[M] Chapter 11: Negotiation and Efforts to Uncover

Seki Yumiko, The 5th Elites.
-----
[18+ for semi-sexual contents]

Yuuka memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku blazer setelah selesai mengirimkan pesan pada Yui bahwa ia sudah tiba di depan gerbang rumah Hono. Ia menghela napas sejenak, menenangkan dirinya sebelum memacu mobil mendekati gerbang rumah Hono yang tinggi. Gerbang besi hitam itu dikelilingi oleh tembok batu yang tinggi pula—Yuuka menebak tinggi tembok itu sekitar 5 meter.

Penjaga keamanan di rumah Hono sepertinya sudah cukup hafal dengan mobil Yuuka. Jadi orang itu langsung membuka gerbang tanpa perlu meminta pengemudi untuk menurunkan kaca jendela dan mempersilahkan Yuuka memarkirkan mobilnya di tempat yang tersedia. Ia melihat mobil Risa dan motor Karin sudah terparkir di halaman, jadi mungkin Yuuka adalah orang yang datang paling akhir di sana. Ia mengecek kerapihan dirinya di rearview untuk terakhir kali sebelum keluar mobil.

Begitu ia masuk ke dalam, lemari-lemari kaca besar berisi medali dan piala emas sudah menyambutnya. Di ruang tamu yang luas itu juga terpajang foto keluarga Hono berukuran besar. Yuuka sebenarnya iri dengan keadaan keluarga temannya yang harmonis, sangat berbanding terbalik dengan keluarganya yang berantakan.

Saat Yuuka tengah memperhatikan foto tersebut, sebuah tangan menepuk bahunya dari belakang dan membuatnya terkejut. Ia langsung berbalik badan dan melihat Yui menatapnya dengan tatapan lembut. "Apa yang kau lakukan?"

Yuuka hanya tersenyum. "Aku hanya kagum Hono memiliki banyak sekali emas yang terpajang di lemarinya. Aku jadi teringat medali-medaliku dulu. Tentu sebelum ayah meleburkannya menjadi satu."

Saat itu Yui ingin membalas dengan mengatakan Yuuka berbohong karena ia tidak mengatakan hal yang jujur padanya. Tetapi ia lebih memilih untuk diam dan tidak mengatakan apapun. Akhirnya ia mengajak Yuuka untuk ke lantai atas, ke kamar pribadi Hono. Mereka melewati pintu menuju ruang makan yang sangat luas, beberapa pelayan terlihat sibuk memasak dan merapikan meja makan saat Yuuka mengintip melalui celah pintu yang terbuka.

Perkelahian hebat antara Risa dengan Karin dan Hono benar-benar memberikan efek yang tidak main-main. Begitu Yuuka masuk ke dalam kamar Hono, ia sudah merasakan suasana dingin dan kaku. Tidak ada dari mereka yang mengobrol satu sama lain atau bercanda sembari bertukar hinaan seperti yang biasa mereka lakukan—yang tentunya masih dalam konteks candaan.

Jadi Yuuka tidak terkejut saat mendapati empat orang itu duduk berjauhan. Hono yang sedang patah kaki duduk di atas tempat tidur, bersandar pada dinding. Karin duduk di depan komputer, melihat Seki yang sibuk dengan apa yang ada di monitor. Sementara Risa duduk di balkon sedang membaca buku tentang pembunuhan berantai. Sepi, memang. Tetapi, meskipun mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri, itu tetap tidak bisa menyembunyikan ketegangan di antara mereka.

Yui menengok Yuuka sekilas, kemudian menggeleng pelan. Sepertinya gadis itu memikirkan hal yang sama dengannya.

"Mengapa kalian masih saling diam? Kalian itu apa, anak umur lima tahun?" Yuuka akhirnya berbicara. Ditariknya Risa dari balkon untuk masuk dan bergabung dengan yang lainnya. "kau benar-benar harus mengontrol amarahmu yang liar, Risa."

