Chapter 28: The Judgement Day II
Risa menggenggam erat pergelangan tangan Karin dan menuntunnya untuk berlari ke gedung kelas tiga yang merupakan gedung paling jauh dari basement, dengan harapan Rei dan kawanannya akan kehilangan jejak mereka. Tapi kenyataannya tidak. Mata mereka seolah terbiasa melihat dalam kegelapan pekat seperti ini, persis seperti hewan buas yang hidup di hutan belantara.
Tak begitu jauh di belakang mereka, Takemoto mengejar dengan membawa sebilah golok. Langkah kakinya yang bertalu-talu pada lantai marmer membuat jantung Risa berpacu cepat. Meskipun ia sudah terbiasa berlari karena seringnya melakukan latihan fisik, di saat seperti ini entah kenapa kemampuannya itu seperti tidak berguna. Ia menjadi cepat lelah, otot kakinya kaku dan panas terbakar. Tiap kali telapak kakinya memijak, rasa nyeri akan menjalar dari bagian telapak dan menyebar ke bagian yang lain.
Ia tidak tahu dengan Karin tapi sepertinya ia merasakan hal yang sama. Ditambah lagi gadis itu lebih lama disekap, sudah pasti ia kehilangan lebih banyak energi karena jatah makanan yang sedikit. Sembari berlari, Risa sesekali menengok ke belakang untuk mengecek keadaan Karin. Tampak Karin membuka mulutnya sedikit, berusaha keras untuk tetap bernapas meskipun sesak mulai menjalari dadanya.
Karin mengerang kecil. Ia berusaha mempercepat pace larinya agar bisa menyamai kecepatan Risa. Ketika mereka sudah beriringan, ia berucap, "Kita tidak bisa berlari terus. Harus memancing cecunguk sialan itu ke suatu tempat dan menjebaknya di sana." Risa awalnya terdiam, berpikir beberapa waktu. Hingga akhirnya ia menoleh ke belakang dan mengangguk setuju tanpa mengatakan apapun lagi.
Mereka memperlambat kecepatannya dan menengok ke belakang, Takemoto mulai mengikis jarak dan menjadi semakin dekat dengan posisi mereka. Pandangan Risa berpendar dengan liar pada lorong dan pintu di sekelilingnya, hingga pilihannya jatuh pada satu ruangan. Ditendangnya pintu laboratorium, ia membawa Karin masuk ke ruang laboratorium biologi dan membiarkan pintunya terbuka, menunggu Takemoto masuk dan memakan umpan. Selama beberapa detik Risa dan Karin berdiri di dinding dekat pintu. Setiap detik berlalu, semakin berat dan sesak napas mereka.
Langkah kaki terdengar semakin dekat dan akhirnya Takemoto melesat masuk ke dalam. Tepat saat itu, Karin mengangkat meja dan melemparkan meja tersebut ke tubuh Takemoto.
Suara keras saat meja jatuh membentur lantai membuat telinganya berdengung sesaat. Tapi Karin tidak berhenti karena ia melihat Risa meraih tubuh Takemoto dan mencekik lehernya dari belakang. Ia memberikan kesempatan bagi Karin untuk menyelesaikan Takemoto dengan satu pukulan lagi. Jadi, ia mencoba mengambil kembali meja yang sudah nyaris hancur untuk kembali menghantam tubuh Takemoto.
Namun—
CRASH
"A—Argh?"
Karin tersentak. Bagian lengan hingga ke bawahnya terpotong dengan rapi dan jatuh ke lantai. Darah muncrat keluar dari lengannya, juga potongan tangannya yang ada di lantai. Ia meraung, menggunakan tangan kanannya untuk menutup aliran darah dari lengannya yang terpotong. Takemoto berhasil menebas tangan kirinya saat Karin hendak mengambil kembali meja yang jatuh. Risa menatap kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri, saat golok Takemoto menebas tangan kiri Karin seperti dirinya sedang memotong sebuah tahu. Sangat cepat, rapi, dan halus.
Ia tidak tahu setajam apa golok Takemoto hingga benda itu dapat memotong tulang yang bertekstur keras, daging dan jaringan otot yang ada melekat di sana.
"K—Karin!" Risa menggeram. Otot-otot tangannya menegang, memperkuat cekikannya pada leher Takemoto. "Sialan kau, berani-beraninya!"
Ia mendorong tubuh Takemoto menjauh dan hendak melayangkan pukulan ke lehernya. Tapi Takemoto dapat dengan mudah menghindar karena pukulan Risa jauh meleset dari sasaran. Memanfaatkan kelengahan Risa, Takemoto langsung menghantam wajah Risa dengan siku. Suara hidung yang patah tidak serta merta membuatnya berhenti, malahan Takemoto terus menambahkan pukulan-pukulan lain di rahang, leher, dada, dan perut Risa.
Karin meringis, saat ia mengangkat lengan, ia dapat melihat potongan tulang dan dagingnya. "Sial..." Menahan sakit dari tangannya yang terpotong, Karin merobek sebagian besar kain pakaiannya dan membebat tangannya dengan kain tersebut, darah dengan cepat merembes pada kain tapi tidak mengucur di lantai. Kain tersebut dengan cepat dibasahi oleh darahnya sendiri. Masih merasakan sakit, ia tak yakin seberapa lama ia dapat bertahan dengan pendarahan yang sebegitu hebatnya.
Karin berusaha keras memaksa tubuhnya untuk bangkit. Dengan langkah lemah, Karin segera mengambil alat pemadam api dengan tangan kanannya yang masih utuh. Ia meletakkan tabungnya di lantai, sementara tangan kanannya memegang selang dan mengarahkannya pada Takemoto. Lalu kakinya ia gunakan untuk menginjak pemicunya dan membuat tabung itu menyemprotkan isinya tepat di wajah Takemoto, membuat pandangannya kacau.
"Ayo," bisik Karin.
Tapi, Risa tak bergeming.
Ia tidak mau Takemoto menyadari keberadaan mereka jadi Karin segera melingkarkan lengan Risa di bahunya dan menuntunnya keluar dari tempat itu. Tidak lupa ia mengunci pintu dari luar menggunakan alat seadanya. Tidak cukup kuat, memang, tapi itu cukup membuat Takemoto tidak mengejar mereka untuk sementara waktu.
Dengan langkah pincang, Karin menuntun Risa yang masih mengalami black out pergi sejauh mungkin dari jangkauan Takemoto. Pemadam api itu tidak akan bertahan lama, cepat atau lambat ia pasti dapat menemukan jalan keluar dari laboratorium dan kembali mengejar mereka. Ia hanya memiliki satu tangan, sedikit sulit menuntun Risa yang bertubuh lebih besar darinya.
Rasa tanggung jawabnya lebih besar dari rasa penatnya. Meskipun Risa berkali-kali memukulinya, bahkan nyaris membunuhnya Karin merasa Risa tetaplah sosok yang ia hormati. Setelah beberapa meter, pegangan Karin pada tubuh Risa terlepas karena tangannya yang licin. Mereka berdua terjatuh, tetapi Karin dengan sigap berlutut di depan Risa untuk menuntunnya lagi.
Darah mengalir deras dari luka pukul di kepala Risa, dan Karin tidak dapat melakukan apapun untuk menghentikan pendarahannya itu. "Kenapa kau terus merepotkan dirimu sendiri untuk menolongku? Pergilah! Selamatkan dirimu sendiri! Kau tidak boleh menghentikan langkahmu untuk menolong orang sepertiku." ucap Risa dengan napas terengah-engah. Ditepisnya tangan Karin yang hendak mengangkat tubuhnya.
Karin terkejut atas perlakuan Risa, dan itu membuat Risa sedikit merasa bersalah. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak mau Karin melakukan hal ini kepadanya ketimbang pergi untuk menyelamatkan nyawanya sendiri.
