Chapter 9: Our Old Enemy
Para siswi di cafetaria nampak sedang membicarakan topik yang sedang hangat baru-baru ini. Beita tentang perkelahian antar dua anggota The Elites dengan cepat tersebar di kalangan civitas akademik Sakurazaka Academy. Mereka memang tidak tahu tentang peristiwa brutal pada waktu itu, tetapi mereka dapat melihat efek dari perkelahian itu hari ini.
Risa datang ke sekolah dengan wajah penuh luka, dan perban di beberapa bagian tubuhnya, ia datang dengan wajah jauh lebih suram dari biasanya. Pada hari-hari biasa, ia akan menjahili siswi lain tapi tidak pagi itu. Setelah memarkirkan mobilnya, ia langsung berjalan menuju kelas. Ia juga tidak mengenakan blazer putihnya dan hanya memakai kemeja dengan rompi abu-abu tanpa dasi.
Karin datang dengan keadaan yang tidak jauh berbeda. Pergelangan tangannya diperban, ada luka jahitan yang masih belum kering di pelipis kirinya, juga beberapa lebam di leher dan rahang. Plester luka juga menempel di jembatan hidung dan dahinya. Tampak pleset luka itu terkena rembesan darah yang berarti pendarahannya masih belum sepenuhnya berhenti.
Sementara itu, Hono tidak hadir dikarenakan ia tidak dapat berjalan selama sementara waktu. Perlu diingat, Risa mematahkan kakinya.
Akane yang sudah mengerti akan hal itu tidak terlalu terkejut saat melihat The Elites tidak saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan, Risa yang biasanya menempel dengan Yui dan Yuuka seperti perangko dan amplop, terlihat menjaga jarak dari mereka. Gadis tinggi itu memilih untuk beristirahat di klinik dan memakan bekalnya sendiri saat jam istirahat daripada harus mengambil makan siang di cafetaria.
Fuyuka datang dengan beberapa potong roti dan tiga gelas milkshake diatas baki. Matsuda membantunya mengambil minuman dan mengembalikan baki ke tempat yang telah disediakan. Hari ini mereka terlihat lebih serius dari biasanya. Bahkan Matsuda yang banyak bicara hanya menjawab dengan beberapa kata. Koike tidak sedang bersama mereka. Habu menjemputnya untuk mengajaknya makan siang bersama-sama di atap. Sangat romantis menurut Akane. Koike sendiri sepertinya harus bersiap karena teman-temannya akan menggodanya selama beberapa hari ke depan setelah ini.
"Fuuchan, siapa Hirate?" Akane tiba-tiba bertanya. Dengan ekspresi penasaran, gadis itu menatap Fuyuka dan Matsuda dan berharap kedua temannya itu akan memberikan jawaban.
"Sudah kubilang dia itu mantan siswi disini." Fuyuka diam sejenak, matanya mengarah keatas, mencoba untuk mengingat. "dia satu-satunya orang yang berani dengan The Elites. Sampai saat mereka membully Hirate di sekolah."
"Kalau aku tidak salah dia keluar dari sekolah saat teman-temannya meninggal dalam kecelakaan mobil. Itu mengerikan, bayangkan saja, lima orang penumpang tidak ada yang selamat. Entah kenapa The Elites terlihat berduka setelah peristiwa itu. Mereka diam selama beberapa hari sebelum kembali menjalankan aktifitasnya."
Akane mendengarkan penjelasan Matsuda dengan serius. Ia bahkan lupa mengunyah roti yang ada di mulutnya. Ia tidak pernah mengetahui sebelumnya tentang kematian lima siswi itu, bahkan tidak ada media yang melaporkan peristiwa itu.
"Itu.. terlalu menyakitkan untuk diingat, Akane. Kelima siswi itu adalah orang-orang yang baik." Matsuda menurunkan kepalanya. Ia tidak dapat menyembunyikan ekspresi kesedihan dibalik suaranya. "mungkin kau bisa menemukan informasi lebih jauh di perpustakaan. Sekolah menyimpan arsip berisi identitas semua siswi. Kau pasti akan menemukan mereka disana."