Suara Yuuka sontak membuat semua yang ada di dalam sana terdiam, mereka mulai meninggalkan urusan mereka masing-masing. Seki berdiri menuju pintu, menutupnya dan mengunci pintu tersebut lalu berjalan mendekati teman-temannya.

"Yuuka, kekhawatiran Risa menjadi sesuatu yang beralasan. Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini, tetapi ada artikel baru di blog publik milik sekolah." Seki mulai berbicara, ia kemudian berjalan menuju komputer. Ia mengetik laman sekolah di mesin pencari, kemudian menunjuk postingan pertama yang muncul. "aku tidak tahu siapa yang melakukan ini karena dia memakai akun anonim, tetapi ia mengirimkan rekaman video buram yang direkam saat Risa menuduh Karin."

Risa berdecih, dalam hati ia mulai mengutuk teman-temannya yang terlalu santai. "Biarkan saja pengkhianat itu terus berkeliaran di antara kalian." ucapnya. Secara tidak langsung, ia memang menyindir Karin. Sementara Karin hanya menatapnya tajam tanpa melakukan apapun.

Hono membuka laman tersebut dari smartphone miliknya sendiri. "H—Hei... kenapa mulai banyak yang membaca dan memberikan komentar di situ..." ia berkata dengan agak gagap. Kepanikan tergambar jelas pada wajahnya.

Mereka segera mendekati Seki dan memperhatian layar komputer lebih dekat. Perlahan, komentar-komentar mulai mengisi kolom komentar di bawah postingan video.

"Seki, kau tidak bisa menghapus postingan itu? Bukannya kau bagian moderator laman ini?" Yui sekarang angkat bicara.

"Dari tadi aku sudah mencoba menghapusnya. Akan lebih baik jika kalian tidak mengganggu aku."

Yuuka hanya diam. Ia tak tahu akan seperti apa respon siswi akademi setelah video itu tersebar luas dan semakin banyak yang mengetahui. Apapun yang terjadi selanjutnya, mungkin saja tidak akan berjalan dengan mulus bagi The Elites meskipun mereka dapat dengan mudah menghapus jejak digital disana. Mereka tidak akan pernah bisa menghapus memori dari siswi-siswi lain yang sudah lebih dulu mengetahui ini. Dan yang paling ia takutkan adalah; jika ayahnya mengetahui video itu.

"Seki!" Hono sekali lagi memanggil namanya dengan tidak sabaran. Jika saja Risa tidak mematahkan kakinya mungkin ia sudah melompat dari tempat tidur dan menghapus video itu sendiri menggunakan akun moderator Seki.

Beberapa detik ketegangan akhirnya berubah menjadi helaan napas lega saat Seki mengangkat kedua tangannya keatas. Disusul dengan senyuman frustasi Seki berkata, "Aku sudah menghapusnya." Ia kemudian menatap temannya satu persatu. "tapi sudah banyak yang mengetahui video itu."

"Sial. Ini... salahku. Maaf, seharusnya aku tidak bersikap agresif." The Elites menatap Risa dengan ekspresi kaget. Tidak biasanya Risa mau meminta maaf seperti itu. Itu seperti bukan dirinya.

"Tidak masalah. Lagipula video itu pasti akan terlupakan begitu saja dalam beberapa hari. Terutama video itu dikirim menggunakan akun anonim. Para siswi Sakurazaka terlalu pandai untuk percaya dengan akun anonim." jawab Yuuka. Sementara teman-temannya mengangguk setuju. Untuk sekedar menghibur diri sendiri yang sedang panik.

TING

Baru saja mereka bernapas lega, ponsel mereka mendadak berbunyi. Bersama, benar-benar dalam waktu yang bersamaan. Sebuah pesan elektronik dari nomor yang tidak dikenal masuk ke dalam ponsel mereka dalam waktu yang bersamaan. Sontak itu membuat mereka terkejut dan kaget. Apakah itu hantu? Roh dari orang yang sudah mereka bunuh? Tetapi mereka cukup pintar untuk tidak mempercayai hal yang di luar rasionalitas itu.

