Chapter 27: The Judgement Day I

Hari itu menjadi hari yang tidak akan pernah terlupakan oleh siswi Sakurazaka. Paling tidak, beberapa dari kita memahami bahwa pada suatu titik sejarah akan terulang kembali. Seperti kematian Putri Diana pada Tahun 1997 dengan dugaan meninggalnya adalah skenario pembunuhan berencana oleh Kerajaan Inggris. 2000 tahun sebelumnya, Germanicus, putra Romawi meninggal dunia pada 9 atau 10 Oktober. Dengan dugaan kematian sama dengan Putri Diana, yaitu pembunuhan berencana oleh keluarga kerajaan. Pembunuhan Germanicus dicurigai dilakukan oleh pamannya sendiri, Tiberius.

Mungkin sebuah kebetulan saja, iya kan?

Sementara di Sakurazaka, ada peristiwa hilangnya empat siswi senior yang hingga kini masih belum ditemukan. Satu setengah tahun setelahnya, lima orang siswi dari kelompok yang paling disegani—The Elites—hilang tanpa jejak. Kobayashi Yui yang diduga bunuh diri, jasadnya masih belum ditemukan meskipun sudah beberapa hari lamanya.

Polisi rupanya mulai putus asa karena seberapa keras mereka berusaha melakukan pencarian, mereka selalu mendapatkan bukti kosong. Seolah ada sesuatu yang menghalangi mereka menemukan kebenaran dari kasus tersebut. Tidak, bukan berarti kepolisian adalah Lembaga yang kurang professional. Masalahanya disini adalah mereka melawan kelompok criminal yang sangat rapi dan tertata dalam bertindak.

Memang ada beberapa temuan bukti, tapi tiap kali mereka menyelidikinya sampai ke satu titik, itu tidak mengarah kemanapun. Selalu seperti itu.

Ada satu peristiwa tragis sebagai akibat dari menghilangnya anggota The Elites. Adalah Mr. Sugai, CEO dari perusahaan keluarga Sugai ditemukan meninggal bunuh diri oleh pelayan di rumahnya. Ia ditemukan tergantung di langit-langit ruang kerjanya dengan mata melotot dan lidah terjulur. Di lantai bahkan terdapat sebuah cairan dari mayatnya, pertanda bahwa sudah mulai terjadi pembusukan.

Mr. Kobayashi menarik semua investasinya di perusahaan Sugai serta membatalkan penggabungan perusahaan. Itu membuat perusahaat Sugai mengalami kerugian sangat besar dan terlibat hutang.

Hari itu terakhir sebelum libur musim dingin, 5 hari setelah menghilangnya kelima temannya. Tamura Hono sengaja tidak meninggalkan sekolah begitu bel berbunyi dan tetap berada di area sekolah sendirian hingga tidak ada seorang siswi pun selain dirinya. Di bawah pohon besar berdaun rimbun di sepanjang jalan menuju gedung utama, ia membuat bola-bola salju besar dan menyusunnya membentuk boneka salju besar.

Matanya tanpa sengaja tertuju pada papan bulletin yang ditempeli oleh foto The Elites, menatapnya selama beberapa detik. The Elites sudah tidak ada. Beberapa siswi yang peduli seringkali datang kepadanya untuk memberikan dorongan mental, beberapa yang lain menatap Hono dengan tatapan benci. Memang rumor dan fakta tentang kecelakaan itu sudah menyebar luas di kalangan siswi.

Hono tidak masalah. Karena semuanya akan segera ia akhiri. Ia tersenyum simpul sementara tangannya menepuk-nepuk permukaan dingin bola salju. Butiran-butiran es itu terasa begitu menusuk di tangannya yang telanjang. Ia tidak tahu, mengapa ia begitu menikmati salju itu membekukan tangannya. Terasa sakit memang, tapi itu tidak seberapa dibanding rasa sakit yang ia rasakan selama ini—yang ia rasakan sekarang.

Ia hidup dalam rasa bersalah. Keegoisannya membuatnya mengorbankan sahabatnya, hanya untuk reputasi. Apakah ia jahat? Pertanyaan itu seringkali ia tanyakan pada Yuuka atau Risa. Dan mereka selalu menjelaskan jika lebih baik menjadi jahat seperti ini daripada harus hidup terjebak dibalik jeruji. Tapi pada kenyataannya ia tidak bisa.

Amarahnya semakin memuncak saat ia datang ke Miyahama untuk kunjungan rutinnya. Ia mendapati banyak sekali perawat dan petugas khusus berjalan mondar-mandir dengan wajah panik ketakutan menuju lift menuju bangsal bawah tanah. Begitu ia bertanya pada salah satu petugas, jawaban yang diberikan benar-benar membuatnya ingin menggigit lidahnya sendiri.

Hirate ditemukan bunuh diri. Ia menelan racun dan menggigit lidahnya sendiri hingga putus.

Brug

Bola salju yang sudah susah payah ia tumpuk jatuh menggelinding dan hancur, terpisah menjadi beberapa bagian. Hono hanya menatapnya kosong, tanpa emosi. Hanya ada dua perasaan di hatinya sekarang, kekosongan dan dendam yang amat besar.

"Hari penghakiman akan datang kepada kalian, manusia-manusia brengsek yang bertindak secara tak normal."

Diinjaknya gundukan salju itu dan meninggalkannya berjalan menuju mobil. Tangannya meraih ponsel dan mulai menelepon seseorang.

Yuuka menggemeretakkan giginya saat tangannya perlahan melepaskan perban yang membalut sepanjang lengannya. Pada beberapa bagian perbana gak lengket karena lukanya masih basah dan itulah yang menjadi sumber penderitaan. Dengan berhati-hati ia membersihkan luka robek itu dengan alcohol sebelum membebatnya lagi dengan perban tebal.

Takemoto—jika Yuuka tidak salah ingat—percaya bahwa ia sudah mati tenggelam bersama mobil. Yang sebenarnya terjadi adalah dirinya melompat tepat setelah mobil tidak lagi menapak di tanah, Yuuka berpegangan pohon yang miring di tebing. Tapi, ia tidak menduga bahwa Takemoto akan mengecek keberadaannya. Jadi mau tidak mau Yuuka harus menceburkan diri ke laut. Lengannya tergores bebatuan saat ia melompat turun.

Sepertinya Tuhan mendengar doanya kala itu sehingga ia dapat menemukan jalan kembali ke daratan meski dalam keadaan terluka. Menggunakan tumpangan gratis dari seorang polisi yang sedang berpatroli, Yuuka melanjutkan perjalanannya ke apartemen Hikaru. Polisi itu terlihat mengantuk, jadi ia tidak begitu peduli dengan alasan Yuuka tentang pakaiannya yang basah kuyup.

