Chapter 7: Warm Heart of The Pitcher
Sudah beberapa hari sejak Akane menyerahkan formulir yang diberikan Yuuka tempo hari. Sudah beberapa hari juga Yuuka tidak mengganggu Akane lagi dan Akane bersyukur akan hal itu. Ia bisa fokus menjalankan kegiatan sehari-harinya sebagai siswi biasa tanpa takut diganggu pentolan The Elites yang satu itu.
Omong-omong soal The Elites, ia juga tidak melihat sosok Watanabe Risa. Padahal seharusnya masa dispensasinya sudah selesai dan ia diharuskan untuk kembali mengikuti kegiatan pembelajaran seperti biasa. Ia juga tidak mendapati Risa di lapangan basket, bahkan pelatih basket akademi juga tampak tidak mengetahui keberadaan gadis menyebalkan itu. Bukan berarti Akane peduli dengan Risa, tapi melihat kegaduhan itu siapa yang tidak penasaran?
Hari itu kelasnya sedang ada jadwal physical education. Beberapa tepat setelah bel berbunyi, ada beberapa siswi yang langsung berganti pakaian sementara beberapa yang lain memilih untuk menghabiskan waktu mereka dengan bermalas-malasan di kelas. Akane harus susah payah mengajak teman-temannya agar cepat berganti pakaian. Mereka memang sangat lambat di saat seperti ini sehingga Akane perlu mengulur waktu untuk membujuk teman-temannya. Akhirnya ia berhasil membawa teman-temannya ke gymnasium meski terlambat beberapa menit dari jadwal.
Meski sedang jam PE, Akane menyadari bahwa tidak ada satu pun pengajar yang masuk ke kelas mereka untuk mengawasi jalannya kegiatan. Ia sampai melirik-lirik keluar gedung besar itu untuk mencari keberadaan pengajar. Masumoto Kira, siswi yang sejak tadi paling ribut tentu heran dengan tingkah Akane memutuskan untuk mendekati dan menanyakan perihal tingkah laku Akane yang seperti dikejar oleh seseorang.
"Kau mencari apa?"
Akane, masih kebingungan menjawab. "Apa tidak ada guru yang mengawasi di sini?"
Mendengar itu, Kira malah menertawakan ketidaktahuan Akane. Akane yang ditertawakan merasa sebal ia menginjak sepatu Kira dengan kuat dan membuatnya mengubah tawa menjadi teriakan menahan sakit. "Ya, di sini kita membayar dengan harga tinggi jadi untuk pembelajaran luar ruangan mereka lebih memberikan fasilitas yang lengkap. Dan tidak ada yang mengawasi."
"Eh? Kenapa begitu?"
"Entahlah. Bukankah lebih baik tidak ada orang dewasa yang mengganggu kegiatan kita?" Kira kemudian berbalik karena temannya memanggil namanya.
Fuyuka kemudian mendekati Akane. Ia mengajak gadis itu mengambil peralatan olahraga di gudang. Kelas mereka sepakat melakukan sparring voli jadi mereka harus mengambil beberapa bola voli dan jaring. Akane menyetujui karena ia ingin mengetahui lebih banyak area yang belum ia datangi sebelumnya—dan salah satunya adalah gudang tempat penyimpanan alat-alat olahraga. Sebenarnya gudang yang dimaksud hanya berbeda beberapa meter saja dengan gymnasium. Di bangunan terpisah yang disambungkan dengan koridor memanjang terbuka.
"Ah, gudangnya besar sekali." Akane berucap pelan. Ia membuka pintu gudang dan langsung disambut oleh pemandangan gelap. Matanya memperhatikan pintu gudang, menyadari jika pintu tersebut adalah tipe pintu yang tidak bisa dibuka dari dalam. "Oke, siapa yang akan masuk dan siapa yang akan berjaga di luar."
Tanpa menjawab lagi, Fuyuka dengan sigap memegangi pintu tersebut. Senyumannya tertuju pada Akane. "Aku yang akan berjaga di luar, dan kita bergantian melakukannya setiap minggu." ucapan Fuyuka sukses membuat Akane mencebik kesal. Ia pun masuk lebih dalam ke dalam gudang mencari barang-barang yang dibutuhkan.