Melihat ke belakang, banyak sekali hal tak termaafkan yang ia lakukan pada Karin. Seharusnya Karin membalaskan dendamnya sekarang, menginjak kepalanya hingga hancur atau mengorbankannya pada pembunuh-pembunuh gila itu. Tapi hati Risa tersentuh saat Karin tidak melakukan salah satu dari hal yang ia pikirkan dan malah membantunya menyelamatkan diri.
"Apa yang kau lakukan? Kita harus segera pergi, Takemoto akan menemukan kita di koridor ini." Karin kembali berinisiatif merangkul tubuh Risa, tapi sekali lagi gadis itu menepis tangannya. "Risa! Yui ada di suatu tempat di sini, kau ingin menyadarkan dia bukan?"
"Kenapa... kenapa kau tidak membenciku saja? Kenapa kau justru berbuat baik padaku dan membuatku semakin merasa bersalah?"
Risa tidak menyadari bahwa suaranya pecah dan berubah menjadi isakan pelan. Ia menunduk, menempelkan dahi di lantai yang dingin. Kepalanya terasa sangat berat tiap kali ia berusaha menegakkan leher. Staminanya sudah terkuras, jadi ia hanya bisa tersungkur dengan menyedihkan di depan orang yang selalu ia siksa di masa lalu.
Karin tak kunjung menjawab. Ia berdiri tegak, pandangannya menyusuri jauh ke koridor gelap di depannya kemudian turun menatap Risa—yang sedang menangis.
Membenci?
Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Ia masih dapat merasakan phantom pain dari tangan kirinya yang terpotong. Jika saja sejak awal mereka tidak melakukan semua ini dan langsung melaporkan penemuan mayat pada polisi, semuanya pasti tidak berakhir tragis. Dan Karin masih memiliki tangannya secara utuh. Tidak ada yang menduga semuanya akan berakhir dengan memilukan seperti ini, tidak ada satupun dari mereka yang mampu untuk menyalahi takdir yang telah memilih ingkar.
Karin rasa, apapun yang ia dan mereka sesali sekarang, tidak akan berguna. Mungkin di atas sana, Tuhan sedang tertawa melihat keadaannya sekarang.
Aku memang membencimu. Tapi, aku juga tidak tahu mengapa sekarang perasaan benci itu menguap begitu saja.
Dilihatnya Risa yang tengah meringkuk tak berdaya, dengan luka memar di tiap bagian tubuhnya. Ia ingat betapa besar keinginannya untuk memukul wajah itu, menghajarnya hingga tak berbentuk sebagai pembalasan dari emosi yang terpendam di dalam dadanya selama berbulan-bulan. Akan tetapi, ketika kesempatan itu datang kepadanya, Karin tetap tidak bisa melakukan semua itu.
Karin perlahan berlutut, menurunkan tubuhnya sejajar dengan Risa. Tangannya kembali melingkar di bawah lengan Risa dan perlahan mengangkat tubuhnya, memaksa Risa berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Ia menatap wajah Risa, kesedihan langsung menghantam hatinya. Wajah sekeras dan sekeji algojo itu kini melepaskan topengnya, menunjukkan sisi sebenarnya dari seorang Watanabe Risa.
"Risa, sebesar apapun keinginanku untuk membencimu dan membunuhmu ... hah ... itu tidak akan mengubah apapun." ucap Karin. Ia menepuk-nepuk punggung Risa, berusaha menenangkannya sembari terus berjalan. "Kau masih tetap menjadi senior yang aku hormati. Aku ingin menyelamatkanmu karena hidupmu masih panjang, kau memiliki sesuatu yang harus kau kejar. Yui adalah salah satunya." Senyuman kecil terpatri di bibir Karin. Suaranya menjadi lebih parau ketika ia melanjutkan, "Aku tidak memiliki tangan lagi untuk melempar bola. Jadi untuk apa repot-repot bertahan hidup?"
Si Watanabe itu menatap wajah rekannya. Di dalam kegelapan yang hanya disinari oleh cahaya temaram dari bulan purnama, Risa dapat melihat wajah Karin yang perlahan memucat karena kehabisan darah. Tangan Risa bergetar saat ia memaksa tubuhnya yang ngilu untuk duduk dan melingkarkan lengannya pada tubuh Karin. Karin tersentak begitu ia merasakan sentuhan Risa pada tubuhnya, membuatnya merasa ragu sesaat untuk membalas.
"Risa ..."
Risa mengusap air matanya. Ia melepaskan pegangannya pada Karin dan mulai berjalan dengan normal meskipun tubuhnya sedikit oleng. "Hah ... kau ini masih saja menyebalkan jika berbicara. Kita semua harus bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup jebloskan Rei ke dalam penjara."
"Omong-omong jika kau dewasa nanti, kau ingin jadi apa?" tanya Karin.
"Aku ingin mendaftar menjadi anggota Japanese Defense Force. Tapi itu dulu," Risa menjeda, menpercepat langkahnya menuju tangga. "kupikir aku akan bergabung dengan kepolisian. Itu pun jika aku bisa."
Karin menggumam, agak terkejut mengapa Risa mendadak berada tiga meter di depan. Ia pun menghentakkan kakinya, berlari menyusul. Tapi mendadak sebuah benda dingin dan tajam melesat di depan matanya. Hal yang ia rasakan berikutnya adalah darah kental menyembur keluar dari lehernya. Ia jatuh berlutut, dengan matanya yang buram ia dapat melihat Risa yang membeku di tempatnya berdiri.
Takemoto menarik kembali goloknya, mengiris setengah batang tenggorokan dan urat-urat leher Karin.
"Apa yang kau tunggu? Pergi!" Karin sangat ingin mengatakan hal itu. Tetapi, yang keluar hanyalah suara berdeguk dari tenggorokannya yang nyaris putus. Ia tahu ia akan mati, tidak perlu waktu lama bagi Takemoto agar memutus kepalanya.
Maka, menggunakan tangan kanannya Karin mengisyaratkan Risa untuk pergi meski dengan sedikit paksaan. Ditatapnya punggung Risa yang berlari menjauh, dan lambat laun semakin menghilang ditelan kegelapan pekat. Ia tersenyum, menjatuhkan tubuh sepenuhnya di lantai yang basah oleh darahnya sendiri dan sepenuhnya menyerah. Ia bahkan tidak dapat mencium bau anyir dari genangan darah itu.
Takemoto berlutut di depan wajah Karin, memamerkan golok tajam dengan darah segar yang menetes dari ujungnya. Tiap kali Karin mencoba berbicara, hanya gelembung-gelembung darah dan suara degukan mengerikan yang terdengar dan itu membuat Takemoto tersenyum puas.
"Jika aku jadi kau, aku tidak akan membiarkan Watanabe lolos begitu saja." ucapnya. Satu tangannya sudah memegang kepala Karin, disusul oleh tangannya yang lain memegang dagunya. "Dia sudah menyakitimu dengan begitu kejam. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalamu sampai kau rela mengorbankan nyawamu agar dia bisa lari."
Kau tidak mengerti. Jika kami semua mati, tidak akan ada yang bisa hidup untuk bersaksi atas apa yang terjadi malam ini.
Tangan Karin yang lemah dan gemetar mencengkeram pergelangan tangan Takemoto. Mata cokelatnya yang sayu berangsur-angsur menggelap, kehilangan kehidupan.
Ah ... jadi seperti ini akhir hidupku? Seharusnya aku tahu bahwa Kau hanya memberiku waktu selama delapan belas tahun hidup di dunia, agar aku tidak akan menyia-nyiakan tiap sekon napas yang aku hembuskan.
Karin meneteskan air mata terakhirnya sebelum Takemoto memutar dan menarik putus kepalanya. Suara tulang patah dan robekan daging terdengar begitu kepala Karin terpisah dari raga. Ia memasukkan kepala Karin ke dalam karung dan menyeret mayatnya pergi dari tempat itu.