Dan disinilah ia sekarang, tidak memiliki akses komunikasi selain pesawat telepon milik Hikaru. Siswi junior bernama Ten memberikan informasi-informasi tentang keadaan diluar selama ia mengurung diri karena Hikaru sendiri tidak kembali ke apartemennya selama 5 hari sejak penculikan berdarah itu.

"Sepertinya mereka masih mencari kalian berdua. Terutama kau, Senior Sugai. Rupanya Takemoto menemukan jejak bahwa ponselmu masih aktif sehingga mereka percaya kau masih hidup dan terus menyisir lokasi."

"Begitu.." Yuuka membalas dengan suara pelan. Matanya menatap roti selai kacang didepannya dengan tidak bernafsu. Ia terus memikirkan teman-temannya yang entah sedang berada dimana—bahkan ia tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. "menurutmu Morita akan baik-baik saja?"

Muncul keheningan sejak Yuuka menanyakan hal itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi sejak ia meninggalkan Morita sendiri waktu itu. Tapi melihat respon Ten yang pasif, Yuuka tidak bisa lagi memikirkan kemungkinan yang lebih bagus.

"Dia.. entahlah. Hikaru tidak menghubungiku sejak hari itu. Aku mendengar suara tembakan saat aku pergi dari sana, kupikir dia bunuh diri atau bagaimana tapi ternyata tidak. Ia hanya menembak lengannya sendiri. Omong-omong kami selalu bertemu di sekolah, tapi dia selalu menghilang saat jam istirahat dan pulang menjelang malam. Jujur saja, itu membuatku takut karena ia pernah mengatakan padaku tentang pembunuhan The Elites. Tapi ia tidak pernah mengatakan kapan mereka akan melakukannya."

"P-Pembunuhan massal? Ten, jangan bercanda.."

"Ah, maafkan aku Senior Sugai. Pelajaran akan segera dimulai. Aku akan menghubungimu lagi saat dirumah, pasti."

Dan panggilan telepon terputus. Perasaan Yuuka menjadi tidak karuan saat tahu Rei benar-benar berencana membunuh teman-temannya. Ia berdiri dari kursi dapur, berjalan ke sana kemari untuk menghapus perasaan gelisah di dadanya. Sudah berapa hari sejak penculikan? Lima hari. Dan ia masih tidak tahu status pasti teman-temannya.

Langkahnya kemudian terhenti didepan sebuah pintu yang memiliki papan gantung kayu. Itu adalah ruang kerja milik Hikaru. Keingintahuan memaksa tangannya untuk mendorong pintu putih itu terbuka.

"Namaku Morita Hikaru. Kau bisa mencari tahu tentangku, itu adalah apartemen tempat tinggalku."

Mungkin di tempat ini aku bisa mencari tahu tentang Morita dan kenapa ia membantuku waktu itu. Yuuka memutar knop pintu, tidak terkunci. Begitu ia masuk ke dalam, Yuuka langsung disambut oleh peta kota yang memiliki banyak tanda silang merah dan foto-foto yang disambungkan dengan benang putih ke tanda silang merah tadi.

Yuuka menatap peta itu dengan serius. Ada lebih dari 18 orang laki-laki dan perempuan, 6 diantaranya berusia setara dengannya. Dan ada dua orang anak-anak berusia 5-6 tahun. Ia berbalik, berjalan mendekati meja kerja dan mengambil kliping yang diletakkan agak jauh dari tumpukan buku. Beberapa menit Yuuka membaca dan mendalami seluruh isi potongan-potongan koran yang dijadikan satu dan tulisan yang tidak lebih dari lima kalimat disana.

Kengerian membungkus tubuhnya saat Yuuka membaca artikel tentang balita yang dibunuh secara sadis—bocah yang ada di foto rupanya bersaudara—bahkan artikel itu menjelaskan secara detail bagaimana keadaan mayat bocah itu. Paru-parunya terasa sesak, sama sekali tidak menduga apa yang ia lihat sekarang.

Ia menutup kliping itu, sedikit ragu untuk membuka halaman terakhir. Ia perlu mengatur napas dan mengumpulkan kembali kesadarannya secara penuh setelah mengetahui rahasia dibalik gadis bertubuh kecil bernama Morita Hikaru. Yang rupanya adalah seorang pembunuh bayaran sadis yang bahkan tega membunuh bocah lima tahun yang tidak berdosa dengan sangat brutal.

Tangannya meremas ujung kertas sebelum akhirnya membuka lembaran terakhir. Lembaran itu berisi foto-foto kelompok Rei, The Elites, dan siswi-siswi yang dibunuh oleh Rei. Disana juga ada foto Akane dan teman-temannya. Morita mencatat dan menghubungkan semuanya dengan begitu detail. Dimulai dari pembunuhan pertama yang dilakukan Rei hingga.. pembunuhan Matsuda..?

"Morita membunuh... Matsuda?" dahi Yuuka berkerut. "dia... dia masih melaksanakan tugas dari Rei. Berarti mereka sengaja membunuh Matsuda agar kelompok Akane yang menyelidiki The Elites berasumsi bahwa kami lah yang membunuhnya. Apa dia sengaja mengurungku disini untuk menjebakku?" selama sepersekon detik Yuuka seperti membeku dan tidak bereaksi apapun, tetapi otaknya bekerja lebih keras daripada anggota tubuhnya. Api kemarahan menyulutnya dan membakar tiap sumbu yang ada di dalam jiwanya.

Tangannya mengepal kuat, hampir merobek lembaran kliping tersebut. Kemudian dengan jengkel ia melempar kliping itu ke sisi lain ruangan. Sebuah lembaran foto jatuh di samping meja, membuat Yuuka sedikit terkejut. Mengesampingkan emosi, ia berlutut dan mengamati foto tersebut. Bukan foto yang aneh, karena itu adalah foto Hikaru bersama ayahnya. Dibalik foto tersebut Hikaru menulis aku akan membalas perbuatan mereka dua kali lipat.

"Ini... foto kepala sekolah." Bisik Yuuka. Ia termangu, perlahan namun pasti pikirannya mulai menghubungkan apa yang ia temukan di ruangan tersebut. Seperti gugusan bintang yang disambungkan agar menyerupai suatu rasi bintang, kali ini Yuuka mendapatkan rasi bintangnya sendiri. "apa mungkin Rei membunuh kepala sekolah dan membuatnya seolah ia meninggal secara wajar karena beliau tahu apa yang dilakukan Rei di sekolahnya?"

Sudah jelaskah?

Yuuka meletakkan foto itu diatas meja. Ia berpaling ke papan tulis putih yang tergantung dibelakang pintu. Ia tidak mengetahui bahwa ada papan yang digantung disana dan baru menyadari keberadaan benda itu begitu ia berpaling. Disitu Hikaru menulis susunan angka yang menyerupai tanggal dan bulan.

