Chapter 8: First Fight, First Quarrel
Apakah The Elites tidak pernah mengalami pertikaian internal? Apakah hubungan mereka baik-baik saja sebagai sesama golongan elit di Sakurazaka Academy? Faktanya sekarang Karin sedang tergeletak di atas rumput di hutan buatan bagian belakang sekolah dengan goresan dan luka di wajah, dagu, dan bibirnya. Napasnya tersengal-sengal, bahkan sempat ada suara decitan seperti suara tikus tiap kali ia menarik napas. Pagi itu, tanpa mengatakan apapun, Risa membawa Karin ke sana dan langsung menghajarnya habis-habisan tanpa memberikan kesempatan satu detik saja bagi Karin untuk membalas.
Risa mengibaskan tangannya yang terkena darah, menatap tajam pada Karin yang berusaha keras untuk duduk. Gadis berambut pendek itu mendesah pelan dengan darah mengalir dari sudut bibirnya. Seragam putihnya kotor karena darah dan debu. Begitu juga dengan Risa. Seragamnya berantakan, tapi keadaan fisiknya lebih baik dari Karin yang terluka di sana-sini.
Bahkan mereka tidak mengikuti jam pagi karena perkelahian bodoh itu. Lagipula karena posisi mereka yang superior di sekolah, tentu para guru tidak akan berani menegur ataupun mencari mereka. Kecuali kepala sekolah—yang selalu datang saat memasuki jam siang.
Seharusnya Karin tahu ia tidak akan bisa mengalahkan Risa dalam hal berkelahi. Gadis berambut pendek itu terlalu kuat baginya. Satu pukulan kuat hanya mampu membuat Risa mundur, sedangkan jika Risa memukul Karin dengan satu pukulan saja sudah cukup membuatnya kehilangan keseimbangan sesaat. Jika saja teman-temannya tidak menahan Risa, bisa saja ia berakhir dengan kepala bocor.
Risa berjongkok di depan Karin, tangannya yang kuat menarik kerah blazer pemain baseball itu. Dengan suara pelan, tapi penuh intimidasi, Risa berkata, "Apa yang kau lakukan—kau katakan pada anak baru itu?"
Memuntahkan darah dari mulutnya, Karin menjawab. "Aku tidak mengatakan apapun." singkat, padat dan jelas.
Jawabannya itu jelas membuat Risa tidak senang. Ia mendorong tubuh Karin dan membantingnya ke tanah dengan sangat kuat, menggunakan kakinya untuk menginjak lehernya yang terekspos. Karin menggeram dan mengerang menahan sakit, ia ingin menendang Risa menjauh tapi Risa dengan cepat naik ke atas tubuhnya dan menahannya untuk membuat gerakan apapun. Hono dengan sigap menarik blazer Risa hingga hampir terlepas dari tubuhnya. Dan Seki mengalungkan lengannya di leher Risa agar ia bisa menarik gadis itu menjauh dari atas tubuh Karin.
Yuuka, melihat Karin sudah hampir kehabisan napas akhirnya ikut membantu. Ditariknya Karin dari cengkeraman Risa. Ia pun berkata, "Risa! Kau akan membunuhnya."
Sementara Yui? Ia lebih memilih tidak ikut campur. Jadi ia hanya bersandar pada dinding sembari melihat perkelahian kedua temannya itu. Bisa celaka jika ia sampai turut bergabung dalam insiden adu pukul itu.
"Apa? Si brengsek ini baru saja membongkar rahasia kita dan kalian membiarkan hal itu terjadi? Aku tidak percaya kalian membiarkan pengkhianat ini tetap hidup!" Risa membentak, ia menginjak pergelangan tangan Karin yang diperban. Sontak itu membuat Karin berteriak menahan sakit.
Seki melompat, mendorong Risa hingga ia mundur beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Hono berdiri didepan Risa. Untunglah tubuh Risa dan Hono sama besar dan sama kuat sehingga atlet voli itu mampu menahan Risa melukai Karin lebih jauh.
