Chapter 4: Suppression at the Library

Sugai Yuuka.

Dikenal sebagai sosok yang paling berpengaruh di Sakurazaka Academy. Dengan jabatannya sebagai The President of Student Council jelas tidak ada satu orang pun yang tidak mengenal siswi tingkat dua ini. Berasal dari latar belakang keluarga yang merupakan pebisnis sukses, hampir tidak pernah Yuuka mengalami kekurangan materi selama hidupnya. Nasibnya pun selalu beruntung. Cerdas, pandai berbicara, memiliki aura kuat, berkharisma, kaya, dan memiliki kekasih yang cantik.

Segala hal yang didambakan oleh semua orang, dimiliki olehnya.

Biasanya orang-orang akan segan apabila berhadapan langsung dengan Sugai Yuuka. Tetapi tidak dengan Akane. Menurutnya setiap orang itu sama rata. Ya, meskipun ia tetap menghormati Yuuka dengan statusnya yang jelas berada jauh di atasnya.

Seperti sekarang, Yuuka menemuinya di perpustakaan saat pulang sekolah. Kebetulan Akane sedang sendirian menunggu Koike yang berada di ruang pengajar. Presiden Dewan Pelajar itu datang tanpa mengucapkan sepatah dua patah kata, melainkan langsung duduk di kursi seberang Akane. Akane mendongak, melihat siapa yang telah lancang masuk ke wilayah pribadinya.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Akane dengan nada tidak tertarik. Alih-alih menatap lawan bicaranya, ia memilih fokus dengan ensiklopedia yang ia baca.

Nampaknya Yuuka datang seorang diri. Akane tidak menemukan gadis dengan wajah manis yang selalu berada di samping Yuuka—yang ia maksud adalah Kobayashi Yui—setidaknya itu yang Akane tahu sejak di kantor Dewan Pelajar siang tadi.

Oh, tidak.

Jantungnya mendadak seperti diremas oleh sesuatu, membuat bagian vital tubuhnya itu terasa seperti berhenti berdetak selama beberapa sekon saat Akane merasakan sekelebat hawa manusia di belakangnya. Firasatnya itu menjadi nyata ketika sebuah tangan tiba-tiba mendarat di atas meja. Tidak, Yuuka rupanya tidak sendirian. Ia datang bersama Watanabe Risa.

Risa diam-diam duduk di kursi sebelah Akane. Blazer putihnya diletakkan di atas meja, ia membaringkan kepalanya di atas blazernya itu. Kini, ia telah dikepung oleh dua orang yang membuatnya merasa dalam posisi yang berbahaya. Yuuka di kanan, Risa di kiri. Oh, tidakkah itu hari keberuntungannya?

Yang benar saja.

"Tidak ada." Yuuka menjawab santai. Tatapannya lurus ke arah Akane. "Aku hanya terkejut karena kau sangat berani menyerang Risa tadi. Terakhir yang melakukan itu, ia langsung terhapus identitasnya dari daftar warga negara." Gadis itu tersenyum, memamerkan senyuman miringnya yang terlihat mengintimidasi. "Baiklah, itu sedikit berlebihan. Tapi yang terjadi memang seperti itu. Benar begitu, Risa?"

"Jangan menakutinya seperti itu." Risa terkekeh di sampingnya, mengangguk-angguk seraya menahan tawa dengan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia kemudian mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. "Kau menarik juga, Moriya. Jarang ada siswi baru yang pindah kemari dan langsung membuat kontroversi."

Akane mendengkus pelan, dengan susah payah menahan amarahnya. Ia sama sekali menolak untuk memandang kedua anggota The Elites itu, ia tidak mau sampai membuat perkelahian lagi yang berujung drop out. Jadi ia hanya membiarkan Yuuka merampas buku itu seraya menutup rapat kedua matanya. Berkali-kali ia berucap dalam hati agar tidak membiarkan kedua tangannya yang gemetar itu mengepal dan melayangkan pukulan mentah di wajah president itu.

Yuuka mengangkat alisnya. "Moriya." Ia berdiri, kini Yuuka berdiri di seberang meja Akane dan merampas sensiklopedia tebal dari tangannya. "Aku berbicara padamu. Kau ini memang menolak untuk menjawab ataukah kau memiliki gangguan pendengaran, huh?"

Apakah baru saja Yuuka telah menyebut Akane tuli?