Lima orang meninggal dalam kecelakaan mobil? Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, pengemudi mabuk. Kedua, keadaan mobil yang melaju di jalanan yang licin. Jika peristiwa itu terjadi di libur natal, ada kemungkinan kecelakaan terjadi karena ban mobil selip di jalanan bersalju. Karin menolak menjelaskan hal seperti ini kepadanya. Akane mengingat keraguan yang ada di wajah Karin saat ia nampak terlihat akan membicarakan hal ini.
Jika alasan Karin tidak ingin memberitahunya adalah karena menolak untuk mengingat memori lama, itu tidak beralasan. Okay, mungkin itu masuk akal karena Karin tidak mau mengingat orang yang sudah mati.
Atau mungkin ia malah turut terlibat?
Akane membuang tuduhan tanpa bukti itu pada Karin. Karin adalah orang yang baik, ia tidak mungkin melakukan pembunuhan yang beresiko.
"Akane apa yang kau pikirkan? Ponselmu berbunyi." Fuyuka menggoyangkan bahu Akane. Gadis itu terlalu tenggelam kedalam pikirannya sampai-sampai ia tidak sadar ponselnya berbunyi menunggu dilihat oleh pemiliknya.
Unknown number.
"Bicara."
"Kau tidak melupakan tugasmu?"
Ah, benar juga. Akane sudah berjanji untuk mengawasi Risa. "Oke, aku akan pergi." dari suaranya kelihatannya yang meneleponnya adalah Kobayashi. Ia langsung mematikan panggilan telepon secara sepihak dan menghela napas berat. Menyesali keputusannya untuk menyetujui permintaan kedua anggota The Elites itu.
Akane mengambil milkshake miliknya dan meminumnya sedikit. Itu membuat Fuyuka dan Matsuda menatapnya dengan tatapan aneh. "Kenapa begitu terburu-buru?" tanya Fuyuka.
"Aku harus ke toilet." dengan itu, Akane berjalan agak cepat meninggalkan kedua temannya yang kebingungan menatap satu sama lain.
"Apa yang salah dengannya?"
Risa mengusap cat berwarna hijau gelap yang mengalir dari kepala ke wajahnya. Cairan lengket itu mengalir dengan cepat membasahi rambut dan seragamputih miliknya. Ia sama sekali tidak memberikan perlindungan diri saat seseorang di depannya menyiramnya lagi dengan seember air dicampu dengan cat. Risa hanya dapat melindungi wajahnya dengan mengangkat lengannya menutupi wajah. Lukanya, yang masih basah, terasa perih saat cat mengenainya. Risa tidak bisa melawan balik karena buku-buku jarinya masih terasa nyeri saat digerakkan. Jadi ia hanya diam dan tak berdaya ketika mereka kembali menyiramnya dengan cat.
"Oh, lihat. Ia seperti anjing kecil yang lucu."
"Rei, beri dia warna lain. Dia pasti akan terlihat cantik dengan itu!"
Lagi, Risa tidak melawan saat Ozono, siswi tingkat tiga, menumpahkan cat di kepalanya. Ia lalu melemparkan embernya hingga mengenai wajah Risa. Itu jelas sudah kelewatan. Tampak kini wajah gadis berambut pendek itu merah padam karena amarah yang mulai menguasainya.
"Lihat apa yang bisa kau lakukan tanpa teman-temanmu, Watanabe." Endo Hikari berkata, disusul oleh tawa teman-temannya. "rasakan pembalasan kami."
Akane mendengar suara berisik dan suara tawa dari ujung koridor yang mengarah ke kelas kosong langsung berlari menuju sumber suara. Langkah kakinya mendadak terhenti saat melihat Risa dengan seragam yang kotor oleh cat sedang dirundung oleh siswi senior—yang Akane tidak percayai adalah, ketiga senior itu tengah merisak seorang Watanabe Risa.
Ia buru-buru mengirimkan pesan pada Yui agar ia dapat langsung menuju tempat yang dimaksud. Setelah pesannya terkirim, ia langsung mendekati keempat orang tersebut.
"Hei! Apa yang kau lakukan padanya, sialan. Jika kau membalasnya seperti itu, apa yang membedakanmu dengan Watanabe?" Akane berteriak. Ia berdiri diantara mereka dengan tatapan berapi-api. Risa melebarkan matanya saat Akane berdiri di depannya, berusaha melindunginya.