Di sisi lain, Risa berlari secepat yang ia bisa menuruni tangga. Bahkan ia sempat jatuh terguling dan membuat tubuhnya ngilu terbentur anak tangga. Tapi ia segera bangkit dan tidak mempedulikan rasa sakit tersebut. Begitu ia tiba di anak tangga terakhir, betapa terkejutnya ia begitu tahu jalan di depannya sudah tertutup oleh pagar besi yang digrendel.
BRENGSEK.
Risa mengepalkan tangannya hendak memukul grendel itu karena jengkel. Tapi, ia tidak bisa melakukannya karena itu sama saja memberitahu keberadaannya pada Takemoto—atau orang lain yang ada di gedung tersebut. Ia mengintip ke kanan dan kiri melalui sela-sela besi, tidak ada siapapun.
Jauh di depannya adalah gedung kelas satu. Risa dapat melihat cahaya senter dari salah satu ruangan. Itu pasti Yui, atau Seki dan Yuuka. Kalau tidak salah aku sempat mendengar suara salah satu dari mereka meneriakkan tentang senter. Risa segera berlari menaiki anak tangga menuju atap gedung kelas tiga dengan hati-hati agar tidak mengeluarkan suara.
Tepat saat ia berbelok menuju titian tangga kedua, langkah kakinya mendadak terhenti. Ia menahan napas, sayup-sayup terdengar suara langkah kaki dari koridor sebelah kirinya. Risa menyipitkan mata, berusaha keras menangkap sosok manusia yang berjalan di koridor gelap sana. Suara langkah kaki itu menjadi semakin dekat dan Risa sadar jika ada suara lain selain suara langkah kaki.
Yaitu suara benda berat diseret di atas lantai.
Mengetahui siapa yang datang dan apa yang orang tersebut bawa, Risa sontak berlari naik ke tangga kedua. Langkah kakinya yang berat memantul di gedung kosong itu dan Risa sepenuhnya sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan paling bodoh yang pernah ia lakukan. Ia telah memancing Takemoto dan memberitahu kemana ia pergi.
Suara langkah kaki lain terdengar beradu dengan milik Risa. Ia semakin panik dan mempercepat langkahnya meskipun otot pahanya terasa seperti terbakar Risa tetap memaksanya untuk bekerja. Ia menoleh ke belakang, di antara kegelapan ia dapat melihat siluet manusia tidak jauh darinya.
Tidak—beberapa langkah lagi! Ayo!
Napas Risa menjadi semakin sesak. Tapi ia beruntung karena pintu atap sudah berada di depan mata. Menggunakan sisi lengan dan bahu, diterjangnya pintu besi itu terbuka dan dengan cepat Risa berbalik dan menutup pintu itu. Tidak lupa ia menguncinya dari luar dengan balok kayu dan beberapa benda berat seberti tong air, kursi besi, dan beberapa kaleng cat. Suara gebrakan terdengar dari sisi lain pintu, disusul suara teriakan keras dan beberapa umpatan-umpatan kasar.
Risa menarik napas, menyibak rambut yang menjulur menutupi wajah, membiarkan oksigen mengisi paru-parunya secara penuh. Sembari memulihkan stamina, ia menoleh ke atap gedung kelas dua di samping kiri dan atap gedung kelas satu di seberangnya. Langkah kakinya membawanya mendekati ujung kiri atap.
Jarak antar gedung terlalu jauh. Aku bisa mati sebelum sempat menjangkau pagar pembatas itu.
Ia menghela napas berat. Aku tidak boleh mati. Jangan sampai pengorbanan Karin sia -sia. Tatapannya terkunci pada pagar pembatas gedung kelas dua, 5 meter tempatnya berpegangan. Bulu kuduknya meremang saat telapak tangannya menyentuh besi pembatas yang dingin. Beberapa butiran salju beku menempel di permukaan dan membuat tangannya kebas.
Ayo, Risa. Tunjukkan keberanianmu.
Dengan itu, Risa berlari beberapa meter dari pagar pembatas dan berhenti tepat di depan pintu atap. Pintu besi itu bergetar hebat karena gedoran keras dari Takemoto dan Risa tidak terlalu mempedulikan hal itu karena merasa ia tidak akan mampu merusak segelnya.
BANG BANG BANG
BRUK
Pintu atap dijeblak terbuka. Takemoto muncul dari balik pintu dengan membawa goloknya yang masih berlumur darah. Risa tersentak kaget saat mendapati Takemoto sudah berada sangat dekat dengannya, wajahnya ... penuh oleh cipratan darah dan terlihat sangat mengerikan. Ia menerjang, siap menebas kepala Risa dengan sebilah golok.
"PERSETAN!"
Dengan hentakan kaki yang kuat, Risa membawa tubuhnya berlari sekali lagi. Di belakangnya, Takemoto menggeram marah karena tebasannya tidak berhasil. Risa kembali memusatkan fokus pada pagar pembatas yang berjarak tiga meter di depan. Pada satu titik, ia melompat dan berpijak pada pagar pembatas sebelum melompat lagi melewati celah tujuh meter di antara dua gedung.
Punggungnya terasa seperti digigit oleh semut api, perih. Sepertinya Takemoto berhasil menebas punggungnya dan membuat sayatan yang cukup dalam di sana. Risa mencengkeram besi pagar pembatas dengan tangan kiri, tangan kanannya langsung menyusul karena tangan kirinya nyaris terpeleset.
"Nggh!"
Ia meringis. Rasa sakit itu kembali, membuatnya kesulitan menggunakan kekuatan lengannya untuk mengangkat tubuhnya naik ke atap. Kakinya tergantung, menggapai-gapai apapun yang bisa ia jadikan pijakan—tapi nyatanya tidak ada apapun yang dapat dipijak. Matanya melirik ke bawah, ke pelataran yang berjarak 20 meter tingginya.
Jelas ia tidak akan selamat jika ia jatuh.
"Kau tidak akan bisa lari, Watanabe!" ia dapat mendengar Takemoto berteriak sebelum ia berlari masuk ke dalam gedung. Sepertinya ia akan menghubungi teman-temannya dan mengatakan bahwa Risa berada di gedung kelas dua.
"Ayo .. aku harus hidup ..."
Tekad Risa membuatnya tidak begitu merasakan perih dan nyeri dari lengannya. Meskipun ia dapat merasakan tulang-tulang kedua tangannya bergemeretak karena menahan beban tubuh yang tertarik gravitasi, Risa masih dapat mengangkat tubuhnya naik ke atap. Dengan napas terengah ia melewati pagar pembatas dan langsung jatuh telentang di bawah.
"Argh ..." Risa mengerang. Kedua tangannya terasa nyeri dan mati rasa sekarang, dengan kata lain ia tidak akan bisa memberikan perlawanan berarti jika mereka menyerangnya. Di sisi lain kakinya juga sudah mulai menyerah untuk menopang tubuh.
Mati itu ...
Rasanya seperti apa ya?
Risa berpikir. Wajahnya menengadah, menatap langit hitam di atas sana. Tidak ada bintang, tidak ada juga bulan—karena sedetik kemudian matanya mulai terpejam karena kelelahan.
Yuuka menggenggam erat tongkat baseball dengan kedua tangan, sementara sepasang matanya menatap tajam pada Inoue dan Endo secara bergantian. Dua orang itu berada di sisi kiri dan kanan—sama-sama bersenjata tajam dan memakai sarung tangan hitam. The President itu berhasil disudutkan dan kini, ia hanya bisa memikirkan strategi bagaimana ia akan melindungi dirinya dari benda tajam yang barangkali akan menembus tubuhnya beberapa saat lagi.
Ia mengernyit tajam saat Endo tiba-tiba melangkah ke samping. Caranya berjalan terlihat aneh di mata Yuuka, dengan agak berayun ke kiri seperti ia sedang membawa benda berat di tangan kirinya. Siapa sangka, Endo tengah membawa jerigen penuh bensin dan meletakkannya di lantai, kemudian ia menarik keluar sebilah parang dan mengacungkannya pada Yuuka.
