Chapter 1: Shadows In The Dark
Beberapa bulan sebelum insiden...
Sangat mudah baginya untuk menjaga ekspresi wajahnya agar tidak menampilkan terlalu banyak emosi, terutama saat melaksanakan tugas langsung di tempat kejadian perkara. Dan itu tentu berbanding terbalik dengan sersan muda yang tengah ikut bertugas bersamanya sekarang. Wanita dengan tubuh jauh lebih pendek darinya itu benar-benar seperti disiram oleh seember air. Bahkan kau dapat melihat kerah pakaian dan sarung tangan karetnya basah oleh keringat berlebih.
Mengabaikan kegugupan si anak buah, Risa melangkah dengan sangat berhati-hati agar tidak menginjak genangan darah di sekitar tubuh mayat dan berjongkok di dekatnya. Saat ia mendapatkan pandangan lebih dekat dari mayat yang nyaris busuk itu, ia dapat merasakan sersan muda di belakangnya mencicit seperti akan menangis.
"Bagaimana pendapatmu dengan yang satu ini?" ia bertanya. Menggunakan ujung pulpennya untuk menekan-nekan tubuh mayat. Yang ini sudah mati tiga hari lalu, dan baru ditemukan meskipun berada di dekat keramaian. "Aish, berhenti meringkik seperti kuda dan mendekatlah kemari, bodoh. Kau tidak akan tahu bagaimana keadaannya jika terus menerus bersembunyi di belakangku!"
Risa berkata dengan suara sengit, sontak membuat polisi itu terkesiap dan segera mendekat di samping Risa. Wanita tinggi itu membiarkan bawahannya mengobservasi mayat sebelum membiarkan petugas medis membawanya untuk di otopsi sementara ia membawa dirinya untuk menemui polisi lain yang sepertinya ingin menyampaikan sesuatu kepadanya.
"Kepala Inspektur." Polisi itu memberikan hormat kepadanya, sebelum menyerahkan amplop coklat berisi beberapa lembar foto. "Barang-barang ini ditemukan di dalam tempat sampah, sekira lima belas meter dari lokasi mayat."
Risa memperhatikan dan membolak-balik foto itu sejenak, awalnya tidak memperhatikan kegaduhan dari mobil polisi beberapa meter di belakangnya. Terdapat seorang pria dengan pakaian berantakan berteriak dan meronta-ronta saat polisi memaksanya masuk ke dalam mobil.
"Aku tidak ingin ada salah penangkapan lagi kali ini." Risa memutar kepalanya untuk menghadap petugas polisi di depannya dengan tatapan dingin selama beberapa saat. "Tapi kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencari tahu, benar?" ia berjalan melewati petugas tersebut dan berkata lagi. "Bawa dia ke kantor."
"Baik."
Risa pun kembali ke polisi muda tadi, nampaknya ia sedang berbincang dengan seorang penyidik dari kantor polisi setempat. Wanita berambut pendek itu membiarkannya berdiskusi dengan penyidik tersebut sementara ia mengambil waktunya untuk menyelidiki mayat lebih dekat. Ia beruntung karena penemuan mayat terjadi pagi-pagi buta sehingga tidak banyak orang yang lewat untuk sekedar melihat dan mengganggu penyelidikan—terutama wartawan penasaran itu, bagi Risa mereka hanya lalat yang mengganggu pekerjaannya.
Kondisi mayat kali ini mungkin sedikit berbeada dengan penemuan mayat sebelumnya—yang ia maksud adalah Pembunuhan Berantai Black Mail—yang cenderung lebih brutal dan sadis sehingga ia berpikir pembunuhan kali ini tidak memiliki hubungan apapun dengan kasus tersebut. Tapi, tidak. Ia tidak bisa membuat keputusan begitu saja. Sebab, siapa tahu si pembunuh sengaja mempermainkannya seperti yang sering dilakukan oleh pembunuh berantai pada umumnya.