"Apa yang sedang terjadi? Kenapa sekarang?" Hono menggeram kesal. Dan ia sangat yakin teman-temannya juga mengatakan hal yang sama dalam hati mereka.

"Kelihatannya kalian menghapus video tersebut. Untuk sekarang aku akan membiarkan kalian menang. Tapi kalian harus menunggu selama beberapa hari ke depan karena akan ada kesenangan yang tidak akan pernah kalian bayangkan sebelumnya." Yui selesai membaca email tersebut. Ia kemudian bertanya pada yang lain. "isi email kalian seperti itu juga?"

Karin menjawab. Masih menatap layar ponselnya. "Kurang lebih sama. Tapi ya, intinya seperti itu."

"Siapa yang berani melakukan hal itu..." Yuuka berkata. Tatapannya yang tenang kini berubah menjadi amarah.

Hono meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. "Pasti ada orang lain yang mengetahui rahasia kita. Mungkin saja mereka ingin memancing kita atau apapun itu. Atau bisa jadi orang-orang di antara kita sendiri yang melakukannya." Sekarang gadis itu juga mulai curiga.

"Tidak. Jangan sampai hal itu membuat kita terpecah lagi. Kita sudah saling mengetahui rahasia masing-masing, jangan sampai kita terpisah." Yui berbicara. Meskipun ia tidak terlibat langsung dengan peristiwa di malam bersalju, ia merasa menanggung beban yang sama dengan teman-temannya. "jika ada yang sampai memisahkan diri. Berarti orang itu yang patut dicurigai."

Itu membuat mereka mengangguk mantap. Tetapi, Karin nampaknya masih enggan menerima Risa lagi. Ia sudah terlanjur trauma dengan apa yang dilakukan Risa padanya tempo hari. Jadi ia tidak merespon banyak saat Risa menjulurkan tangan, meminta Karin untuk berdamai padanya.

Lagipula Karin tidak tahu apa yang ada dibalik pikiran Risa yang gelap.

"Risa, apa tubuhmu semakin bertambah tinggi? Blazermu terlihat lebih kecil dari biasanya." Yuuka bertanya. Ia baru saja menyadari blazer Risa yang agak ketat.

Risa yang tidak dipedulikan oleh Karin sedikit kecewa, tetapi ia memikirkan itu lebih lanjut dan berbalik menghadap Yuuka. Gadis itu membaca plakat nama pada blazer. "Kau tahu ini milik siapa."

"Kau mengganggu dia lagi?" Yuuka bertanya dengan nada tinggi. Pantas saja Akane tidak memakai blazer saat mereka bertemu di perpustakaan. Ia tidak menyadari Risa memakai blazer Akane sedari tadi.

"Oh, kupikir tunanganmu sudah memberitahu."

Yuuka beralih pada Yui, menunggu penjelasan gadis itu. Merasa dimintai penjelasan, Yui memutar bola matanya dengan malas. "Ozono menyiram tubuh Risa dengan beberapa ember cat. Moriya melihat kejadian itu dan memberitahuku. Dia juga meminjamkan blazernya agar Risa tidak mengigil setelah membersihkan diri."

Hono berteriak, menggoda Risa. "Woohoo, romantisme apalagi ini? Hampir seperti di film serial yang aku tonton. Lihat saja, sesaat lagi Risa akan punya pacar baru." Seki, Karin dan Yui tertawa karena ucapan Hono. Sementara Risa mengerang frustasi dan mengibaskan tangannya di depan wajah seperti tidak menyetujui pernyataan tersebut.

Yuuka tidak tahu mengapa, tapi ia merasa agak iri dengan Risa. Tapi ia tidak mempedulikan itu. Ia lebih tertarik pada nama yang disebut Yui. "Ozono?" ulangnya.

Risa mengangguk. "Ya. Senior sialan itu. Aku tidak tahu dia sudah berani melakukan itu padaku."

"Tidakkah kau merasa curiga dengan dia? Maksudku sudah lama dia tidak mencari masalah dengan kita. Terakhir kali sebelum Hirate keluar dari sekolah."