Inoue mengangkat gergaji mesin dan menyalakannya. Suaranya yang menggerung-gerung membuat telinganya tidak dapat mendengar suara apapun, suara mesin itu sangat keras dan menggema.
Bagaimanapun Yuuka tidak akan menang melawan dua orang bersenjata tajam ini, sementara dirinya hanya membawa sebuah tongkat besi yang tidak ada apa-apanya. Senjata yang ia genggam ini akan dengan mudah ditebas dan berubah menjadi potongan kecil jika Inoue sudah mengayunkan gergaji mesin. Yuuka menajamkan matanya, melihat jerigen hitam yang diletakkan oleh Endo. Apa yang akan ia lakukan dengan itu? Dia akan membakarku hidup-hidup?
Endo berderak maju, ia berjalan memutari Yuuka dan kini berada di belakangnya. "Lihat apa yang kau lakukan pada wajahku." desisnya. Yuuka menelan ludah, perlahan memutar leher untuk melihat apa yang dimaksud oleh Endo. Gadis itu menurunkan tudung jaketnya dan membiarkan cahaya bulan menyinari wajahnya—separuh wajahnya dibalut oleh perban, mulai dari dagu hingga bagian pipi tepat di bawah mata.
Yuuka bergidik ngeri. Perban itu membuat wajah Endo menyerupai hantu dengan wajah putih rata. "Itu bukan salahku." ketakutan, Yuuka menjawab.
Inoue melirik Endo kemudian mengambil satu langkah besar dan mengayunkan gergaji mesinnya, memotong tongkat Yuuka hingga menyisakan bagian gagang yang sangat kecil. Yuuka tersentak kaget dan refleks mengambil satu lompatan mundur dengan cepat. Detik itu juga, Inoue kembali mengangkat senjatanya dan menyasar bagian tubuh Yuuka. Gadis itu kembali mencoba menghindar dan berguling ke samping, namun gergaji itu sempat mengenai bahu dan telinganya.
Begitu ia mendarat di lantai, tubuhnya terasa seperti telah dihancurkan. Yuuka dapat merasakan tulang-tulangnya saling bertumbuk satu sama lain, juga perih dari telinganya yang setengah putus. Ia tidak memiliki waktu untuk bergerak karena posisinya terhalang dinding dan saat Yuuka membalik tubuh untuk menghadap ke arah lain, matanya langsung dihadapkan oleh Endo yang berusaha menusuknya dengan parang.
Menggunakan kedua tangan, Yuuka menggenggam erat sisi tajam parang tersebut untuk menghalangi benda tajam itu menembus bagian jantungnya. Ia meringis menahan perih, merasakan kedua telapak tangannya teriris dalam, kulit dan dagingnya terkoyak. Darah mengalir keluar dari sela-sela jari, membasahi telapak tangan dan membuat Yuuka harus mempererat genggamannya pada mata parang. Dan itu berarti ia akan terus membuat tangannya sendiri teriris.
Ia melirik ke arah Inoue. Gadis itu terlihat sedikit ragu menggunakan gergajinya untuk membunuh Yuuka, padahal itu adalah momen yang pas karena Yuuka sedang tidak bisa melakukan apapun. Sepertinya ia sedang shock melihatnya banyaknya darah yang mengalir dari telapak tangan dan menetes-netes membasahi pakaian hingga lantai. Gadis itu tampak mengalami guncangan moral, mempertanyakan apakah yang ia lakukan ada tindakan yang benar atau tidak.
Yuuka mengerjap, darah dari tangannya menetes masuk ke mata. Di kepalanya muncul sebuah ide untuk melakukan negoisasi. "Tahu kah kau bahwa yang membunuh seniormu itu adalah Rei sendiri. Orang-orang ini?"
"Apa maksudmu?"
Endo mendesis, semakin memperkuat dorongannya pada parang. Yuuka mengerang keras, rasa sakitnya menjadi semakin tak tertahankan. Ujung parang semakin turun dan hanya berjarak beberapa senti dari lehernya. Ia kembali berkata pada Inoue, menatapnya dengan tatapan serius.
"Mengapa kau menerima kedatangan orang asing yang secara tiba-tiba mengatakan hal yang begitu privasi kepadamu, mengatakan bahwa kami adalah pembunuh para senior? Padahal orang-orang tersebut adalah seorang pembunuh seperti yang kau lihat ini!" Yuuka merasakan tangannya semakin diiris lebih dalam. Ia menutup matanya rapat-rapat dan berteriak, "Inoue! Mereka adalah pembunuh yang kau cari selama ini! Mereka berdusta kepadamu, memberimu kebohongan dan memanfaatkanmu demi menutupi serangkaian pembunuhan yang sudah mereka lakukan di akademi!"
"Jangan dengarkan! Cepat gunakan gergajimu dan bunuh dia!" Endo membentak, matanya melotot tajam dan memberikan ancaman serius pada Inoue. Tapi gadis itu hanya balik menatapnya tanpa bergeming sedikit pun dan itu mulai membuatnya jengkel.
Inoue menurunkan gergaji mesin di tangannya, menatap Yuuka dan Endo bergantian. Sesuatu menghantam otaknya, menyadarkannya pada kejanggalan yang seharusnya ia sadari sebelumnya.
"Jika kalian dengan mudahnya mengkhianati Tamura dengan membunuh Hirate, aku pikir kalian juga akan dengan mudah membuangku jika kalian mendapatkan hal yang kalian mau." Inoue menjawab pelan. Gergaji mesin di tangannya kini mengarah pada Endo. "Rei tidak akan bisa mencuci otakku lagi."
"Hei—tunggu!"
Inoue menerjang Endo dengan menggunakan gergaji mesin. Tapi gerakan Endo lebih cepat. Ia segera berguling ke samping dan menebas kaki Inoue, tepat di bagian lutut dan langsung memotong kakinya. Gergaji Inoue terjatuh bersamaan dengan tubuhnya, darah muncrat keluar dari kakinya yang termutilasi.
Yuuka menatap dengan penuh kengerian bagaimana kedua orang yang seharusnya membunuhnya kini malah saling membunuh satu sama lain. Meskipun kaki Inoue dipotong, gadis itu masih kuat untuk mengangkat gergaji mesinnya dan membalas serangan Endo. Ia berhasil memotong ibu jari dan setengah jari telunjuknya. Kedua jari berdarah dengan potongan tulang yang mencuat keluar itu menggelinding tepat di samping wajah Yuuka, membuatnya berteriak kaget.
Di saat kedua orang itu tengah bergulat satu sama lain, mendadak dari ujung koridor muncul kilatan cahaya bersamaan dengan peluru yang menembus kepala Inoue. Tembakan lain terdengar, kali ini menyasar jerigen hitam dan langsung membakar isi jerigen. Rupanya Endo telah mengguyur tiap koridor di gedung kelas dua dengan bensin dan tembakan Rei membuat bensin itu terbakar. Api menyala semakin besar. Merayapi dinding, seluruh lantai dan menyentuh langit-langit koridor.
"Endo, pergilah ke gedung satu. Bantu Takemoto menangkap Risa dan Yui dan bawa mereka ke kuburan belakang. Biar aku dan Tamura yang mengurus tikus cacat ini." Rei berteriak dari ujung koridor, perlahan-lahan sosoknya yang disinari oleh cahaya merah api nampak di mata Yuuka.
Psikopat gila.
Endo mengangguk. Ia mengangkat mayat Inoue dan melemparkannya ke dalam api yang panas membara, api tersebut langsung melahap tubuhnya dan menciptakan bau daging hangus menusuk hidung dan membuat Yuuka nyaris muntah. Ia terjebak di gedung yang terbakar, bersama dua orang pembunuh yang siap menghabisinya.