Risa dapat mengidentifikasi mayat yang ia temukan kali ini sebagai seorang pegawai kantor laki-laki, jika dilihat dari celana hitam, kemeja putih dan sepatu kulit hitam yang ia kenakan. Sedangkan dari kondisi fisik yang tampak oleh mata telanjang, seperti dari tekstur dan rona kulit, Risa memperkirakan korban telah meninggal beberapa hari yang lalu sebelum akhirnya diletakkan dalam kardus di pinggir jalan agar mudah ditemukan. Jika memang keadaannya seperti itu, maka...
Risa kemudian dengan berhati-hati membalik tubuh mayat yang sangat kaku dan dingin itu, menarik kemeja putihnya ke atas untuk melihat adanya lebam di leher ataupun bagian punggung. Ia mengernyit curiga, dugaannya terbukti. Di punggung mayat terdapat banyak sekali lebam-lebam yang telah membiru. Selain itu, ia juga mendapati sebagian besar kulit yang tertutup pakaian menunjukkan rona kemerahan.
Itu berarti korban kali ini dibiarkan mati dalam keadaan hipotermia berat, disimpan selama beberapa hari di tempat yang sangat dingin baru kemudian di tinggalkan disini. Risa membiarkan pikirannya melayang-layang dalam berbagai asumsi. Pantas saja mayat ini belum terlalu membusuk.
Anak buahnya, Ozeki, mendekati Risa untuk menyampaikan informasi dari si penyidik langsung terkejut ketika untuk melihat wanita itu mulai menggeledah pakaian mayat. "Inspektur! Hei, kau tidak boleh melakukan itu! Kau bisa merusak mayat dan menghilangkan bukti-bukti yang menempel pada tubuhnya!"
Risa mendengus, tidak mempedulikan ucapan rekannya dan terus menggeledah meskipun akhirnya ia tak dapat menemukan apapun disana.Itu berarti bukti yang dapat ia ketahui untuk saat ini adalah bagaimana cara si korban meninggal, dan ia masih belum menemukan petunjuk yang dapat mengarahkannya pada si pelaku. Ia berdiri, memberikan kode pada petugas forensik untuk melakukan tugas mereka.
"Penyidik itu mengatakan padaku bahwa akhir-akhir ini terdapat beberapa kali penyerangan di kantor polisi. Mereka mengira itu serangan teroris sehingga mereka mengerahkan hampir seluruh pasukan untuk menjaga kantor polisi." Ozeki menjelaskan. "Hebat sekali mereka membuat kekacauan di kantor polisi dan berhasil mengalihkan perhatian untuk melakukan pembunuhan ini."
Ia menyadari terdapat sedikit perubahan ekspresi di wajah Risa, tetapi ia memilih untuk tidak membahasnya terlebih dahulu.
"Kita beruntung pembunuh itu tidak memotong-motong tubuhnya. Akan sangat menyulitkan jika kita harus mencari di penjuru kota untuk menemukan potongan tubuh." Risa tersenyum miring. Campuran dari senyuman sebal dan meremehkan. "Kita harus kembali ke headquarter dan melanjutkan penyelidikan."
Risa berjalan melewati beberapa petugas yang sibuk membersihkan sisa-sisa darah dari tempat kejadian, mengangkat tape kuning dan sedikit membungkuk saat melewatinya agar ia dapat masuk ke dalam mobilnya. Ozeki membuka pintu mobil dengan sedikit lambat, membiarkan tangannya berada di gagang pintu selama beberapa detik untuk memperhatikan pekerjaan petugas lapangan bersama dengan tim forensik sebelum ia memutuskan untuk menarik pintunya terbuka.