24 Desember.

24 Desember adalah tanggal kami membunuh teman-teman Hirate. 24 Desember... sial. Sial. Sial. Sial.

Yuuka jatuh terduduk. Air mata jatuh bebas dari pipinya, membasahi lantai. Perasaan sedih, bersalah, duka yang amat sangat mendalam semuanya bercampur menjadi satu. Ia benar-benar tidak berdaya, tidak bisa menyelamatkan teman-temannya, ia bahkan tidak bisa menepati janjinya pada Yui untuk selalu melindunginya. Ia tidak bisa membayangkan terror semengerikan apa yang teman-temannya alami selama Rei menyekap mereka.

"Kenapa.. kenapa semua jadi seperti ini.."

Ia memeluk dirinya sendiri di lantai, membiarkan cuaca musim dingin diluar membalut tubuhnya. Entah mengapa penghangat portable sama sekali tidak berfungsi dengan baik. Tapi dalam suasana sendu itu, Yuuka dapat mengingat dengan jelas segala dosa yang telah ia lakukan selama ini dan ia menganggap mungkin inilah cara Tuhan membalaskan karma.

Pesawat telepon di ruang TV berdering. Yuuka terperanjat bangun dari tidurnya yang singkat. Ia segera bangkit, berusaha mengabaikan tiap bagian tubuhnya nyeri karena berjam-jam tidur di lantai.

"Halo, Ten. Itu kau?" ucap Yuuka dengan nada menuntut dan tidak sabaran. Suaranya serak karena tidak dibasahi oleh air selama satu hari penuh.

Tapi alih-alih mendengar suara Ten, yang ia dengar adalah suara lain yang agak asing. "Senior Sugai, kau masih hidup... mereka berbicara bahwa kau terjun ke laut."

"Morita. Morita! Apa yang terjadi pada teman-temanku? Apakah mereka masih hidup?"

"...Sugai, aku turut berduka—"

Sialan. Ini tidak boleh terjadi!

Yuuka berjalan cepat keluar ruangan, mengambil jaket wol tebal yang dikirimkan oleh Ten melalui jasa pengiriman. Ia tahu kemana tujuannya sekarang, rumah Hono. Ia ingat betul di hari pertama ia mengisolasi diri, Ten memberitahu bahwa dia adalah satu-satunya anggota The Elites yang tersisa. Mungkin ia akan terkejut karena Yuuka tiba-tiba menemuinya setelah lima hari menghilang tapi toh seperti ia peduli.

Jika perkiraannya benar, tanggal yang dituliskan Hikaru di papan tulis adalan tanggal mereka melakukan pembunuhan.

Dan itu adalah hari ini.

Saat Yuuka baru saja hendak mengunci pintu apartemen, ia dapat mendengar Hikaru berteriak dari pesawat telepon yang masih tersambung. "JANGAN MENINGGALKAN APARTEMEN!" tapi ia tetap dalam pendiriannya, dan tetap pergi menuju kediaman Hono.

Perjalanan membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit menggunakan taxi. Begitu turun ia langsung berlari menuju gerbang, meminta pada petugas keamanan membukakan gerbang untuknya. Ia dapat membaca ekspresi terkejut yang disembunyikan dari petugas tersebut sebelum ia berlari masuk ke dan mengetuk pintu dengan terburu-buru.

"Yuuka..?" Hono memperhatikan Yuuka dari kaki hingga ujung kepala. Wajahnya menunjukkan eksprei terkejut yang bagi Yuuka terasa seperti dibuat-buat. Yuuka baru saja akan berbicara jika Hono tidak memeluknya secara tiba-tiba. "astaga. Oh Tuhan, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.. Yuuka.. kau hidup. Maafkan aku, sungguh. Aku benar-benar minta maaf padamu."

"Sudah, hari itu sudah berlalu. Aku masih hidup, aku masih ada disini."

Hono melepaskan tubuh Yuuka, tangan kanannya masih menyentuh bahunya dengan sentuhan ringan. "Ada.. aku tidak bisa menjelaskan semuanya semenjak kau menghilang, tapi Yumiko, Yui, Karin, Risa.. mereka menghilang. Polisi bahkan sudah menyiarkan berita ini secara nasional tapi tidak ada satu pun yang melaporkan menemukan orang yang memiliki mirip dengan mereka."

"Apa yang aku lewatkan?"

Sudah lama sekali ia tidak melihat Yuuka sejak perkelahian di lobi gedung utama. Karena sejak hari itulah tiap anggota The Elites kompak memisahkan diri masing-masing untuk berbagai alasan pribadi. Termasuk Hono, ia membutuhkan waktu untuk mendinginkan kepalanya karena ledakan amarah yang sudah kelewat batas. Ia tentu tidak mau amarahnya itu muncul lagi begitu melihat wajah sengak Risa yang ditujukan padanya.

"Aku akan menceritakan semuanya kepadamu. Sekarang, kita harus ke sekolah. Mereka dalam bahaya, kita tidak bisa membiarkannya begitu saja."

Dahi Hono mengernyit, ia menurunkan tangannya dari bahu Yuuka. "Sekolah? Apa yang—kenapa kau mendadak mengajakku ke sekolah? Ada apa disana?"

"Ambil kunci mobilmu, kita harus pergi sekarang juga. Aku akan menunggu di gerbang depan." Ucap Yuuka dengan tergesa-gesa. Ia tidak menunggu jawaban dari Hono dan langsung berbalik menuju gerbang.

Sekitar tiga menit kemudian, mobil Mustang merah berhenti didepan wajahnya. Saat itu juga kepingan memori masuk ke dalam pikirannya, membuat Yuuka membeku selama beberapa detik sampai Hono membunyikan klakson. Menyembunyikan keterkejutannya, Yuuka segera beranjak masuk ke mobil.

Yuuka menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Perutnya mendadak terasa nyeri, barulah ia ingat bahwa terakhir makanan masuk ke dalam perutnya adalah kemarin. "Sebelum itu, ada beberapa hal yang aku ingin tanyakan kepadamu. Aku ingin kau menjawabnya dengan jujur, mengerti?" ia menatap Hono dari sudut mata.

"Sebagai ganti, katakan padaku alasanmu mengajakku ke sekolah dalam suasana lingkungan beku seperti ini." Jawab Hono.

"Mengapa kau datang ke Rumah Sakit Jiwa Miyahama?"

Yuuka tidak melewatkan napas Hono yang tersentak begitu Yuuka selesai menanyakan hal tersebut. Ia memperhatikan Hono merubah caranya memegang roda stir, semula ia memegang bagian luar dan sekarang ia memegang bagian dalam—sempat tidak sengaja menekan klakson. Itu adalah gerakan fisik yang fatal, dari yang Yuuka perhatikan.