Suara mendengung, disusul dengan suara korsleting listrik membuat Yuuka tersentak. Ia menghadap ke atas, lampu-lampu koridor menyala terang secara bergantian. Lampu di lapangan, lampu taman di luar gedung juga menyala satu persatu. Mata Yuuka berbinar, Seki berhasil melakukan tugas.
Tapi apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Menggelikan sekali. Mereka memaksa menyalakan generator listrik meskipun mesin itu sudah sepenuhnya dirusak." Rei berjalan menyibak api, berjalan santai mendekati Yuuka yang gelagapan.
"Apa?"
"Apa yang akan terjadi jika generator listrik pusat yang memegang kendali atas seluruh kelistrikan gedung ini dikacaukan kabel-kabelnya?" gadis berambut panjang itu tersenyum miring, mengeluarkan pisau dari sarungnya dan memberikannya pada Hono. Ditatapnya keluar, tepat pada area gedung kelas satu. Percikan-percikan api muncul dari dalam.
Yuuka spontan menoleh ke arah Rei menatap.
"S—Seki!"
Dan—
DUAR!
Ledakan hebat dari ruang kontrol seketika membuat listrik yang semula menyala segera mati. Bensin yang disebar oleh Rei dan teman-temannya membuat api dengan cepat menyebar di gedung kelas satu, membakar apapun yang ada di dalam sana. Di antara jendela yang bercahaya kekuningan, Yuuka dapat melihat bayangan-bayangan manusia yang berkelahi. Sosok tersebut sempat nampak di jendela sebelum kembali menghilang.
Itu Risa.
Sejak kapan ia ada di gedung satu?
Yuuka tidak memiliki kesempatan untuk bangkit dan menyelamatkan diri dari api yang perlahan melahap gedung kelas dua. Hono menarik kerah sweaternya dan melemparnya ke jendela, kepala Yuuka menghantam kaca dan memecahkannya. Pecahan kaca merobek bagian belakang kepala Yuuka, meninggalkan luka robek memanjang. Ia terjatuh, hantaman di belakang kepalanya membuat seluruh tubuh Yuuka seperti menolak untuk digerakkan.
Mendongakkan kepala, Yuuka dapat melihat bayangan Hono mendekat ke arahnya dengan mengangkat pisau—Yuuka memaksa tubuhnya berguling, tapi pisau itu tetap menyabet punggungnya. Ia tergeletak, seluruh tubuhnya nyeri, ngilu, perih. Hono menginjak tubuhnya, membuat Yuuka mengeluarkan suara menyesakkan. Ditariknya rambut Yuuka, kepalanya terangkat dan Hono memukulkan kepalanya di lantai.
"Kau membunuh Hirate, benar? Mengaku saja kau, brengsek!" ia mengiris pergelangan tangan Yuuka dengan perlahan, memastikan ia merasakan penderitaan dari rasa sakit yang berkepanjangan.
"Tidak! Rei yang melakukannya, sialan! Aku sendiri yang mendengar Inoue bersaksi tentang itu beberapa saat yang lalu!" Yuuka menjawab, dan tangan kanannya yang bebas terus berusaha mendorong tubuh Hono menjauh. "AARGH!"
"Berani berbohong? Baiklah."
Hono menarik tubuh Yuuka dan memaksanya berdiri, kemudian mendorongnya melewati jendela yang pecah hingga mereka berguling di atas paving di luar gedung, tepat di atas kepingan tajam kaca jendela. Kepala Yuuka kembali menghantam tanah, dan itu membuatnya seketika kehilangan penglihatannya. Gelap. Perih menusuk masuk di punggung, leher, dan bagian belakang kepala. Ia juga tak tahu mengapa ia bisa bertahan selama itu dengan keadaan sekarat, keinginannya untuk hidup justru membuatnya semakin tersiksa.
"Kau tahu, Ayahmu sudah mati. Dan itu karenamu, kau adalah beban hidupnya. Teman-temanmu juga mati karena kesalahanmu, kau membawa mereka ke dalam rencana busuk yang kekanak-kanakan! Mereka membayarkan nyawa mereka sebagai ganti dosa yang kau lakukan. Dan kau masih saja tak mengaku?" Hono memukuli Yuuka dengan gagang pisau, membuat gadis itu gelagapan.
"Aku tidak peduli dengan pria itu, sama sekali. Kau tidak akan bisa memancingku, Hono." Yuuka menjawab. Ia kemudian terbatuk-batuk karena Hono menginjak batang tenggorokannya.
"Kau memang keras kepala. Manusia sombong yang tidak pernah berubah, bahkan setelah melihat begitu banyak kematian, begitu banyak darah yang tumpah di depan matamu? Hikaru, Seki, teman-teman Hirate?" Hono terus menginjak leher Yuuka, menikmati wajahnya yang membiru karena kehabisan napas. "Kau memang pantas mati!"
Rei melihat semua itu dengan tatapan puas. Melihat Hono menghabisi sahabatnya sendiri tanpa memberinya kesempatan untuk membalas, tidak mempedulikan darah yang menggenang di sekitar tubuh Yuuka. Gadis itu sendiri sepertinya juga sudah mulai kolaps, perlawanannya sudah tidak sekuat tadi. Rei tersenyum bengis, merasa bangga dengan kemampuannya memanipulasi orang lain ia dapat dengan mudah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Ia hanya beberapa langkah lagi sebelum semua rencananya mencapai final. Rei mengambil botol bensin dari tas ranselnya, mendekati Yuuka dan mengguyur seluruh cairan bensin yang ada di dalam botol ke tubuh Yuuka. "Seret dia di hutan belakang. Kita akan segera menyelesaikan ini." katanya.
"Baik." Hono menjawab. Ia segera menyeret tubuh Yuuka dengan paksa, tidak mempedulikan rintihan-rintihan memilukan yang keluar dari mulut sahabatnya.
"Hono, aku sudah memberitahu kebenaran kepadamu. Kenapa kau masih tak mempercayaiku?" suara Yuuka terdengar seperti suara hewan yang dicekik. Sangat serak, kering. "Mereka bahkan membunuh Inoue di depan mataku."
"Aku tak butuh penjelasan dari orang sepertimu, Sugai." Jawab Hono. Saat mereka tak sengaja melewati kantor Dewan Pelajar, dari jendela terlihat jelas foto The Elites yang terpajang di dinding. Foto itu belum sepenuhnya dilalap oleh api.
"Seki ... dia mati ..."
Seki ... apa?
"Dia menitipkan pesan kepadamu, perihal kucing tabby yang kau bawa ..." suara Yuuka semakin lemah. Ia bahkan merasakan kepalanya lunglai. Berliter-liter darah keluar dari tubuhnya, sudah pasti sekarang tubuhnya sudah mulai menyerah. "... Hono, foto itu tidak pernah menua. Kita semua masih nampak polos dan cantik di situ. Kalau boleh, aku ingin kembali dan memperbaiki semuanya."
Hono mendadak merasakan hatinya dihantam oleh palu, membuatnya sakit. Ia hampir menangis, tapi dendam kesumatnya membuat Hono menepis perasaan bersalah saat ia melirik foto anggota The Elites yang setengah bagiannya sudah terbakar. Foto itu seolah menolak fakta bahwa setengah dari orang yang berada di dalamnya sudah mati dengan tragis.
Ten menggenggam erat ponselnya, tangannya basah oleh keringat. Tak henti-hentinya ia menghubungi Hikaru tapi yang ia dapatkan hanya pesan operator yang terus berulang. Mengatakan bahwa nomor yang sedang ia hubungi sedang berada di luar area. Helaan napas berat terselip dari bibirnya, berbagai pikiran negatif membuatnya frustasi setengah mati.