Lagipula, untuk apa gadis yang sangat ia benci karena telah merusak reputasinya sebagai penguasa sekolah di hari pertamanya mau melindungi dirinya dari senior tingkat tiga? Risa tidak mengerti.
Melihat Akane, Rei langsung menajamkan matanya. Ia menatap Akane dengan tatapan penuh benci. "Kau siswi baru itu, ya? Kau tidak perlu mengganggu masalah kami. Ini urusan kami dengannya, dan bukan denganmu." Akane tidak bergerak dari tempatnya, malahan ia menyuruh mereka bertiga untuk pergi.
Ketiganya agak melangkah mundur dari tempatnya semula saat mereka melihat tatapan mengerikan Akane. Seolah gadis itu hendak menghancurkan dan merobek tubuh mereka seperti singa yang lapar.
"Kalian semua tidak pernah berubah." suara tenang dan tegas dari Kobayashi Yui membuat mereka bertiga melihat arah kedatangan sang pemilik sekolah. "aku akan memberimu waktu tiga detik untuk pergi dari pandangan mataku, atau kalian akan dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah ini!"
Tidak pernah mereka mendengar Yui berteriak dengan suara yang begitu lantang. Begitu keras hingga suaranya menggema di lorong sepi dan panjang itu. Tatapan tajamnya tidak terlepas dari ketiga seniornya.
Kobayashi menghentikan langkahnya. Menjaga jarak sejauh tiga meter dari keempat orang itu, berdiri tegak di tengah-tengah koridor. Dengan satu tangan mengepal, ia mulai menghitung, "Satu,"
"Sial, Kobayashi." Ozono akhirnya menarik kedua temannya dari sana dengan cepat. Ia tidak ingin bertatapan lebih lama dengan Yui yang sedang marah.
Setelah ketiganya pergi, Akane berbalik dan berhadapan langsung dengan bahu Risa. Setelah dilihat lebih baik, nampaknya cat yang mereka siram ke Risa adalah cat air. Jadi tidak akan sulit untuk menghilangkan nodanya dari seragam Risa. Tapi, tetap saja, seragam yang ia kenakan basah kuyup dan tak bisa lagi digunakan.
Yui menyentuh bahu Risa, menuntunnya untuk pergi dari area tersebut. "Ayo, bersihkan dirimu. Moriya, bisakah kau mencari petugas kebersihan dan memintanya membersihkan kekacauan ini?" Yui berucap pada Akane. Gadis itu mengangguk, menyanggupi permintaan Kobayashi.
"Ah tunggu, Kobayashi!" Akane memanggil Yui, membuat gadis itu menghentikan langkahnya dan meliriknya dari balik bahu. Akane melepaskan blazer putihnya dan memberikannya pada Yui. "Watanabe akan membutuhkan ini." Risa sekali lagi menatap Akane dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin ia bersikap begitu baik padanya?
"Oh ... baiklah. Terima kasih." Yui menerima pemberian Akane dengan senyuman sebelum berjalan menjauh bersama Risa.
Di dalam toilet, Yui menunggu dengan sabar untuk Risa di balik bilik toilet. Ia sudah membawa rok putih dan kemeja cadangan yang ia ambil dari loker Risa. Setelah sekitar 10 menit, Risa mengetuk pintu tiga kali. Memberi Yui tanda baginya untuk memberikan seragam dari celah atas pintu. Yui melemparkan seragam itu karena terlalu tinggi baginya. Risa keluar beberapa menit kemudian. Wajahnya sekarang bersih dari cat dan rambutnya yang basah juga bersih. Yui mengambil handuk kering dan berjinjit untuk mengeringkan rambut Risa dengan itu.
"Kupikir kau tidak peduli denganku."
Yui menghentikan aktifitasnya untuk mengusapkan handuk di rambut basah Risa. Gadis itu terdiam selama beberapa saat, memikirkan jawaban yang pas. "Siapa bilang aku tidak peduli denganmu. Aku temanmu, Risa."
"Itu ..." Ia dapat mendengar Risa tertawa pahit. "Aku hanya berpikir kau akan memilih tunanganmu daripada sahabatmu."