Baiklah, kali ini Akane merasa ia sudah cukup mendengar bualan Yuuka. Kemarahan Akane sudah sampai pada titik didihnya. Raut wajahnya kini berubah, begitupun dengan dadanya yang bergerak naik turun tak beraturan. Sebisa mungkin ia menahan agar tidak menonjok hidung mancung Yuuka. "Aku perjelas, sebenarnya apa yang kalian inginkan dariku?" ia mendesis.

Kali ini Risa tersenyum. "Tidak ada. Kami hanya berpikir apakah kami bisa mendapatkanmu...?"

"Risa. Tolong." Yuuka menyahut.

"Baiklah, aku bercanda." Ia mengerang kecil. "Katakan saja padanya, Yuuka."

Akane mengangkat satu alis, menunjukkan raut wajah penuh pertanyaan pada Yuuka. Gadis itu menatap Yuuka dengan sorot mata tajam sekaligus waspada. Akane sudah mulai menegakkan posisi duduknya, bersiap karena sewaktu-waktu ia mungkin akan berdiri dan pergi dari sana secepat mungkin.

 "Sebenarnya aku memintamu untuk mengawasi Watanabe."

"Apa?" Risa terbelalak tidak percaya, begitu juga dengan Akane. Mereka berdua saling bertatapan sebelum mencecar Yuuka dengan pertanyaan.

"Ini di luar rencana kita! Kau bercanda? Aku tidak mau!" Risa berkata, wajahnya berubah muram.

"Aku juga tidak mau berurusan dengan dia. Kalian—maksudku."

Yuuka tersenyum. Ia tidak mempedulikan Risa yang bersungut-sungut menolak ucapan Yuuka. "Aku jarang sekali melihat ada yang berani dengan Risa. Kau orang pertama setelah Hirate—mantan siswi di sini. Jadi aku berharap kau bersedia meringankan bebanku dengan mengawasi hewan liar ini agar tidak membuat ulah."

"Aku tidak mau!" Akane menyahut. Ia berdiri, hendak meninggalkan perpustakaan. "Sudahlah, masalah ini sudah selesai, Sugai. Aku tidak mau berurusan dengan Watanabe lagi." ucapnya. Ia dapat melihat secercah kekecewaan di wajah Yuuka.

Ia baru saja akan berbalik saat Yuuka mencengkeram erat kain lengan bawah blazernya. Membuat Akane tertahan dan secara refleks melepaskan cengkeraman Yuuka dengan paksa. Risa terkejut saat Akane mulai menunjukkan tanda tidak bersahabat—segeralah ia berdiri di antara Yuuka dan Akane, membuat gadis yang lebih pendek menghembuskan napas kasar karena ia tak bisa menampar wajah menyebalkan the president itu. Sementara gadis bermarga Sugai itu hanya tersenyum miring di belakang Risa.

Risa bertindak seperti ajudan bagi Yuuka, dan gadis tinggi ini membuat nyali Akane ciut seketika. Tapi justru, Yuuka memberi isyarat bagi Risa untuk menyingkir darinya agar Yuuka dapat menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Akane. "Apa yang menahanmu? Kau bisa memukulku dan aku juga tidak akan melakukan apapun untuk membalas. Aku tahu kau melakukan kekerasan di sekolah lamamu, kenapa kau tidak melakukannya lagi di sini?"

Dari mana orang ini tahu tentang hal itu? 

"Itu—"

"Ayo. Pukul aku, Moriya." Yuuka tertawa remeh. Ia kemudian menyentuh tangan Akane yang kaku dan mengangkat kepalan tangannya hingga menyentuh tulang pipinya. Sepasang iris cokelatnya tidak lepas dengan milik Akane, menahannya dengan begitu tenang dan membuat lawannya mulai ketakutan. "Kau tidak berani? Menggelikan. Bagaimana pecundang ini bisa lolos ujian masuk dengan mental sampah begini?"

Pintu perpustakaan dibuka, menampakkan Koike dari balik pintu yang masuk ke dalam perpustakaan dengan membawa satu buah totebag. Melihat teman barunya berada di posisi yang tidak mengenakkan, ia lantas melompat dan buru-buru menghampiri Akane yang sedang terpojok oleh dua orang itu. "Kalian berdua lebih baik tidak melibatkan Moriya dalam apapun yang kalian lakukan, atau aku akan melaporkan kalian pada kepala sekolah!" ia berbisik di hadapan Yuuka dan Risa.

