Chapter 24: Kidnapping and Murder Attempt

"Karin, tunggu!"

Gadis berambut pendek itu memberhentikan langkah kakinya. Diusapnya darah yang keluar dari hidung dengan punggung tangan sementara matanya menatap nanar pada Seki. Gadis tinggi itu menutup kembali pintu mobilnya dan berlari kecil mendekati Karin, tak ingin lagi kehilangan kesempatan karena sejak tadi Karin selalu berkelit ketika dipanggil. Ia menyadari keadaan Karin benar-benar memprihatinkan. Perban yang melingkar di kepalanya sudah diganti karena rembesan darah tidak sebanyak sebelumnya.

Seki berhenti di depan Karin. Dilihat-lihat ia tidak memiliki hasrat untuk berbicara pada Seki. Hanya, tatapannya saja sudah cukup menjelaskan. Singkatnya ia seperti kehilangan semangat hidup.

"Kau baik-baik saja?" tanya Seki. Sepertinya ia tidak perlu bertanya lagi karena tatapan Karin selanjutnya cukup menjelaskan semuanya. Jadi Seki segera menarik Karin untuk masuk ke dalam mobil. "Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri dalam keadaan terluka. Terlalu berbahaya."

Sembari mengernyit, Karin menjawab. Memperhatikan Seki yang mengaitkan sabuk pengaman di tubuhnya. "Aku tahu kau ingin mengatakan sesuatu. Kau ingin mengajakku bunuh diri?"

"Aku tidak sebodoh itu untuk mati sekarang." Seki menjawab. Ia menyalakan mesin mobil dan mulai melaju keluar dari area parkir menuju gerbang utama. "Kita harus kejar Yuuka karena aku ingin menyampaikan hal penting padanya secara langsung. Mungkin aku terlambat mengatakan ini karena aku sebelumnya tidak yakin."

Ia menoleh ke samping, memastikan Karin benar-benar mendengarkan ucapannya selanjutnya. Karena apapun yang ia bicarakan nanti adalah hal yang sangat, sangat serius.

"Komputerku hancur saat melacak nomor orang yang mengirimkan pesan hitam waktu itu. Komponennya hangus. Beberapa hari lalu aku membeli perangkat komputer yang baru dan saat aku membongkar milikku yang lama, aku tidak menemukan SSD di sana." Seki mengeratkan genggamannya pada roda stir seolah benda itu adalah nyawanya. "Hono dapat tahu secara pasti bahwa SSDku hilang dan mengatakan benda ada di rumahnya."

Karin memicingkan matanya, menunggu kalimat Seki selanjutnya.

"Masalahnya adalah, aku tidak pernah mengatakan padanya bahwa SSDku hilang."

"Jika kau tahu, kenapa kau tidak mengatakan itu pada semuany dan sengaja membuatku seperti kambing hitam? Huh, lantas mengapa pula kau menolongku sekarang." Karin menjawab malas. Tak mau repot-repot untuk memutar kepalanya menghadap Seki, ia memilih menyandarkan kepala pada kaca jendela. "Oh, apakah orang-orang di belakang itu ajudanmu?"

Ajudan? Bukankah sudah lama Ayah menyetujui agar tidak menyuruh orang-orang berpakaian aneh itu mengikutiku?

Seki mengarahkan perhatiannya sejenak pada rearview, untuk mengecek apa yang dikatakan Karin. Dan bukan main terkejutnya saat ia sadar orang yang mengikuti mereka itu sama sekali bukan suruhan orang tuanya. Tangan kirinya memukul bahu Karin dan membuatnya mendesis sebal.

"Apa?" ucapnya dengan nada tidak bersahabat. Ia kemudian menyadari hal aneh, dari tatapan Seki yang menatap bergantian pada jalanan di depannya, rearview, dan kecepatan mobil yang dinaikkan perlahan. Karin pun menoleh ke belakang, tiga orang dengan dua sepeda motor yang semula jaraknya cukup jauh sekarang menjadi sangat dekat dengan mobil mereka.

"Sial, Seki! Mereka bukan ajudanmu?"

Seki menggeleng cepat. "Sejak kapan ajudanku memakai kemeja abu-abu sekolah? Siapa mereka? Kenapa harus kita yang dikejar, sialan!" ia sedikit sulit memegang stir karena tangannya mendadak basah oleh keringat. Jantungnya berdegup kencang karena ia menyadari satu pengendara motor telah berada tepat di samping kiri mobil.

Pengendara itu mengeluarkan benda tumpul dan hendak memecahkan kaca jendela mobil.

"Berpeganglah pada sesuatu, Karin. Ini akan sulit."

Pedal gas diinjak semakin dalam, mobil Seki meraung dan melesat meniggalkan pemotor yang nyaris memecahkan kaca mobil. Dilihatnya mata orang tersebut mendelik tajam karena gagal melakukan tugasnya, ia dengan cepat memacu motor mengikuti kecepatan Seki.

