuk mengevakuasi pria itu, mereka mengatakan bahwa tidak ada orang lain selain korban." Yui memutar kepalanya dengan cepat menghadap perawat tersebut. Wajahnya menunjukkan arti apakah-kau-yakin-bisa-mempertanggungjawabkan-ucapanmu-itu bagi si perawat dan siapa-yang-berada-di sana-saat itu bagi dirinya sendiri. Ia mendengus, "dimana orang ini ditemukan?"

"Numamazushi, Kanagawa."

Numamazushi. Bukankah itu dekat dengan tempat tinggal Yamasaki?

Pembunuhan berantai Black Mail adalah satu hal yang melintas di kepalanya saat ia mendengar penjelasan dari perawat tersebut. Namun, jika dilihat dari keadaan korban, hal itu sepertinya tidak mungkin terjadi. Mungkin lebih tepat dikatakan jika orang ini mungkin saja terlibat perkelahian oleh seseorang dan ia ditinggalkan di gang dalam keadaan terluka. Berada di kondisi gelap, sendirian, dengan perasaan terancam boleh jadi membuat orang ini berteriak-teriak ketakutan. Siapapun yang menelepon ambulans pasti tidak akan mau mendekat karena mengira orang ini adalah ODGJ yang berbahaya.

Yui kemudian menginstruksikan salah satu perawat untuk memberikan tempat untuknya, juga perawat lainnya untuk mengambil peralatan yang diperlukan. "Pak, tolong, dengarkan suaraku dan berusahalah untuk mendapatkan kendali atas dirimu sendiri. Kau sedang berada di rumah sakit, tidak akan ada yang bisa melukaimu disini, Pak."

Dokter muda itu melirik ke belakang, seorang perawat telah membawa beberapa peralatan yang Yui perlukan.

Tetapi, saat Yui berbalik dan hendak melakukan penanganan sesuai prosedur yang diharuskan, pria itu tiba-tiba berteriak keras. Berusaha bangkit dari brankar dan mendorong Yui menjauh darinya. "Tidak! Tidak-menjauh dariku, siapapun, jauhkan orang ini dariku! Argh!"

Yui terkejut. Ia sempat menoleh ke belakang, mencari-cari seseorang-atau mungkin sesuatu-yang membuat pasiennya ini berteriak seperti dikejar oleh pembunuh. Tetapi disana tidak ada apapun selain pintu menuju lobi utama. Yui menambah jarak pandangnya hingga area parkir di depan sana, tak ada apapun. Hanya lapangan paving lengang dengan beberapa mobil yang terparkir saling berjauhan.

Hanya saja, tatapan orang ini tak juga luput dari Yui. Tidak mungkin orang ini takut kepadanya hanya karena ia terlihat seperti pembunuh karena ia kebetulan mengenakan eyepatch hitam? Ah. Itu tidaklah mungkin. Sejauh ini orang-orang memang menatapnya dengan aneh karena matanya yang hanya satu, tapi sangat jarang orang-orang secara terang-terangan menunjukkan rasa takut mereka di depan wajahnya.

Yui menarik napas panjang untuk menenangkan asumsi-asumsi negatif yang berhasil menguasai pikirannya. Ia menghadap keempat perawat yang ada bersamanya, menunjuk si pasien dengan jari telunjuk, memberikan kode kepada mereka untuk kembali menahan pria tersebut. Ia mendekat, mengetuk-ngetuk barrel dengan jari dan menekan kulit yang ada di lengan pria tersebut. Seperti yang ia pikirkan sebelumnya, ia merasakan otot-ototnya sangat kaku sehingga ia harus memberikan usaha lebih.

Dan kali ini tindakan pria tersebut menjadi semakin brutal. Ia kembali berteriak, mencengkeram kuat mantel putih Yui dan menariknya dengan kuat. "Menjauh dariku, psikopat! Kalian tak mengerti, kalian tak akan pernah mengerti... bawa orang ini menjauh, bawa dia pergi, aku tak tahan dengan matanya! Argh, sialan!"