Suasana di dalam mobil terasa lebih melegakan. Aroma kopi dan roti matcha yang lembut masuk ke dalam hidungnya dengan sopan. Setiap kali mereka bertugas pagi-pagi buta seperti ini, Risa selalu membeli dua buah kopi kaleng, satu paket dengan roti beraroma nikmat dengan alasan ia akan mendapat potongan harga apabila ia membeli dua. Itulah yang membuat Ozeki betah bekerja dalam satu tim bersama perwira muda yang paling ditakuti oleh para sersan junior. Mengesampingkan fakta bahwa Risa adalah siswi dari kelompok Elites yang dulu harus ia hindari.
Heh, siapa sangka mereka bertemu kembali di kantor pusat NPA hingga akhirnya Ozeki dipindahkan untuk bergabung ke dalam tim penyelidikan kejahatan berat yang dipimpin oleh Risa.
Risa meraih bungkus kertas rotinya dan mengambil satu gigitan penuh dan mengunyahnya sebentar sebelum menelannya bulat-bulat. Sementara satu tangannya memegang bungkus roti, tangannya yang lain memegang erat roda stir. Mobil semakin bergerak menjauh dari lokasi tadi, dan Risa tidak perlu menyalakan lampu rotator karena kondisi jalan tidak terlalu ramai.
"Risa." Ozeki memanggilnya.
"Hm?"
"Sejak pertama kali aku melihatmu di HQ, selalu ada pertanyaan yang ingin sekali aku tanyakan kepadamu. Kenapa kau memutuskan untuk bekerja disini? Maksudku, di divisi kriminal? Kau bisa saja meminta bantuan ayahmu untuk menempatkanmu di jajaran petinggi. Duduk di belakang meja, melihat notifikasi uang keluar masuk dari ponselmu daripada berada disini melihat mayat yang tak utuh."
Risa menarik napas panjang. Ia tak serta merta menjawab pertanyaan Ozeki secara langsung, melainkan membiarkan pertanyaan itu mengambang tanpa jawaban. Dimasukkannya setengah sisa roti ke dalam mulutnya sebagai alasan yang tepat bahwa ia tidak dapat menjawab karena harus mengunyah.
"Omong-omong saat kau dewasa nanti, kau ingin menjadi apa?"
"Kupikir aku akan bergabung dengan kepolisian."
Ah... Fujiyoshi. Seandainya kau masih ada disini mungkin kau akan mengejekku dengan kata-katamu yang tajam itu. Kau juga akan tertawa kepadaku ketika melihat betapa jauh aku berjalan dan masih sedikit yang dapat kugenggam. Risa meremas bungkusan kertas roti dan memasukkannya ke dalam saku celana. "Tidak ada alasan khusus." Ia menjawab singkat.
Ia dapat mendengar Ozeki tergelak di sampingnya. "Kau serius?" Wanita berambut pendek itu melepaskan topinya dan meletakkannya di atas dashboard mobil, kemudian menyesap cairan hitam manis dari kalengnya. "Sepertinya tidak terlihat sesederhana itu."
"Itu hanya ucapan tak berarti dari seorang anak remaja." Dengan kesal Risa akhirnya menjawab. Memutar roda kemudi untuk membelokkan mobil ke area parkir kantor, ia sempat melirik Wanita di sampingnya yang tengah mengangguk-angguk. Huh... tidak berharga, ya? Apa sih yang aku katakan barusan.
Obrolan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan itu tertunda ketika mobil berhenti di area parkir personel NPA. Ozeki kembali memakai topinya dan Risa telah mencabut kunci mobil, tangan kanannya telah setengah mendorong pintu mobil terbuka. Kedua polisi berbeda pangkat itu tidak menghabiskan waktu mereka. Setelah apa yang mereka lalui sebagai pelayan masyarakat, muncul sebuah kesadaran tentang tiap detik waktu dan keputusan yang mereka buat memiliki pengaruh luar biasa besar terhadap nyawa manusia. Siapapun itu.