Sementara di belakangnya, Akane tengah menelepon polisi, ambulans, dan beberapa orang temannya untuk meminta bantuan. Ia telah menghubungi Habu serta Koike dan mengatakan bahwa mereka akan membawa polisi ke akademi. Tapi ia tetap kesulitan untuk menghubungi Fuyuka, berkali-kali panggilannya ditolak secara sepihak. Akane tahu ia akan membuang banyak waktu jika ia terus berpaku pada Fuyuka, jadi ia memutuskan untuk melewatkannya.
"Ten, kau sudah siap? Kita harus segera pergi. Koike dan Habu sedang dalam perjalanan ke kantor polisi." Akane meraih jaket denimnya dan mendekati Ten yang sedang gelisah menatap ponselnya. "Hikaru masih tidak bisa dihubungi?"
Ten mangangguk pasrah. Saat ia berbalik menghadap Akane, ia dapat merasakan perasaan gelisah gadis jangkung itu padanya. "Kita tidak bisa membuang waktu, entah apa yang dilakukan Rei pada mereka di sana jika kita tidak segera pergi dan meringkus mereka."
"Senior, sejujurnya aku tak yakin ..." Ten menjawab singkat, meninggalkan Akane untuk mengambil kunci mobilnya yang ia letakkan di atas meja belajar. Ia melangkah keluar kamar, Akane mengekor di belakangnya. "... bukannya aku pesimis atau bagaimana, tapi mendengar ceritamu itu ... juga apa yang kutemukan dari kamar Hikaru. Aku tak yakin mereka masih hidup sekarang."
"Kau bahkan tak lagi memikirkan Hikaru?"
Ten menunduk, "Ia seringkali mengatakan tentang sesuatu seperti merelakan seseorang yang berharga bagi kita. Ayah Hikaru meninggal, jadi kupikir itu wajar bahwa ia mengatakan hal itu padaku. Tapi sekarang—" ia mengepalkan tangannya, "—kupikir yang dia maksud adalah merelakan saat sewaktu-waktu ia pergi."
"Ten ..." Akane menjawab pelan. Menatap punggung juniornya dari belakang. Ucapan Hikaru yang dikutip oleh Ten seketika membuat perasaannya turut hancur, bersamaan dengan hati Ten yang remuk. Ia tak bisa mengatakan hal apapun karena takut melukai perasaan Ten. Jadi ia hanya meraih pergelangan tangan gadis itu, dan menuntunnya berjalan lebih cepat. "Mari kita berharap yang terbaik."
Ia membuka pintu mobilnya, menunggu Akane masuk. Ten menyalakan mesin dan segera melajukan mobilnya menuju akademi. "Jika kau begitu marah pada Senior Sugai, lantas mengapa kau bersikeras untuk datang ke akademi untuk menyelamatkannya?"
Akane mendengus. Ia mengalihkan perhatiannya dari peta di ponsel, menatap Ten dengan tatapan samping. "Aku tidak memaafkannya. Aku hanya tidak ingin ia mati dibunuh karena aku sendiri yang akan membunuhnya nanti."
Ten tertawa kecil. Akane kemudian melanjutkan, "Menurutmu bagaimana dengan Hikaru? Uh ... aku tidak bisa menerima ini, tapi mau bagaimana lagi. Terkadang tampilan luar orang dapat membohongi persepsi kita terhadap orang tersebut. Begitu pun dengan Sugai, meskipun ia adalah seorang kriminal, aku tidak berbohong jika aku mengatakan ia memiliki sisi baik."
"Hikaru ... dia juga orang pertama yang datang kepadaku saat upacara penerimaan murid baru. Ia orang yang menyenangkan, pandai membawa diri, selalu memiliki topik pembicaraan untukku yang tak banyak bicara ... hahaha. Menurutku ia tipe orang yang meninggalkan kesan pada tiap orang yang ia temui karena kharismanya itu."
Akane menyahut, "Selain tubuhnya yang kecil?"
"Hei, hei ... senior!"
Akane tertawa kecil. Ponselnya berdering, menampilkan nama penelepon di layar. "Koike, bagaimana?"
"Kami sudah berada di kantor polisi, mereka akan meminta bantuan dari pemadam kebakaran. Beberapa kesaksian warga setempat menyatakan bahwa mereka mendengar bunyi ledakan. Kami akan tiba dalam waktu tiga puluh menit, kurang lebih."
"L—Ledakan?" Akane mengulang.
Di sampingnya, Ten mencengkeram erat roda stir dan langsung menambah kecepatan mobilnya untuk mendahului mobil lain. Perasaannya mengatakan sesuatu yang lebih buruk telah terjadi, dan mereka sudah terlambat untuk menghalanginya.
Berjalan menyusuri koridor gelap, menuruni tangga dan berbelok untuk menuju turunan tangga selanjutnya. Risa menjadi semakin dekat dengan sosok manusia yang membawa senter. Ia bersyukur tidak menemui siapapun saat ia turun dan berjalan memasuki area gedung kelas satu.
Semakin dekat, ia mulai dapat mengenali secara jelas siapa orang tersebut. Meskipun, sebenarnya ia sedikit merasa takut. Karena yang menguasai tubuh Yui, masih kepribadiannya yang lain. Risa tidak takut dengan palu besar yang dibawanya, justru ia merasa ngeri saat mata cokelat Yui menatapnya dengan tatapan dingin.
Seketika ia merasa begitu jauh—begitu asing.
Bagaimana caraku membuatnya sadar?
"Yui!" Risa berteriak, perlahan-lahan berjalan mendekat. "Hei, kau ingat denganku? Maksudku, kau masih ingat suaraku?"
Yui tidak menjawab. Tapi matanya bergerak mengikuti gerakan Risa. Ia tersenyum. "Bagaimana mungkin aku melupakan orang sepertimu dalam semalam?"
Risa tersentak. Ia berpikir bahwa Yui berdiam diri seperti itu karena mungkin mengalami perang internal. Tapi ternyata tidak, ia hanya memancing Risa agar mendekat. Segera saja Risa merampas palu yang ada di tangannya sebelum Yui sempat mengangkat palu itu untuk menghancurkan kepala Risa. Lalu dengan satu gerakan, Risa menjatuhkan dan mengunci Yui di lantai.
Ia tidak ingin menggunakan cara kasar, tapi sepertinya hanya itu satu-satunya cara yang dapat dilakukan.
Yui berontak, kuncian Risa pada lengannya menjadi semakin kuat. Perlahan-lahan ia melonggarkan kunciannya dan beralih mencekik leher. Yui tidak sempat memberikan perlawanan dan itu menguntungkan Risa. Bahkan, ia dapat merasakan tubuh Yui melemas dan akhirnya pingsan. Risa segera melepaskan tangannya dan menggendong tubuh Yui, ia juga mengambil palu di lantai untuk melindungi diri.
Ia menyandarkan Yui pada dinding. Wajah gadis itu kini tampak menegang, seolah merasakan sakit dari salah satu organ tubuhnya yang dicabut paksa. Risa berasumsi bahwa ia sedang mengalami pergulatan internal. Ia merasa panik, tangannya menepuk bahu Yui, mengguncang-guncang tubuhnya dan berharap itu akan membantu Yui menemukan jalan keluar di dalam alam bawah sadarnya.
Tapi Yui masih tetap diam, hanya mengerutkan dahi. Mulutnya setengah terbuka, menghembuskan napasnya yang terlihat berat dan sesak. Ia seperti mengalami terror mengerikan di dalam, wajahnya basah oleh keringat dingin dan Risa tampak lebih panik dari sebelumnya.
"Yui! Apa yang terjadi? Hei, sadarlah!" Ia kini menampar-nampar pelan pipi Yui, berucap tepat di telinganya. "Kobayashi Yui!"
Mereka berdua tidak sendiri di gedung kelas satu. Ada orang lain yang ada di sana untuk mencari The Elites di gedung besar tersebut, dan orang itu tampaknya mencari Yui. Risa mengintip dari kaca, mendapati Marino berdiri tepat di depan pintu. Melihatnya membuat emosi Risa kembali naik ke ubun-ubun. Mereka yang telah membuat Yui menjadi seperti ini, memaksa alternya keluar dan membuat Yui kesulitan mendapatkan kembali kendali penuh atas tubuhnya sendiri.