"Saudara jauhku dirawat di tempat itu. Ia harus mengikuti serangkaian pemeriksaan dan perawatan medis. Tiga kali gagal dalam ujian masuk Universitas Tokyo cukup membuat jiwanya terguncang." Hono akhirnya menjawab dengan suara ringan. Ia tersenyum miris di akhir kalimat. "dia berjuang mati-matian setiap tahun hanya untuk mengalami kegagalan. Aku merasa kasihan padanya."

"Kau tahu kebanyakan manusia tidak suka dikasihani?" sela Yuuka.

"Aku tahu, aku tahu itu. Hanya, apa yang dapat aku lakukan selain membuatnya menganggap aku selalu ada untuknya? Bukan berarti aku merendahkannya, aku hanya ingin ia tidak merasa sendiri di tempat itu. Hanya itu."

Yuuka terdiam. Padahal di dalam pikirannya ia ingin menanyakan lebih jauh dengan apa yang ia lihat di Miyahama beberapa minggu yang lalu. Tapi ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh karena dilihat-lihat Hono sedang tidak berminat untuk banyak bicara.

"Waktu itu aku menemukan ruang bawah tanah di belakang sekolah. Pintu masuknya menyatu dengan dinding dan terbuat dari baja berat sehingga tidak bisa dibuka jika tidak didorong dengan sekuat tenaga. Rei menggunakan tempat itu untuk markas kelompok mereka. Tempat itu terdapat satu ruangan khusus yang dipenuhi oleh perkakas-perkakas dan senjata-senjata tajam, aku yakin aku melihat bensin dan beberapa botol bahan kimia disana. Lantainya terdapat bekas genangan darah yang masih belum kering, juga sebuah karung yang warnanya berubah menjadi merah pekat dan berbau busuk." Yuuka menjelaskan. Kedua tangannya saling digosok-gosokkan untuk memberikan kehangatan.

Mobil berbelok di tikungan, tersisa dua tikungan lagi sebelum mereka tiba di gerbang utama Sakurazaka. Meski jarak masih terhitung jauh, mereka sudah dapat melihat menara tinggi tempat bel raksasa digantung. Hono fokus melihat jalan raya di depan, ia mengangguk-angguk untuk memberikan respon pada Yuuka agar gadis itu tidak merasa diacuhkan.

"Dari bekas darah itu, jelas sekali bahwa Rei melakukan sesuatu apalagi aku yakin isi karung itu adalah sesuatu yang tidak ingin kita lihat. Di tempat itu, aku melihat peta dan foto The Elites yang frame fotonya hancur. Sepertinya ia meluapkan emosinya dengan memukul frame foto itu. Sementara pada peta, ia menandai suatu tempat yang aku lupa letaknya. Aku menduga itu adalah lokasi penculikan dan mereka menyekap mereka di basement."

Hono termangu. Sorot matanya memancarkan kengerian.

"Lima hari yang lalu Risa membawaku ke suatu tempat, kami menyelesaikan beberapa persoalan menyangkut dugaan bunuh diri Yui dan aku memberitahunya tentang tempat itu. Tapi ia tidak percaya ucapanku hingga akhirnya kami terlibat perkelahian dan berakhir dengan.. penembakan."

"Kau membunuh Risa?" Hono langsung menyahut, suaranya menjadi agak meninggi. "memang benar jika aku membenci anak itu, tapi jika kau membunuhnya—"

Yuuka menggeleng cepat, menyanggah dugaan Hono. "Tidak, tembakan itu tidak akan membunuhnya. Entahlah, pokoknya ia masih hidup. Begini, Moriya memiliki surat wasiat Hirate yang katanya berisi kebenaran dari rentetan peristiwa berdarah yang selama ini terjadi. Rei pasti ingin memusnahkan surat itu agar rahasianya sebagai pelaku pembunuhan dan penculikan siswi senior tidak terbongkar. Jadi aku bergegas mendatangi apartemen Akane untuk membawa surat itu dan memancing mereka."

"Tetapi, anak buah Rei menghalangiku kabur setelah membawa surat itu. Rupanya mereka sengaja mengulur waktu agar rekan mereka yang lain datang. Dan aku tahu, siapa yang datang? Itu Yui, mereka memanfaatkan kepribadian gandanya dan membuatnya menyerang siapapun yang menghalangi rencana Rei. Ia nyaris membunuhku tapi gadis kecil yang datang bersamanya memukulnya dan membantuku kabur."

Mobil berhenti didepan gerbang Sakurazaka Academy yang menjulang tinggi, dikelilingi oleh tembok batu yang tingginya melebihi tinggi gerbang itu sendiri. Hono memberikan isyarat menggunakan tangannya agar Yuuka menjeda ceritanya sebelum ia keluar dari mobil dan membuka gerbang.

Sepatunya berpijak pada gundukan salju tebal yang menutupi jalan menuju gedung utama, membuat hampir separuh bagian sepatu tenggelam dalam salju tiap kali ia melangkah. Saat Hono mengambil kartu digitalnya dan menempelkannya pada alat pemindai. Lampu merah pada gerbang berubah hijau dan secara otomatis bergeser terbuka. Hono segera bergegas kembali ke mobil dan membawa mobil menuju tempat parkir.

"Lanjutkan ceritamu." Hono berkata.

"Morita, namanya. Dia memintaku mengisolasi diri di apartemennya. Selama disana aku menemukan beberapa hal yang tidak terduga. Pertama; kepala sekolah sebelum Mr. Kobayashi adalah Ayahnya, dan Rei membunuh Ayahnya karena mungkin ia mengetahui perbuatan biadabnya. Kedua; ia adalah pembunuh bayaran yang menyusup ke dalam kelompok Rei untuk menghancurkan mereka dari dalam."

Hono menatap Yuuka tanpa menunjukkan ekspresi apapun, tapi ia jelas mendengarkan tiap kata yang diucapkan Yuuka. Mobil sudah berada di area parkir, matanya secara liar menyisir tempat itu. Selama libur musim dingin, seluruh listrik di Sakurazaka di matikan kecuali di bagian gerbang sehingga tidak ada sumber cahaya selain lampu sorot mobil. Tetapi, diantara kegelapan pekat yang menyelimuti ia dapat melihat mobil yang familiar berada beberapa petak jauhnya.

Diliriknya Yuuka, gadis itu tengah menatap keluar jendela dengan gelisah. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyuman miring.

"Kita harus segera mengecek tempat itu. Aku memiliki tongkat baseball di bagasi, ambil mereka dan pergi." Hono menekan tombol untuk membuka bagasi mobil.

Udara dingin segera menampar wajahnya begitu Yuuka keluar, benar-benar perbedaan suhu yang kelewat ekstrim. Ia merutuki dirinya sendiri karena melewatkan sarung tangan dan sekarang tangannya seperti kebas. Hono berhenti di belakangnya saat Yuuka membuka pintu bagasi dan meraih satu tongkat baseball, mengopernya pada Hono.