Di antara rak-rak besar, Akane mencari jaring yang seharusnya diletakkan pada salah satu rak tersebut. Cahaya yang hanya bersumber dari pintu gudang terasa tidak berguna karena cahaya itu tidak sampai menyinari posisinya yang jelas-jelas tertutup oleh rak besi yang tinggi menjulang. Matanya menangkap benda berwarna putih di salah satu rak, dan ia harus berjinjit untuk mengambilnya.
"Aduh!"
Akane tersentak saat mendengar suara mengaduh. Ia bahkan sampai melompat ke samping agar dapat mengetahui siapa pemilik dari suara tadi.
"Hei, lihat di mana kakimu berpijak!" gadis itu bersuara lagi. Di balik gelapnya suasana, Akane dapat melihat sosok tersebut perlahan bangkit berdiri dan mendekatinya. Samar-samar Akane melihat sesosok manusia tinggi dengan seragam putih bergerak ke arahnya. Ia memiliki rambut pendek sepanjang leher, dengan tubuh sedikit membungkuk dan wajah malas karena mengantuk.
"A—Apa yang kau lakukan di sini?" Akane bertanya dengan kalimat patah-patah. Menyadari bahwa ia telah tanpa sengaja menginjak kaki Fujiyoshi Karin dan membuat gadis itu mendekatinya dengan wajah yang agak menyeramkan. Gadis itu menguap lebar dan menatap Akane dengan tatapan malas, satu alisnya terangkat seakan meminta penjelasan. Tapi alih-alih memberikan apa yang Karin inginkan, Akane justru memberinya sebuah pertanyaan. "Dari mana kau bisa masuk?"
Karin melirik pada jendela yang berada beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Jendela itu tertutupi oleh lembaran kertas sehingga tidak ada cahaya yang masuk dari sana. Dia ... masuk lewat jendela ventilasi?
"Aku tidur di sini." Jawab Karin. Ia kemudian melirik ke atas, pada sesuatu yang membuat Akane tidak sengaja menginjak kakinya tadi. Lemari itu terlalu tinggi bagi Akane. Sudah jelas ia akan sedikit kehilangan keseimbangan dan berakhir menginjak kaki Karin. "Akan aku ambilkan itu untukmu." Karin pun mendorong Akane ke samping agar ia dapat mengambil jaring voli. Ia memberikan jaring tersebut pada Akane dan berjalan menuju sudut lain.
Akane mengikuti gadis itu. Ah, rupanya Karin membuka lemari besar dan mengambil kantong berisi bola voli. Karin kemudian kembali pada Akane dan memberikan kantong tersebut padanya. Akane bengong, ia tidak menduga Karin malah akan membantunya. Padahal sebelumnya ia mengira Karin akan menendang dan menyeretnya keluar karena telah menginjak kaki dan mengganggu jam tidurnya.
Seperti telepati, Karin nampak memahami apa yang Akane pikirkan pada saat itu. "Tidak perlu takut. Aku tidak sejahat orang-orang itu. Ayo keluar dari sini, teman-teman sekelasmu sudah menunggu benda itu."
Fuyuka bahkan terkejut saat ia melihat Karin keluar dari gudang bersama dengan Akane. Karin hanya menatap Fuyuka sekilas dan melenggang pergi tanpa mengucapkan apapun. Tak ingin menghabiskan waktu lagi, mereka pun segera menuju gymnasium. "Apa yang dia lakukan padamu? Kenapa dia bisa masuk ke dalam?"
"Dia tidur di sana dan aku menginjak kakinya."
Fuyuka menghela napas. Ia tidak tahu harus kasihan atau tertawa karena temannya itu selalu berurusan dengan The Elites. Akane menyenggol lengan Fuyuka karena ia tahu Fuyuka akan menertawakannya sesaat lagi. "Aku harus bagaimana, sial!"
"Sepertinya kau harus memperrtimbangkan untuk mengganti namamu. Lihat, dengan nama Moriya Akane kau selalu mendapatkan kesialan semenjak hari pertamamu di sini."
"Sialan, kau sama sekali tidak membantu!"
Karin sedang melakukan pemanasan di pinggir lapangan. Ia melompat-lompat ringan sambil meregangkan otot-otot tubuhnya seperti seorang professional. Saat ini, para pemain baseball dengan jersey putih-biru tengah berkumpul di basecamp untuk mengikuti jadwal latihan rutin yang selalu dilakukan di hari Selasa, Kamis, dan Sabtu pada pukul empat sore. Pelatih tim baseball meniup peluit, meminta para pemain untuk berkumpul. Sesuai jadwal yang telah disepakati, hari ini mereka akan melakukan latih tanding.