"Karin, apa benar kau memberitahu Moriya?" tanya Hono. Karin menggeleng. Ia terbatuk dan meludahkan darah. "Lihat, Risa."
Risa mendesis. Ia menatap The Elites satu per satu. "Kita sudah mati-matian menutup lubang busuk itu dan anak sialan ini malah membongkar semuanya. Seharusnya dia berterimakasih karena aku tidak memasukkan dia dalam daftar pelaku!"
Wajah mereka langsung berubah. Ekspresi menahan marah, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Masing-masing pikiran mereka memutar kilas balik peristiwa yang terjadi malam bersalju itu, tepat satu tahun yang lalu.
Yuuka berkata dengan suara pelan. Tiap kata yang ia katakan menunjukkan intimidasi pada Risa. Ia beranjak mendekati Risa, ditariknya kerah blazernya dan menatapnya tajam. "Itu salahmu, keparat. Nijika... dan yang lainnya..." emosi Yuuka jelas sudah berada di ujung kepalanya, urat-urat lehernya tampak jelas saat ia mengancam Risa begitupun dengan urat di tangannya.
"Huh, sekarang kau menyalahkan aku?" Risa membalas dengan nada sengak. "apa kau lupa rencanamu itu? Menabrak, membakar dan membuang ke laut? Bajingan! Kau bahkan lebih hina dariku! Seharusnya kau berterima kasih pada tuhan karena dia masih mau menyimpan aibmu hingga sekarang!"
Napas Yuuka memburu. Tangannya yang mencengkeram kerah Risa semakin menguat hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku tidak akan melakukan itu jika kau tidak bertindak diluar batas, Watanabe Risa." Yuuka mendorong Risa, seolah menantang gadis tinggi itu berkelahi. "aku—kami tidak akan mengotori tangan kami dengan darah jika kau tidak bertindak gila!"
"Kau seharusnya berterima kasih padaku karena aku tidak memberitahu ayahmu tentang apa yang kau lakukan, Yuuka..." Risa mendesis. Mendengar Risa menyebut ayahnya, seketika membuat nyali Yuuka menciut. Tetapi ia tetap menatap Risa dengan penuh kemarahan.
Risa kemudian melirik Seki dan Hono. "Ayahmu akan lengser dari jabatannya di kementerian dan karirmu sebagai atlet akan hancur jika saat itu aku tidak menutup kasus dan memperkuat alibi."
"Sialan. Kau yang membuat kami terlibat dengan tindakan busukmu!" Hono yang sedari tadi hanya berkata pada dirinya sendiri untuk menahan diri, kini mulai membalas. Seki sampai harus menahan lengan kekasihnya itu agar tidak menerjang Risa.
Melihat keadaan mulai mencekam, Yui mendekati Karin yang tergeletak. Ia membantunya berdiri, dan berkata pada teman-temannya. Ia sudah muak berada di tengah perdebatan itu. "Sebelum mulut kalian berkata lebih jauh, lebih baik kalian segera membubarkan diri." Ucapnya. Ia menatap Yuuka seolah meminta gadis itu untuk ikut dengannya. Yuuka pun memilih pergi bersama Yui.
Yuuka melingkarkan lengannya pada tubuh Karin, memberikan bantuan pada Karin yang tampak tak memiliki kekuatan untuk sekedar menggerakkan kaki, sedangkan Yui di depan mereka. Beberapa siswi dari dalam kelas yang melihat tiga orang The Elites—satu orang terluka—mulai berbisik-bisik, bahkan beberapa ada yang menunjuk keluar jendela. Pengajar yang bertugas di kelas sampai harus memperingatkan mereka agar kembali fokus dengan pelajaran.
Tidak terkecuali Moriya Akane. Gadis itu mendapati ketiga siswi tersebut lewat di depan jendela kelasnya dengan wajah yang mengerikan. Seolah mereka bisa saja menerkam siapa saja yang menghalangi langkah mereka. Terutama Yuuka, wajah diamnya yang terlihat ramah kini berubah menjadi ekspresi gelap. Berjalan agak cepat dengan sorot mata tajam dan langkah tegap. Entah kenapa wajah itu membuat Akane menatap Yuuka lebih lama.