Yuuka menegakkan tubuh dan melepaskan cengkeramannya pada tangan dingin Akane, lantas menatap balik Koike dengan santai seakan ia tidak pernah melakukan apapun. "Halo, Minami. Kita jarang sekali berbicara, dan sekarang adalah pertama kalinya kau berbicara padaku, kau langsung membentak dan menaikkan nada suaramu di depan wajahku."

Risa melipat kedua lengannya di depan dada. Tubuhnya yang tinggi dan gagah membuat Koike terintimidasi, apalagi dengan tatapan matanya yang begitu dingin. "Kau akan melaporkan kami atas tuduhan apa, Mii-chan? Apakah salah bagi the president untuk memberikan orientasi kepada murid baru di Sakurazaka Academy?" Koike tertegun saat mendengar kata Mii-chan, panggilan Habu padanya. Itu artinya, kemungkinan Risa akan melakukan hal mengerikan pada Habu jika ia berbuat macam-macam.

"Kalau kalian melakukan sesuatu pada Habu—"

Koike melangkah maju. Dengan lancang ia menarik dasi Yuuka ke bawah—karena Yuuka lebih tinggi darinya—dan membuat Yuuka terpaksa menunduk menghadap wajah lucu gadis berambut pirang itu. Yuuka tidak melakukan apapun selain tertawa kecil. Ia kemudian melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Menggunakan tangan kirinya, Yuuka melepaskan cengkeraman Koike dari dasinya dan berbalik untuk menepuk bahu Risa, "Klub musik seharusnya sudah selesai latihan lima menit yang lalu."

Risa menunjukkan ekspresi tidak bersahabat lagi. Akane menyadari perubahan ekspresi tersebut saat Yuuka menyebutkan perihal klub musik. "Lalu? Ada apa dengan itu?"

"Aku harus pergi. Yui mungkin sudah menunggu sedari tadi." ucap Yuuka seraya berbalik meninggalkan perpustakaan. Langkahnya terhenti saat tangannya meraih gagang pintu. Ia berbalik dan berkata, "Aku menunggu jawabanmu, Moriya." tak lupa Yuuka memberikan senyuman sebelum akhirnya mereka berdua benar-benar meninggalkan perpustakaan.

Bahkan setelah kepergian dua manusia sialan itu, Akane masih tidak bisa menguasai dirinya. Napasnya masih memburu, perasaannya bercampur aduk. Koike yang penasaran dengan maksud dari kalimat terakhir Sugai sebenarnya ingin bertanya, tetapi melihat keadaan Akane yang seperti itu ia pun mengurungkan niatnya.

Ia menyentuh punggung Akane menuntunnya keluar perpustakaan menuju ruang kelas. Kejadian ini mengingatkannya dengan kejadian yang sama beberapa bulan yang lalu. Koike dengan sabar menuntun Akane, sepanjang perjalanan ia sama sekali tidak melepaskan tangannya dari bahu Akane dan malahan memberikan sedikit penekanan lembut di sana. Berharap tindakannya itu dapat membuat Akane merasa lebih aman dan terlindungi.

"Terima kasih, Koike."

"Tidak masalah."

Seorang gadis dengan anggun berdiri sendirian di lobi, menyandarkan sisi samping tubuhnya pada loker. Ia nampak menunggu seseorang dari caranya memperhatikan setiap siswi yang keluar masuk ruang kelas dan berbelok di koridor. Sesekali Yui mengangkat wajah dan mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang ia genggam, membalas sapaan dari beberapa siswi yang menyebutkan namanya.

Ia menghembuskan napas kasar. Apa yang terjadi hari ini membuatnya pikirannya kacau. Ia merasa iba pada Yuuka. Terutama ketika ayahnya memarahinya lagi hanya karena kesalahan yang sama sekali tidak ia perbuat. Saat itu, bukan berati Yui tidak mau membela Yuuka. Tapi ia tidak tahu harus bagaimana dan mengucapkan apa karena jika itu berhubungan dengan ayahnya, ia tidak bisa apa-apa. Apapun yang Tuan Kobayashi katakan adalah mutlak, tidak ada siapapun yang bisa mengubah pikiran dari kepala keluarga Kobayashi itu—bahkan ibunya sendiri.

"Yui?"

Sebuah suara halus membuatnya tersadar dari lamunan. Dilihatnya Yuuka berjalan ke arahnya. "Ah, Yuuka." Risa juga ada disana. Seperti biasa, gadis berambut pendek itu seolah tidak menganggap keberadaan Yui. Ia malah sibuk dengan buku catatan kecil miliknya.