Tenaga pasien ini lebih kuat dari perawat yang mencengkeram dan menahan tangannya. Entah karena keringat yang membasahi sarung tangan yang mereka gunakan atau hal lain, membuat pegangan mereka terlepas. Gerakan tersebut membuat kesalahan kecil. Ujung jarum suntik tersebut lantas meleset dari lengan ataspasien tersebut dan justru menusuk tangan kiri Yui. Ia sedikit meringis dan langsung mengambil satu langkah mundur.

Kenapa tanganku selalu menjadi korban?

"Kau ini bicara apa? Dia itu seorang dokter! Hei, tahan kedua tangannya!" seorang perawat laki-laki berlari mendekat-ia baru saja masuk ke dalam ruangan karena mendengar kegaduhan-dan segera menahan kedua tangan pria tersebut. "Dokter Kobayashi-"

Sepertinya perawat tersebut melihat bagaimana Yui mencabut jarum suntik yang menembus di antara ibu jari dan telunjuknya sehingga ia tidak melanjutkan kata-katanya dan hanya menatap Yui dengan sorot mata yang tidak bisa dijelaskan. Yui sendiri tidak peduli, jarum sekecil itu memang terasa sakit sekali saat ujung tajamnya menembus sisi lain telapak tangan. Tapi ia juga tidak bisa membiarkan jarum injeksi itu berada disana, jadi terpaksa ia menahan ngilu untuk mengeluarkan jarum itu dan membuangnya ke tempat sampah khusus.

Lagipula rasa sakit itu sama sekali bukan apa-apa daripada rasa sakit saat seseorang mencabut bola matanya dengan paksa.

Membiarkan titik-titik darah kecil yang menetes dari bekas luka tersebut, Yui mengambil satu jarum suntik yang baru dan mengisinya dengan cairan obat penenang. Hal itu kembali terjadi saat Yui berdiri tepat di samping pasien, baru saja tangannya akan menyentuh pergelangan tangannya, laki-laki itu berteriak keras. Suara teriakan itu terdengar mengerikan, membuat petugas rumah sakit yang berada di dekatnya terhenyak selama beberapa saat.

Yui tak habis pikir. Apa yang sebenarnya terjadi dengan laki-laki ini sebelumnya? Mengapa ia sampai mengalami guncangan emosional separah ini? Bahkan ekspresi ketakutan pada wajahnya bukanlah main-main. Bola mata pria tersebut seperti akan keluar dari rongganya saat ia berusaha untuk melepaskan diri dari pegangan erat dari beberapa perawat laki-laki yang semakin menahannya agar tidak meloncat dari brankar.

"Ini tidak bisa dilanjutkan lagi. Dokter Kobayashi, maafkan aku. Tapi sepertinya pasien yang satu ini tidak bisa kau bantu."

Meletakkan buku American Psycho pada rak buku, Ten menghentikan langkahnya tepat di depan kamar, sengaja menahan kakinya saat ia menapak lantai agar ia tak menghasilkan terlalu banyak suara tiap kali ia berjalan. Di dorongnya pintu tersebut sedikit, memasukkan kepalanya untuk mengintip dari balik pintu yang setengah terbuka. Seberkas cahaya dari ruang tamu masuk dengan sopan ke dalam kamar tanpa penerangan tersebut. Meskipun matahari dapat dikatakan sudah naik di posisinya, cahayanya tidak akan mampu menembus tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya.

Kobayashi ada disana, masih dengan dengkuran lembut yang sayup-sayup terdengar dari ambang pintu. Perempuan itu terlelap dalam posisi yang lucu. Seperti landak, ia memeluk tubuhnya sendiri dan merapatkan lutut di dada. Oh... sepertinya dia kedinginan? Ten menggunakan siku untuk membuka pintu tersebut, mengambil selimut dari sisi tempat tidur dan menutupi tubuh Kobayashi dari ujung kaki hingga leher.

Mengapa Kobayashi Yui ada di apartemen Ten?

Jadi tepat setelah ia mengangkat tangannya dari pasien yang berteriak ketakutan setelah didekati olehnya. Tanpa pertimbangan apapun, ia memesan taksi melalui layanan daring dan menuju apartemen Ten-karena sebelumnya, ia tak bisa datang karena kepalanya yang terluka. Sehingga hal yang terjadi adalah, dokter ini datang di depan gedung apartemennya tepat saat Ten menuruni titian tangga dengan membawa dua kantong plastik hitam penuh sampah di kedua tangan. Melihat Kobayashi berdiri disana dengan tatapan kosong, Ten buru-buru memasukkan sampahnya ke dalam bak sampah dan mendekati Kobayashi.