Tapi itu bukan berarti ia tidak menyadari gadis lain yang dibopong oleh Yuuka. Apa yang terjadi padanya?
"Ini masih pagi. Apalagi yang mereka lakukan?" Koike berbisik pada Akane. "Oh, sial! Bukankah itu Fujiyoshi? Ia berdarah!"
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki-penjaga keamanan berteriak dari arah belakang sekolah. Disusul oleh beberapa penjaga yang keamanan berlari melewati kelas mereka dengan cepat. Sontak itu membuat mereka menjadi makin riuh penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Karena apapun yang berhubungan dengan The Elites, jelas bukan merupakan hal yang baik.
Di belakang sekolah, terjadi perkelahian mengerikan di antara Watanabe Risa dan Tamura Hono. Wajah kedua orang itu dipenuhi oleh luka gores dan lebam sehingga membuat nyaris sulit dikenali karena lumuran darah di sana-sini. Risa menggunakan lengan kirinya untuk menepis tangan Hono yang hendak membantingnya, agar atlet voli itu tidak menjatuhkannya ke tanah dan mendapat kesempatan penuh untuk menghajarnya.
Risa menendang lutut Hono dan membuatnya terjatuh, dengan cepat ia menaiki tubuhnya dan mulai memukuli wajah berdarah Hono. Entah mendapat kekuatan dari mana, dengan kaki yang patah Hono mampu membalik hingga membuat Risa berada di bawahnya. Adrenalin dalam dirinya terpompa hebat, persetan dengan tubuhnya penuh dengan darah.
Seragam putih mereka kini mulai berubah warna menjadi merah darah. Masing-masing seperti kerasukan. Memukul, menendang, membanting satu sama lain tanpa ampun. Seolah memang tujuan mereka adalah saling membantai.
Perlu lebih dari tujuh petugas keamanan agar mereka dapat dipisahkan dan dijauhkan satu sama lain. Rasa sakit dari luka robek dan nyeri berdenyut-denyut mulai terasa menyiksa begitu mereka dipisahkan, mereka meringis menahan rasa sakit. Hono langsung pingsan tidak sadarkan diri di tempat, sedangkan Risa seperti kesulitan bernapas hingga ia harus berlutut dan menekan dada kirinya.
Untung saja Seki segera memanggil penjaga keamanan begitu melihat mereka seperti akan saling bunuh.
"Ada apa di luar?" Yui bertanya pada Yuuka yang sedang mengintip keluar dari tirai jendela. Beberapa orang terus berlari melewati klinik sambil berbicara dengan nada ketakutan. Meski Yui sudah menebak apa yang membuat mereka seperti itu.
"Mereka membuat ulah lagi, sialan." Yuuka membalas dan menutup tirai. Kembali mendekati Yui dan duduk di sebelahnya. Menunjukkan kekecewaan pada wajahnya.
Bau alkohol dan antiseptik menyeruak di klinik. Yui masih dengan sabar membersihkan luka di wajah Karin, saat gadis itu bergetar dan mencengkeram pergelangan tangan Yui karena menahan sakit, Yui menenangkannya hingga membuat Karin menutup matanya. Berharap ia pingsan saja.
Sebelumnya mereka tidak pernah menduga jika The Elites sendiri akan mengalami perpecahan separah ini. Dengan saling bunuh? Itu hal yang sangat gila. Lagipula tidak ada bukti konkret yang menjelaskan bahwa Karin benar-benar membongkar rahasia mereka kepada Moriya. Risa bahkan hanya kebetulan lewat dan mendapati mereka berboncengan tanpa benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan sebenarnya. Pun, tidak ada larangan bagi anggota The Elites untuk bertemu dengan siswi lain di luar area sekolah sehingga apa yang dilakukan oleh Karin bukanlah sebuah pelanggaran berat.