Tiba di lantai tiga, di depan ruangan tempat timnya berkumpul untuk menyusun strategi ataupun bekerja, Risa menggeser pintu kaca gelap untuk memasuki ruangannya. Tapi sayangnya, pintu itu menolak untuk terbuka dan justru mengeluarkan suara keras. Risa hampir lupa jika ia harus menempelkan kartu tanda anggota pada mesin pemindai. Ia segera mengeluarkan kartu miliknya dan menempelkannya pada mesin, tak butuh waktu lama bagi mesin tersebut untuk membiarkan kunci pintunya terbuka.
Suara keras disusul oleh kaca yang bergetar membuat orang-orang yang tengah memilah kertas dan berdiri di depan papan sontak mengalihkan atensi mereka pada sumber suara dengan wajah terkejut. Ozeki melemparkan senyuman pada mereka sebagai bentuk permintaan maaf dengan canggung.
"Ah, Kepala Inspektur." seorang wanita berpakaian sipil mendekati Risa yang berjalan tanpa suara untuk menyalakan komputernya. Sayangnya, seolah rekan kerjanya berupa entitas tak nampak, Risa sama sekali tak menggubrisnya. Sekedar menoleh atau bertatapan saja tidak.
Merasa tidak didengar, wanita tadi mencoba untuk memanggil sekali lagi. "Kepala Inspektur Watanabe Risa? Apakah kau merasa baik-baik saja?"
Risa tersentak. Tapi ia tetap menunjukkan wajah tanpa ekspresi. Pikirannya meninggalkan kepalanya tadi sehingga ia sama sekali tidak mendengar panggilan rekannya.
"Pak Mayor memintamu untuk datang ke ruangannya." Ia melanjutkan begitu Risa memutar kepalanya untuk menatap. "Kau baik-baik saja?"
"...oh. Maaf, Onuma." Risa menjawab singkat. Ia sekilas melihat layar komputernya sebelum berjalan mendekati papan yang penuh dengan kertas-kertas dan foto. "Harada, kau mengikuti perkembangan proses otopsi korban. Ozeki, Onuma kalian periksa kamera keamanan sampai radius 25km dari TKP."
"Baik," tatapan mata Harada mengikuti arah gerak Risa keluar dari ruangan. Keheningan menyelimuti ketiga petugas itu selama beberapa detik sebelum ia bersuara lagi. "sial... dia benar-benar mimpi buruk." Kedua rekannya hanya tertawa kecil sembari menggeleng-gelengkan kepala sementara Harada bergidik ngeri saat mengingat kembali bagaimana suara dingin Watanabe Risa ketika memberikan tugas pada mereka.
Risa memang terkenal sebagai sosok yang dingin dan sangat disegani di kantor. Lulus dari akademi kepolisian, dan langsung mendapatkan tanda jasa setelah berhasil menggagalkan perampokan dan penyanderaan di Bank. Kepribadiannya yang cakap, professional, dan tak kenal takut membuat Mayor Jenderal Kepolisian memberikannya mandat untuk memimpin satu kelompok kecil yang bertanggung jawab atas kasus kriminal pembunuhan.
"Sudahlah. Kau tahu sendiri jika sejak dulu dia memang seperti itu. Sebenarnya dia baik, aku baru saja diberi roti dan kopi gratis saat perjalanan kemari." Ozeki menyahut. Melirik Onuma yang sedang menatapnya dari balik layar komputer, kepalanya berpangku di punggung tangan.
Onuma memutar kursinya ke arah pintu kaca, mengangkat tangannya untuk memberikan gestur segera keluar atau aku akan menendang bokongmu pada Harada. "Sebelum Risa kembali dan menemukanmu masih berdiri di tempatmu." Ucapnya dengan nada mengejek.
Harada tersenyum kecut, jika saja Onuma tidak memiliki pangkat lebih tinggi darinya mungkin ia akan melemparkan bolpoin ke wajahnya. Jadi sebagai pelampiasan kekesalan yang disebabkan oleh wajah tengil Onuma, Harada hanya dapat memutar bola matanya dengan malas. Ia pun mengambil jaketnya dan beranjak keluar, menggeser pintu kaca dengan cepat dan berlalu meninggalkan ruangan.
