"Is There Something We Left Behind?"

Entah kapan terakhir kali ia merasakan hangatnya cahaya matahari, melihat birunya langit dan sejuknya angin menerpa tubuhnya yang ringkih. Yang ia rasakan selama ini adalah panas, siksaan tak berwujud yang  mencekam dan kesepian tiada akhir. Terkurung dibalik jeruji besi adalah pengalaman yang tak pernah ingin ia alami lagi seumur hidupnya. Ia telah membayar hutangnya pada masyarakat dan bertanggung jawab atas perbuatannya di masa lalu.

Sugai Yuuka masuk ke dalam taksi yang telah ia tunggu selama beberapa menit. Di bahunya tersampir tas ransel tua berisi dokumen-dokumen serta surat yang dikirim oleh Risa dan Yui. Makanan ringan pemberian sipir penjara juga ia simpan di dalam sana—sebagai hadiah atas kebebasan Yuuka dari sangkar.

Tujuannya adalah; rumah lamanya.

Ia sedang tak ingin berbicara, dan ia senang supir taksi tidak memberikan banyak bertanyaan selain menanyakan tujuannya. Perjalanan tersebut memakan waktu sekitar tiga puluh menit, mungkin lebih. Taksi berhenti di depan rumah besar berwarna cokelat dengan pagar tinggi. Setelah membayar sejumlah uang, Yuuka segera turun dari taksi dan mendorong pagarnya yang telah berkarat.

Terakhir ia ingat, rumput liar di taman depan tidak perrnah lebih tinggi dari tumit manusia. Pohon cemara yang mengelilingi pagar juga tidak terlalu menjulang tinggi. Sepuluh tahun cukup membuat perubahan banyak terhadap rumahnya itu. Perasaan hangat dan pilu perlahan merayapi hati saat pemandangan di depannya mendadak memproyeksikan sesosok gadis cilik yang berlarian dengan senyum cerah menghiasi wajahnya. Gadis itu berlari mendekati sosok wanita dengan rambut panjang kecokelatan dan ia memeluk wanita tersebut dengan erat. 

Ia mengabaikan penggalan memori tersebut dan berjalan menuju pintu utama.

Properti ini telah menjadi milik Bank *******

Itulah tulisan yang berada di papan yang tertempel pada pintu depan.

Yuuka tidak mempedulikan papan tersebut dan mendorong pintu depannya terbuka—dengan sedikit tenaga, tentu saja, sebab engsel-engsel pintu sudah berkarat sepenuhnya—melangkah masuk dan menutup kembali pintunya. Ruangan depan yang dulunya rapi, terang, bersih dan penuh perabotan kini kosong dan lengang. Tidak ada satupun perabotan mewah yang seharusnya ada di sana tersisa. Debu-debu di lantai begitu tebal menandakan tidak ada siapapun yang menginjakkan kaki ke dalam rumah selama bertahun-tahun.

Tentu saja ia merasa maklum. Rumah ini adalah bekas TKP bunuh diri. Ayahnya meninggal karena gantung diri di dalam ruang kerjanya dan itu pasti membuat warga sekitar menyebarkan isu-isu yang berkaitan dengan hal-hal mistis tentang rumah ini mengingat latar belakangnya yang cukup suram. 

Ia berjalan lebih jauh, melewati ruang kerja milik Tuan Sugai dahulu. Garis polisi berwarna kuning masih menutupi pintunya yang setengah terbuka. Beberapa ada yang terlepas dan tergantung begitu saja di lantai. Yuuka berjalan mendekat dan melirik ke dalam—di tengah ruangan masih tergantung tali tambang berbentuk lingkaran yang digunakan oleh sang ayah untuk menggantung dirinya sendiri sepuluh tahun yang lalu.

Sepertinya hanya ruangan itu yang masih memiliki perabotan lengkap dan paling kotor. Tidak ada yang berani memasuki dan mengambil barang-barang yang ada di dalam.

Yuuka berpaling dari tempatnya berdiri dan menaiki tangga ke lantai dua, ke kamarnya. Tempat itu tidak berbeda jauh dengan ruangan depan. Kosong. Penuh debu. Namun, di dalam sana masih tersisa satu lemari yang ia telah lupa apa isinya. Debu-debu beterbangan dan Yuuka harus menutupi hidungnya saat ia membuka lemari. Di dalamnya terdapat beberapa buku, seragam putih Sakurazaka Academy dan bingkai foto lama.

