Chapter 5: Junior and Senior

Akane membuka kunci pintu apartemennya dengan lemah. Saking tidak fokusnya, ia bahkan hampir saja menendang tumpukan kardus yang masih diletakkan sembarangan di balik pintu. Baru saja ia ingat, barang-barangnya masih belum tertata rapi. Mau tidak mau ia harus merapikan semuanya sekarang atau ia harus dibuat gila dengan barang-barang yang sangat berantakan itu merusak matanya. Dilepasnya blazer putih dan menggantungnya di gantungan baju. Moodnya telah jatuh hingga ke titik paling bawah mengingat peristiwa menyebalkan di perpustakaan tadi.

Ia benar-benar tidak percaya di bulan pertama sekolah, nasib sial sudah mendatanginya.

Otaknya mengingat dengan jelas saat Yuuka menatapnya dengan ekspresi yang menyebalkan. Ia juga dengan lancang menyentuh tangannya dan menantang Akane untuk memukul wajahnya di depan semua orang. Seolah president dari kelompok anak-anak elit itu punya wewenang penuh untuk mengontrol kehidupannya. Terutama Watanabe Risa, seorang pebasket yang benar-benar mengintimidasi dirinya.

Watanabe Risa?

Akane merasakan hal yang janggal setiap kali melihat Risa. Terutama ketika mereka berada di perpustakaan, saat Yuuka secara tidak langsung menyebutkan tentang Kobayashi Yui. Itu seperti Risa tidak menyukai fakta bahwa Yuuka memiliki hubungan khusus dengan Yui. Ah, itu bukan urusanku. Untuk apa aku peduli.

Satu-satunya yang harus ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar ia tidak perlu bertemu dengan orang-orang berengsek itu. Kecuali Kobayashi ...? Mungkin anak itu tidak berbahaya. Akane mencoba mengingat sosok Kobayashi. Tidak terlalu tinggi, rambut panjang sebahu, dan ia selalu membawa tas hitam besar berisi gitar ke sekolah. Terakhir ia bertemu dengan Yui adalah saat perkelahian di cafetaria. Selain itu, tidak ada lagi momen dimana mereka sengaja atau tidak sengaja bertemu. Sehingga ingatan Akane akan sosok salah satu anggota The Elites itu cukup abu-abu. Aku bisa menanyakan itu pada Fuyuka nanti.

Satu kardus terakhir. Akane membiarkan kardus itu selama beberapa saat karena ia harus melemaskan otot punggungnya yang nyeri. Ia meletakkan kardus itu di bawah tempat tidur karena isinya hanya beberapa buku novel, jurnal penelitian, medali-medali kejuaraan tenis dan kejuaraan judo tingkat prefektur. Akane mengambilnya dan menggantung medali itu pada paku yang tertempel di tembok.

Sudah selesai. Akane memperhatikan suasana rumah barunya. Tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar juga, paling tidak itu cukup untuk menyimpan beberapa barangnya beberapa tahun ke depan. Ia segera mengambil handuk dari dalam lemari dan membersihkan tubuhnya di kamar mandi dengan cepat karena masih akan membeli bahan makanan sebelum malam semakin larut.

DING

"Ah, sial." Gadis itu merutuk. Dengan terburu-buru, Akane berlari keluar kamar mandi dengan rambut yang masih basah ke kamarnya untuk memakai sweater dan celana training, kemudian berjalan cepat menuju pintu. "Siapa?" ia bertanya lewat intercom.

"Ini aku, Yamasaki Ten."

Akane terbelalak kaget saat mengetahui siapa yang berdiri di balik pintu apartemennya. "Oh? Yamasaki!" dibukanya pintu apartemennya, di luar Ten berdiri dengan membawa satu tas ransel berukuran sedang. "Masuklah." Akane pun membuka pintunya lebih lebar dan memberikan izin bagi Ten untuk masuk ke dalam apartemennya. Saat Ten lewat di depannya, Akane terpaksa harus menengadahkan kepala karena ia tidak menyadari bahwa Ten benar-benar jauh lebih tinggi daripada yang ia lihat sebelumnya.