Yang lebih muda baru saja akan menanyakan alasan mengapa Yui secara tiba-tiba datang ke apartemennya namun ia dibuat terkejut karena Yui tiba-tiba kehilangan kesadarannya, tepat di depannya.

Ten menghela napas sejenak, berdiri di samping tempat tidur tanpa mengatakan apapapun dan Memperhatikan wajah tidur Kobayashi yang tampak tidak tenang. Sedari tadi dahinya terus berkerut. Seperti ia mengalami mimpi buruk dan ia tak bisa bangun dari mimpi buruknya itu. Sebenarnya perempuan bermarga Yamasaki ini ingin membangunkan Kobayashi untuk mengajaknya sarapan di pukul 9 pagi, karena ia telah memasak makanan yang sedikit layak untuk dimakan pada hari itu.

Padahal biasanya Ten hanya akan memanaskan heater dan menyeduh mi instan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor. Tapi hari ini, tepat pukul tujuh, Ten sudah keluar berjalan kaki untuk membeli bahan makanan di swalayan dan kembali setengah jam kemudian untuk memasak. Toh, Ten juga tidak keberatan. Sudah lama ia ingin mencoba resep masakan yang ia lihat di YouTube, jadi inilah saatnya menguji kebolehannya dalam memasak.

Geraman lembut keluar dari bibir Kobayashi, suaranya terdengar serak sekali sekarang. Dokter itu menggeliat selama beberapa detik untuk melemaskan otot-otot yang ada pada tubuhnya. "Risa..." Yui menggumam pelan.

Ten, merasakan tekstur kasar dari perban di tangannya. Yui menggenggam tangan Ten dan genggaman itu menjadi semakin erat tanpa ada tanda-tanda ia akan melepaskan genggamannya dari tangan Ten yang tiba-tiba menolak dialiri oleh darah. Dingin. Perempuan jangkung itu meringkik tanpa suara, berteriak panik. Apa yang terjadi jika ia bangun dan sadar bahwa aku yang ada di depannya? Sial, sial. Lepaskan tanganku!

Namun tiba-tiba Yui membuka matanya. Menyadari bahwa tangan yang ia genggam terasa berbeda dengan tangan milik Risa-ukurannya satu inci lebih kecil dan tangan Risa lebih bertulang. Betapa terkejutnya ia saat ia tahu Ten tengah berdiri di hadapannya. "Tunggu-apa? Yamasaki, apa yang kau lakukan disini?"

Yui segera melepaskan genggamannya dan memaksa tubuhnya untuk duduk, terlihat sedikit panik-sekaligus panik. "Hei, hei, hei! Jika kau mendekat, satu inci saja, aku tidak akan ragu untuk memukulmu!"

Perempuan jangkung itu tak kalah terkejutnya, tentu saja. Jadi sebelum Kobayashi memukul-seperti dalam skenario buatannya-Ten segera melompat mundur keluar dari kamar. Ia menyalakan lampu dan memilih untuk berbicara dari ruang utama. "Kau berada di apartemenku, Senior Kobayashi. Kau tiba-tiba pingsan di pinggir jalan jadi aku membawamu kemari. Aku-Aku bersumpah tidak melakukan apapun, aku sudah berjanji kepada Sen-Inspektur Watanabe untuk melindungimu!"

"Tidak. Aku yakin bahwa aku ada di rumah sakit dan tidak disini," jawab Yui. Ia lalu berdiam diri sejenak, mengatur napas juga menyusun kembali serpihan-serpihan ingatan barangkali ia lewatkan sampai-sampai ia tak sadar bahwa dirinya telah berada di kamar Yamasaki Ten. Ah, sumpah! Aku hanya ingat bahwa aku masuk ke taksi... tapi tujuanku bukan kemari! "baiklah. Oke. Mungkin apa yang kau katakan itu benar."