"Lihat ke mana kau menyetir, bodoh!" Karin berteriak, satu tangannya mencengkeram lengan atas Seki sebagai refleks kepanikan. Selain karena kecepatan yang melebihi batas wajar, Karin baru ingat bahwa Seki pernah mengatakan bahwa kampas rem mobilnya nyaris habis karena ia sering menggunakan mobil ini untuk menanjak gunung.

Jadi, entah mereka akan mati karena kecelakaan mobil atau karena orang-orang yang mengejar mereka.

Untuk menghindari tabrakan dengan kendaraan lain sekaligus mengecoh orang-orang yang mengejar mereka, Seki sengaja mengarahkan mobil ke daerah pinggiran kota yang tergolong sepi. Kondisi jalan mulai berbeda dari yang semula jalanan aspal mulai menjadi jalan berpasir. Masalahnya, mobil Seki bukanlah tipe mobil off-road atau SUV yang ramah dengan medan berpasir. Jadi ia harus pandai menghandling mobil agar tidak selip dan terguling.

Setelah lima menit mengemudi tanpa mengurangi kecepatan, Seki dengan waspada menoleh ke belakang untuk memastikan penguntit mereka benar-benar tertinggal. Debu jalanan membuatnya sulit untuk mencari orang yang dimaksud, meski akhirnya ia yakin orang tadi sudah tidak mengejar.

Perlahan Seki mengendurkan pijakannya pada pedal gas. Sembari mengatur napasnya yang memburu seperti dikejar hewan buas, ia berkata, "Mereka itu siapa?" tapi, rasa takut lain muncul di benaknya saat kepalanya menoleh dan mendapati Karin sedang melamun dengan wajah membeku ketakutan. Ia mengguncangkan bahu Karin dengan kasar, membuat gadis itu mendesis kesakitan. "Karin! Kau mengenal mereka, bukan? Jujur saja!"

"Seki, kau masih ingat dengan orang-orang yang kau lihat saat kau terlambat pulang saat kau masih tingkat satu?" Karin berkata. Kali ini ia mau menangkap iris coklat Seki dan menahannya.

"Siapa? Jangan berbelit-belit."

"Yang bertanggung jawab atas kuburan yang kita temukan di hutan belakang sekolah." Mendengar kata kuburan sontak membuat nyawa Seki seperti ditarik keluar dari ujung kepala. Tubuhnya lemas. Tapi Karin masih belum selesai menamparnya dengan kenyataan sehingga ia menyahut, "Aku bersumpah, yang hendak memukul kaca mobil kita adalah Endo Hikari. Maksudku siapa yang tidak lupa dengan wajah yang khas itu ...?"

"Mati kita." Seki menjawab dengan suara kecil. Sesekali ia masih menoleh ke belakang untuk memastikan. "Tapi tenang saja. Mereka seharusnya sudah kehilangan jejak kita. Dan lagi, daerah ini dekat dengan jalan antar kota. Kita bisa lewat sana setelah ini."

Mereka kembali tenggelam dalam keheningan. Menyimpan kekhawatiran masing-masing tentang apa yang menunggu mereka di balik debu jalanan di belakang mereka. Berdasarkan GPS, jarak mereka dengan jalan antar kota hanya tinggal 19km lagi. Mereka akan segera pergi dari tempat itu dan melaporkan apa yang baru saja terjadi pada mereka di kantor polisi.

Sayangnya, tidak ada satu orang pun dari mereka yang menyangka apa yang akan terjadi selanjutnya. Dari balik gedung bertingkat di depan mereka mendadak muncul sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi dan berhenti di depan mereka. Seki sontak membanting stir ke kiri, tanpa sengaja membawa mobilnya keluar jalur menerobos dan menabrak apapun yang ada di depan.

Tidak mendengarkan umpatan Karin, Seki terus berusaha mengambil alih atas mobilnya yang haluannya sudah kacau. Akhirnya pada satu titik, karena kecepatan yang sangat tinggi, mobil mereka terbalik dan terguling berkali-kali. Mobil baru berhenti saat bagian atap mobil sudah hancur parah dan penyok tak berbentuk, hingga mobil mendarat dengan kondisi ban yang hampir terlepas. Asap mengepul dari kap depan mobil, bau hangus tercium hingga di dalam mobil.

Seki menghela napas berat. Napasnya satu-satu, secepat ia menarik napas secepat itu pula ia menghembuskannya. Ia bersumpah, tidak ada jalan lain di samping gedung kosong itu. Mana mungkin orang tersebut menerobos pohon-pohon seperti atlet motocross? Perih dari wajah dan lengan membuatnya berjengit saat ia melepaskan ikatan sabuk. Di sampingnya, Karin masih berusaha mendapatkan kembali kesadarannya.

Cahaya matahari sudah semakin memudar, hampir tidak ada sumber cahaya lain di sana. Kecuali dari lampu sepeda motor yang berhenti di dekat bangkai mobil.

"Karin ..." Seki berusaha keras mengangkat suaranya. Tangannya menggoyang-goyangkan bahu rekannya dengan agak kasar, berharap dengan itu cukup membuat Karin sadar.