Ia terdiam di tempat saat melihat seragam putih tersebut. Sebuah peristiwa traumatis dan memilukan terputar jelas di kepalanya. Matanya kemudian beralih pada selembar foto di sana, menatapnya sejenak. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman. Tidak, ia tidak merasa senang ataupun bahagia karena telah menemukan barang lamanya. Tidak sama sekali. Karena sesaat kemudian air mata meluncur turun dan menetes di lantai.

Ia merindukan kehidupannya yang normal sebelum insiden mematikan itu terjadi. Ia juga tak henti-hentinya menangisi kematian Fujiyoshi Karin dan Seki Yumiko yang tragis. Selama sepuluh tahun Yuuka masih tak bisa merelakan kematian mereka. Menyayangkan bagaimana mereka berenam dapat masuk ke universitas yang mereka inginkan jika seandainya hal seperti ini tidak terjadi.

Yuuka menghabiskan waktu sepuluh menit penuh untuk meluapkan kesedihan yang tak dapat lagi terbendung. Setelah lelah menangis, ia memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu dengan membawa ketiga barang berdebu di dalam tas. Sakit kepala mendadak menderanya, membuat Yuuka menekan-nekan pelipisnya seraya berjalan pelan menuruni tangga. Baru saja setengah jalan, Yuuka mendadak menghentikan langkah. Mengangkat satu alis dengan pandangan tertuju pada pintu rumah.

Aku tidak ingat jika aku meninggalkan pintunya terbuka.

Napasnya tertahan saat melongokkan kepala untuk mengintip ke bawah, menerka-nerka siapa orang yang berhasil menyelinap masuk dan bersembunyi di salah satu ruangan. Ia bahkan masih menahan napas agar telinganya dapat lebih peka mendengar suara lain selain napasnya sendiri. Namun, tetap saja, ia tetap tidak bisa mendengar apapun selain desiran angin yang membuat ranting-ranting pohon mengetuk kaca jendela. 

Ia tidak akan menemukan apapun jika ia tetap berdiri seperti anak kecil di titian tangga sehingga Yuuka memutuskan untuk segera beranjak. Kedua tangannya dibiarkan mengepal seperti hendak memukul, Yuuka melangkah turun dan menyadari ada jejak sepatu lain selain jejaknya sendiri.

Ternyata memang benar. Perampok, huh?

Ia sudah lama tidak berkelahi. Tetapi latihan-latihan fisik dan ratusan perkelahain kecil selama ia dikurung dalam penjara membuat stamina dan kekuatannya fisiknya tetap terjaga. Mungkin Yuuka tidak keberatan apabila terlibat dalam adu pukul yang menyakitkan sekarang. Yuuka berdiri menghadap pintu, berjongkok dan memperhatikan jejak kaki tersebut lebih dekat.

"Sial. Tali itu mengejutkanku."

Yuuka terlonjak kaget dan langsung berdiri, menghadap langsung ke sumber suara dengan kedua kepalan tangan terangkat membentuk posisi bertahan. Tapi detik itu juga, ia dibuat terkejut hingga kehilangan kalimat-kalimat yang hendak ia ucapkan pada seseorang yang masuk ke dalam rumah.

"Sepuluh tahun, ya. Ingat saat kau memanggilku di ruang sidang?" seorang wanita dengan rambut cokelat muda itu tersenyum, memamerkan kedua gigi taringnya ketika mendekati Yuuka yang masih berusaha mencerna apa yang ia lihat. "Aku sangat merindukan udara Jepang. Sangat berbeda dengan Inggris, entah mengapa. Ada banyak hal yang berubah saat aku menginjakkan kakiku di tanah Jepang. Seperti... membawa kembali memori lama yang kutulis dalam buku catatan. Kau, aku, dan yang lainnya."

Wanita itu kini berdiri tepat di depan Yuuka. Memperhatikannya dengan senyuman miring penuh arti. Ia menggeleng pelan. Napasnya terlihat tertahan di dalam dada, bersama dengan ribuan kalimat yang hendak ia lontarkan pada Yuuka. Hatinya hancur melihat figur di depannya yang dipenuhi oleh bekas luka. Kedua netra teduh itu seperti telah kehilangan cahaya hidupnya. Tenggelam jauh di dalam jurang tanpa dasar yang suram dan dipenuhi kegelapan.