Karin, berlari kembali ke basecamp tepat saat Moriya Rena, rekan satu tim nya melempar glove padanya sembari memberikan gestur semangat. Karin mengangguk dan ia kembali ke pitching point. Pandangannya fokus pada catcher, targetnya seperti biasa, strike out. Ia menarik napas dan menahannya kemudian menghembuskan napas saat ia melemparkan bola. Bola itu meluncur dengan kecepatan tinggi sampai batter tidak dapat memukul bola tersebut.
Strike
Ia dapat melihat pelatih mengangguk-angguk bangga. Karin menangkap bola nya lagi dan bersiap untuk melakukan lemparan kedua.
Strike two
Dan strike out.
Dari sudut mata, Karin dapat melihat teman-temannya berkumpul di tribun penonton—The Elites. Tapi Karin tidak peduli dan memilih fokus membantai batter kedua.
Latih tanding berjalan lancar, tetapi tidak dengan Karin. Ia sekali lagi tidak sengaja mencederai pergelangan tangannya karena terlalu memaksakan diri. Sebenarnya ia sudah penah cidera saat pertandingan musim panas beberapa bulan yang lalu, dan itu masih belum sepenuhnya pulih dan saat ini ia malah memperparah cideranya.
Mencuri pandang pada susunan tribun penonton di sisi timur, Karin menghembuskan napas karena sudah tidak menemukan The Elites. Sepertinya mereka singgah beberapa menit untuk mengambil beberapa foto sebelum pergi dan melakukan pekerjaan mereka di akademi. Karin mengambil ponselnya di dalam tas, dan benar saja, Hono sudah mengirimkan dua belas foto Karin di grup pribadi mereka. Yuuka memberikan pesan padanya untuk menjaga pergelangan tangannya agar tidak cidera lagi—seperti biasa, gadis itu sangat memperhatikan kondisi teman-temannya.
Yuuka sebenarnya dapat menjadi kolega dan sahabat yang baik. Orang-orang tentu akan mengetahui hal itu apabila imagenya sebagai perisak kejam tidak menutupi sifat baiknya yang tersembunyi. Selama ini Yuuka selalu merawat dan menjaga masing-masing anggota The Elites dengan baik, termasuk memberi mereka dukungan moral setiap kali mereka merasa takut atau tersiksa dengan darah di kedua tangan mereka.
Pitcher itu tersentak saat merasakan suhu dingin menyentuh lehernya. Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya di atas rumput lapangan. Gadis itu mendongak, hendak menghardik siapapun yang sudah mengejutkannya tetapi ekspresi kerasnya seketika melunak ketika mendapati Matsudaira Riko tertawa usil. "Ini untukmu."
Karin menggumamkan ucapan terima kasih sebelum menerima botol air dingin, membuka tutup botolnya dengan satu kali putaran tangan dan mengguyur hampir setengah isinya ke kepalanya. Ia menunduk selama beberapa saat, merasakan air dingin menyentuh kulit kepala. Riko sepertinya juga baru selesai latihan—jika dilihat dari caranya memakai seragam yang tidak terlalu rapi. Ia juga membawa tas olahraga dan mengikatkan jaket varsity berlogo akademi di pinggangnya.
"Apa Risa datang untuk mengikuti latihan?" tanya Karin.
Riko menggeleng. Ia mendengus, "Tidak. Dia tidak datang hari ini. Tidak ada dari kami yang melihat Risa atau menemukannya di ruang ganti."
Karin hanya mengangguk. Sebenarnya ia penasaran tentang keberadaan Risa. Mungkin ia harus mengajak temannya yang lain untuk datang ke rumahnya hanya sekedar mengecek apakah gadis berandal itu masih hidup atau tidak. Atau mungkin Risa melakukan hal itu lagi? Karin menepis pikiran itu dari kepalanya. Tidak mungkin. Karin sebenarnya tidak tahu kenapa ia bisa terlibat jauh dengan The Elites, sejak kapan lebih tepatnya. Mungkin sejak peristiwa kelam Sakurazaka yang mana namanya terlibat dalam pelaku bersama dengan The Elites lainnya.