Oh, Yui tidak menduga Risa akan membahas hubungannya dengan Yuuka lagi. "Risa..."
Risa tersenyum padanya. Berusaha menata hatinya seolah ia sedang baik-baik saja, agar ia tidak merasa sedih lagi. Namun bagi Yui, senyuman itu adalah senyuman dari orang yang sedang patah hati. Ia dapat merasakan Risa menahan keinginannya untuk menangis.
"Tapi, tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja. Jika kau butuh bantuan, kau tahu kepada siapa kau bisa meminta." mengulas senyuman tipis yang terlihat kaku di mata Yui, Risa lantas melanjutkan dengan suara lirih. "Aku mencintaimu. Jika kau menganggap perasaanku ini sebagai sesuatu yang tak seharusnya juga tidak apa-apa. Dengan kau membiarkan aku menyimpan perasaan ini dan tetap menjaga hubungan persahabatan kita dengan baik, itu sudah lebih dari cukup untukku."
Yui tidak tahu bagaimana akan menjawab. Melihat Risa, ia tidak mungkin menolaknya sekarang. Ia tidak mau membuat Risa menjadi semakin menderita karena perasaan egois yang mencengkeramnya seperti tangan iblis. "Kau ini bicara apa sih?" Yui menjawab. Ia memukul dada Risa dengan candaan sementara Risa menggeram kesakitan. Yui lupa bahwa Risa baru saja berkelahi dengan dua orang sekaligus. "Dengar, jika kau terus berbicara tentang hal itu ... aku akan menambah memar di wajahmu. Tiga sekaligus."
"Well, itu terdengar seperti hal yang akan diucapkan oleh seorang Kobayashi Yui bagiku."
"Dan aku juga serius dengan apa yang aku katakan." Yui menjawab seraya menarik dasi yang melingkar pada kerah kemeja Risa ke bawah dan membuat gadis tinggi di depannya tersedak selama beberapa detik. Setelah puas menggoda Risa, ia pun mengambil blazer pemberian Akane dan memberikan benda itu padanya. "Kau harus berterima kasih padanya nanti."
"Tentu, saja." Risa menepuk pucuk kepalanya dengan lembut. Itu membuat Yui memiringkan kepalanya ke samping. Mereka berdua lantas tertawa. Jujur saja, Yui sangat merindukan saat-saat di mana ia dan Risa dapat tertawa bersama seperti ini. Ia selalu menyukai tawa Risa, mengingat gadis itu cukup jarang tertawa dan selalu bersikap dingin.
"Sejak kapan Rei berani menyentuhmu lagi?"
"Entahlah. Aku akan membunuhnya setelah tanganku pulih." Risa mengangkat bahunya. Dalam hatinya ia bersumpah akan membalas perbuatan Ozono, tetapi itu bisa menunggu. Sekarang, ia ingin menghabiskan waktunya dengan Yui.
"Buku ini?" Akane melihat buku tebal dari rak perpustakaan. Ia mengambilnya dan membawanya ke tempat duduk.
Ia sedang sendirian di perpustakaan. Sengaja melewatkan pelajaran terakhir sampai jam pulang sekolah karena ia ingin mencari informasi lebih jauh tentang kelima siswi yang meninggal dalam kecelakaan mobil. Sebenarnya itu tidak berefek banyak, tapi ia hanya penasaran mengapa peristiwa itu tidak disiarkan oleh media. Akane membuka halaman demi halaman untuk mencari profil siswi yang sudah tidak diperbarui.
Agak sulit, tapi paling tidak ia berhasil menemukan satu profil yang sudah tidak diperbarui. Keterangan di buku juga mengatakan status pelajar—meninggal dunia. Penyebab kematian, kecelakaan mobil. Akane memperhatikan nama siswi tersebut, Ishimori Nijika.
Ia langsung membuka halaman selanjutnya. Akane menemukan profil Hirate Yurina. Gadis tanpa senyuman di wajahnya. Ia mengundurkan diri dari sekolah tanpa keterangan apapun.