Meskipun kekhawatiran Risa berlebihan, tapi itu masuk akal. Karena jika sampai rahasia mereka terbongkar, reputasi mereka dan keluarga mereka akan hancur berantakan.
Karin menggerakkan tangannya dengan lemah. Ia terus berusaha untuk menggenggam blazer Yuuka seolah takut ia akan meninggalkan Karin seorang diri di dalam sana. "Karin? Ada apa?" tanya Yuuka dengan lembut. Ia menerima ice pack yang diberikan oleh Yui dan meletakkannya pada pergelangan tangan Karin yang membiru.
"Kalian percaya padaku, bukan? Aku bersumpah, aku tidak membocorkan itu pada Moriya..." Karin berkata lirih.
Yui menghela napas. Ia menatap Yuuka dan Karin. "Aku percaya denganmu. Kami akan berdiri di sisimu." ucapnya.
Karin mengangguk lemah. Ia mengerang pelan, rasa sakit dan ngilu dari lukanya tak kunjung berkurang juga. Matanya silau karena lampu ruangan, sehingga ia perlahan menutup matanya dan membiarkan rasa kantuk menyelimutinya. Yuuka menyentuh bahu Karin dan mengusap-usapnya dengan lembut, memberikan temannya itu perasaan nyaman sementara ia juga terus mengompres pergelangan tangan Karin.
Mereka berdua terdiam menatap Karin yang mulai tertidur. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Yuuka sebenarnya merasa takut jika sewaktu-waktu Risa akan membongkar rahasia itu pada ayahnya, dan jika itu terjadi... Yuuka merasa lebih baik mati saja. Gadis itu mengusap wajahnya dengan rasa frustasi. Di sisi lain ia sedih karena teman-temannya bertengkar, tetapi ia juga takut akan hal buruk yang akan datang padanya.
"Yuuka,"
Yuuka memutar kepalanya. Menemukan Yui tengah menatapnya dengan sepasang netra coklat mudanya. Hanya, Yuuka baru saja sadar jika jarak mereka benar-benar terlalu dekat. Sontak itu membuat Yuuka agak terkejut. "Apakah ada sesuatu yang salah, Yui?" Yuuka mencoba bertanya.
Yui memundurkan sedikit tubuhnya. "Aku tidak tahu. Hanya saja aku merasa sedikit takut."
"Tentang Risa?" Yuuka memastikan.
"Iya, mungkin. Aku merasa dia akan melakukan hal yang lebih jauh dari ini. Kau tahu Risa itu orang seperti—"
Dalam satu gerakan cepat, Yuuka merengkuh Yui dalam pelukannya. Berusaha membuatnya nyaman di antara kedua lengannya. Yui terkejut, tapi ia langsung membalas pelukan Yuuka. Memeluknya sangat erat seperti ia tidak ingin kehilangan Yuuka. Yui dapat mendengar detak jantungnya yang berpacu cepat, dan sangat yakin jika Yuuka dapat mendengarnya juga.
"Jangan takut. Aku akan selalu berusaha untuk melindungimu." Yuuka berbisik. "aku akan melakukan sesuatu jika nanti rahasia tersebut sampai terbongkar publik."
Yui tidak menjawab. Ia lebih memilih menikmati kehangatan tubuh Yuuka, menikmati waktu kesendirian berdua mereka. Menikmati waktu bersama orang yang dicintainya.
"Kau adalah sahabatku, Yui. Dan aku rela melakukan segala cara agar aku tidak kehilanganmu." Yuuka melepas pelukan mereka. Tangannya membelai pipi Yui dengan lembut, memberinya senyuman yang manis. "begitupun Risa. Dan juga yang lainnya."
Ah... sahabat bagimu ya? Yui tanpa sengaja mengigit bagian dalam mulutnya sendiri. Hatinya selalu terasa sakit saat Yuuka menyebut dirinya hanya sebatas teman, atau sahabat baginya. Tetapi hingga saat ini Yui cukup kuat, dan ia masih kuat untuk menyembunyikan air matanya yang kini menganak di sudut matanya, memaksa keluar.