Dilihatnya pengendara motor yang membuatnya celaka melompat turun dari motor dan berjalan mendekati bangkai mobil. Beberapa saat kemudian, satu orang lagi datang dengan sepeda motor yang sama dan berhenti tepat di sampingnya. Seki semakin tidak bisa berpikir jernih lagi. Beberapa saat lagi, mungkin ia akan dibunuh atau dieksekusi di tempat. Segera saja ia meraba-raba jok mobil demi mencari ponsel. Saat Seki berhasil mendapatkannya, ia menyadari layarnya retak di bagian pojok.

Aku harus menulis ini. Aku harus mengirim pesan ini.

Jemarinya yang lengket karena darah membuatnya sulit mengetik isi pesan yang ia inginkan. Tangannya tidak bisa berhenti bergetar, bahkan saat ia selesai mengirimkan pesan pada Yui dan menjatuhkan ponselnya.

Haruskah aku lari? Jika aku lari, bagimana dengan Karin? Seki menyentuh bahu Karin. Kepala anak itu mengeluarkan darah yang mengalir turun ke pakaiannya. Benturan keras mungkin membuat Karin shock dan membuatnya tak sadarkan diri. Aku harus pergi dari sini dan meminta bantuan. Satu-satunya tujuan adalah menuju jalan antar kota yang jaraknya mungkin tidak terlalu jauh dari tempatnya sekarang. Setidaknya begitu, karena ia dapat mendengar suara kendaraan lewat dan klakson tidak jauh dari tempatnya.

CLICK

SRAK

Seki menyeret tubuhnya keluar dari mobil dengan perlahan. Kepalanya pening, membuatnya hampir kehilangan kesadaran dan jatuh berlutut. Ia mengangkat pergelangan tangannya yang berdarah-darah. Dengan kuat ia menggigit tangannya hingga giginya menusuk masuk ke dalam daging. Rasa sakit itu sukses membuatnya mendapatkan kembali kesadarannya yang sempat hilang. Dengan ponsel di tangan, Seki memaksa kakinya yang terluka berlari menjauh dari tempat itu.

Tapi mungkin, ia tidak menyadari jejak darah yang ia tinggalkan membuat orang-orang yang memburunya mengetahui keberadaannya dengan mudah.

"HEI, MAU KE MANA?"

Yui tersentak saat ia sadar dari lamunannya. Entah sudah berapa jam ia duduk di dalam mobil seorang diri, menatap kosong ke lautan lepas di depan sana. Ia datang ke tempat itu pukul 3 sore dan sekarang sudah pukul 6 lewat, itu berarti sudah tiga jam ia duduk termenung tanpa memikirkan apapun. Ia meninggalkan ponselnya di jok belakang, sama sekali tidak berniat mengetahui apa yang membuat ponselnya bergetar tanpa henti sejak tadi.

Rasa sakit di hatinya terlalu kuat. Sampai membuat dadanya sesak selama berjam-jam. Selama itu juga ia menangis hingga air matanya terkuras habis.

Seharusnya ia tahu bahwa ia tidak dapat berharap banyak pada Yuuka. Apakah ia harus menyalahkan Moriya yang selalu ada di dekat Yuuka? Sepertinya tidak. Yuuka sendiri yang berkeinginan untuk mendekati Moriya. Memang benar selama ini hanya Yui seorang yang menganggap hubungan mereka serius. Perlakuan manis Yuuka juga semata-mata karena sebuah tuntutan.

Di sisi lain ia merasa bersalah dengan Risa. Urgh ... Yui mengerang. Menghantamkan kepalanya di roda stir. Masih jelas terpatri di memorinya, peristiwa tadi siang. Wajah Risa yang terlihat kecewa karena dirinya.

Sakit kepala yang awalnya berasal dari bagian belakang kepala sekarang menjalar hingga ke bagian depan.

Kapan ya terakhir ia berada disini? Ah iya. Saat pengangkatan bangkai mobil teman-teman Hirate dari laut. Yui berada di sana, turut memperhatikan tiap momen dengan seksama. Melihat bagaimana mayat yang tak lagi utuh dan nyaris membusuk dimasukkan ke dalam kantung jenazah.

Jika diingat-ingat lagi rasanya memang aneh. Bagaimana mungkin ia bisa hidup tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa padahal ia sudah menghancurkan hidup banyak orang. Ketika ia merenung di mobilnya sembari menenggak lima kaleng bir tanpa jeda, Yui menemukan notebook kecil yang lembarannya masih utuh. Pada halaman pertama ia dapat membaca tulisan seperti sebuah percakapan dengan dua orang berbeda.

Faktanya itu adalah percakapan yang ditulis sendiri oleh Yui dengan alternya. Dan salah satu memori yang seharusnya Yui ingat ada di sana.

Tanggalnya tertulis 22 Desember. Tulisan tangan asing menuliskan, aku akan membunuh mereka semua. Kau tidak perlu takut dengan sesuatu yang akan melukaimu karena aku telah membereskan semuanya. Risa bahkan percaya bahwa aku adalah kau. Bukankah itu sempurna?