Saat ia menunduk dan hendak mengambil yang lain untuk dirinya sendiri, Yuuka mendadak menghentikan gerakannya. Ia menyadari sesuatu yang janggal dengan apa yang dilihatnya di basement, juga dari perbedaan gerak-gerik Hono yang sangat kecil.

"Aku baru ingat. Mengapa aku tidak menemukan fotomu di dinding basement?"

Baru saja Yuuka hendak berbalik untuk menagih penjelasan Hono, sebuah benda tajam dan dingin menembus bahunya. Hono menarik obengnya dengan kasar dan menusuk Yuuka sekali lagi di tempat yang sama. Tidak peduli dengan darah yang terciprat di pakaiannya dan erangan kesakitan Yuuka, Hono mengambil tongkat baseball dan memukul bagian belakang kepala Yuuka berkali-kali hingga gadis itu tidak sadarkan diri.

Hono melihat ke bawah dengan tatapan keji. Memperhatikan darah mengalir keluar dari luka tusuk di bahu Yuuka, mengingatkannya pada saat The Elites menyiksa Yurina tepat setahun yang lalu. Darah membuat warna salju bawah tubuh Yuuka berubah menjadi merah. Mengantongi kembali obeng di saku celana, diangkatnya tubuh Yuuka dan membawanya ke belakang sekolah.



R

isa merintih dengan suara kecil saat ia berusaha mengangkat kepalanya, seketika itu otot lehernya kram dan membuatnya tersentak. Berhari-hari lamanya ia dibaringkan di lantai dingin berbau anyir darah dengan kepala dibalut kain hitam. Ia bersyukur mereka masih memberinya sepotong roti dan segelas air, jadi ia masih hidup meskipun dengan tubuh lemas.

Di hari pertama ia disekap, ia selalu berteriak saat siapapun masuk ke dalam ruangan. Saat itu luka tembak di bahunya masih terasa sakit jadi ia tidak dapat bergerak leluasa untuk melepaskan ikatan tali. Sekarang, luka itu sudah tidak begitu menyakitkan jadi ia berancana untuk melepaskan tali yang menjerat pergelangannya. Beberapa jam berlalu sejak terakhir seseorang masuk ke dalam ruangan untuk memberinya makan, selama itu juga Risa menarik-narik tali agar ikatannya melonggar.

Dengan berhati-hati ia menggunakan lengannya sebagai tumpuan dan menegakkan tubuhnya.

JGLAK

Pintu terbuka dan langkah kaki berat masuk ke dalam ruangan. Sepertinya orang itu menyeret sesuatu yang berat bersamanya dan melemparkan itu ke samping Risa. Ia dapat merasakan bagian tubuh manusia, jadi mungkin ada orang lain yang disekap bersamanya. Orang tersebut berjalan mendekat, kemudian melepaskan kain hitam yang menutupi wajahnya.

Matanya dibutakan sesaat oleh cahaya lampu. Ia harus berkedip berkali-kali sebelum akhirnya mendapat penglihatan lebih baik.

Barulah ia sadar bahwa selama ini ia tidak sendiri. Ada tiga orang lain yang disekap bersamanya—dan itu adalah teman-temannya sendiri. Yuuka ada di seberangnya dalam keadaan tidak sadar, sementara Seki dan Karin di kanan serta kirinya. Ia dapat melihat luka-luka di tubuh mereka. Risa tidak dapat menyembunyikan kengeriannya data melihat jari tangan kiri Karin yang terpotong.

"Aku senang kita dapat berkumpul lagi disini."

Sebuah suara membuat mereka mendongak, kecuali Yuuka. Yui sampai harus menendang wajahnya agar ia siuman.

"Hono. Rupanya kau.." Risa berbisik. Umpatan kasar kemudian terlontar keluar dari bibirnya.

"Ya, aku bekerja sama dengan Ozono untuk menjatuhkan kalian—ah koreksi, membunuh kalian semua. Karena apa? Tepat, manusia brengsek seperti kalian tidak pantas untuk hidup."

Bahkan Seki yang sudah tahu pun tidak bisa menyembunyikan raut kecewa di wajahnya. Ia menunduk, hatinya terasa sakit sekali. Hono mengkhianatinya, dan itu adalah hal yang tidak ia duga. Orang yang sangat baik di depannya ternyata hanya memanfaatkan keadaan.

"Kalian mungkin bertanya-tanya mengapa aku melakukan semua ini, benar? Tenang saja, tidak perlu bertanya karena aku akan mulai berbicara. Awalnya aku setuju mengikuti alur permainan kalian karena kupikir kalian hanya merundungnya secara wajar, tapi ternyata.. kalian benar-benar menyiksa Hirate. Memanfaat posisi kalian untuk menginjak kepalanya di depan seluruh siswi Sakurazaka."

"Saat ia mencoba melawan, mengangkat kembali harga dirinya yang kalian hancurkan saat festival olahraga.. apa yang kalian lakukan? Mempermalukannya di depan seluruh sekolah, di depan dewan sekolah. Kalian ingat, waktu kalian membawa Hirate ke pinggir kota dan teman-temannya datang? Saat itu, akulah yang menghubungi Nagahama dan meninggalkan ponsel di dekat Hirate agar ia dapat mendengar suara rintihan dan suara kalian menyiksanya."

Hono bercerita. Matanya menatap langit-langit ruangan, sementara pikirannya menerawang jauh ke belakang.

"Dan pembunuhan itu terjadi karena Yuuka tidak memiliki cara lain, jadi membuang mereka ke laut adalah satu-satunya yang memungkinkan. Benar?" Hono menatap Yuuka, gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lain begitu mata mereka bertemu. "itu adalah titik balik dari semuanya. Aku lah yang membocorkan informasi pada Rei bahwa kalian adalah pelaku, memberikan akses blog sekolah secara penuh pada Marino."

Hono berjalan mendekati Risa dan Karin, memegang bahu mereka dan meremasnya hingga mereka mengerang kesakitan.

"Aku lah yang memberikan petunjuk-petunjuk palsu agar kalian menuduh Karin sebagai pengkhianat. Risa, saat itu aku yang mengecat mobilmu dan meninggalkan kaleng pilox disana. Aku memalsukan kakiku yang patah karena aku tahu kalian tidak akan mencurigaiku. Lalu Endo mempotret Karin saat ia mengambil kaleng pilox itu dan mengirimkan foto itu ke email kalian."

Helaan napas terdengar, entah dari siapa. Tapi Risa yakin masing-masing dari mereka benar-benar marah dan putus asa mendengar kesaksian Hono. Ia melirik Yuuka. Wajah gadis itu benar-benar merah padam, kedua alisnya bertaut membuat wajah kalemnya menjadi garang seolah ia siap menerkam dan menghajar Hono.