"Kau mengira ia ada hubungannya dengan postingan anonim dari blog publik?"

Yuuka menjentikkan jarinya. "Entahlah. Tapi seperti... bukankah beralasan jika ia melakukan itu atas dendam?"

"Dia akan membalaskan dendam orang-orang yang sudah meninggal itu?"

Yuuka terdiam. Mendadak ia bulu kuduknya merinding. Tidak ada lagi yang ingin menjawab pertanyaan Risa. Hanya terdengar suara keyboard dan mouse karena Seki masih sibuk mengutak-atik blog.

"Ah. Ini terlalu mudah." Seki berkata pelan. Ia kemudian meminta teman-temannya berkumpul di dekatnya. "aku sudah melacak akun anonim tadi. Alamat IP nya tersangkut di history website. Aku melacak alamat IP dan mendapatkan tipe ponsel, lokasi dan beberapa informasi penting lainnya." Seki menatap temannya satu persatu sebelum melanjutkan, "aku mendapatkan kelinci itu. Kosaka Marino."

"Sudah kuduga. Tapi, bukankah itu terlalu kebetulan. Dia terlalu mudah untuk ditemukan." Yui menjawab.

Sementara Risa sudah terpancing amarahnya. "Kau terlalu banyak berpikir. Sudah jelas siapa yang membuat masalah sekarang."

"Baik. Jadi kronologinya mungkin seperti ini," Hono menyela. "anak itu kebetulan lewat atau kebetulan berada di hutan belakang sekolah. Tepat saat Risa sedang menginterogasi Karin. Ia menganggap hal itu menarik untuk disebarkan sehingga ia merekam kejadian itu dan mempostingnya." Dia kemudian menyilangkan lengannya di depan dada. "ayolah, tidak ada yang tahu dan berani membuka kembali masalah itu."

Karin mengangguk setuju. Begitupun juga dengan Yui dan Seki. Tetapi tidak dengan Risa dan Yuuka. Dua orang ini menunjukkan ekspresi tidak menyenangkan, terutama Risa. Sementara Yuuka lebih merasa tegang. Haruskah ia memberitahu teman-temannya tentang Akane? Karena gadis itu sepertinya mulai penasaran dengan kasus tewasnya kelima siswa tersebut, sehingga ada kemungkinan dia akan mencari tahu lebih dalam lagi.

Tapi ia tidak ingin Risa mencelakai Akane dan teman-temannya lagi.

"Benar, Risa. Kita lebih baik tidak terlalu memikirkan hal ini dan menambah kecurigaan." Yuuka akhirnya berkata, dengan kebohongan. Ia kemudian mendekati Seki, "apakah aku mempercayakan urusan Marino padamu?" gadis itu mengangguk mantap.

"Aku akan pergi bersamanya." Risa menyahut.

Yuuka menatapnya sesaat. Kemudian ia menunjuk blazer yang dikenakan Risa. "Kembalikan benda itu dengan baik pada pemiliknya. Jadilah anak yang baik, satu kali saja." Ia kemudian berjalan menuju pintu.

"Eh, kau sudah mau pergi?" Karin berkata. "tidak mau ikut ke klub?"

"Tidak, terima kasih. Masih ada hal penting yang harus aku lakukan daripada menghabiskan waktuku untuk menenggak dua botol alkohol." Yuuka menjawab seraya tertawa kecil. Atensinya kemudian jatuh pada tunangannya—Yui, gadis itu sedang berkacak pinggang di belakang Seki. Ia sepertinya sedang memperhatikan apa yang dilakukan gadis itu di depan layar komputer. "Yui, kau ikut denganku atau dengan Risa?"

Yui terkejut. Ia menduga Yuuka memilih pergi sendiri dan membiarkannya bersama Risa, tapi ternyata dugaannya salah. Akhirnya ia mengikuti Yuuka keluar setelah berpamitan dengan teman-temannya yang lain serta menyampaikan pada Seki untuk melaporkan setiap perkembangan dari blog.