Di bawahnya, dengan tulisan tangan yang sama bertuliskan 23 Desember.

Kau tidak pernah menjawab tulisanku lagi. Kau berusaha melupakan keberadaanku atau kau sudah tidak percaya denganku lagi? Yui, kau tidak akan pernah bisa lari dari apa yang telah kau ciptakan.

P.S. Aku hanya ingin memberitahu bahwa semuanya sudah selesai.

Yui melangkah keluar. Ia membiarkan mobilnya dalam keadaan menyala untuk penerangan. Persetan dengan aki mobil, toh ia tidak akan membutuhkan benda itu lagi. Tangannya menggenggam dua buah cincin yang tidak lagi berarti, sekali lagi ia melihat dua benda itu sebelum mengayunkan lengannya dan melemparkannya jauh ke laut. Ayunan lengannya begitu kuat. Seolah ia sedang melempar semua rasa sakit, kekecewaan dan tekanan yang membelenggu jiwanya ke laut.

The Elites hancur.

Rahasia mereka terbongkar.

Perselingkuhan Yuuka.

Pengkhianat sialan itu.

Penyakit kejiwaannya yang semakin parah.

Semuanya.

Jadi, Yui berteriak. Sangat keras. Tenggorokannya yang kering seperti padang pasir terasa begitu menyakitkan saat ia memaksa pita suaranya bekerja hingga di ujung tanduk. Semakin lama. suara teriakannya berangsur-angsur berubah menjadi isak tangis. Ia jatuh berlutut, kedua tangannya menangkup dan menutupi wajahnya.

Apakah ini semua salahku ...? Aku yang memberi perintah pada Risa untuk membawa Hirate waktu itu? Tapi bagaimana bisa aku tidak mengetahui hal ini ... kenapa aku tidak bisa mengingat semuanya?

Mendadak otaknya mengalami black out. Seolah nyawanya ditarik keluar secara paksa dan ia tertidur. Selanjutnya, yang ia tahu adalah kegelapan yang sangat pekat. Di luar kesadarannya, tubuhnya bangkit berdiri. Tungkainya mulai melangkah mendekati ujung tebing. Tubuhnya lunglai seperti tidak bernyawa, tapi langkah kakinya begitu tegas.

Pada saat kaki kanannya sudah tidak menapaki tanah, sebuah tangan dengan sigap menarik tubuhnya ke belakang dengan cepat dan kuat. Tindakan itu membuat nyawanya seperti tertarik masuk kembali ke tubuhnya.

"Kenapa kau di sini? Kau tidak berniat bunuh diri kan?" dari suaranya Yui dapat tahu bahwa itu adalah Hono. Sebenarnya ia bertanya-tanya. Darimana Hono tahu keberadaanya. "Jangan terjun. Kau akan menyesalinya."

Hono menarik mundur bahu Yui. Gadis itu masih terlalu dekat dengan bibir tebing. Bukan tidak mungkin sewaktu-waktu ia bisa jatuh ke laut meskipun bukan karena keinginannya sendiri. Atlet voli itu menatap Yui lamat-lamat. Rekannya itu nyaris seperti mayat hidup karena aura wajahnya yang menggelap. Seragam putih yang ia kenakan juga lusuh.

Kesadaran Yui sedikit pulih saat Hono memukul-mukul pipinya. Agak terkejut karena ia sudah lama tidak mengalami black out dari tubuhnya sejak lama. "Darimana kau tahu kalau aku ada di sini?" akhirnya Yui bertanya. Merasa sedikit tidak nyaman karena ranah pribadinya diusik.

"Aku melacak ponselmu karena firasatku buruk mengingat apa yang terjadi hari ini begitu berat bagimu. Begitu aku tahu kau ada di sini aku langsung pergi dan ..." Hono melangkah mundur, memperhatikan Yui lebih baik. "... aku bersyukur aku datang tepat sebelum kau terjun ke laut."

"Aku ... tidak melakukan apapun ...?"

"Kau jelas-jelas berdiri di ujung sana dan hampir berjalan menjemput ajalmu—ah, lupakan saja. Kau baik-baik saja, kan? Seki mengatakan padaku ia menghubungimu berkali-kali tapi kau tidak menjawab. Sebaiknya kau menghubunginya kembali atau ia akan sangat kesal."

Yui tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Otaknya masih membutuhkan waktu untuk mengembalikan memori dan kesadarannya yang sempat menguap tadi. Hono menundukkan tubuhnya, menatap lurus pada Yui.

"Hei, aku bertanya padamu. Apakah kau benar-benar baik-baik saja?"

Napas Yui tersentak saat menyadari jarak wajah Hono hanya terpaut beberapa senti saja dari wajahnya. Ia langsung menatap lurus pada sepasang netra coklat tua itu. Ia tidak tahu mengapa tapi ia dapat merasakan sesuatu yang aneh saat mata mereka bertemu. Yui dapat merasakan sesuatu yang lain dari balik sorot mata penuh pengertian itu.