Ten membungkuk sopan sebelum melepaskan sepatunya di rak sepatu. Akane menutup pintu apartemennya dan bertanya. "Darimana kau tahu tempat tinggalku?"

"Aku tidak sengaja melihat Senior masuk ke gedung apartemen ini. Jadi aku bertanya pada pemilik apartemen untuk memastikan." Ten menjawab dengan polosnya. Ia kemudian meletakkan tas nya di atas meja makan dan mengeluarkan semua isinya. "Aku tahu Senior baru saja pindah. Jadi aku pulang terlebih dahulu dan membawakanmu masakan Ibu!"

Melihat wajah juniornya itu, Akane jadi tersentuh hatinya. Ten terlihat tulus, dan sangat senang saat menunjukkan barang bawaannya pada Akane. Ia dapat melihat luka lebam di dahi dan rahang Ten—seketika hatinya tercekat. Mengetahui bahwa ada seseorang yang peduli padanya, bahkan berkenan merepotkan diri mereka sendiri untuk membawakannya sesuatu untuk dimakan, Akane tak bisa menahan senyumannya, "Yamasaki ..."

Ten tersenyum lebar. "Ayo makan! Kebetulan aku melewatkan makan malam saat perjalanan kemari."

Akane mengangguk. Ia meletakkan beberapa kotak makanan di atas meja, Ten membantu membuka kotak makanan tersebut. Akane juga mengambil dua botol air mineral dari lemari dan memberikan satu pada Ten. "Aku belum sempat keluar membeli bahan makanan. Jadi kuharap kau tidak masalah dengan air mineral."

"Tidak masalah." gadis yang lebih muda menjawab, sebelum memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya. Ten melihat ke sekeliling ruangan. Masih banyak sekali space kosong di dalam apartemen milik seniornya ini. Bahkan dapur yang menyatu dengan ruang makan hanya terisi beberapa alat masak sederhana. "Pasti menyenangkan tinggal sendirian."

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Kau bisa bebas melakukan apapun yang kau inginkan. Tidak perlu khawatir terganggu dengan orang lain. Aku benci saat ayah selalu mengawasiku dan memastikan bahwa aku fokus belajar, padahal aku sudah dewasa. Mereka terlalu ketat. Aku tidak suka."

Akane tersenyum kecil pada cerita Ten. Tipikal anak remaja yang sedang dalam masa memberontak. "Hei, hidup sendirian itu tidak semudah seperti yang kau pikirkan. Kau harus bisa mengatur semuanya sendiri—tanpa orang tua. Kau harus membeli barang kebutuhanmu sendiri, memasak sendiri, melakukan semuanya sendiri. Suatu hari kau pasti akan mengerti, Ten."

Ten mengangguk pelan, menghentikan kegiatannya untuk menyumpit potongan daging selama beberapa saat sebelum melanjutkannya kembali. Ia telah menghabiskan hampir semua isi kotak makanannya, jelas sekali anak ini kelaparan. Akane memperhatikan anak itu sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya. Entah angin dari mana yang membuat Akane tiba-tiba teringat perkelahian Ten dengan Risa, ia jadi penasaran. "Sebenarnya kau membuat masalah apa dengan Risa?"

Ten mengangkat kepalanya. Ia terdiam sejenak, "Aku bercanda dengan teman-teman sekelasku di koridor. Aku tidak sadar, jika Senior Watanabe kebetulan lewat disana. Mungkin karena tidak terlalu memperhatikan, Hikaru tak sengaja bertabrakan dengannya. Jadi minuman kaleng yang dia bawa tumpah mengenai blazer milik Senior itu."

"Lalu, kenapa justru kau yang dipukuli?"