Ia kembali di waktu yang tepat. Dan ia bersyukur pada Tuhan karena dengan ini, ia mungkin diberi kesempatan untuk melindungi wanita yang kehilangan arah ini. Menghembuskan napas yang sempat tertahan, ia kemudian merengkuh Yuuka ke dalam lengannya. Sangat erat, sama sekali tidak berniat untuk melepaskan wanita itu walaupun hanya sedetik. "Selamat atas kebebasanmu, Yuuka."

"Aku merindukanmu, Akane. Terima kasih." Ia menjawab, sembari membenamkan wajahnya di bahu teman lamanya itu. "Terima kasih telah kembali kepadaku."

"Aku merasa bersalah karena tidak pernah datang kemari sejak hari mereka dimakamkan." Akane berkata. Ia berjalan dan berhentiuntuk berlutut tepat di depan dua buah batu nisan. Dua buah buket besar bunga krisan putih ia letakkan dengan lembut di atas masing-masing batu nisan. "Selamat siang, Fujiyoshi... dan Seki. Aku kembali."

Yuuka memperhatikan temannya itu dari belakang. Akane tampak menunduk dengan kedua tangan disatukan di depan dada, memberikan doa dan pernghormatanterakhir yang tak sempat ia tujukan pada mereka. Angin musim gugur berhembus dingin, membuat Yuuka bergidik. Ia mengeratkan jaketnya dan bergabung dengan Akane.

"Ayo, aku antar kau ke tempat Morita." Yuuka berucap lirih. Ia berjalan lebih dulu, dengan Akane mengikuti di belakangnya. Ia berhenti di depan sebuah makam. Akane berjalan memutar dan berjongkok sembari menyentuh batu berukiran nama Morita Hikaru. Tindakan itu membuat Yuuka merasa bersalah dan menghadap ke arah lain. "Aku tidak dapat menyelamatkannya waktu itu. Maaf. Sungguh."

"Kau telah bertemu dengan Ten selain saat sidang?"

Yuuka terdiam sejenak. Kemudian menggeleng, "Tidak."

"Kalau begitu temui dia dan minta maaflah padanya." Akane tersenyum, "Karena dia adalah orang yang paling menderita karena kematian Morita."

"Aku tahu." Ia mendekati Akane dan berjongkok di sampingnya. "Morita menyelamatkanku saat Inoue dan yang lainnya menyerbu rumahmu untuk merampas surat Hirate. Ia menembak lengannya sendiri untuk memalsukan serangan dan mengungsikanku di apartemennya. Ia melakukan banyak hal meskipun pada akhirnya aku tak dapat menyelamatkannya. Melihat Morita dibunuh di depan mataku sendiri... ingatan itu tetap menghantuiku selama di penjara."

"Tidak apa-apa." Akane menghela napas, menatap Yuuka dengan tatapan lembut. "Morita sudah bebas sekarang."

Dan Yuuka membalasnya dengan anggukan pelan. Maafkan aku, Hikaru.

"Omong-omong soal surat itu... sepertinya Hirate memang hendak memberikan ini pada kalian. Ia menggunakan namaku sebagai perantara." Akane merogoh ke dalam tas, mengeluarkan sebuah amplop putih dan memberikannya pada Yuuka. "Dia orang yang baik."

Ini Hirate Yurina.

Kepada orang yang telah menghancurkan hidupku. Aku tahu semua itu mungkin tidak akan berpengaruh banyak bagimu. Sementara kau mendapatkan kebebasan di luar sana, aku terkurung di sini. Meskipun kebencianku kepadamu tidak akan pernah habis, aku tetap tidak ingin hal yang sama terulang kembali.

Saat itu ia datang kepadaku seperti seorang malaikan pencabut nyawa. Dari kedatangannya saja aku sudah tahu bahwa kematianku akan ada di tangannya. Hono telah berkata padaku bahwa orang tersebut berada di pihaknya meskipun aku tak yakin. Hingga akhirnya tepat setelah Moriya pergi, orang itu datang kembali. Membawa aroma kematian bersamanya.

Ozono Rei. Ia berkata padaku dengan bangga tentang serangkaian pembantaian yang ia lakukan. Ia menjelaskan kepadaku secara rinci nama, lokasi pembunuhan dan lokasi penguburan, bagaimana ia menculik dan membunuh semua korban-korbannya, bahkan bagaimana ia membunuh kepala sekolah lama dan membuatnya seolah itu kematian yang wajar.