"Ini juga." Akane menggumam, menemukan beberapa nama siswi lain pada lembaran selanjutnya. Nagahama Neru, Sato Shiori, Yonetani Nanami, Suzumoto Miyu dengan keterangan meninggal dunia oleh kecelakaan mobil. Ia menutup buku. Menghela napas berat. Meskipun ia tidak mengenal orang-orang tersebut, ia dapat merasakan duka yang sangat dalam. Akan lebih baik jika mereka masih hidup, mungkin mereka dapat menjadi teman hari ini. Terutama Ishimori Nijika yang rupanya berasal dari daerah yang sama dengan Akane.
"Apa yang kau lakukan?"
Akane sontak menolah saat mendengar suara muncul dari balik tubuhnya. Ia menemukan Yuuka berjalan menuju tempat duduknya. Gadis itu agak terkejut saat melihat buku profil diatas meja, tapi ia menyembunyikan ekspresi kagetnya dengan cepat.
"Sendirian?" Yuuka bertanya lagi karena pertanyaan sebelumnya tidak dipedulikan oleh Akane.
"Seharusnya kau sudah melihat dengan kedua matamu itu. Ya, aku sendirian di sini." Akane akhirnya menjawab.
Yuuka mengambil tempat duduk disamping Akane. "Kalau begitu, aku akan duduk di sini." ia tersenyum—lagi, senyuman yang membuat Akane membeku. Ia berbohong jika ia mengatakan ia tidak suka melihat Yuuka tersenyum seperti itu. Bukan senyuman menyebalkan yang biasa ia beri padanya.
Perpustakaan sebenarnya tidak terlalu sepi. Ada beberapa siswi lain disana, tapi tentu saja mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dengan Yuuka di sampingnya, Akane jadi kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ia melihat gadis di sampingnya mengerjakan beberapa soal fisika.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu." Akane bersumpah bahwa ia seharusnya mengatakan hal itu pada dirinya sendiri. Tapi ia malah mengatakannya dengan vokal.
"Seki pergi bersama Karin karena mereka akan menjenguk Hono nanti. Sedangkan Yui sudah memberitahuku bahwa ia akan pergi dengan Risa." Yuuka menjawab. Ia meletakkan pulpennya, memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sementara waktu. "aku tak menduga kau mau berbicara berdua saja denganku."
"Kau tidak takut kekasihmu pergi dengan Risa?"
"Untuk apa aku takut? Yui bukanlah orang yang akan berselingkuh begitu saja di belakangku." Yuuka tertawa atas pertanyaan Akane. Tawa lembut Yuuka membuat Akane merasa ia sedang berbicara dengan orang lain. Meskipun beberapa minggu yang lalu orang di depannya ini telah membuatnya benci setengah mati, dan sekarang Yuuka membuatnya ingin mengenalnya lebih jauh lagi.
"Aku hanya tidak mau kau merasa tidak dipedulikan. Kupikir itu tidak sopan saat kau tidak berbicara pada orang di sampingmu, padahal kau saling mengenal." Akane menjelaskan. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuka laman sosial media.
Akane bukannya tidak tahu bahwa Yuuka diam-diam memperhatikan wajah sampingnya. Justru karena tindakan itulah yang membuat Akane berusaha tidak peduli dan memutuskan untuk bermain dengan ponselnya. Sungguh, jika hanya ada mereka berdua di perpustakaan, Akane akan berteriak pada Yuuka agar pemimpin The Elites itu ia tidak menatapnya seperti seorang penguntit.
"Kau manis,"
"Tolong ingat bahwa kau sudah bertunangan dengan Kobayashi."
Yuuka tertawa lagi. Dan itu membuat Akane merasa aneh. Ia tidak tahu mengapa ia tiba-tiba menyukai senyuman Yuuka. Meskipun gadis itu sesekali menyebalkan.
"Apakah kau sendiri setelah ini? Maksudku, apa kau akan pergi dengan teman-temanmu?"
"Aku ada kepentingan dengan Fuyuka."
"Telepon dia. Katakan padanya bahwa kau ada urusan mendadak. Setelah ini, akulah yang akan mengantarkanmu pulang."
Akane sudah tidak menghitung lagi berapa kali ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melemparkan sepatunya pada wajah Yuuka suatu hari nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top