Sejujurnya, Yui ingin Yuuka merasakan hal yang sama padanya. Meskipun Yui tahu itu sangat mustahil.
Ia menyentuh tangan Yuuka di pipinya. Menggenggamnya dengan erat. Ia berjanji pada dirinya sendiri untung melindungi Yuuka, juga. "Terima kasih, Yuuka." Yui berkata. Dan Yuuka membalasnya dengan senyuman. Baru saja Yuuka akan mendekat dan menarik kekasihnya dalam ciuman singkat, pintu klinik seketika di dorong terbuka tanpa adanya ketukan atau bunyi bel terlebih dahulu.
"Permisi!"
"Oh, astaga! Mataku ternodai."
Yui dan Yuuka langsung memberikan jarak satu sama lain begitu melihat ada orang lain yang masuk ke dalam klinik. Yuuka bukannya tidak sadar Yui agak merasa terganggu atas kehadiran dua orang tadi, jadi Yuuka berinisiatif menggenggam tangannya sejenak.
"Moriya, Matsudaira," Yuuka menghela napasnya perlahan, "Apa yang harus kalian lakukan saat akan masuk ke dalam suatu ruangan?" Yuuka bertanya saat Akane dan seorang gadis yang lebih tinggi darinya saat mereka berdiri di samping brankar tempat Karin terbaring. Nadanya sama sekali tidak menunjukkan hal yang tidak disukai Akane—kesombongan dan intimidasi.
Akane mendongak pada Riko, bertanya-tanya dalam hati apa jawaban yang tepat untuk dilontarkan atas pertanyaan itu. Karena sebelumnya ia tidak pernah membaca dan menyentuh buku berisi etika dasar yang harus diterapkan di Sakurazaka Academy—ia bahkan membiarkan buku itu berdebu di atas meja belajarnya.
"Mengetuk pintu sebanyak tiga kali dan menunggu selama lima detik setelahnya." Riko menjawab.
"Ya. Dan kalian harus melakukan itu meskipun kalian merasa ruangan yang akan kalian masuki itu kosong."
Riko berjalan mendekati Karin, ia menatap gadis itu dengan ekspresi sedih. "Luka-lukanya sudah kurawat. Dia akan baik-baik saja." Yui berkata padanya. Setidaknya itu membuat Riko merasa lebih tenang dari sebelumnya.
Akane, mendekati Yuuka dan langsung mencecarnya dengan pertanyaan. "Apa yang terjadi? Apa yang dia lakukan sampai-sampai dia menjadi begini?" ia bertanya tanpa memberi Yuuka kesempatan menjawab.
"Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungi murid disini dengan baik." Yuuka berkata. Ia menatap Akane dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Tatapannya dalam, membuat Akane kehabisan kata untuk menjawab. "uh... ada yang harus kami bicarakan denganmu. Ini tentang Fujiyoshi."
Akane menaikkan alis. "Oh, jika itu tentangnya, aku akan senang hati mendengarkan." Yuuka tersenyum tipis saat mendengar Akane menyetujui tanpa harus memaksanya terlebih dahulu.
Sesuai janji, Akane sudah berada di tempat yang ditentukan oleh Yuuka. Sebuah restoran cepat saji yang agak jauh dari apartemen Akane. Sebenarnya ia ingin bernegoisasi dengan Yuuka perihal pemilihan tempat, tapi ia tidak mau mempersulit keadaan jadi Akane setuju saja. Gadis itu masuk ke dalam lokasi dan mengambil tempat duduk. Tidak lupa ia memesan kentang goreng dan membawanya ke tempat duduk.
Sebuah mobil yang familiar—hummer putih, kali ini dengan beberapa modifikasi pada keempat roda dan kaki-kakinya—masuk ke halaman parkir restoran. Dua orang penumpangnya turun dari mobil, mereka nampak berbicara sebentar dengan serius sebelum berjalan masuk ke restoran.
"Maaf, apakah kau menunggu lama?" Yui berkata dengan nada ramah begitu mereka berdua mendekati meja Akane dan duduk di seberang gadis itu.