Semakin ia mencoba mengingat kembali, semakin ia merasa frustasi karena kegagalannya untuk mencari tahu alasan dibalik terjadinya hal ini--memory loss--yang semakin hari menjadi semakin parah.

"Kau tak tampak baik. Apa itu karena luka di kepalamu? Apa yang terjadi? Siapa yang melukaimu?" kali ini Ten melangkah lebih dekat dari Kobayashi. Ia kini sedang duduk di sisi tempat tidur sembari memijat pelipisnya. Seberkas kekhawatiran muncul dari benak Ten.

"Orang yang sama dengan orang yang menghancurkan mobilku," Yui berdiri dari tempatnya duduk, kemudian mulai melipat selimut dan merapikan tempat tidur. Ten refleks hendak membantu tapi Yui menahannya dengan mengangkat tangannya ke atas. "orang itu sedang mabuk. Jadi dia tanpa sadar memukulku dengan besi."

"Kau mengingat wajahnya? Nomor registrasi pelat mobilnya, mungkin?"

"Itulah! Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya!" tanpa sadar Yui menaikkan nada bicaranya. Membuat Ten terhenyak. Melihat itu, Yui seketika merasa bersalah. Ia menyentuh bahu Ten dan berkata, "aku... tidak bisa mengingatnya, dan tak ingin mengingatnya. Jadi tolong, jangan angkat bahan pembicaraan ini lagi."

Ten membuka mulut, baru saja mengatakan satu patah kata sebelum Yui menyela, "Maaf, tapi aku ingin meminta izin untuk menggunakan toilet. Setelah itu aku akan kembali ke rumah."

"...di samping dapur,"

Dengan itu Yui meninggalkan Ten seorang diri di dalam kamar. Meninggalkan pertanyaan besar yang tengah berkecamuk di kepalanya. Ia merapatkan bibir, berusaha untuk berpikir jernih dan objektif. Mungkin memang benar ada yang salah dengan matanya. Mungkin memang benar dirinya saja yang salah melihat karena keadaan waktu itu sedang hujan deras dengan sedikit kabut.

Waktu itu ia sedang berdiri di lobi depan kantor pos. Hanya berdiri disana sembari menunggu hujan deras di luar sana reda. Sebenarnya ia bisa berlari menembus hujan untuk mencapai mobilnya yang terparkir beberapa meter ke depan. Tapi Ten tak mau membiarkan dirinya jatuh sakit hanya karena air hujan dan udara yang dingin. Saat ia melihat ke kanan, sekitar 80 meter dari tempatnya berdiri, Ten dapat melihat seseorang berjalan dengan tergesa-gesa dari gang buntu tempat pembuangan sampah milik pertokoan yang sudah lama tutup. Orang yang ia lihat itu sangat mirip dengan Kobayashi Yui jika dilihat dari rambutnya. Tapi karena kabut yang semakin tebal, Ten tak dapat melihat dengan jelas bagaimana wajahnya.

Ten menyugar surai hitam panjangnya. Ia berjalan mendekati meja dan mengambil karet rambut untuk menguncir rambutnya. "Aku harus bertanya langsung kepadanya..." gumamnya ketika Ten menutup pintu kamar dan mengambil jalan menuju dapur.

Kobayashi keluar dari kamar mandi dengan wajah dan rambut yang basah. Ia tak menyadari jika Ten sudah duduk manis di kursi meja makan, menunggu dokter tersebut dengan dua piring berisi menu sarapan lengkap. "Senior, tunggu," Ten mencoba memanggil, membuat Yui yang hendak mengenakan kembali jaketnya langsung menoleh. "aku... mencoba memasak untukmu. Aku berpikir mungkin ini akan membuat perasaanmu menjadi lebih baik, jadi..."

Ten menduga bahwa Yui akan menolak ajakannya karena ia tampak terburu-buru. Apalagi perempuan itu membiarkan ajakan Ten selama beberapa saat. Suara langkah kaki dan kursi yang digeser membuat Ten mengangkat wajahnya. Kobayashi melemparkan senyuman kepadanya.

"Terima kasih, Yamasaki. Kau pandai memasak ya?" ucap Yui. Masih tidak melepaskan senyuman dari wajahnya.