"Hei,"
Sebuah suara mengagetkan Karin. Ia mengangkat kepala basahnya, nampak Akane berjalan mendekati dia dan Riko.
"Oh, kau teman Koike!" Riko berkata. Ia kemudian berjabat tangan dengan Akane.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Karin. Ia melihat di belakang Akane. "kau bahkan datang sendiri."
"Aku hanya ingin meminta maaf soal tadi pagi." Akane berkata. Itu membuat Karin mengernyitkan dahi. Tapi akhirnya ia tersenyum kecil, mengatakan pada Akane bahwa itu tidak masalah.
Riko kemudian bangkit. Ia juga membawa tas olahraganya, "Jemputanku sudah tiba. Aku harus pulang duluan. Sampai jumpa," Riko pun berbalik dan berlari menuju gerbang, tempat mobil pribadinya menunggu.
Sekarang hanya ada Karin dan Akane. Setelah Karin pulang, Akane merasa urusannya dengan Karin sudah selesai. Jadi ia berniatan untuk pulang juga. "Moriya," Akane terkejut saat Karin memanggilnya. Gadis itu berbalik, mendapati Karin sudah berdiri membawa tas nya dan ia memakai jaket varsity, berjalan mendekatinya. "ayo pulang bersama."
Jujur saja, Akane tidak menduga salah satu anggota the elites memulai interaksi padanya-interaksi yang tidak menyebalkan tentunya. Akane hanya mengangguk dan Karin mulai menyamakan langkah agar ia berjalan di samping Akane.
"Aku akan mengambil sepeda motorku. Kau mau ikut atau menunggu di depan gerbang?" tanya Karin.
"Aku akan menunggu." Karin mengangguk dan berjalan menuju tempat parkir seorang diri. Sementara Akane berjalan menuju gerbang. Ia dapat melihat Karin mengeluarkan motor Tiger Explorer miliknya.
Karin berhenti didepan Akane. Dengan agak ragu, Akane pun naik di belakang Karin dengan memberikan jarak sekitar sejengkal. "Ah, omong-omong aku ingin mampir ke convenient store. Apa tidak masalah?" Karin bertanya.
Akane baru ingat jika ia masih harus membeli bahan makanan untuk satu bulan. Jadi ia mengikuti saja. "Tidak masalah."
"Kenapa kau ingin mengajakku pulang bersama?" tanya Akane. "kupikir anak-anak elite itu kurang ajar semua."
Karin menggumam. Sebutan The Elites sepertinya sudah tidak terlalu melekat pada dirinya. "Sudah kubilang, aku tidak sekejam mereka." Ia menjawab. Sebenarnya aku hanya tidak ingin ada korban lagi dari The Elites. "Aku tidak tahu apa yang ada dalam otakmu sampai-sampai kau mau mendaftar di sekolah itu."
"Sakurazaka?" Karin mengangguk. Akane kemudian menjawab, "entahlah."
Akane agaknya merasa Karin bukanlah orang yang berbahaya. Tapi ia tidak boleh lengah mengingat Karin tetaplah bagian dari The Elites. Percakapan mereka berhenti sampai disitu. Tidak ada lagi yang mengajukan pertanyaan atau sekedar mengobrol ringan. Hingga Akane dapat dengan mudah menyadari mereka sudah tiba di convenient store.
Ia melompat turun dari motor Karin, memperhatikan gadis itu melepas helm dan merapikan rambut pendeknya di depan kaca spion. Karin kemudian meletakkan helmnya di atas jok motor dan melangkah masuk ke dalam toko, mengikuti langkah Akane.
Akane langsung ke bagian sayur-mayur, ia memilih beberapa bayam, wortel dan buncis. Tidak lupa juga ia membeli bahan makanan yang murah karena ia harus berhemat. Ia beruntung, karena Karin datang pada happy hour sehingga beberapa bahan makanan dijual dengan setengah harga. Ia juga mengambil beberapa makanan kaleng yang sekiranya mampu bertahan dalam jangka waktu lama. Ia juga membeli beberapa kaleng soda, kopi, dan susu untuk menemaninya di malam hari.
Sementara Akane memilih belanjaannya, Karin memilih untuk membeli dua cup ramen dan dua kopi hangat. Ia juga menyeduh dua cup ramen tersebut dan membawanya ke bangku yang disediakan. Karin memperhatikan Akane sibuk dengan belanjaannya dan sebenarnya ia ingin membantu, tetapi ia tidak ingin Akane menganggapnya sok baik.