"Aku tidak mau Hikaru yang terkena masalah dengan Senior Watanabe. Jadi aku yang maju dan meminta maaf kepadanya secara langsung. Tapi ia justru malah menganggapku sok jagoan."

Mendengarkan cerita Ten dengan seksama, Akane dapat menggelengkan kepalanya. Ternyata di sekolah yang elit sekalipun ada siswa yang bertindak keterlaluan seperti itu. Nampaknya The Elites sendiri sudah menggunakan kewenangan yang mereka miliki dengan sembarangan dan tidak ada siswi yang berani untuk melawan mereka.

"Ten." Akane berkata dengan suara lembut. "Terima kasih sudah menemaniku."

Sepeninggal juniornya, Akane baru bisa merebahkan diri di tempat tidur yang hangat. Ia terkejut karena Ten yang nampak biasa-biasa saja ternyata dijemput oleh kendaraan mewah dengan supir pribadi. Sesuatu yang tidak biasa dia lihat di sekolahnya dulu. Tapi kemudian ia menyadarkan diri, di sekolah tinggi mana ia berada sekarang. Hei, ini Sakurazaka Academy! Tempat dimana orang-orang terpandang mendaftarkan anak-anak mereka untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Ia melirik smartphone di atas nakas. Lampu notifikasinya berkedip.

Saito Fuyuka memasukkan anda dalam sebuah grup.

Saito Fuyuka
Yo

Matsuda Rina
Selamat datang di klub.

Koike Minami
Hei, Akane. Kau sudah lebih baik?

Moriya Akane
Terimakasih sudah bertanya. Dan ya, aku baik.
Hei, kau memberitahu mereka dengan apa yang terjadi?

Ozeki Rika
Iya, Koike menceritakan hal itu
Omong-omong aku Ozeki, kelas 2-A

Saito Fuyuka
Seharusnya aku ikut bersama kalian

Moriya Akane
Halo, Ozeki
Tidak masalah. Yuuka tidak akan berurusan denganku lagi.
Apakah seberbahaya itu berurusan dengan Yuuka?

Matsuda Rina
...

Koike Minami
Mereka tidak segan menjatuhkan reputasimu.

Saito Fuyuka
Mungkin kau akan dihapus dari peredaran?

Ozeki Rika
Itu Yuuka. Tapi dia tidak akan mau repot-repot untuk bertindak sefrontal itu.
Kau harus lebih khawatir pada Risa
Atau Hono
Atau Seki
Atau Karin
Atau bahkan Yui

Moriya Akane
MEREKA SEBENARNYA ADA BERAPA ORANG? ASTAGA

Matsuda Rina
Sudah kubilang, mereka tersebar di seluruh sekolah
Dibilang seperti penguasa(?)
Besok kami akan memberitahumu lebih jelas
Agar lain kali lebih waspada

Moriya Akane
Baik.
Omong-omong kelas Yuuka dimana?

Ozeki Rika
Oh, dia satu kelas denganku
Semua anggota The Elites berada di kelas yang sama denganku

Hebat. Kelas kita bersebelahan

Akane mengumpat dalam hati. Ia sudah masuk ke dalam lubang buaya. Meskipun ia merasa ada sesuatu yang tiap saat dapat membahayakan posisinya yang rawan di sekolah, setidaknya ia memiliki teman-teman yang bisa melindunginya. Tapi ia masih bimbang, bagaimana jika besok ia bertemu dengan Yuuka.

Suara derak dari pagar besi yang didorong terbuka menggema di keheningan malam. Disusul suara deru halus dari mesin mobil yang melaju perlahan menuju garasi luar ruangan. Yuuka baru saja pulang dari kediaman Yui. Ia sangat lelah, secara fisik dan mental. Hampir saja ia menabrak pembatas jalan saat menyetir karena ia sempat tertidur dan untunglah ia segera sadar. Setelah memarkirkan mobil di garasi, ia berjalan dengan gontai masuk ke dalam rumah.