Syukurlah ia menerimanya. "Terima kasih...? Oh, makanlah dulu. Aku akan mengambil minuman hangat." Ten berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati counter. Ia menuangkan susu hangat yang ia siapkan pada dua buah gelas.

Mereka berdua makan dalam keheningan, hanya terdengar suara alat makan yang saling berdenting. Ten memiliki pertanyaan yang akan ia tanyakan kepada Kobayashi, tapi karena orang di depannya terlihat serius dengan makanannya... ia memutuskan untuk menunggunya menghabiskan makanan.

Tetapi justru, Kobayashi lah yang menginisiasi obrolan diantara mereka. "Kau bilang Risa memintamu untuk menjagaku?"

Ten mengangguk. "Dia khawatir padamu. Terutama sejak kau berusaha melukai dirimu sendiri waktu itu."

Yui terdiam, menatap kosong pada tiga potong sosis dan sebutir apel di depannya. Perasaan hangat secara tidak sopan merayap di hatinya saat mendengar hal itu-tetapi juga perasaan ngeri. Ia melakukan tindakan berbahaya itu dengan spontan. Alasan pertama; ia hampir kehilangan kendali atas dirinya sendiri sebagai host. Kedua; penampakan hantu yang menyerupai Fujiyoshi yang terus memperhatikannya.

Tapi benarkah begitu? Yui juga tahu belakangan ini ingatannya tidak bekerja dengan baik. Semuanya tercampur aduk dan menghilang di beberapa sisi. Jika itu disebabkan oleh Kobayashi lain dalam dirinya jelas ia tidak akan berada disini untuk berdamai dengan Yamasaki Ten, ia mungkin sudah melakukan apa yang ia inginkan dengan anak ini. Lagipula semuanya baik-baik saja setelah breakdown yang dia alami saat pertemuannya pertama kali dengan hantu Fujiyoshi-selebihnya tidak ada lagi.

Kecuali...?

Tidak mungkin, apa yang dikatakan dokter waktu itu benar. Hal tersebut sangat jarang terjadi dan hampir mustahil juga.

Dokter itu menggelengkan kepalanya, menepis pikiran-pikiran buruk dari kepala dan memutuskan untuk tidak menjawab lagi. Tetapi Ten masih tidak menyerah. Ia kembali bertanya, "Senior Kobayashi, apakah kau mengonsumsi sejenis obat?"

Oh, ternyata memang benar alasannya kembali ke rumah adalah untuk memastikan obat milikku. Anak ini mencurigaiku rupanya.

"Kobayashi--Junior Yamasaki. Panggil aku Kobayashi, atau Yui--itu lebih baik. Kita sudah tidak berada di Akademi, bukan? Dan jawaban pertanyaanmu itu... aku harus menggunakan obat-obatan untuk menjaga kewarasanku. Ada apa dengan itu?"

"Apa yang terjadi kepadamu mungkin juga adalah efek dari penggunaan obat itu. Mungkin kau harus sedikit menguranginya?" jawab Ten, dengan polosnya.

Tanpa sadar ia melepaskan gelakan pelan. Tapi Yui sempat menutupi mulutnya dengan punggung tangan. Membuatnya seolah-olah membersihkan noda yang ada di sudut bibirnya. Selain sedikit lucu dan canggung, Yamasaki rupanya juga sangat polos. Mengurangi konsumsi obat dia bilang? Anak ini sepertinya sangat ingin bertemu dengan orang itu.

Dengan sedikit menahan senyum di sudut bibir, Kobayashi mengangguk-anggukkan kepalanya dan memilih untuk tidak memberikan respon verbal. Ia mengangkat gelasnya dan menenggak habis seluruh isinya dalam beberapa detik. Ia juga memperhatikan keseluruhan tempat tersebut, mulai dari ruang utama yang berseberangan langsung dengan dapur hingga pintu kamar yang memiliki plakat emas dengan ukiran nama diatasnya.

"Morita Hikaru?" ia bertanya, mengeja ulang nama yang pada permukaan logam yang menempel pada bagian atas pintu. "aku... turut berduka atas kematiannya. Dia orang yang baik meskipun kami berdua jarang berinteraksi. Seingatku ia lebih dekat dengan Moriya, teman dekat Yuuka."