Keluar dari kamar pribadi Hono di lantai dua, menuruni tangga dan menemui Nyonya Tamura—Ibu Hono—untuk beramah-tamah selama beberapa menit, akhirnya mereka dapat berjalan menuju mobil Yuuka yang terparkir rapi di halaman depan. 

Pandangan Yuuka lurus ke depan, sama sekali tidak berniat memulai pembicaraan dengan gadis di sebelahnya. Yuuka lebih berpikir dengan apa yang akan terjadi padanya jika video itu sampai ke tangan ayahnya. Ia sudah tidak ingin lagi disiksa seperti itu untuk yang kesekian kali. Yuuka sudah dewasa, proses pendisiplinan seperti yang dilakukan ayahnya sudah benar-benar tidak relevan lagi untuknya. 

Oh, Yuuka lupa jika apa yang dilakukan ayahnya itu bukan semata-mata sebagai bentuk pendisiplinan. Kekerasan yang dilakukan sang ayah sebenarnya hanya untuk meluapkan emosi yang menggebu-gebu. Ayahnya memang sangat sensitif saat ada di rumah sehingga apa saja yang dilakukan Yuuka selalu salah di matanya. Sikap beliau memang keras dan ia tidak akan bermain-main dalam memberi hukuman jika ia melihat sesuatu yang menurutnya salah di dalam diri Yuuka. 

Jika sudah begini, apakah lebih baik ia menginap di rumah teman saja? Ia kemudian menoleh ke Yui. Gadis itu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam lebih dulu. Sebuah ide muncul di kepalanya. Sedikit jahat memang, karena ia akan menggunakan Yui sebagai tameng. "Yui." panggilnya saat ia turut masuk ke dalam mobil.

Yui mengangkat kepalanya. Menatap Yuuka, "Ya, Yuuka?"

Gawat... melihat Yui yang menatapnya dengan intens, Yuuka merasa serba salah. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal untuk menyembunyikan rasa gugupnya. "Maukah kau menginap di rumahku?" Yui sekarang menatapnya dengan tatapan aneh, sontak itu membuat pipi Yuuka memerah. "Maksudku bukan seperti itu! Uh... jika kau sibuk atau ada sesuatu yang lain, tidak apa-apa untuk menolak. Jadi aku akan mengantarkanmu ke rumah..."

Argh, aku tidak bisa mengatakan alasanku sebenarnya padanya. Dia pasti memikirkan hal yang aneh sekarang, dasar Sugai Yuuka bodoh!  Yuuka mengutuk dalam hati.

Selama beberapa detik dipenuhi oleh keheningan yang mencekik leher, Yuuka tanpa sadar menahan napasnya sendiri. Ia tidak tahu jika wajah hingga telinganya memerah sekarang, ia hanya merasakan wajahnya mendadak terasa lebih panas dari sebelumnya. Tapi Yui menyadari hal itu. Dan ia sudah mengenal Yuuka dengan sangat baik hingga ia sadar bahwa Yuuka memiliki hal lain yang seharusnya ia katakan tapi berakhir tak terucap karena gadis itu terlalu malu untuk mengakuinya.

"Aku mengerti, Yuuka. Mengapa wajahmu sampai merah begitu? Hei, kau sudah berpikir sejauh itu? Aku baru tahu jika kau ini sangat tidak sabaran. Benar-benar..." Yui akhirnya menjawab dengan nada sedikit menggoda, dan itu jelas membuat Yuuka tersentak kaget sampai-sampai ia salah memutar kunci mobil ke arah lain. Yuuka membuka mulutnya, hendak menyahut, tetapi Yui berbicara lebih dulu dan membuatnya diam. "Aku bercanda." Ia tertawa kecil. Ia berhasil menggoda Yuuka.

Menghembuskan napas dengan tempo lebih lambat guna mengatur kembali detak jantung yang kelewat kacau, Yuuka sengaja menggigit bibirnya sendiri dan memacu mobil besarnya keluar wilayah rumah Hono menuju rumah Yui. Membiarkan Yui menyiapkan barang-barangnya sebelum meluncur ke rumah Yuuka. Sekarang ia lega karena ayahnya tentu tidak akan marah padanya karena Yuuka membawa Yui.