Hari ini aku menyadari satu hal. Aku sedang menunggu ia mendatangkan kematian kepadaku. Jika itu memang benar adanya, maka, aku ingin mengatakan ini.

Aku memaafkan kalian, The Elites.

Yuuka mengusap air mata di pipinya, melipat kembali kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam amplop. "Ya. Orang-orang baik mati terlalu cepat."

Akane bangkit berdiri, mengusap sisa-sisa kotoran yang menempel di lututnya. "Jadi, apa tujuanmu sekarang?"

"Entahlah. Mencari pekerjaan sepertinya akan sulit mengingat aku memiliki track record yang tidak diinginkan oleh sebagian besar orang. Jadi sementara mencari pekerjaan aku akan meminta izin untuk tinggal bersama Risa dan Yui." Yuuka menjawab.

"Begitu? Sayang sekali. Tapi jika kau memang ingin kembali bersama teman-temanmu, aku tidak bisa memaksa lebih jauh lagi." Yuuka merasakan tangan hangat Akane menyentuh telapak tangannya. "Karena aku baru saja ingin mengajakmu untuk tinggal bersamaku."

Mobil itu meluncur cepat dan berhenti di pelataran parkir apartemen. Waktu telah menunjukkan pukul satu malam dan itu menjadi alasan mengapa sang pengemudi tanpa ragu mengendarai kendaraannya dengan kecepatan tinggi di jalan raya. Ia berhenti agak lama untuk mengambil beberapa barang bawaannya di bangku belakang, tak lupa ia membuang beberapa tisu yang diletakkan sembarangan.

Ten baru turun dari mobil setelah sepuluh menit. Membawa tas di tangannya, gadis jangkung itu berjalan gontai menuju kamar. Ia bahkan kesulitan memasukkan kunci pada lubangnya karena terlalu mengantuk. Meski akhirnya setelah beberapa kali percobaan ia berhasil membuka kunci pintu dan langsung masuk kedalam.

Sejak lulus dari universitas, ia mulai bekerja sebagai pegawai di perusahaan keluarga. Kehidupannya yang santai dan tak terikat aturan terbalik seratus delapan puluh derajat. Karena tuntutan jabatan itulah ia juga harus memperbaiki suasana hati dan mentalnya yang rusak sejak bertahun-tahun lamanya. Tapi sekeras apapun ia berusaha melupakan—dengan mendatangi beberapa psikolog dan psikiater profesional—dirinya seolah takkan pernah bisa melupakan satu orang.

Morita Hikaru.

Si kecil sialan yang telah mengisi tahun pertamanya di Sakurazaka Academy. Rasanya seperti baru kemarin Hikaru memperkenalkan diri kepadanya dan ia masih ingat betul bagaimana dirinya sedikit mencibir Hikaru yang memiliki tubuh relatif pendek. Suara nyaring dari mesin pemanas membuatnya tersentak dan berjalan terburu-buru ke dapur. Sembari menuangkan air panas kedalam mangkuk berisi mi instan, pikiran Ten kembali menerawang jauh ke belakang.

"Semuanya akan baik-baik saja. Pasti akan berjalan sesuai rencana, Ten. Aku pasti akan kembali kepadamu dan menceritakan seluruh kebenarannya."

Ten menghela napas berat. "Kau bohong, kenyataannya kau tak pernah kembali lagi."

Saat keheningan nyaris menenggelamkannya ke dalam mimpi yang hitam, suara bel pintu yang keras membuatnya terlonjak dari sofa. Ten menunggu selama beberapa saat untuk menunggu suara bel lain sekaligus mengembalikan kembali kesadarannya.

Tapi tidak ada. Tidak ada bunyi bel susulan.

Ten menjadi penasaran, tentu saja. Ia ingat betul bahwa ia tidak sedang menunggu paket dari e-commerce sekarang. Mungkin surat atau majalah mingguan? Atau bahkan, surat tagihan dari perusahaan listrik? Pikirnya. Dengan agak malas ia berjalan untuk membuka pintu untuk mengecek keadaan di luar dan kotak suratnya.

Ternyata hanya surat.