Yuuka memiringkan kepalanya saat menyadari seperti ada sesuatu yang tidak wajar dari gadis bermarga Kobayashi itu. Jadi ia memberanikan diri untuk mengangkat tangan kanannya, menyentuh lembut rambut Yui yang menutupi samping wajahnya. Ia menyelipkannya di belakang telinga. "Ini lebih baik. Kelihatannya kau berlatih dengan keras sampai rambutmu menjadi berantakan seperti ini."

Sekali lagi, Risa merasa tidak nyaman. Ia paling tidak suka saat Yuuka menyentuh Yui, atau sebaliknya. Sebegitu bencinya ia sehingga ia memilih untuk segera angkat kaki dari tempat itu. Ia pun memasukkan buku catatan kecil ke dalam saku blazer dan melangkah meninggalkan mereka berdua, "Aku ada urusan dengan Hono."

"Eh? Risa!" Yui memanggil namanya. Tapi kelihatannya Risa tidak mendengar.

"Yui. Ayo pulang?" lirih Yuuka.

"Ah, iya."

Berusaha melupakan tingkah laku aneh Risa, mereka pun berjalan beriringan menuju tempat parkir. Keheningan yang canggung membuat Yuuka bercerita tentang apapun yang membuatnya tertarik. Agar tidak bosan, ia bercerita tentang kuda peliharaannya yang baru saja sembuh dari cidera kakinya —tentang Wolfram yang terjatuh saat Yuuka membawanya dalam perlombaan dua bulan lalu. 

Yui tidak terlalu mengerti tentang kuda dan segala bentuk anatominya. Karena Yuuka bahkan menjelaskan bagian-bagian dari kuda menggunakan bahasa yang sama sekali tidak ia pahami. Jadi ia hanya merespon seadanya sambil tertawa kecil. Ia tetap mengapresiasi usaha Yuuka agar mereka tidak canggung.

Terima kasih kepada cerita tentang kuda peliharaan Yuuka yang membuat mereka berdua melupakan waktu yang bergulir di dunia. Yui tak sadar jika mereka sudah berada di dekat mobil hummer milik si presiden. Yuuka membukakan pintu untuknya, ia juga sigap membawakan gitar miliknya dan meletakkannya di kursi belakang mobil. "Aku bisa melakukannya sendiri, Sugai."

Yuuka tersenyum saat mendengar Yui memanggilnya dengan nama keluarga. Menurutnya itu terdengar manis di telinganya. Ia menutup pintu dan berjalan untuk masuk dan menempatkan dirinya di depan roda stir sebelum memacu mobilnya meninggalkan area sekolah.

Beberapa meter meninggalkan gerbang Sakurazaka Academy, Yui memutuskan untuk memulai pembicaraan. "Hei. Aku minta maaf, tentang ayah."

Yuuka meliriknya sekilas. Ia menggumam. "Kau tidak perlu meminta maaf. Sungguh, itu bukanlah masalah serius."

Tidak, itu masalah. "Maaf. Hubungan ini membuatmu tidak nyaman, bukan?"

"Kenapa kau berbicara seperti itu. Aku sama sekali tidak merasa seperti itu kok!" Yuuka tersenyum lebar. Justru hanya dengan senyuman itu saja, Yui langsung sadar jika Yuuka sebenarnya sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

"Omong-omong aku berbicara dengan Moriya. Aku memintanya membantu mengawasi Risa."

"Huh, seperti Risa mau jika ada orang asing yang mengganggunya."

Yuuka menggeleng. "Itu lucu. Sebab Risa tidak terlalu berontak saat aku mengatakannya tadi." Ia memejamkan matanya, mencoba berpikir. "Entahlah apa yang ia rencanakan kali ini. Akhir-akhir ini ia lebih banyak bermain dengan anak-anak tingkat satu."

Yui tidak menjawab. Ia melamun melihat keluar jendela mobil.

"Yui."

"Hm?"

"Kau masih menyukai Risa?" Yui tersentak dan Yuuka melanjutkan ucapannya. "Aku tidak masalah dengan itu. Aku juga sudah memberimu izin untuk menjalin hubungan dengan orang lain selain aku. Lagipula hubungan kita hanya sebatas urusan bisnis."

Yui menggeleng pelan, tanpa sadar ia membuka mulutnya. Namun karena ia tak memiliki gambaran akan apa yang akan ia ucapkan ia memutuskan untuk tetap diam. Memilih untuk tidak menjawab dan menggenggam tangan Yuuka yang memegang perseneling mobil.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top