"Tidak. Aku baru saja datang." Akane menjawab. Ia melihat Yui dan Yuuka satu persatu, meski akhirnya tatapannya terkunci pada Yuuka. "bisakah kita langsung menuju inti pembicaraan saja?"
Yuuka menatap Yui sekilas, kemudian mendekatkan diri pada Akane. "Katakan, apakah Fujiyoshi mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan kami kepadamu?" Yuuka berkata dengan serius. Ekspresi wajahnya tampak tidak main-main.
"Jujur saja pada kami. Kami tidak akan melukaimu." Yui menyahut.
Sebenarnya, hampir. Akane diam sejenak. Ia mulai merasa berurusan dengan organisasi teroris paling berbahaya di Jepang, atau memang ia benar-benar sedang berurusan dengan salah satu? Ia menghela napas, diambilnya satu potong kentang goreng dan memakannya. "Tidak, sama sekali."
Yui mengernyitkan dahi. Kelihatannya ia tidak puas dengan jawaban Akane. "Kenapa kau bisa bersama dengannya waktu itu?"
Akane menghela napas berat. Ia paling tidak suka diinterogasi seperti ini. "Aku datang menemuinya untuk meminta maaf karena aku tidak sengaja menginjak kakinya. Lalu dia mengajakku pulang bersama. Ada apa dengan itu? Kalian ingin menjadikan aku target kalian selanjutnya? Maaf, tapi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
Yui tertawa, memamerkan gigi-giginya. Gadis itu mengangkat kedua tangannya, meminta Akane untuk santai dengan menggunakan gestur fisik. "Whoa, tenang. Kami hanya ingin memastikan saja."
Yuuka menatap Akane. Wajahnya sekarang menjadi lebih santai, wajah Yuuka yang bijaksana. Tidak menyebalkan dan tidak terlalu kaku pula. "Fujiyoshi sudah pulang ke rumahnya tadi, meskipun terlambat satu jam. Karena ia harus dibawa ke rumah sakit terlebih dahulu, jika kau mau tahu."
Mendengar itu, Akane refleks tersenyum. Mendengar Karin baik-baik saja ia jadi merasa lega. Tidak lucu kalau Karin harus mati karena Akane belum sempat membalas kebaikan Karin karena mau mengantarya pulang, bahkan sampai membelikannya makanan.
"Terima kasih sudah bersamanya. Dan maaf karena kau ikut terlibat dengan masalah ini." Yui berkata pada Akane. "aku ingin kau membantu kami. Hanya mengawasi Risa sewaktu-waktu ia melakukan hal gila. Dan kali ini aku benar-benar serius meminta hal itu padamu."
"Sialan. Lagi-lagi kalian meminta hal itu padaku. Sudah kubilang aku tidak mau!"
"Kau lihat sendiri, bukan? Risa sudah membuat Fujiyoshi dan Hono sampai seperti itu. Sebelumnya Yamasaki, selanjutnya siapa lagi yang akan menjadi korbannya?" Yuuka menyahut. "dia nyaris membunuh dua temannya, Moriya. Dan kami hanya meminta kau untuk mengawasinya dan jika ia menunjukkan gerak-gerik mencurigakan, kau hanya harus melaporkannya pada kami. Hanya seperti itu saja, tidak akan menyakiti siapapun."
Tidak akan menyakiti siapapun, dia bilang. Akane mendengus kesal, sebenarnya tidak peduli. Rasanya sudah cukup bagi dirinya untuk berurusan dengan The Elites. Tetapi sebenarnya ia juga penasaran. Rasa ingin tahunya tentang rahasia dibalik nama siswi yang sering disebut oleh Koike dan Fuyuka, juga kenapa Karin tampak tidak nyaman saat nama itu disebut di depan wajahnya. Rasa keingintahuan manusia memang sangat besar, tidak peduli itu akan menjerumuskannya dalam masalah atau tidak.
"Baik. Aku bersedia membantu. Tapi itu tidak akan lama."
"Terima kasih, Moriya." Yui tersenyum senang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top