Di sisi lain Yui menyetujui permintaan Yuuka karena ia memang memiliki sesuatu yang harus disampaikan padanya. Meskipun ia sendiri juga tidak yakin apakah ia harus mengatakan hal itu karena untuk saat ini, ia belum memiliki keberanian yang cukup.

Yuuka sangat lelah. Ia tidak beristirahat sejak berangkat dari apartemen Akane hingga ia tiba di rumah Hono. Dan sekarang ia masih harus menyetir dua kali lebih jauh ke rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Yuuka sudah mulai mengantuk. Jarak rumah Yui dan rumah Yuuka sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi entah mengapa perjalanan kali ini terasa menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya itu. Sepertinya ia merasa seperti itu karena keadaan tubuhnya sudah tidak fit. 

Ia akhirnya menaikkan kecepatan mobilnya. Dia sangat ingin segera mandi dan berbaring di tempat tidurnya yang hangat.

"Kau ke mana saja sebelum pergi ke rumah Hono?" Yui bertanya.

Yuuka yang agak terkantuk mulai terbangun, tapi tidak sepenuhnya. "Makan siang dan menjenguk Wolfram." Ia menjawab dengan suara lemas. "omong-omong kau sudah makan? Maaf, aku langsung mengajakmu pulang."

"Oh, jangan khawatir. Aku sudah menjaga pola makan dan obat-obatanku agar kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Lagipula aku justru merasa senang karena kau mengajakku begini karena aku memang tidak mau ikut bersama mereka."

Mereka kembali saling diam setelah konversasi kecil itu. Karena mobil sudah mendekati gerbang rumah Yuuka. Penjaga keamanan membuka gerbang, dan Yuuka memacu mobilnya. Sekarang jantungnya berdetak lebih cepat, ia takut ayahnya sudah menunggunya di balik pintu rumah. Apa yang harus aku katakan? pikiran itu terus berkecamuk di kepala Yuuka saat mereka berjalan menuju pintu utama. Beberapa penjaga keamanan yang berpapasan dengan mereka turut membungkuk dan memberi hormat pada Yui.

Yuuka beralih pada Yui, gadis itu entah mengapa juga terlihat tegang. Saat mereka masuk ke dalam rumah, benar saja, ayah Yuuka sedang duduk di ruang tamu. Membaca beberapa majalah—itu tentu hanya sebagai alasan untuk menutupi fakta bahwa ia sebenarnya menunggu Yuuka pulang.

Tuan Sugai menutup lembaran majalahnya dan meletakkannya di atas meja. Ia bangkit dari tempat duduknya, menatap Yuuka sekilas sebelum beralih ke gadis di samping Yuuka. "Oh, Kobayashi. Sudah lama sekali sejak kau datang kemari." Ia berkata dengan memasang senyum. "anggap saja seperti di rumah sendiri, lakukan apapun yang kau sukai di sini."

"Tidak, Ayah, kami sudah terlalu lelah. Jadi kami akan langsung ke kamar saja. Selamat malam." Yuuka menyela. Di samping ia kelelahan, ia tidak mau berada dekat dengan ayahnya lebih lama lagi. 

Yui pun pasrah saat Yuuka menariknya menuju ke lantai atas. Ia dapat mendengar Tuan Sugai berkata dari lantai dasar, "Akan kusuruh pelayan mengantar makanan ke kamar kalian."

Yuuka menghela napas singkat saat ia menutup pintu kamarnya. Begitupun juga Yui. Ia merasa bersalah pada ayah Yuuka karena ia tidak sempat menjawab sapaan beliau. Ia memperhatikan Yuuka berjalan terhuyung ke tempat tidur, gadis itu menjatuhkan tubuhnya begitu saja disana.

"Lepaskan seragammu terlebih dahulu, baru kau bisa tidur." Ucap Yui. Ia mendekati sisi tempat tidur, duduk di pinggirnya sembari menarik-narik tangan Yuuka.