"Seperti yang aku katakan, sejak ia meninggal aku memutuskan untuk menempati apartemennya. Tempat ini tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia disini. Termasuk catatan-catatan yang ada di tempat kerjanya."

Kobayashi menyelesaikan suapan terakhirnya dengan cepat kemudian mengambil selembar tisu untuk membersihkan noda sisa makanan di mulutnya. "Catatan?"

"Catatan..." Ten mengoreksi ulang. Terkejut saat Kobayashi mengambil piring kosong di depannya dan mencuci piring mereka berdua. Ten sempat akan berdiri dan mengambil alih pekerjaan itu karena ia tahu kedua tangan Kobayashi terluka, tapi sekali lagi, Kobayashi memintanya untuk diam di tempat. "ia pernah menjadi pembunuh bayaran sebelumnya. Dan ia berhenti untuk memburu Rei karena ia telah membunuh ayahnya."

Ten berjalan kembali menuju ruangan dengan pintu tertutup di samping kamarnya. Pintunya berwarna lebih gelap dari pada pintu lainnya dan Yui sempat mengira itu adalah kamar khusus tamu atau lainnya. Tapi saat Ten membuka kunci pintu dan mendorongnya terbuka, Yui sangat terkejut dengan apa isi sebenarnya dari kamar tertutup itu.

Foto-foto yang sedikit mengganggu, kliping, potongan artikel menempel dan memenuhi satu bagian dinding kamar. Beberapa foto menampakkan sosok tubuh berdarah dengan wajah yang membuat siapa saja tak betah untuk melihatnya lebih dari tiga detik. Yui sendiri sudah terbiasa dengan darah jadi ia sama sekali tidak merasa gentar saat melihat temuan-temuan aneh disitu. Suara lain terdengar, Yui menoleh dan mendapati Ten sudah menyibak karpet bulu yang menutupi lantai dan menarik sesuatu seperti pintu kecil, mungkin? Sebenarnya tidak terlalu kecil karena Yui memperkirakan besarnya cukup untuk dimasuki orang dewasa.

Rupanya itu adalah tempat penyimpanan khusus dengan kotak kayu yang ditanamkan di dalam. Siapapun yang membuatnya sepertinya memiliki insting yang bagus agar lubangnya tidak menembus ke lantai bawah. Kembali pada kotak aneh itu, Ten membuka kotak tersebut dan berjalan menjauh--memberi kesempatan bagi Yui untuk melihat sendiri isi kotak.

Yui menatap Ten sekilas, kemudian memajukan tubuhnya dan mengintip apa yang ada di dalam. Bau busuk bercampur dengan bau karat besi yang aneh memaksa masuk ke dalam hidungnya. Bau itu berasal dari pisau-pisau berbagai ukuran yang tampak menguning, beberapa yang lain masih terlihat bagus dengan noda berwarna merah tua yang terlihat tebal. Yui yakin tidak ada dari pisau itu yang masih bisa digunakan dan ia juga sangat yakin tidak akan ada orang yang mau menggunakan pisau itu.

"Semuanya adalah milik Hikaru semasa ia hidup. Pisau-pisau ini mungkin berkarat tapi kau masih bisa mencium busuknya." Ten berusaha menerangkan, memberikan penjelasan pada Yui yang masih sedikit syok.

Melawan bau busuk yang semakin menguar dari dalam, Yui berjongkok di samping kotak dan menyalakan flashlight dari ponselnya. Ia memperkirakan, ada tujuh buah pisau. Empat pisau berukuran besar dan tiga lainnya lebih kecil. Sekecil jari. "Ini bau manusia." ucapnya. Ia memperhatikan foto-foto di dinding dan melanjutkan, "bau mereka. Ini bau orang mati."

Ten melangkah cepat, berniat untuk menutup kembali kotak tersebut karena baunya yang semakin menjadi-jadi. Ia bisa pingsan saat itu juga karena bau dan membayangkan apa yang dibuat oleh pisau-pisau itu dari pemiliknya terdahulu. Saat tangannya sudah menyentuh tutup kotak, tiba-tiba Kobayashi mencengkeram pergelangan tangannya. Menahannya.

"Kobayashi...?"