"Yuuka."

Ah ... sudah kuduga. Ayahnya ada di sana, tepat dibalik pintu. Sorot mata tajamnya menusuk jiwa kosong Yuuka tanpa ampun. Yuuka sendiri karena terlalu lelah, ia tidak menjawab dan hanya melewati ayahnya tanpa mengatakan apapun.

"Yuuka!"

Kali ini suara ayahnya lebih keras. Sampai suaranya menggema di rumahnya yang besar—tapi kosong. Yuuka pun menghentikan langkahnya. Ia menjawab tanpa berbalik. "Jika ayah berbicara tentang apa yang diceritakan Tuan Kobayashi ... aku tidak mau membahasnya." Suaranya lirih.

Tapi itu justru membuat Ayahnya marah. Ia mendekati Yuuka dengan langkah lebar, dicengkeramnya bahu Yuuka dengan tangannya yang besar. "Aku sudah berkali-kali mengingatkanmu untuk tidak mengecewakan Tuan Kobayashi! Kita bisa hancur! Bisnis yang Ayah rintis dari nol akan bangkrut dan kita akan jatuh miskin. Apa kau mau seperti itu?"

"Aku bekerja susah payah agar kau selalu berkecukupan, Yuuka! Bisakah sekali saja kau tidak mengecewakan Ayah?" lanjut ayahnya. "kenapa kau sangat mirip dengan Ibumu. Argh ..."

Yuuka tercekat. Ibu meninggal gara-gara kau. Ibu meninggal gara-gara hanya karena keegoisanmu.

"Aku sudah melakukan semua yang Ayah minta padaku. Bertunangan dengan Kobayashi? Sudah aku lakukan tanpa menolak. Aku sudah menjaga dia dengan baik, aku sudah menjadi pemimpin yang baik di Sakurazaka Academy! Apakah itu semua masih tak cukup bagimu!" Yuuka membalas. Suaranya pecah, ia ingin menangis.

"Sugai Yuuka!" Ayahnya semakin marah. Yuuka sudah siap jika sewaktu-waktu pukulan ayahnya bersarang di pelipisnya.

"Kau tidak pernah memikirkan keluarga. Apa yang ada di pikiranmu hanyalah uang." Yuuka berbisik.

Teriakan ayahnya sebenarnya membuat beberapa pelayan di rumahnya khawatir. Mereka ingin melerai pertengkaran ayah dan anak itu. Tetapi mereka jauh lebih takut dengan Tuan Sugai.

Mendengar balasan Yuuka, Ayahnya sudah tidak bisa mengontrol amarahnya. Kepalan tangannya sudah terangkat, "Jaga mulutmu, Yuuka!"

"Tunggu, Tuan! Tolong, jangan lakukan itu!" penjaga keamanan di rumah mereka menahan Ayah Yuuka sebelum ia sempat memukul Yuuka.

Yuuka menggigit bibir bawahnya. Tanpa ucapan apapun ia berbalik dan berjalan menuju kamar pribadinya. Persetan dengan Ayahnya yang memaki-maki dengan kata-kata kasar. Persetan dengan semuanya.

Di dalam kamar, ia menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Kepalanya seperti akan meledak. Mentalnya hancur, bahunya juga terasa sakit karena Ayahnya mencengkeramnya dengan sangat kuat. Sugai Yuuka yang karismatik, yang selalu tersenyum, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai orang jahat. Bukanlah siapa-siapa di saat seperti ini.

Yuuka meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri. Biasanya Ibu selalu memelukku saat Ayah memarahiku. Tanpa sadar Yuuka menangis. Ah ... kapan ya terakhir kali ia menangis? Saat pemakaman ibunya?

Semakin ia terisak, semakin erat pula ia memeluk dirinya sendiri. Berharap sentuhan kecil itu dapat menenangkannya. Hingga ia tertidur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top