Tanpa pikir panjang, ia mendobrak pintunya terbuka dengan menggunakan seluruh tubuhnya hingga pintu itu menghantam Marino. Ia terlempar, menghantam dinding dan jendela.
Risa segera naik ke atas tubuhnya dan mulai menghujani wajahnya dengan pukulan. Ia tidak sadar bahwa tangan Marino menggapai pisau silet dan menusuk perut Risa dengan itu. Ia tersentak, berdiri berpegangan pada daun pintu dan berusaha mencabut pisau silet yang masuk ke dalam tubuhnya. Di sampingnya, Marino langsung berdiri dan mengambil pelontar paku yang tergeletak di dekatnya.
Suara keras terdengar lagi saat Risa mengangkat tubuh Marino dan menghantamkannya pada kaca jendela, kemudian membantingnya di lantai, menendangnya berkali-kali. Saat tendangan terakhir, Marino berhasil menangkap kaki Risa dan langsung menariknya dengan kuat. Risa kehilangan keseimbangannya dan jatuh berdebam di lantai dengan lengan menahan seluruh beban tubuh, bunyi tulang patah terdengar di telinganya sendiri disusul oleh nyeri tak tertahankan dari lengannya.
Yui mendapatkan kembali kesadarannya dengan sentakan kecil. Ia tertegun, mengangkat kedua tangannya dan mencoba menggerakkan jari-jemarinya—mengepalkan mereka. Semuanya berfungsi normal, ia mendapatkan kendali penuh atas tubuhnya lagi.
BRAK
KRAK
Yui menoleh ke belakang, mendapati Marino dengan jarak relative dekat dengan Risa mengarahkan pelontar paku ke arahnya. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Spontan, ia pun mendorong Risa dengan tubuhnya, membuatnya terpelanting ke menabrak pintu kelas.
CTAK
"ARGH!" teriakan Yui terdengar menggema di dalam ruangan. Ia langsung terjatuh ke belakang saat paku tajam menancap, menusuk bola mata kanannya, paku lainnya menancap dua kali di bahu dan lengan. Sebelah tangannya menutupi mata, menggunakan jarinya ia berusaha mencabut paku yang menancap dalam pada bola matanya.
Tapi ia tidak bisa—mungkin lebih tepatnya kesulitan. Saat ia mencoba menarik paku dari mata, ia dapat merasakan matanya seperti akan tercongkel keluar dan ia tidak dapat menahan rasa sakit lebih dari itu. Pandangannya terganggu, ia tidak bisa membiarkan paku itu menancap di matanya terus menerus.
"BRENGSEK!" teriakan Risa membuat Yui tersentak. Ia melompat, menerjang Marino dan memojokkannya di dekat jendela sembari satu tangannya memaksa Marino melepaskan pelontar paku yang digenggamnya.
Tubuh Risa jauh lebih besar dan kuat, bukan tandingan yang pas untuk Marino. Jadi begitu Risa mendapat kendali atas tubuhnya, dengan sangat mudahnya ia mengangkat tubuh Marino dan membantingnya dengan sangat keras di lantai. Ia bahkan dapat mendengar suara retakan—entah retakan tulang atau keramik—saat tubuh Marino menghantam lantai.
Tidak selesai disitu. Risa meraih palu martil milik Yui dan memukul Marino lebih dari tiga kali dengan brutal, ia tidak mempedulikan darah dan potongan-potongan daging yang bercipratan mengenai wajahnya. Yui ternganga, tidak menduga bahwa Risa melakukan hal gila seperti itu—seperti ada sosok lain yang merasuki tubuhnya.
Bahkan sampai kepala Marino nampak menyerupai onggokan daging tanpa wajah, Risa masih terus saja menghantamnya dengan palu. Yui harus beranjak dan menarik tubuh Risa menjauh dari mayat Marino.
"Keparat seperti ini ... memang harus dibunuh." Risa melihat palu di tangannya. Darah kental menetes dari bagian besinya. Kemudian ia melihat kepala Marino yang hancur, tengkoraknya pecah dan otaknya tercerai-berai, satu bola matanya hancur—gepeng sementara satu lainnya terjulur keluar.
Gadis tinggi itu berpaling pada Yui. Menatapnya dengan sorot mata lembut, penuh kerinduan, seluruh perasaan Risa ia tumpahkan ke dalam tatapan itu meski mungkin saja ia tidak menyadari. Tatapan Risa lalu berubah menjadi khawatir saat melihat paku menancap di mata kanan Yui, bagian putih matanya sampai berubah menjadi merah sepenuhnya—jujur, Risa ingin mencabut paku itu tapi ia tidak melakukannya karena takut hal yang tidak diinginkan terjadi.
"Selamat datang." Bisik Risa. Ia tersenyum lebar, kemudian merengkuh Yui ke dalam pelukannya. Dirasakannya kehangatan tubuh Yui yang begitu ia rindukan. "Matamu ... Yui, kita harus segera menangani itu."
"Tidak apa-apa. Aku masih bisa bertahan sedikit lebih lama. Lebih baik kita segera pergi dan temukan yang lainnya."
Wajah Risa berubah sendu saat Yui mengatakan bahwa mereka harus menemukan teman-temannya yang lain. Perasaan sedih, berduka, dan menyesal kembali menghantui perasaannya. Tangannya yang lengket oleh darah mengepal erat hingga jari-jarinya memutih.
"Karin sudah mati. Ia mengorbankan nyawanya agar aku tidak dibunuh Takemoto."
"Apa ...? Karin? Kau tidak sedang bercanda denganku bukan?"
Risa menggeleng lemah. Baru saja ia hendak menjawab, tapi suara ledakan yang luar biasa keras membuatnya membisu. Lantai yang dipijaknya bergetar, telinganya berdengung, kedua matanya tertutup rapat karena asap hitam yang mendadak muncul memenuhi koridor yang terang oleh merahnya api.
Ia berbalik, berusaha mencari keberadaan Yui di antara api besar yang menjilat langit-langit. Entah kenapa api begitu cepat menyebar, melahap meja-meja dan kursi. Apa ada seseorang yang menyebarkan bensin sehingga membuat api menyebar begitu cepat?
"Yui!" ia berteriak memanggil. Di antara api, ia melihat Yui berada beberapa meter darinya, sedang bergulat dengan seseorang bertubuh lebih besar. Satu tangannya menutupi mata kanannya, sepertinya orang yang sedang bergulat dengannya mencoba untuk mencabut bola matanya.
Takemoto menarik kerah pakaian Yui, menjeblaknya ke dinding. Kemudian ia menghantam kepala Yui ke dinding tiga kali. Api panas menjilat sepatunya, membuat Takemoto berjengit ke samping. Yui mengerang pelan. Kepalanya berdenyut-denyut hebat. Paku di matanya membuat penglihatannya buram sebelah. Di depannya Takemoto tengah melompat-lompat kecil, berusaha mematikan api yang membakar sepatu.
Aku harus kuat.
Yui menerjang maju, menggunakan kedua tangannya untuk mencekik leher Takemoto dan mendorongnya ke api di belakang mereka. Tatapannya nyalang, seperti anjing gila yang berhasil mendapat buruan. Tapi ia tak sadar, disinilah kesalahannya. Ia telah menanggalkan pertahanan di matanya.
Takemoto dengan kasar segera menarik, mencabut paku dari bola matanya. Yui berteriak keras, cengkeramannya pada leher Takemoto terlepas begitu saja. Takemoto menggunakan kesempatan itu untuk mencabut pisau dari sabuk, kemudian mencongkel bola mata kanan Yui. Memutus syaraf-syaraf dan saraf optiknya dengan sangat brutal.