"Aku merasa iba dengan Risa. Peristiwa berdarah itu benar-benar mengubahnya menjadi lebih gelap. Ditambah lagi ia sedang dalam masalah pribadi dengan Yui." Ozeki berkata saat ia menggeser kursinya mendekati Onuma.
Sersan dengan huruf kanji Onuma yang terukir di plakat kartu tanda anggota yang menggantung di dadanya itu kemudian mengabaikan pekerjaannya sejenak, menoleh pada Ozeki. "Yui?" Onuma diam sejenak, mencoba mengingat-ingat siapa sosok pemilik nama tersebut. "Kobayashi Yui si bajak laut?"
"Sialan, Onuma Akiho. Kau tidak tahu apa yang terjadi pada matanya." Ozeki menjawab. Menampar kecil belakang kepala Akiho.
"Tinggi sekali bicaramu. Memangnya kau tahu apa yang terjadi dengan mata kanan Kobayashi?"
Ozeki menggeleng pelan. "Tidak. Malahan, aku berpikir jika lebih baik kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka di malam itu."
BUG
"Satu! Dua! Tiga! Em—!"
Ia mengeluarkan erangan frustasi saat mendengar angka-angka hitungan itu mulai disebutkan. Saat ia mencoba bangkit, dunia seolah dibalikkan, dibanting ke bawah dan membuatnya kembali jatuh berdebum di atas ring.
Pukulan yang menyasar kepalanya tadi cukup membuat Yui terhempas dengan kepala menghantam lantai ring yang dilapisi karet tebal. Tidak terlalu keras memang, namun benturan tadi membuat isi kepalanya berguncang hebat dan membuatnya ling-lung selama beberapa detik. Ia bahkan tak menyadari bahwa wasit sudah mendekati hitungan terakhirnya—dan jika itu selesai, maka Yui akan kalah.
Ia mengepalkan tangan, mengabaikan kepalanya yang seperti akan meledak untuk memaksa tubuhnya berdiri berpegangan pada sisi ring. Yui memukulkan kedua tangannya dan kembali memasang posisi bertahan, tatapan tajamnya memperhatikan tiap pergerakan lawan. Saat lawannya melakukan gerakan memutar seperti seekor hiu yang hendak menyerang, Yui melakukan pivot agar tidak melepaskan kontak mata. Mendadak sang lawan berhenti bergerak, dan dengan tiba-tiba melesat untuk melayangkan pukulan telak menyasar rahang bawah. Tidak ada waktu untuk menghindar sehingga Yui terpaksa membiarkan pukulan itu menghempaskan helm miliknya, sedetik kemudian, ia langsung melemparkan pukulan uppercut dan wide hook dengan sangat keras.
Pelindung gigi lawannya terlepas begitu saja disusul oleh tubuhnya yang jatuh berdebam ke belakang. Yui terengah, sepertinya kali ini ia terlalu menganggap serius latih tandingnya. Ia melihat pelatihnya tengah berusaha membangunkan lawan mainnya yang kini sedang terkapar tak berdaya di tengah ring. Beberapa kali pula pria kekar itu menepuk-nepuk wajahnya, memastikan petinju itu masih memiliki kesadaran tersembunyi di dalamnya.
Pukulan tangan kiri Yui terlampau keras dan mematikan untuk ukuran seorang wanita di liga underground. Bukan pemandangan baru jika ada lawan tandingnya berakhir jatuh tidak sadarkan diri ataupun menyerah dengan lebam di wajah lengkap dengan darah mengalir dari hidung dan telinga. Perlu bertahun-tahun bagi Yui dan latihan rutin yang cukup keras untuk menguasai teknik pukulan tangan kiri yang sempurna. Ia terpengaruh oleh ucapan sang pelatih yang mengatakan bahwa pukulan tangan kiri memiliki power yang lebih kuat dari pukulan tangan kanan, meskipun keduanya sama-sama memakai teknik yang sama.