Wanita itu membalik-balik permukaan surat, ia sama sekali tidak menemukan adanya alamat pengirim, perangko ataupun cap dari kantor pos pada amplopnya. Tentu itu membuatnya curiga, dilihatnya keadaan sekeliling apartemen. Terasa sepi. Pintu-pintu tetangganya tertutup rapat dan tidak ada orang yang lewat di lorong itu. Ia pun membawa suratnya masuk ke dalam dan mengunci pintu.

Kembali duduk di atas sofa, kali ini dengan perasaan berdebar. Menatap amplop putih tersebut, entah mengapa terasa lebih menegangkan ketimbang menghadapi wawancara kerja. Dengan hati-hati ia merobek bagian atas amplop.

Ternyata apa yang ada di dalamnya lebih kecil daripada amplopnya. Tunggu dulu. Bungkus apa itu?

"AHH!"

Ten refleks berteriak, melemparkan plastik dan selembar kertas sejauh mungkin. Keringat dingin seketika bercucuran dari dahinya, tengkuknya meremang dan tubuhnya bergetar hebat. Perasaan ngeri dan tidak nyaman melesak masuk ke dalam perutnya. Seperti meremas organ tubuh, menarik dan mencabut jantungnya yang semakin terpacu tak beraturan.

Sepotong jari, dengan darah merah yang lengket pada plastik.

"Apa—Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tuhan, apa yang terjadi?"

Ia menarik napas dan menahannya. Tangannya bergerak untuk mengambil selembar kertas yang terjatuh di lantai. Matanya kembali melirik pada plastik tidak jauh darinya, dan memang benar isi dari plastik tersebut adalah sepotong jari. Mengusap butiran keringat di wajahnya, ia mulai membaca isi surat.

Bibirnya bergetar saat ia membaca bagian akhir surat. Jantungnya menjadi semakin tak karuan saat ia melihat apa yang ada di sana. Sebuah tanda. Dan ia telah berkali-kali melihat tanda itu di saluran televisi, portal berita ataupun koran.

Dan ia sangat tahu apa yang terjadi setelah tanda itu muncul. Padanya.

Tidak mungkin. Bagaimana bisa?

Ten melangkahkan kakinya dengan beberapa hentakan-hentakan kuat di atas lantai marmer. Lembaran kertas lusuh menjadi semakin berantakan saat tangannya dengan kuat meremasnya untuk meredam amarah yang telah memanasi isi kepalanya. Sorot lampu dari menara pengawas sempat melewatinya tetapi ia tetap terus melanjutkan hingga menjeblak pintu besi dengan satu dorongan tubuh.

Dua orang petugas bersenjata otomatis dan memakai perlengkapan militer lengkap secara bersamaan menahan bahunya untuk melangkah lebih jauh.

"Biarkan aku bertemu dengannya, dengan mereka! Argh!" Ten berteriak, dengan kasar berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kedua sipir tersebut. "Kalian tidak mengerti. Lepaskan aku!"

"Kau telah melakukan pelanggaran di daerah ini, anak muda! Berhenti bergerak atau kami akan menganggapmu sebagai ancaman dan bertindak lebih jauh dari ini!" seorang sipir menarik tubuhnya mundur untuk keluar dari wilayah depan penjara.

Keributan kecil itu membuat beberapa tahanan yang penasaran mengintip dari sela-sela besi sel mereka, kebanyakan tidak peduli dan segera kembali dengan kepentingan masing-masing. Meskipun dengan ancaman, Ten tetap tidak bergeming. Ia malah semakin brutal mendorong kedua sipir tersebut hingga salah satunya terjatuh.

"Brengsek—tangkap—!"

"Anak itu datang bersamaku. Biarkan dia masuk." Tepat sebelum kepala Ten dihantam oleh popor senapan, sebuah suara tegas dan dalam membuat kedua petugas itu berbalik. Baru saja masuk, seorang wanita tinggi berambut pendek sebahu memakai mantel hitam. Ia berjalan mendekati Ten dan memegang bahunya.

Kedua sipir itu dengan kasar langsung melepaskan Ten yang tengah menatap ketiganya dengan pandangan bingung. "Baik. Apakah anda hendak ke tempat biasa? Silahkan langsung mengikuti lorong empat karena jalur biasa sedang dalam perbaikan pasca kebobolan."

"Terima kasih."