Jadi ia memilih duduk diam menunggu Akane selesai membayar di kasir.
"Kau, duduklah dulu. Temani aku makan." Ucap Karin saat melihat Akane mendekatinya dengan membawa kantong belanjaan besar. Akane tampak enggan tapi Karin memasang wajah penuh harapan.
Akhirnya Akane duduk di seberang Karin. Ditatapnya semangkuk ramen yang masih berasap itu. Baunya benar-benar menggugah seleranya. Ia melihat Karin telah memakan ramennya hingga tersisa separuh jadi Akane juga memakan jatahnya.
"Jika aku jadi kau, aku akan pindah dari akademi tepat setelah namaku tersebar karena melakukan penyerangan pada salah satu siswi paling berbahaya disini."
Akane mengangkat kepalanya, menelan mi yang ada didalam mulutnya. Wajahnya seakan memberikan pertanyaan, kenapa?
"Agar aku tidak perlu berurusan dengan The Elites."
"Aku bahkan bersama dengan salah satu dari mereka sekarang."
Karin mengerutkan dahinya saat Akane menyebut The Elites. Dia merasa tidak nyaman. "Aku serius. Kau harus angkat kaki dari sini, Moriya. Sebelum semuanya terlambat. Tempat ini lebih gelap dari kau bayangkan. Jangan pernah mau ditipu dengan penampakannya yang bersih dari luar."
"Aku mau, tapi aku tidak bisa." Akane menjawab. "Aku sudah dikeluarkan dari sekolah lamaku karena berkelahi dengan senior. Dan begitu aku pindah kemari, aku harus pindah lagi hanya karena anak-anak itu? Huh, orang tuaku bisa membunuhku."
"Atau kami yang akan membunuhmu." Karin mengatakan itu dengan suara yang kecil. Tapi Akane dapat menangkap apa yang diucapkan Karin.
"Apa?"
"Apa? Aku tidak mengatakan apapun. Aku hanya mengatakan—"
"Fujiyoshi, aku tidak tuli. Aku yakin kau mengatakan sesuatu yang buruk beberapa waktu yang lalu."
Akane tiba-tiba sadar saat Karin menatapnya balik dengan tatapan serius. Karin-yang merupakan anggota The Elites—memintanya pergi agar teman-temannya tidak melakukan hal yang lebih buruk. Ingatannya kembali saat Koike menulis pesan di grup chat. Tentang siswi bernama Hirate.
"Apa itu ada sangkut pautnya dengan Hirate?" Aku mungkin bisa menggali informasi lebih jauh dari orang ini.
Karin tersedak. Ia buru-buru mengambil gelas kopi dan meminumnya—tentu saja kopi itu masih agak panas sehingga Karin merutuki kebodohannya saat ia merasakan minuman panas itu membakar lidah dan kerongkongannya. Kasus itu adalah kasus lama. Melihat orang didepannya, Karin merasa ia dapat mempercayai Akane.
Tidak. Tidak. Aku tidak boleh menggali kuburanku sendiri.
"Fujiyoshi!" Akane menekan Karin lebih jauh.
Mengabaikan panggilan Akane, Karin segera bangkir dari tempatnya duduk. Ia mengambil barang belanjaan Akane dan berjalan keluar. "Sudahlah, ayo pulang." Ia tidak mempedulikan Akane yang terus menerus memaksanya untuk bercerita lebih lanjut. Sepertinya ia harus menahan diri untuk menceritakan beban yang sudah membuatnya sulit tidur selama berbulan-bulan.
Karin pun dengan cepat memacu sepeda motornya menuju apartemen Akane. Ia sama sekali tidak menyadari mobil benz hitam yang berhenti di pinggir jalan dan mengawasi mereka berdua sejak mereka berhenti di convenience store. Bahkan pengemudinya terus mengawasi mereka hingga akhirnya sang pengemudi memutar balik mobilnya dan meluncur dengan kecepatan tinggi meninggalkan wilayah itu.
Unknown Number
Halo, Moriya Akane
Moriya Akane
Siapa ini?
Unknown Number
Sugai Yuuka.
Moriya Akane
FUCK OFF.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top