"Api sialan. Yui—" Risa mencoba berteriak, saat sebuah pisau menyayat kulit lehernya. Menyisakan perih memilukan dan darah yang bercipratan di lantai. Ia berbalik, mendapati Endo berdiri dengan pisau terangkat. "Fuck!"
Endo menghujamkan pisau itu di bahu Risa dengan sangat kuat, ujung pisau menembus hingga ke bagian belakang tubuh. Dengan brutal, Endo mencabut pisau dan dan kembali menusuk Risa di bagian dada. Ia terbelalak, satu tangannya memegang pergelangan tangan Endo.
"Ini yang kau dapatkan karena membunuh rekan kami, brengsek!" Endo berteriak. Wajahnya yang diperban membuat Risa bergidik ketakutan. Tubuh Risa jatuh berdebam di lantai. Api menjalar mendekat, membuat kulitnya panas terbakar. Sebelah tangannya masih menutup luka sobek di leher, berusaha menghambat keluarnya darah.
Ia mengerang kesakitan. Tubuhnya lemas, tak mampu lagi untuk bergerak. Hanya bola matanya yang bergerak jelalatan, menangkap sosok Takemoto yang menjatuhkan Yui dengan beberapa tendangan lutut ke hidungnya. Pada bagian yang seharusnya menjadi tempat mata kanan, hanya terlihat lubang kosong yang dipenuhi oleh darah yang terus mengalir.
Pandangan buram Risa dapat menangkap siluet tubuh Yui yang berdarah-darah, tergeletak tak bergerak tidak jauh darinya. Kemudian, ia merasakan sebuah tangan menarik bagian belakang pakaiannya. Tubuhnya diseret pergi meninggalkan gedung kelas satu, entah kemana ia akan di bawa.
Darah tidak berhenti keluar dari lehernya yang menganga. Seberapa keras usahanya untuk menutupi luka sobekan itu dengan sebelah tangan, darah pasti akan segera merembes dari sela-sela jarinya. Ia akan mati, bukan? Sudah jelas. Lagipula apa yang ia harapkan? Keluar dari tempat yang menjadi kuburannya? Pendarahan hebat membuat kesadarannya perlahan-lahan menghilang. Di titik akhir, tepat sebelum ia tidak sadar, Risa merasakan tubuhnya diangkat dan dilemparkan ke dalam sebuah lubang besar.
"Marino mati." Endo berkata saat Rei dan Hono berjalan mendekati mereka yang tengah berdiri di bibir lubang. "Aku berhasil melumpuhkan mereka, yang satu ini benar-benar spesial. Sulit dibunuh!"
Hono mengangkat tubuh Yuuka dan melemparkannya ke dalam lubang sedalam tiga meter itu. Tubuhnya menimpa mayat hangus Inoue, Marino dan Seki. Benturan itu membuat kesadarannya kembali nyaris sepenuhnya. Ia menatap ke atas, melihat Rei dan Endo menunjuk ke dalam lubang sembari memainkan pemantik api.
Takemoto berjalan ke belakang dan mengambil satu jerigen bensin lagi. Ia menyiramkan selurh isinya ke dalam lubang, mengenai wajah Yuuka dan membuatnya sedikit menelan cairan panas itu. Yuuka pasrah, ia memaksa lehernya untuk menengok ke samping hanya untuk menemukan tubuh tanpa kepala Karin tergeletak di sampingnya—kepalanya berada jauh dari tubuhnya. Seki berada di sebelah Karin dengan tubuhnya yang hangus sebagian. Wajahnya yang terbakar menunjukkan ekspresi sedih dan ketakutan.
Ia tak bisa melihat lebih lama. Tak mampu lagi ia membayangkan bagaimana kedua temannya itu menunggu waktu kematian mereka dengan begitu mengerikan.
Risa menyentuh pergelangan tangan Yuuka, membuatnya terkejut bahwa masih ada yang bertahan selain dirinya. Tapi saat ia menoleh, Yuuka menatap wajah itu dengan ngeri. Leher Risa sobek, diiris oleh pisau. Wajahnya penuh darah, nyaris tak dapat dikenali.
"Jadi, kita akan dibakar di sini?" ucap Risa dengan suara parau. "akhir yang menggelikan." Ia menyelipkan tawa di akhir kalimat. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
"Aku sudah menyerah." Yuuka membalas singkat. "Maafkan aku."
Di atas lubang, Hono selesai menyiramkan setengah jerigen bensin ke dalam lubang dan mengembalikan jerigen di bawah pohon. Ketiga gedung kelas Sakurazaka Academy sudah terbakar habis sebagian, suara gemeretak api dan bahan bangunan rubuh membuat suasana menjadi ramai. Salju yang ada di sekitar mereka meleleh karena panasnya api yang membumbung di belakang mereka.
Melihat gedung megah itu terbakar membuat Rei merasa lega. Seperti seluruh dendam dan bebannya terangkat. Ia menyerahkan pemantik apinya pada Endo dan menarik keluar pistol dari holster.
"Kita akan benar-benar menyelesaikan ini," ucapnya. Kemudian ia menarik lengan Hono dan menyejajarkannya tepat di depan lubang, moncong pistol menempel erat pada bagian dada. Hono tampak terkejut dan tak bisa berkutik saat Rei berkata, "Terima kasih atas kerja samamu. Tapi kau tak dibutuhkan lagi sekarang."
Rei menarik pelatuk pistolnya, letusan tembakan terdengar begitu keras bahkan membuat Yuuka dan Risa terkejut. Darah muncrat keluar saat peluru menembus dada Hono, merembes pada pakaiannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kaku, tapi ia masih sepenuhnya sadar. Rei kemudian menendang tubuh Hono, menjatuhkannya ke dalam lubang bersamaan dengan yang lainnya.
"Begini, Tamura. Aku kagum dengan kepribadianmu yang teguh itu, padahal Sugai benar-benar sudah memberitahu kebenaran kepadamu. Kau terlalu dibutakan oleh dendam sampai-sampai kau tidak menyadari apa yang ada di sekitarmu." Rei mengokang pistolnya, memasukkannya kembali ke dalam holster. "Akulah yang membunuh Hirate. Kalian ingat kepala sekolah tua itu? Aku membunuhnya dan menunjukkan foto tulang tengkoraknya pada Hirate. Tujuanku bekerja sama denganmu selama ini adalah untuk mendapatkan kembali kekuasaanku yang jatuh setelah The Elites. Dan sepertinya memang keputusan tepat memanfaaatkan emosi orang sepertimu untuk kepentinganku sendiri."
Yuuka menghela napas berat, ia sudah sempat menduga jika Rei turut andil dalam kematian Hirate. Tapi ia tidak menduga orang itu akan mengkhianati Hono dan menembaknya di tempat.
"Padahal aku berencana membunuh kalian saja tapi karena Sugai membawa surat wasiat Hirate dan Moriya juga telah mengetahui rahasia kami ... terpaksa kami akan membunuh lebih banyak lagi."
Takemoto menyalakan pemantik api, bersiap menjatuhkannya ke dalam lubang. Yuuka dapat mendengar Risa bernapas dengan sangat cepat, genggamannya pada pergelangan tangan Yuuka semakin kuat. Ia tidak bisa melakukan apapun lagi, mereka tak bisa melakukan apapun lagi. Kematian mereka akan segera datang.
Pasti.
Lagipula aku sudah tidak memiliki apapun lagi, tak ada lagi alasan bagiku untuk terus hidup. Ah, Ibu ,.. maafkan aku. Aku malu untuk bertemu denganmu.
Yuuka menarik napas, tangannya meraih tangan Risa dan tangan Karin. Meskipun tangan dingin itu sudah tak bernyawa, ia masih dapat merasakan sosok Karin dan Seki ada bersamanya. Ia dapat merasakan kedamaian saat ia menutup mata dan membiarkan panas menyelimuti tubuhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top