Hingga sebagai akibatnya dalam setiap pertandingan, ia hampir selalu menggunakan pukuran tangan kiri yang sangat kuat sebagai finisher untuk melampiaskan setiap emosi yang bercokol di dalam kepalanya.
Membiarkan darah menetes dari bibirnya yang robek, Yui menggantung sepasang sarung tinjunya di pergelangan tangan kiri dan melangkah mendekati lawan tandingnya yang mulai mendapatkan kesadarannya. "Kau membuatku kewalahan tadi. Hebat sekali." Yui berucap. Ia memberikan bantuan kecil agar rekannya itu dapat berdiri sempurna.
Setelah mendengarkan beberapa arahan dari pelatih, Yui memutuskan untuk pamit lebih dulu pada rekan-rekannya yang lain. Menghabiskan beberapa menit basa-basi, Yui akhirnya dapat membawa tungkainya menyusuri lorong menuju ruang loker dan melepaskan pelindung gigi. Ketika ia mengepalkan tangan, dapat ia rasakan kain perban yang membebat telapak tangannya telah basah oleh keringat. Ia terhenyak, nyeri di bagian dalam kepala mendadak menyerang.
Sudah lama Yui tidak merasakan sakit kepala seperti itu, mungkin terakhir adalah satu tahun atau delapan bulan yang lalu? Entahlah. Yui selalu meminum obat-obatannya dengan rutin jadi ia tak terlalu ingat kapan terakhir kali ia merasakan gejala ini.
KLANG
Pukul sembilan kurang. Sebagian besar orang telah meninggalkan gym sejak satu jam yang lalu sehingga wajar saja apabila ruang loker yang biasanya ramai oleh orang-orang yang mengobrol kini berubah hening. Bahkan suara tarikan yang ia lakukan untuk membuka lokernya menggema di ruangan lebar itu.
Yui mengambil dan mengenakan hoodie miliknya. Tentu saja setelah mengelap dan meneringkan keringat. Ia tidak ingin membuat tubuhnya lengket. Esok adalah hari libur dan ia tak memiliki jadwal apapun di rumah sakit. Kali ini ia berpikir untuk tidak berhenti untuk membeli makanan hangat dan memilih untuk beristirahat di rumah untuk bangun di hari berikutnya.
Kepalanya masih berdenyut saat Yui masuk dan menempatkan diri di balik kemudi mobil. Itu membuatnya frustasi. Memang sudah seharusnya olahraga berbahaya itu tidak ia jalani—terutama di usianya yang akan menginjak kepala tiga dalam tiga tahun.
"Argh... sialan." Umpatnya. Tangannya meraba-raba dalam gelap untuk membuka dashboard mobil, berusaha mencari botol obat cadangan yang ia letakkan disana. Begitu tangannya menyentuh permukaan botol tak butuh waktu lama bagi Yui untuk menumpahkan beberapa butir isinya ke dalam mulut.
Ia terengah. Menyandarkan kepalanya pada kaca mobil dengan pandangan lurus ke depan. Sedetik kemudian matanya menangkap suatu sosok—bayangan manusia. Hitam, gelap. Yang semakin lama semakin mendekati mobilnya. Yui mengerjap. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat adalah sesuatu yang tak nyata.
Namun, sekeras apapun usahanya untuk membujuk dirinya sendiri. Ia tak bisa menyangkal bahwa sosok hitam transparan tersebut telah berubah menyerupai orang yang sangat ia kenal. Sosok berpakaian putih bersih, dengan rambut pendek sebahu dan sorot mata teduh.
"Karin...?" ucap Yui ditengah napasnya yang tersendat-sendat. Ia tidak mengerti. Apa yang terjadi? Ia melihat hantu atau ia memang sedang berhalusinasi? Tapi jika memang ia sedang berhalusinasi, mengapa sosok tersebut tampak begitu jelas?