"Beberapa bulan ke belakang, aku terus memikirkan keputusanku untuk melaksanakan Hari Penghakiman untuk kalian—hei, lihat aku masih mengasihani kalian! Tapi.. orang ini" Hono menunjuk Yuuka, "orang ini diam-diam datang ke Miyahama dan membunuh Hirate, memaksanya meminum campuran arsenik, membuatnya nampak seperti bunuh diri. Kalian tidak tahu apa yang aku rasakan, seberapa besar kesedihan yang aku alami saat seseorang yang menjadi tujuanku melakukan semua ini mati sia-sia. Padahal aku selalu datang kepadanya, berjanji padanya bahwa suatu hari nanti ia akan keluar dan hidup bebas selayaknya manusia biasa. Tapi—"

Ucapan Hono terputus karena Seki mendadak membentaknya dengan nada tinggi, membuat semua orang yang berada di sana terkejut.

"Berhenti menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kau perbuat! Bagaimanapun juga kau terlibat dengan kami, kau tidak bisa bertingkah seolah kau tidak ikut andil dalam masalah ini. Bekerja sama dengan pembunuh seperti mereka? Heh, apa yang ada di kepalamu! Bukankah itu sama saja? Kau menutup lubangmu dengan menggali lubang yang lain!"

"Kau mengorbankan segalanya hanya untuk membalas dendam. Hono.. jika kau tidak melakukan perjanjian dengan Rei, semua ini tidak akan terjadi."

Hono menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan. Di sisi lain ia merasa bersalah pada Seki, dikhianati oleh rekan dan kekasihnya sendiri. Tapi bagaimana lagi? Tekadnya sudah bulat, hubungan palsunya dengan Seki berhasil membawanya hingga ke titik ini. Meskipun, terkadang terbesit di pikirannya untuk menjalin hubungan yang lebih serius.

Ia mengalihkan pandangan, tidak mampu berlama-lama menatap Seki. "Koba, bisukan dia."

Yui berdiri dari tempat duduknya di sudut ruangan dan berjalan mengambil pisau tajam dari tempat perkakas di dinding. Ia berjalan mendekati Seki, membuat gadis itu berjengit ketakutan. Dengan kasar, Yui mencekik leher Seki dan menusuk perutnya dengan pisau. Ia langsung mencabut pisaunya dengan kasar dan membuat pendarahan hebat disana.

Karin, Risa, dan Yuuka menatap hal itu dengan wajah ngeri. Jelas Yui telah dikuasai oleh kepribadiannya yang lain dan tidak dipungkiri kepribadiannya itu benar-benar mengerikan, sisi gelap dari hidupnya yang gemilang. Seki sudah kehilangan banyak darah selama berhari-hari di siksa, tubuhnya tentu tidak siap untuk kehilangan berliter-liter darah lagi. Apalagi kondisinya sekarang sudah sangat buruk.

"H-Hono, suruh dia berhenti. Seki akan mati kehabisan darah jika terus begini!" Risa menyela, tapi tampaknya ia tidak menghiraukan ucapan Risa dan terus membiarkan Yui menyiksa Seki.

Karin dan Yuuka saling bertatapan. Tali yang mengikat kedua kaki mereka agar longgar dan barangkali dapat dilepaskan dengan satu hentakan kuat. Yuuka memberikan anggukan, memberikan satu tatapan terakhir pada Hono untuk memastikan bahwa ia sedang fokus pada Seki. Setelah memastikan keadaan aman ia memberikan isyarat pada Karin menggunakan jari.

Satu..

Dua..

Tiga—

Karin menghentakkan kedua kakinya, tali tambang yang membatasi pergerakannya seketika lepas. Bersamaan dengan itu, Yuuka yang telah melepaskan ikatan talinya langsung menabrak Hono dan membuatnya jatuh telentang. Ia juga langsung menginjak dan menendang wajah Hono. Sementara Karin menggunakan sisa tenaganya untuk menjegal Yui dan menendang kepalanya. Yuuka yang sukses membuat wajah Hono babak belur segera mengambil pisau yang dijatuhkan Yui dan memotong tali yang mengikat tangan Karin. Ia juga dengan sigap segera memotong tali yang mengikat tubuh Risa dan Seki.

"Brengsek," umpat Hono. Ia mengerang. Darah membuat pandangannya memburam. Ia berhasil meraih kaki Risa, tapi gadis itu menggoyangkan kakinya dan menginjak tangan Hono.

Yuuka menggendong Seki di punggungnya, ia berdiri di ambang pintu untuk menunggu Risa. Tapi Yui langsung berdiri dan mengejarnya. Ia tidak memiliki pilihan lain selain berlari meninggalkan Risa sekaligus memancing Yui agar menjauh dari tempat itu. Ia naik dari basement dan langsung dihadapkan oleh hutan belakang sekolah yang sangat gelap. Tapi jauh di depan, terdapat siluet beberapa manusia seperti sedang menggali tanah.

Rei dan yang lainnya. Mati aku!

Beberapa dari mereka menyorotkan senternya ke wajah Yuuka dan berteriak, "Sugai! Dia kabur!"

Oh, Tuhan. Tidak, tidak, tidak!

Yuuka pun berlari memutar ke arah gedung utama. Kalau tidak salah ada dua mobil di tempat parkir dan ia mungkin bisa menyabotase kuncinya. Ia menoleh ke belakang, ada dua orang mengejarnya dan setidaknya jarak mereka terpaut jauh. Karena hal itu ia jadi terpisah dengan Risa dan Karin. Untuk sekarang ia hanya bisa berdoa agar kedua temannya itu dapat keluar dari basement yang membatasi ruang gerak mereka.

Sampai di gerbang depan, Yuuka dihadapkan oleh gerbang utama yang lampu indikatornya mati. Biasanya dalam keadaan terkunci lampu diatas akan menyala merah, tapi saat ini lampu itu mati. Yuuka mencoba untuk mendorong gerbang tersebut dan tentu saja, terkunci. Ia mengumpat, Endo dan Inoue hanya terpaut beberapa meter dengannya. Segera saja ia berlari ke gedung kelas dua dengan masih menggendong Seki. Gundukan salju di sepanjang jalan nyaris membuatnya terpeleset, tapi Yuuka segera membenarkan posisinya dan terus berlari.

"Seki, Seki..?" Yuuka mencoba memanggil. Napasnya terengah-engah.

Seki menggeliat. Ia memindahkan kepalanya dari bahu kiri ke bahu kanan Yuuka. Luka tusukan di perutnya terasa perih karena bergesekan dengan pakaian Yuuka. "Gerbangnya... terkunci?"

"Ya, kita harus mencari jalan lain." Yuuka menjawab. Berusaha keras menjaga agar rasa takutnya tak nampak dalam suaranya, ia tidak mau Seki ikut merasa putus harapan. Ia harus hidup, ia harus terus bersamanya. "kau oke? Kita bisa bersembunyi di suatu tempat jika kau mau."