Dan entah mengapa, sesuatu yang tersembunyi di dalam sana membuat bulu kuduknya berdiri.

"Aku baik-baik saja." Yui lekas-lekas menyergah. Ia berjalan melewati Hono menuju mobilnya. "Kenapa bukan kau saja yang menelepon Seki dan mengatakan padanya kau sudah menemukanku?"

"Entah. Kupikir akan lebih baik jika kau saja yang melakukannya. Karena kau yang ditelpon olehnya dan bukan aku."

Ia tidak dapat mendengar langkah kaki Hono di belakang karena suara deburan ombak yang keras. Tapi ia dapat merasakan keberadaan manusia lain di belakangnya, jadi Yui yakin Hono benar-benar mengikutinya. Yui menjilat bibir bawahnya saat tangannya menarik pintu tengah mobilnya terbuka dan menyambar ponsel miliknya untuk menghubungi Seki seperti yang Hono pinta.

Sekali lagi, tangannya gemetar saat ia memegang alat elektronik itu. Yang ada di pikirannya hanya satu. Sugai Yuuka. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi padanya jika sampai ayah Yuuka terlibat. Skandal perselingkuhan, percobaan pembunuhan, dan pembunuhan kelima siswi itu. Yui hanya dapat berdoa.

Tapi saat ia baru saja membuka lockscreen Yui langsung dihadapkan dengan email masuk dari Seki Yumiko. Dahinya berkerut. Ada yang tidak beres. Biasanya Seki selalu mengirimkan pesan melalui aplikasi chat. Jarang sekali ia menggunakan email jika berkomunikasi dengan teman dekat.

Karin diculik. Aku sedang bersembunyi. Selamatkan Risa dan Yuuka. Jika kau bertemu Hono, larilah. Aku tidak pernah memberitahu padanya bahwa SSDku hilang.

S.O.S Temui aku di Hanbushi Ave. SY.

Saat itu juga jantungnya berhenti berdetak. Keringat dingin meluncur turun dari tengkuk dan dahi, membasahi kerah kemeja. Angin laut yang dingin dan suara ombak membuat kelima indranya seperti mati. Ia tidak dapat mendengar, mencium, merasakan apapun selain rasa takut sekarang.

"Kenapa? Apa Yuuka mengirimkanmu pesan juga?"

Aku harus tetap tenang. Pura-pura tidak tahu.

Hono berjalan mendekat, Yui sama sekali tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Gadis yang lebih tinggi memiringkan kepalanya, tersenyum miring. Ia mengeluarkan sarung tangan karet dari saku celana cargonya dan memakainya tanpa suara. Deburan ombak membuat sepatunya yang menginjak tanah tidak terlalu terdengar suaranya jadi ia tidak perlu repot mengendap-endap.

"Hono. Aku sama sekali tidak menyangka."

Tapi tiba-tiba, Yui berbalik dan dengan satu gerakan cepat tangannya memukul leher Hono dengan ujung siku. Hono berteriak, sumpah serapah keluar dari mulutnya. Tangannya memegangi batang lehernya yang nyeri karena serangan Yui. Dilihatnya Yui mengepalkan tangan dan melemparkan pukulan kedua ke arah wajah. "Sialan," ia berhasil memegang dan menahan tangan Yui. Segera saja ia berbalik, menundukkan tubuh dan membuat tubuh Yui terbanting ke depan.

Ia bukan praktisi judo oleh karena itu bantingannya tidak begitu kuat. Yui, meskipun tubuhnya menghantam tanah dengan keras ia masih mampu berdiri lagi dan menerjang Hono, melingkarkan lengan di pinggangnya. Meskipun Yui bertubuh lebih pendek dan lebih kecil dari Hono, tenaganya cukup besar. Ia bahkan berhasil mendorong Hono hingga beberapa meter- nyaris terjatuh dari ujung tebing.

BUG

"Keparat kau, Tamura! Apa yang ada di kepalamu, huh?" Yui membentak. Ia menarik pakaian Hono dan melayangkan hook ke pipi Hono. Pukulannya agak meleset mengenai bibir sehingga buku jari Yui tergores gigi. "Kenapa kau melakukan ini? Kenapa? Kau menghancurkan semuanya! Bahkan kau tega membunuh Seki, di mana perasaanmu, bajingan!"

Berapapun pukulan yang Yui berikan padanya, Hono sama sekali tidak membalas. Ia hanya membiarkan temannya menghajarnya bertubi-tubi sembari menggunakan telapak tangannya untuk melindungi wajah. Sebenarnya ia bisa saja melawan dan langsung menjatuhkan Yui dari tebing, hanya saja, ia tidak mau membangkitkan anjing gila dari dalam diri Yui sebelum waktunya.

Yui menghentikan pukulannya yang serampangan. Tenaganya terkuras, napasnya terengah-engah. Ia menarik kerah jaket Hono dengan kedua tangan kemudian mendorongnya semakin dekat dengan ujung tebing. Dua pasang mata saling menatap dengan dua emosi berbeda. Yui dengan amarah yang meledak-ledak, Hono memilih untuk tidak menunjukkan terlalu banyak emosi.