"Selama ini kau hidup bersama dengan bau mayat. Berani sekali." Ia melihat Kobayashi mengendikkan bahu dengan pandangan lurus ke depan. "Dia sepertinya memiliki latar belakang yang menarik, Yamasaki. Aku ingin kau bercerita lebih lanjut padaku tentang Morita Hikaru." Mendengar itu, Ten merasa agak ragu untuk mengangguk setuju. Pasalnya, bagaimana mungkin Kobayashi tidak tahu tentang Hikaru? Apakah ia tidak mendengarnya dari anggota The Elites lain, atau Moriya, misalnya? "juga tentang Inspektur Polisi yang kau katakan tadi."

Inspektur polisi siapa yang dia maksud? Watanabe Risa?

"Aku ingin kau berada dekat denganku, Yamasaki. Kita berdua sama-sama calon korban, bukan? Sehingga mungkin lebih baik bagi kita untuk saling bekerja sama dalam hal melindungi." Yui tiba-tiba berkata. Ia menegakkan tubuhnya, mengambil sebilah pisau berkarat dari dalam kotak dan menatap Ten dengan sangat serius. "termasuk melukai... kau mengerti?"

Eh? Tubuh Ten mendadak membeku saat itu juga. Sementara bibirnya terasa sulit digerakkan membuatnya jatuh ke dalam kebisuan yang menakutkan. Ia dibuat tidak bisa berbicara, seperti dimatikan oleh orang di depannya. Otaknya tak perlu mengirimkan rangsangan pada seluruh anggota geraknya untuk mengambil jarak aman karena radar dalam dirinya telah membuatnya sadar jika aura dari dokter ini tiba-tiba berubah. Tapi kenapa... tiba-tiba begini?

"Pisaunya, Kobayashi. Turunkan pisau itu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika kau tidak menurunkannya dengan segera." Ten dapat mengetahui Yui terlihat muram selama beberapa detik karena suaranya yang bergetar hebat. Ia yakin bahwa Yui tidak bermaksud seperti itu tapi tetap saja. Siapa tahu pisau itu akan bersarang di dadanya beberapa saat lagi.

"Apa yang terjadi? Kau akan menusukku dengan salah satu pisau ini, ya?" Yui membalas. Suasana di dalam ruangan itu seketika berubah menjadi semakin berat karena ekspresi dari kedua orang ini yang menjadi semakin serius. Seolah mereka akan saling mencakar satu sama lain sekarang. "ada apa dengan wajah itu. Kau takut denganku?"

Ten mengerutkan dahi sekaligus menggelengkan kepalanya. "Dimana kau berada pada rentang waktu pukul lima hingga tujuh malam?"

"He'eh." Yui menggumam. Ia mengembalikan pisau berkarat itu di dalam kotak, kemudian menutupnya kembali seperti semula termasuk dengan karpet bulu di bagian paling atas. Setelah itu Yui berjalan mendekati Ten yang tampak sekaku tiang listrik, ia tahu Ten semakin menegang saat ia memojokkan Ten pada dinding. "ternyata kau memang mencurigaiku selama ini."

Ten mengerjap. Demi Tuhan. Nyawanya seperti ditarik dari pucuk kepalanya, meninggalkan kakinya yang bergetar hebat untuk menopang tubuhnya yang tak berdaya. Ia menatap langsung pada mata coklat Kobayashi, kali ini dengan raut wajah ketakutan yang begitu nyata tanpa ada topeng yang menutupinya. Ia bahkan nyaris tak bisa berkata-kata. Hanya membiarkan bibirnya terbuka tanpa berani untuk menyuarakan seluruh pikiran yang mengganggunya saat seorang predator berdiri tepat di depannya.

Dan itu menyakiti hati Yui saat ia menyadari bahwa sebenarnya Ten menyimpan rasa takut saat berhadapan dengannya. Tapi, kenapa?

"Saat itu sedang dalam perjalanan kemari dan saat itu juga aku mendapatkan luka di kepalaku ini." Yui menunjuk bekas luka di dahi kirinya. "tapi aku ingat bahwa aku kembali ke bengkel pada pukul lima lebih sedikit karena mobil itu rusak parah."