Wanita bermantel hitam itu berjalan meninggalkan kedua sipir tersebut. Ten, dengan langkah gemetar ikut mengekor dengan memberi jarak satu setengah meter di belakangnya. Suara wanita tadi telah membuatnya merasa segan—terlebih lagi bagaimana kedua sipir tadi dengan mudah mengizikannya masuk ke dalam penjara tanpa ditahan menandakan wanita itu memiliki privilege tertentu.

Ia menundukkan kepalanya saat mereka berdua memasuki lift.

"Seorang anak yang berbuat ceroboh dengan datang di luar jam operasional penjara, menyerang sipir dan membuat keributan yang tak diinginkan. Kupikir sikap naif seperti itu telah lama pergi darimu." Wanita itu berucap. Mata coklatnya menatap Ten dari bawah ke atas melalui pantulan pintu lift yang seperti kaca. "Katakan apa kepentinganmu atau aku akan memukul kepalamu dengan pistolku."

Ten tersentak. Perlahan kepalanya terangkat, memberanikan diri untuk melihat wajah orang di depannya itu. Wajah itu.. sempat membuatnya mengingat kembali apa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Dengan suara nyaris berbisik, Ten berkata, "W—Watanabe... Risa?"

Wanita itu mendengus pelan. Kepulan asap putih transparan keluar dari bibirnya. Lift bergetar, memperdengarkan bunyi dentingan. Sesaat kemudian pintu lift terbuka, dua orang tersebut melangkah keluar bersama-sama. Lorong-lorong besar, gelap, dan pengap menyambut mereka—Ten yang pertama kali dalam hidupnya berada di penjara merah terlihat sedikit ketakutan.

"Apakah kau tuli? Kau tidak mendengar pertanyaanku?" Risa bertanya sekali lagi.

"Tidak. Maaf—aku telah membuat keributan." Hening. Hanya terdengar suara langkah sepatu yang menggema di seluruh lorong—tidak termasuk suara geraman-geraman kecil dari penghuni balik penghuni bangsal. Ten kembali melanjutkan, "Aku... seseorang mengirimkan surat kaleng kepadaku dan kupikir isi surat itu mengindikasikan sesuatu yang serius."

Risa menghentikan langkahnya secara mendadak dan setengah berbalik, membuat Ten menabrak bahunya yang kokoh. Tatapan tajamnya masih ada disana, menunggu Ten untuk melanjutkan ucapannya.

Kini, ia dapat melihat dengan jelas wajah itu. Sorot matanya masih tajam dan mengintimidasi, seperti dulu. Garis wajahnya menjadi semakin tegas disokong oleh bentuk rahang yang sempurna, memberikan kesan bahwa ia tidak akan pernah bermain-main dalam tugas. Dari balik mantel hitamnya, Ten dapat melihat jelas lencana emas dan badge bertuliskan namanya.

"Ancaman pembunuhan."

Alis Risa terangkat, Ten merogoh saku jaketnya dan mengambil kertas lusuh, merapikannya kembali sebelum menyodorkannya pada Risa. Memberikan satu tatapan terakhir, Risa mengambil surat tersebut dan membacanya dengan seksama.

"Hah, kau mungkin hanya sedang digoda oleh seseorang saja." Risa akhirnya berkata, mengembalikan kertas itu kembali pada pemiliknya. Ia kemudian kembali berjalan lebih jauh ke dalam lorong.

"T—Tapi tidakkah kau sadar bahwa ada tanda khusus di bagian akhir surat? Semua orang tahu siapa yang membuat surat ini dan apa yang terjadi setelah surat tersebut datang kepada seseorang!" Ten membalas. Kali ini ia berusaha menyamai langkah Risa dan berjalan di sampingnya.

"Aku tahu." Risa berhenti tepat di depan sebuah bangsal. "Pembunuhan berantai itu terjadi dalam tiga bulan terakhir, dan kau tahu? Ada beberapa alasan mengapa aku meragukan kebenaran surat tersebut. Pertama; sebuah tanda dapat dengan mudah dipalsukan untuk memberikan terror pada masyarakat. Kedua; banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai pelaku pembunuhan berantai tersebut dan semuanya tidak terbukti. Ketiga; orang yang kau maksud telah berada di dalam sini sejak bertahun-tahun yang lalu."

"Tidak mungkin... kalau begitu, siapa orang yang meninggalkan sepotong jari di kotak suratku?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top