Gadis di belakangnya mendengus pelan. "Kalau kita istirahat, aku keburu mati." Jawaban Seki membuatnya tersentak. Spontan ia memutar kepalanya menghadap Seki dan membuka mulut untuk menjawab. Tapi Seki lebih dulu menyelanya, "tinggalkan aku di ruang kontrol. Kau harus kembali dan mencari yang lainnya sementara aku akan memperbaiki kelistrikan dan membuka gerbangnya."

"Tapi, Seki! Bagaimana jika mereka menemukanmu dan membunuhmu? Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu."

Seki tidak menjawab lagi. Dan itu membuat Yuuka merasa agak khawatir. Meski ia menganggap Seki diam karena menyetujui ucapannya, ia juga khawatir Seki diam karena ia tidak kuat lagi menjaga kesadarannya. Hati Yuuka sakit, melihat temannya sendiri sekarat di tangannnya dan ia tak dapat melakukan apapun. Tidak, aku harus fokus. Ditariknya napas sedalam mungkin, ia harus tetap fokus dan membawa Seki ke ruang kontrol.

Beberapa meter lebih jauh dan Yuuka bisa dibilang tidak dapat merasakan kakinya lagi. Tapi ia bersyukur karena berhasil membawa Seki ke ruangan yang dimaksud. Sebuah ruangan penuh dengan kabel, beberapa computer, cctv, dan saklar-saklar yang Yuuka tidak tahu masing-masing fungsinya. Seki berjalan lemah masuk ke dalam ruangan dan saat Yuuka melangkahkan kaki untuk mengikuti ia merasakan tubuhnya didorong dengan kuat, pintu ruang kontrol dihempaskan tepat di depan wajahnya.

"Apa? Seki! Hei!" Yuuka berteriak, berusaha membuka pintu itu dengan memutar knop, mendobrak dan menggedor-gedor. Tapi pintu itu tetap kokoh dan tidak bergeser satu inci pun. "SEKI YUMIKO!"

"Risa dan Karin berada di gedung kelas tiga. Takemoto mengejar mereka." Seki menjawab dari dalam ruangan. "Yuuka, aku akan segera mati. Tinggalkan aku dan biarkan aku membuat akhir hidupku berguna untuk kalian."

Yuuka terkejut. Ia kembali mendobrak dan menggedor pintu ruang kontrol lebih keras. Pikirannya kacau, ia sudah cukup melihat kematian. Ia tak mau lagi melihat temannya mati didepannya seperti ini.

"Tidak... tidak boleh! Keluar, Seki! Keluar!" Yuuka mulai nampak putus asa. Ditambah lagi ia dapat mendengar langkah kaki lain di ujung koridor.

Ia bimbang. Apakah ia harus meninggalkan Seki di ruang kontrol dan membiarkannya menyalakan aliran listrik untuk menyalakan kunci gerbang, kemudian membiarkannya mati dalam kesendirian? Tapi jika Yuuka tidak pergi dari situ, Inoue dan Endo akan menghabisinya di tempat dan kemudian mereka akan membunuh Seki dengan cara apapun yang dapat mereka lakukan.

Yuuka menghela napas berat, menguatkan hati—mencoba merelakan. Ditengoknya ke koridor sebelah kanan. "AAAAAAAA!!" Spontan ia berlari setelah teriakan kencangnya sukses memancing kedua pembunuh itu dan mengejarnya, mengabaikan Seki yang berada di dalam ruang kontrol. Dada Yuuka bergemuruh, ia tak tahu harus sedih atau senang tapi yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana caranya untuk mengelabui dua orang ini lagi.

Kali ini kegelapan menjadi sahabat terbaiknya. Ia menuruni tangga, masuk ke dalam ruang kelas secara acak dan melompat keluar jendela. Gerakannya masih gesit meskipun tubuhnya seperti akan menyerah kapan saja. Tujuannya sekarang adalah basement. Risa masih cukup kuat untuk mengurus Takemoto yang seorang diri, jadi itu akan menjadi pilihan kedua Yuuka.

Ia telah kelepasan membuka kedok Hikaru di depan Hono. Sekarang gadis itu berada dalam bahaya yang sama dengannya. Yuuka harus segera kembali dan mendapatkannya untuk membawanya pergi bersama-sama.

BRUK

Menoleh kebelakang, memastikan tidak ada orang yang berada di ruang jagal. Rei berdiri membelakangi Hikaru, mengambil sebotol penuh bahan bakar dan mengisi ulang tangki gergaji mesinnya. Di punggungnya tergangung palu besar yang menjadi alat yang digunakan Rei untuk membunuh kepala sekolah sebelum Tuan Kobayashi—Ayah Hikaru.

Ia mengulum bibir, mengeratkan pegangannya pada grip pistol, berjalan dengan langkah pelan dan tenang untuk menempelkan moncong pistol di kepala Rei. Hikaru menarik pelatuk dan memejamkan matanya. Berjaga-jaga saat cipratan darah dan kepingan otak mengenai wajah. Tapi tidak ada apapun, kosong. Tidak ada suara letusan pistol.

Apa..?

Hikaru terbelalak. Tangannya seketika berubah dingin saat menyadari bahwa pistolnya tidak memiliki peluru. Ia terkejut saat mendengar Rei tertawa bengis, suara tawa dalam yang tidak pernah gagal mengirimkan ketakutan pada setiap orang yang berhadapan dengannya. Tangan kanannya memegang erat pistol di tangan Hikaru.

"Seharusnya kau melakukan inspeksi terhadap peralatanmu sebelum beraksi. Morita.. kupikir kau cukup professional untuk bergabung denganku. Kau bahkan tidak merasakan berat pistolmu sedikit berkurang?"

Rei mengangkat tangannya yang terkepal. Lalu dengan perlahan ia membuka satu persatu jari-jarinya, menjatuhkan butir demi butir peluru dan membuat bunyi dentingan keras di lantai.

"Kau—bagaimana bisa?"

Rei tiba-tiba memutar tubuhnya menghadap Hikaru, kemudian dengan cepat ia menembak dada Hikaru dua kali. Suara pistol yang menggelegar terdengar seperti dengungan lebah di telinga Hikaru saat ia merasakan tubuhnya rubuh di lantai. Paru-parunya terasa sesak, basah... tiap hembusan napas ia dapat merasakan darah merembes ke dalam paru-paru.

Penembaknya berjalan memutari tubuhnya dan berhenti untuk berlutut menatap wajah sekarat Hikaru dari dekat. "Kau melakukan kesalahan terbesarmu disini, Morita. Membunuhku tidak akan menyelesaikan masalahmh, dan kau sendiri seharusnya tahu bahwa aku tidak akan mati begitu saja."