Yuuka menjawab asal. Yui tidak dapat mendengarnya karena Yuuka menutup wajahnya dengan bantal sehingga apa yang ia katakan tidak terdengar jelas.

"Apa?"

"Kubilang, memangnya kau mau melepaskannya untukku?" Yuuka akhirnya bangkit dari posisi telentang ke posisi duduk. Tapi ia segera terhuyung ke samping karena Yui mendorongnya-karena ucapannya yang terdengar mesum.

Mereka sekarang hanya berdua saja, tidak ada yang akan mengganggu mereka jika mereka mau melakukan apapun. Tetapi Yuuka tidak mungkin melakukan hal itu pada Yui dan Yui juga demikian. Jadi mereka hanya duduk bersebelahan, mengobrol tentang apapun yang mereka sukai.

Melihat Yuuka dari jarak yang begitu dekat, perasaan Yui menjadi seketika berantakan. Ia berkali-kali kehilangan fokus saat Yuuka menunjukkan senyumannya pada Yui. Atau saat gadis itu tertawa. Apa ia harus mengatakannya sekarang? Apakah Yuuka akan merasa aneh padanya?

Apapun itu yang pasti Yui sudah tidak bisa lagi menahan perasaan itu sendiri di dalam hatinya.

"Yuuka,"

Gadis yang disebut namanya menoleh, menatapnya dengan penuh tanda tanya. Yui masih agak ragu, tetapi ia memutuskan untuk melanjutkan. Tidak ada alasan untuk kembali sekarang.

"Risa mengutarakan perasaannya padaku, beberapa minggu yang lalu. Dan juga... hari ini."

"Benarkah? Itu bagus! Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"

"Aku menolaknya."

Yuuka terperanjat. Ia tidak pernah menyangka bahwa Yui akan menolak Risa. Yang dia tahu, Risa sangat menyukai Yui sejak mereka SMP dan itu tidak pernah berubah hingga sekarang. Ia sempat berpikir jika mereka berhubungan di belakangnya tapi ternyata yang terjadi benar-benar di luar ekspetasi Yuuka.

Dan kini, nampaknya Yuuka mulai mengerti kemana arah percakapan ini berlangsung. Ia merutuk dalam hati, ia tidak tahu jika ajakannya untuk menginap biasa malah akan menjadi seperti ini. "Kenapa?" ia bertanya, berusaha menghapus rasa gugup dari dalam dirinya.

"Ada orang lain yang aku sukai dan itu bukan Risa. Itu saja."

Yuuka baru saja akan menjawab, tetapi Yui masih belum selesai dengan ucapannya. Gadis itu semakin mendekati Yuuka, menyentuh dan melepaskan blazer Yuuka. Dengan itu, sudah cukup membuat jantung Yuuka berdegup semakin kencang. Ia semakin bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Bagaimana jika kukatakan orang itu adalah kau?"

"Kau... pasti bercanda? Kupikir kau tidak serius tentang ini semua, kupikir kau-"

"Aku tidak tahu sejak kapan, Yuuka. Aku... hatiku sakit saat kau menganggapku hanya sebagai teman. Aku menyukai dan menikmati waktu saat kita bersama, aku suka saat kau berbicara padaku... aku suka saat kau memelukku, saat kau menyentuh tanganku," tanpa sadar, Yui mendorong Yuuka perlahan ke tempat tidur. Yui sekarang berada diatas Yuuka, sementara Yuuka mencengkeram kedua lengan Yui. "Maaf. Aku seharusnya tidak seperti ini."

Yui menutup matanya. Ia merasa frustasi. Takut dengan jawaban Yuuka selanjutnya, takut dengan bagaimana hubungan mereka berjalan setelah ini. Tanpa sadar, air mata mulai membasahi sudut matanya. Saat ia membuka mata, pandangannya mulai menjadi kabur. Ia tidak sampai hati melihat Yuuka, hatinya terasa sangat sakit saat menatap wajahnya.

"Tolong... jangan menangis hanya karena aku," Yuuka berkata pelan.