"Kenapa? Jatuhkan aku. Kau ingin melakukan itu, benar?" ucap Hono. Ia mencengkeram lengan Yui dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Karena hasutan kalian aku mengkhianati temanku sendiri dan membunuh banyak orang." ia terkekeh. Pegangannya pada lengan Yui semakin keras. "Kalian diam-diam membunuh Hirate di rumah sakit jiwa—kalian bahkan tidak mengatakan padaku jika kalian juga tahu ia di sana! Siapa yang pengkhianat sekarang? Aku bertanya padamu, siapa yang berkhianat? Keparat!"

Apa?

"Kau ini bicara apa! Kami sama sekali tidak tahu status Hirate! Aku tidak pernah tahu di mana ia berada selama ini!" Yui berteriak, dengan suara keras karena ia yakin suara ombak akan meredam suaranya. "Tunggu dulu. Hono, jadi selama ini kau tahu tentang Hirate. Selama satu tahun kau menyembunyikan hal ini dan bekerja sama dengan Ozono untuk membunuh kami ..."

Hono menggemeretakkan gigi. Cengkeramannya sudah benar-benar kuat sekarang. Ia yakin kuku-kuku nya sudah melukai kulit lengan Yui meski gadis itu sama sekali tidak merasakan sakit.

"Aku tahu kau yang menyuruh kami membawa Hirate ke pinggir kota ... selama ini kupikir Risa yang melakukan itu. Kupikir kau cukup bersih, tapi ternyata kau sama bengisnya dengan mereka. Kau binatang."

"Hahaha ... Tamura Hono ... kau ini benar-benar pandai mengarang, ya?" Yui menunduk sesaat setelah mengatakan itu. Saat kepalanya terangkat dan menatap lurus ke depan, raut wajahnya yang lembut sudah berubah 180 derajat. "Aku akan membunuhmu."

"Kalau begitu ... antar aku ke neraka, siapapun kau. Kita akan bertemu dan menyelesaikan ini di sana."

Mendengar jawaban Hono, membuat emosi Yui naik di ujung kepala. Tekadnya sudah bulat. Ia akan membunuh manusia brengsek ini detik itu juga.

BANG

Timah panas ditembakkan. Waktu seolah berjalan lambat. Jantung Hono nyaris lepas dari tempatnya karena ia dapat melihat proyektil peluru melewati sisi lengannya, terpaut beberapa milimeter dari kulit dan ia sudah dapat merasakan panasnya. Darah bercipratan mengenai jaketnya, awalnya Hono tidak sadar, pikirnya tubuhnya telah tertembus peluru.

Tapi sepersekon detik kemudian ia merasakan beban—Yui tumbang di depannya. Telapak tangannya tidak sengaja meraba punggung Yui dan merasakan sesuatu yang lengket di sana. Ia agak kaget saat melihat darah kental menempel di telapak tangan.

"Kau oke?" Takemoto berjalan mendekat. Di belakangnya, Hikaru berdiri masih dengan kuda-kuda saat akan menembak. Tangannya masih menggenggam erat popor pistol. Tidak ada yang menyadari bahwa tangannya gemetar hebat saat selesai melepaskan tembakan karena gelap. "Si kecil ini harus diberi dorongan mental agar mau menembak."

Hikaru mendengus. Ujung pistolnya kini mengarah pada Takemoto yang berjalan mendahuluinya, ia harus sekuat mungkin menahan hasratnya untuk menarik pelatuk dengan jarinya. Hinggga akhirnya ia mengembalikan safety pistol dan mengarahkan moncongnya ke bawah.

"Baik, kupikir." Hono menjawab. Sedikit meringis menahan sakit karena dinding mulutnya robek.

Ia membetulkan posisi tubuh Yui yang bersandar padanya, mendudukkan gadis itu di atas tanah bersandar pada body mobilnya. Ia menyalakan flash ponsel dan menyentuh denyut nadi di bawah telinga Yui. Helaan napas lega keluar dari bibirnya saat ia merasakan denyutan. "Aku tidak yakin Rei akan senang dengan ini." ucap Hono. "Aku sengaja menahan diri agar tidak melukainya dan kalian malah menembaknya. Sangat cerdas."

"Dia akan melemparmu ke laut jika kami tidak menembak."

Tembakan Hikaru tepat menembus bahu kiri Yui. Hono mengamati lubang keluar masuknya peluru dan berkesimpulan peluru itu tidak merusak struktur tulang. Ia menggeleng pelan. Seandainya kau tidak melawan. Kau tidak akan tertembak, dasar bodoh. Takemoto melemparkan kain hitam pada Hono. Ia segera menutupi kepala Yui dengan kain hitam tersebut dan menggendongnya, membawanya masuk ke dalam mobil miliknya.