Dengan napas tersengal-sengal, Hikaru membalas, "Aku akan melakukan apapun untuk membunuhmu... cough... kau membunuh Ayahku, sialan. Kau tidak tahu apa yang aku rasakan saat kau memamerkan tulang tengkoraknya di depan mataku!"

Rei tertawa tertawa keras. Ia mengokang pistolnya sekali lagi, membidik kepala Hikaru dari dekat. "Ah, begitu? Jadi kalian ayah dan anak. Baiklah, aku mulai mengerti. Ha.. hubungan kalian berdua begitu harmonis, ya? Aku jadi iri."

Hikaru berteriak keras saat Rei membuka mulutnya dengan paksa dan menggelonggongkan setengah jerigen bensin ke dalam mulut Hikaru. Memaksa gadis itu untuk menelan minyak panas yang mulai membakar tenggorokannya. Rei lalu melempar jerigen itu ke belakang dan kembali menempelkan pistol di kepala Hikaru setelah memukul kepalanya dengan popor pistol hingga darah mengalir keluar.

"Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau yang memukul Kobayashi dan menembak dirimu sendiri untuk meyakinkan kami?"

Jari Rei sudah siap menarik pelatuk pistol. Tapi ia tidak segera melakukannya, dan menekan moncong pistol lebih kuat di kepala Hikaru. Gadis kecil itu meringis, merintih dengan suaranya yang pecah. Ia dapat merasakan udara keluar dari luka tembak terbuka di dadanya.

"Tidak. Menembakmu akan membuat mu cepat mati, itu tidak akan menyenangkan." Ucapnya. Ia memasang kembali safety pistol dan mengantongi pistolnya. Rei berbalik dan mengambil kapak. "ini akan sedikit sakit, jadi bertahanlah."

Rei mengayunkan kapaknya pada kaki kiri Hikaru dengan kuat. Membutuhkan tiga kali ayunan dan ia dapat melihat tulang kakinya yang nyaris terpotong oleh kapak. Hikaru berteriak keras, merasakan benda tajam itu memotong kakinya dengan brutal. Tubuhnya lemas karena pendarahan hebat. Rei berhenti saat kaki kiri Hikaru terlepas dari tubuh, ia beralih ke kaki yang lain dan melakukan hal yang sama—hanya kali ini ia lebih brutal dan lebih liar. Sama sekali tidak mempedulikan teriakan memilukan yang keluar dari mulut Hikaru, ia terus mengayunkan kapak dan memotong kaki kanan Hikaru.

Ia menatap Hikaru. Gadis itu menutup wajahnya dengan lengan, keringat dingin membasahi tiap inci wajahnya. Ia sempat melihat bagaimana Rei memotong kakinya dengan kapak, dengan sangat jelas ia melihat darah muncrat tiap kali Rei menarik kapak yang memotong tulang dan dagingnya. Ia merinding saat Rei mendekatkan wajahnya yang berlumur darah, ia menunjukkan potongan kaki miliknya dengan senyuman mengerikan.

"Aarghh!!!" Hikaru berteriak frustasi. Ia sudah tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Ia menghantam-hantamkan kepalanya di lantai dengan keras, air mata membasahi wajah bersamaan dengan darah yang menetes dari potongan kaki diatasnya.

"Menyenangkan bukan? Aku sangat menyukai saat kapak ini menyentuh kakimu, dari dagingmu yang terkoyak aku bisa melihat tulang keringmu. Lihat, kau memang menikmati ini rupanya." Rei berkata.

Menikmati, tahimu!

Ia memejamkan mata, kakinya.. argh.. Hikaru bahkan tahu lagi rasa sakit macam apa yang ia rasakan sekarang. "Bunuh aku saja, kumohon. Selesaikan aku..." ia memohon di sela-sela isak tangisnya. Matanya terpejam rapat, ia tidak memiliki nyali untuk membuka matanya lagi.

Ia merasa lucu dengan dirinya sendiri. Merasa takut dan pasrah saat berhadapan dengan hal-hal yang dulu sering ia lakukan. Mungkin inilah yang dirasakan korban-korbannya waktu itu. Merasakan detik-detik menuju kematian yang begitu lambat dan menyiksa, merasakan tiap rasa sakit mengaliri tiap aliran pembuluh darah. Karma telah datang kepadanya, Tuhan telah mematahkan tiap rencananya seperti ia mematahkan ranting kayu dengan petikan tangan.

"Apa kau baru saja memohon padaku?" Rei bertanya dengan intonasi suara yang datar. "disgusting."

Rei menatap Hikaru dengan wajah tanpa ekspresi. Ia mengangkat kapaknya dan mulai menghantamkannya pada leher Hikaru. Tiap kali kapaknya mengenai leher, suara gemeretak tulang dan suara mencicit terdengar, dan Rei menganggap semua itu sebagai iringan melodi yang indah.

Darah menyembur ke sembarang arah. Ke pakaian Rei, wajah, lantai, dinding, meja. Siapapun yang masuk ke ruang jagal saat itu pasti tidak akan tenang seumur hidup karena terus membayangkan pemandangan darah yang sebegitu banyaknya.

CRACK

Kepala itu menggelinding di lantai begitu Rei memotong tulang lehernya. Darah mengalir keluar seperti keran air dari leher Hikaru. Rei mengangkat kepala itu dan meletakkannya diatas meja lalu ia kembali mengangkat kapak dan mulai memutilasi bagian tubuh yang lain.

Sementara itu di balik pintu basement, Yuuka berusaha keras menahan napas dengan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia mendengar semua, melihat bagaimana Rei membunuh Hikaru dengan sangat sadis. Kakinya lemas, membeku di tempat padahal ia tahu ia tidak bisa berlama-lama disitu. Padahal tujuannya adalah mencari Hikaru dan mengajaknya untuk kabur bersama-sama, tapi—

Apa yang harus kukatakan pada Ten? Pada Moriya? Bahwa aku membiarkan Hikaru mati di depan mataku?

Suara retakan tulang dan suara pisau semakin terdengar brutal di telinga Yuuka. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, berusaha keras untuk tidak mendengarkan suara usaha mutilasi itu.

Seharusnya ia tidak mengatakan hal itu pada Hono, ah tidak, semuanya. Ia sangat bodoh karena tidak menyadari berbagai pertanda yang ada di sekitarnya. Ia sangat bodoh karena tidak mendengarkan larangan Hikaru agar tidak keluar dari apartemen. Ia sangat bodoh karena tidak...

Lupakan saja.

Hikaru sudah mati. Ia sudah tenang bersama Ayahnya di atas sana.

Yuuka berbalik, meninggalkan tempat mengerikan itu. Ia tidak kuat melihat bagaimana Rei memutilasi Hikaru. Ia harus menemukan teman-temannya yang tersebar di berbagai tempat dan kabur dari tempat ini. Sebelum semuanya terlambat, sebelum ada lagi nyawa yang melayang.

Maafkan aku, terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top