Mobil yang rusak?

"Aku akan menjaga rahasiamu, Yamasaki Ten. Kau tahu sendiri polisi bahkan tak bisa diandalkan dalam hal seperti ini." Yui tertawa pelan, dengan nada mengejek. Ten dapat mendengar Yui menggumam saat ia mengenakan jaket dan lewat di belakang tubuhnya. Ia hanya dapat mendengar, tapi sama sekali tidak memahami apa yang ia katakan.

Tidak. Tidak. Tidak... Aku tidak bermaksud seperti itu. Jangan melihatku dengan tatapan seperti itu, Yamasaki!

Si Yamasaki yang sempat membeku di tempatnya berdiri seketika dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Ia segera menyusul dan mencoba untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi sangat berat dan kaku. "B-Biarkan aku mengantarmu,"

"Tidak perlu. Mereka bilang mobilku sudah bisa diambil hari ini jadi aku akan langsung datang. Lagipula kau akan menghabiskan banyak waktu jika kau ingin mengantarku bolak-balik, Yamasaki." Yui menggeleng, memasukkan ponsel ke dalam saku jaket, ia melanjutkan, "dan kau bisa terlambat datang ke rumah Yuuka."

"...tidak kok,"

Tapi perempuan di depannya itu masih menolak niat baik Ten dan malah berjalan melewatinya menuju pintu depan.

Tidak. Ini salah. Senior Sugai berkata jika pertemuan di rumahnya adalah rahasia. Lantas kenapa bisa Kobayashi tahu jika aku juga diundang? Dan lagi, kenapa tiba-tiba aku merasa seperti berbicara dengan dua orang yang berbeda dalam satu waktu yang sama? Jika Kobayashi sudah kembali sebelum aku berteduh di lobi kantor pos, lantas siapa sosok yang aku lihat saat itu?

Doppelganger?

Ten membiarkan pertanyaan itu berputar di kepalanya. Dengan langkah yang sedikit ditahan ia mendekati Kobayashi. Ikut bersandar pada dinding gedung apartemen, menyadari kedua tangan Kobayashi mengepal kuat di sisi tubuhnya.

"Aku memiliki pertanyaan terakhir, jika kau tidak keberatan." Si Yamasaki kembali bertanya. Kali ini dengan suara lebih kecil. Ia melirik ke samping, mendengar Kobayashi menggumam sebagai tanda persetujuan. "jadi... Kobayashi Yui, The Elites..."

Yui mengerjap, seketika memutar lehernya menghadap Yamasaki. Perempuan muda itu tampak sangat serius dengan ucapannya, tak terkecuali tatapan dari sepasang iris gelapnya yang dalam.

"Apa yang terjadi pada malam itu, apa yang mereka lakukan pada Morita... katakan semuanya padaku."

Pangkal hidung Kobayashi berkedut sekali setelah mendengarkan pertanyaan Yamasaki. Untuk apa anak ini menanyakan hal itu secara tiba-tiba? Pikirnya. Ia tidak tahu harus menjawab seperti apa karena memang seperti itu adanya. Ia tak mengerti apa yang terjadi pada seorang Morita Hikaru karena Kobayashi yang ada pada waktu itu bukanlah dirinya-atau dengan kata lain, kepribadiannya yang lain. Risa juga tak terlalu banyak bicara dan menyebutkan tentang apa yang terjadi pada gadis itu setelah keadaan memasuki masa tenang.

Satu yang ia ingat; Morita Hikaru adalah salah seorang eksekutor yang telah membunuh Matsuda Rina. Ia memang sudah meninggal dunia, tapi ia tak tahu seperti apa ia mati dan rasanya Ten tak perlu mengetahui hal itu.

Tetapi tatapan sedih Yamasaki yang tertuju kepadanya sempat membuat hatinya bergetar. Ia menatap jauh ke depan, mengabaikan wajah Yamasaki yang membuatnya tak nyaman. "Aku tidak tahu." Ya. Hanya itu jawaban yang bisa aku berikan kepadamu.














Sudah revisi dan selesai memperjelas beberapa bagian yang sedikit rancu. Jadi ada alasan kenapa chapter ini diberikan judul Lost Souls, hahahah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top