Melihat Yui terisak, ia semakin merasa bersalah. Saat air mata itu jatuh ke membasahi wajahnya, yang dapat Yuuka lakukan hanya mengusap lembut pipi Yui. Tanpa berkata apapun, ia menarik Yui kebawah dan menangkap bibirnya dengan lembut.

Rasanya seperti sudah lama Yuuka tidak merasakan bibir Yui ada pada miliknya. Terakhir ia ingat, itu waktu di ruang OSIS beberapa minggu yang lalu. Itu pun hanya sebatas ciuman singkat saja. Tetapi sekarang, ciuman itu penuh perasaan. Yuuka dapat merasakan betapa lembut bibir Yui. Ia juga tidak melewatkan kesempatannya untuk mengabsen bibir bawah Yui dengan lidahnya, lipbalmnya terasa begitu manis pada indra pengecapnya dan Yuuka lagi-lagi tidak merasa puas.

Sementara bibir mereka saling berpagut, tangan kiri Yuuka sudah mulai bergerak tanpa seizinnya untuk melepaskan kaitan kancing blazer yang Yui kenakan. Yuuka juga menarik dan melonggarkan ikatan dasi yang melingkar di kerah kemeja Yui, kemudian melepaskannya juga. Apa yang ia lakukan benar-benar berada di luar kendali otaknya. Dirinya merasa seperti dirasuki oleh suatu entitas tak kasat mata, dan apapun itu, mereka jelas berpesta meriah di dalam kepala Yuuka. Merayakan kemenangan karena telah membuat mata Yuuka dibutakan oleh sesuatu yang tidak seharusnya.

Yui melepaskan ciuman mereka untuk mengambil napas. Ia juga menahan tangan Yuuka yang masih berusaha melepaskan kancing kemejanya. Yuuka menatapnya dengan tatapan kecewa, dan itu membuat Yui merasa senang-mungkin. Yui menjatuhkan tubuhnya di atas Yuuka. Membiarkan Yuuka menahan beban tubuhnya. Itu membuat jarak diantara mereka hanya terpisah sepersekian senti.

"Aku mencintaimu," Yui berkata pelan, tetapi Yuuka masih bisa mendengarnya dengan jelas. Ia tersenyum miris, ia tidak pernah menyangka bahwa ia dan Yui akan melakukan hal sejauh ini.

Namun pada akhirnya Yuuka juga tidak peduli lagi. Dengan satu kedipan mata, ia menghapus keberadaan akal sehat dari otaknya dan membiarkan setan benar-benar menguasai mereka malam itu. Jadi Yui tidak menahan lagi saat Yuuka membalik posisi mereka dan ia mulai melepaskan kancing kemeja Yui yang semula ditahan oleh sang pemilik. Mereka berciuman, saling bertukar saliva, saling beradu lidah.

Tuhan, dia begitu cantik. Begitu sempurna. Dia mencintaiku dan aku memilikinya seutuhnya. Tapi, mengapa perasaanku ini tidak bisa tertuju kepadanya?

Yui tidak dapat menahan desahan kecil yang keluar dari rongga bibirnya saat Yuuka kembali menyerang seperti seekor serigala yang menemukan mangsanya. Telinga, rahang, dan juga leher jenjangnya tak luput dari sapuan bibir Yuuka, saat itu juga Yui memejamkan matanya rapat-rapat sementara tangannya meremas bagian belakang kepala kekasihnya itu.

Rasanya panas. Benar-benar panas. Pendingin ruangan dengan suhu enam belas derajat di kamarnya benar-benar tidak berguna.

"Kobayashi Yui, apakah tidak apa-apa denganmu...?" Yuuka sengaja tidak melanjutkan kalimatnya karena ia yakin Yui sudah memahami apa yang ia maksudkan.

"...ya."

Dia menginginkannya sekarang. Dan itu adalah keinginan yang benar-benar kuat.

Yui telah memberinya izin, jadi ia tak memiliki alasan lagi untuk menahan diri. Hanya saja, yang semakin membuat Yuuka merasa berdosa adalah; ia masih sempat memikirkan Moriya saat itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top