"Bersihkan tempat ini. Ini hukuman karena kau bersikap lambat seperti tadi." Takemoto berucap dengan nada rendah ketika memberi perintah pada Hikaru. Matanya melirik gadis itu dengan tidak bersahabat sebelum berbalik masuk ke dalam mobil sembari menggerutu kesal. "Sial. Apasih yang Rei lihat dari orang seperti dia."

Hikaru menarik napas pelan. Disimpannya pistol dalam holster yang melingkar di pinggang. Kepalanya menoleh ke sana kemari berusaha untuk melihat daerah mana saja yang harus dibersihkan. Setelah selesai mengamati, ia melangkah menuju mobil untuk mengambil peralatan yang diperlukan seperti alcohol, sinar uv dan lainnya.

Sementara ia membersihkan tebing, Hono terlihat sibuk melakukan sesuatu di dalam mobil Yui. Nampaknya ia akan meletakkan sesuatu di dalam sana. Saat ia keluar, Hikaru sengaja berhenti di sampingnya. Membisikkan sesuatu yang membuat dahinya berkerut.

"Apa kau yakin dengan apa yang kau lakukan? Jangan sampai kau menyesali perbuatanmu ini. Kau mengkhianati teman-temanmu. Apa yang kau lakukan jika nanti mereka yang berbalik mengkhianatimu?" bibirnya tersungging membentu senyuman miring. "Tidak akan ada yang berdiri di depanmu lagi setelah ini."

"Itu bukan urusanmu, Morita."

Hikaru tidak menjawab lagi. Ia memilih sibuk membersihkan noda darah dan menghapus sidik jari selain milik Yui yang tertinggal. Setelah beberapa menit memastikan semuanya bersih, Hikaru mengembalikan peralatan ke dalam mobil dan masuk ke dalam. Tak ingin membuang waktu lagi, Takemoto segera menyalakan mesin mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang meninggalkan TKP.

Sedikit lagi ... hanya sedikit lagi dan aku akan menghabisi kalian semua.

Endo Hikari menutup kembali pintu peternakan. Membiarkan lilin menjadi satu-satunya sumber cahaya di sana. Api lilin itu bergerak nyaris mati saat angin malam bertiup masuk melalui celah-celah jendela yang kayunya berlubang. Suasana hening. Hanya terdengar bunyi hewan malam seperti jangkrik dan katak yang bersahut-sahutan. Selain itu, adalah suara Hikari mengeluarkan peralatannya dari koper.

Obeng, bor, bensin, pisau silet, pisau dapur, stun gun, solder, gunting taman dan beberapa botol air garam sekarang sudah tertata rapi beralaskan jerami kering. Ia mengeratkan sarung tangan karet yang melapisi tangannya, kemudian menyambungkan terminal dengan genset yang ia bawa. Tangannya meraih mesin bor dan menancapkan colokannya pada stop kontak. Memastikan bahwa mesin itu bekerja dengan normal.

"Bagus sekali." bisiknya.

Mengesampingkan mesin bor tadi, ia kini berbalik ke arah dua orang yang duduk di atas kursi kayu dengan tangan dan kaki terikat oleh tali tambang. Kepala mereka seperti menghilang karena ditutup oleh kain berwarna hitam legam yang melebur dengan gelapnya malam. Endo ingin menggunakan bor untuk membuat lubang di kepala mereka. Tapi ia harus menahan keinginannya untuk melakukan hal itu karena ia tidak mau merusak pion milih rekannya—Rei.

Dilihatnya dua orang bertudung hitam itu masih tidak bergerak. Nampaknya hantaman helm bisa membuat mereka pingsan berjam-jam. Ia tidak memerlukan anestasi untuk yang dua ini. Karin dalam dalam kondisi terluka sehingga ia tidak banyak melawan, tetapi Seki berhasil membuat sayatan memanjang di pinggangnya—Hikari sering mendapat luka seperti itu saat mengeksekusi korban-korbannya, jadi ia pernah mendapat lebih buruk dari ini.

Berbeda dengan mangsa yang langsung ia bantai di tempat tertentu, mereka terkadang tidak sadar jika urat lehernya terputus dan kepala mereka terpisah dari tubuh. Kalaupun mereka melakukan perlawanan, itu tidak akan begitu kuat. Mangsa yang ia culik benar-benar memerlukan perhatian khusus. Mereka bisa berteriak sampai menyerang secara brutal, dan kadang Hikari harus membunuh mereka secara langsung.

Oda Nana adalah salah satu dari itu.

Ia masih ingat bagaimana gadis berwajah mirip unta tanah arab itu berhasil melepaskan diri dari ikatan tali. Oda berhasil merampas gergaji dan nyaris mengiris putus ibu keempat jari tangan kanan Hikari. Beruntung Marino membawanya ke rumah sakit tepat waktu dan mengatakan ia mengalami kecelakaan tunggal sementara Rei melakukan apa yang ia mau.