Yui.
Yui semakin tidak karuan. Suara barusan... sangat mirip dengan suaranya. Apa dia sudah benar-benar gila sekarang?
Sosok tersebut kini berdiri tepat di depan mobilnya. Dengan sorot mata kosong ke arahnya. "Apa... kau itu apa...?" ucapnya dengan terbata-bata.
Pergi.
"Pergi? Ke mana?"
Masih tidak percaya apa yang terjadi kepadanya, dengan kepala kosong ia menjawab kalimat yang diucapkan makhluk tersebut. Akan tetapi, sosok tersebut tidak memberikan jawaban lagi seperti yang ia inginkan. Melainkan hanya memiringkan kepalanya yang seperti tak bertulang—Yui menahan napasnya ketika kepala sosok tersebut jatuh ke tanah. Bersamaan dengan darah merah yang mengalir turun dari leher dan membasahi seragam putih yang ia kenakan.
Detik itu juga, terjadi hal yang akan membuat Yui semakin mempertanyakan kewarasannya. Karena saat sosok tersebut menunduk untuk mengambil kepalanya, muncul sosok-sosok lain yang mengenakan pakaian sama dengan sosok yang menyerupai Karin.
Oke, cukup. Yui berkata dalam hati. Persetan jika itu manusia hidup atau hantu. Ia akan menabrakkan mobilnya dan pergi secepat mungkin dari sana. Dengan tangan gemetar Yui menyalakan mesin mobilnya dan langsung menabrak makhluk tersebut. Kenapa mereka tidak menampakkan diri dengan bentuk yang indah-indah saja!
Sial. Kepalaku... Yui mencuri pandang pada kaca spion. Tidak ada siapapun disana. Benar-benar tidak ada tanda-tanda makhluk hidup kecuali beberapa mobil yang terparkir.
"Apa itu tadi... benar-benar hantu?"
Suara guyuran air nyaris menyembunyikan suara denting notifikasi dari ponsel yang ia letakkan di atas meja makan. Suara itu terdengar tepat setengah detik setelah Yui mematikan air keran sehingga ia tahu dan tidak sampai melewatkan pesan singkat yang masuk. Mengambil handuk untuk mengacak dan mengeringkan rambutnya, ia lantas menggeser pintu kamar mandi dan melangkah keluar untuk mengecek ponselnya.
"Astaga. Aku terlalu sibuk hingga aku lupa Yuuka baru saja keluar dari penjara..." Yui menggumam. Ia berjalan melewati ruangan tengah untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia tak memperhatikan apa yang ada di depan hingga ia menyentuh opsi panggil dan menunggu seseorang disana menerima panggilan.
"Selamat malam, Dokter Kobayashi. Sepertinya kau sedang tidak sibuk karena kau langsung menghubungiku."
"Ah, ya. Selamat malam, Moriya. Terima kasih telah mengirimkan kabar kepada—" Yui tidak melanjutkan kalimatnya. Karena tepat setelah ia mendorong pintu ruang kerjanya terbuka, matanya menangkap sosok yang seharusnya tidak ada di sana. "—ku?"
Kali ini sosok tersebut benar-benar jelas. Tak lagi berupa bayangan hitam yang menyatu dengan kegelapan. Sorot mata coklat yang menyala di balik kegelapan, memancarkan suatu gejolak emosi yang merasuk dalam jiwa. Pakaian putihnya begitu mencolok dan membuat Yui langsung mengetahui keberadaannya, insting bertahan hidupnya membuatnya merasa dalam bahaya.
Ketika sosok tersebut mengangkat kepalanya, nampaklah sebuah wajah dengan senyuman tipis terpatri disana.
"Fujiyoshi Karin?" sosok tersebut mengangkat kepalanya, menatap Yui dengan irisnya yang gelap. "Tuhan... Aku pasti sudah gila."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top