Sepulang dari perawatan singkat dan mendapat belasan jahitan, Hikari kembali ke tempat persembunyian mereka dan mendapati seonggok kepala manusia ditinggalkan begitu saja di atas meja. Oleh sebab itu, Oda adalah satu-satunya korban yang tidak dikubur secara utuh—kepalanya disimpan sementara tubuhnya dikubur.

Kembali ke Seki dan Karin, Hikari memilih untuk membiarkan mereka beristirahat sementara ia menghubungi rekannya yang bertugas di tempat lain. "Halo, Tamura. Aku sudah menempatkan mereka di sini. Setelah kau membawa Kobayashi pada Rei, aku ingin kau datang kemari membawa Takemoto karena aku akan mengurus Kobayashi di markas."

Penerima panggilan sedikit lambat dalam memberikan respon. Hanya terdengar suara deru mobil dan suara gesekan-gesekan kecil. Tapi setalah menunggu 4 detik, Hono mengeluarkan suaranya, "Aku mengerti. Mohon bantuannya." Hono menutup telepon sepihak, Hikari memaklumi. Itu artinya ia harus menunggu sekitar beberapa jam lagi.

"Tch."

Ia membuka kopi hitam kalengan yang dibelinya dari minimarket dalam perjalanan kemari. Ada 4 kaleng di kantong plastik putih yang ia letakkan di dekat koper dan mungkin itu cukup menemaninya menunggu.

Tapi kemudian ia bangkit berdiri dan mengambil botol air garam pertama. Tangannya dengan kasar melepaskan kain hitam yang menutupi kepala mereka, kemudian tanpa rasa kasihan ia menyiramkan seluruh isi botol pada Seki dan Karin secara bergantian. Karin tersentak seketika karena ia merasakan air masuk ke dalam rongga hidung, dan Seki menggeleng-gelengkan kepala berusaha menjatuhkan air dari wajahnya.

"Kau ..." Karin tidak berhasil melanjutkan kalimatnya. Sosok di depannya sekarang adalah sosok manusia yang paling ia takuti sejak ia berada di Sakurazaka. Ia dapat merasakan rahangnya bergetar hebat saat rasa takut itu kembali memukul wajahnya seperti palu.

"Kalian berdua tahu? Aku sudah menunggu lama melakukan ini pada kalian. Mungkin terdengar gila, tapi memang benar seperti itu adanya." Hikari mengambil pisau silet dan menajamkan permukaannya. "Menyedihkan sekali. Mengetahui bahwa kalian akan segera mati dan kalian tidak dapat melakukan apapun untuk menyelamatkan diri."

"Tidak ada bedanya dengan domba yang mengembik, menunggu waktu mereka untuk dipotong dan diambil dagingnya." napas Seki tercekat di tenggorokan saat mendapati Hikari mendekat ke arahnya dengan menggenggam sebilah pisau silet yang tampak sangat tajam. "Tapi sekarang, domba-domba sudah berhenti mengembik."

Karin hanya dapat menutup matanya rapat-rapat saat ia mendengar Seki mengeluarkan teriakan tertahan yang memilukan. Tapi, entah mengapa ia sempat membuka sedikit matanya untuk melihat Hikari menyayat telapak tangan Seki membentuk angka lima. Sayatan itu cukup dalam—mungkin lebih dalam dari miliknya—sehingga membuat darah segera membuncah keluar dan menetes-netes di lantai.

Tidak selesai begitu saja, Hikari juga membuat banyak sayatan-sayatan kecil mulai dari pergelangan tangan hingga lengan bagian atas. Ia sedikit memberikan tekanan sehingga pisau silet itu merobek kain lengan seragamnya dan mengiris dagingnya cukup dalam.

"Sial, sial, sial, sial!" Seki berteriak histeris saat Hikari mengambil botol air garam dan menyiram bekas sayatan pisau di tangannya.

Seolah tidak merasa puas, Hikari mengambil obeng dan memanaskan ujung besinya dengan solder hingga ujungnya menghitam. Dengan brutal ia menusuk telapak tangan kanan Seki hingga ujung obeng menembus telapak tangannya. Ia tersenyum puas mendengar Seki berteriak, memohon. Tapi ia tidak mendengarkan teriakan memilukan itu dan mencabut obeng yang menembus tangannya dengan gerakan pelan yang pastinya menambah penderitaan Seki.

"Kalian akan habis! Yuuka, Risa dan Yui akan menemukan dan menghabisi kalian. Kalian akan membusuk di penjara!" Karin berteriak. Ia bergerak secara brutal berusaha melonggarkan ikatan tali tambang di tubuhnya.

Mendengar itu, Hikari menghentikan langkahnya. Ia terkekeh, tertawa dengan suara rendah dan dalam. Reaksi itu tentu saja membuat Seki dan Karin jengkel setengah mati. Hikari berputar kembali sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana. Selama beberapa detik ia berkutat dengan apa yang ada di layar sebelum menunjukkan layarnya pada mereka berdua.

"Gila, apa ada di dalam otak kalian ..." Karin berkata pelan. Kali ini ia membiarkan air matanya jatuh. Ia sempat menoleh untuk mengecek Seki, gadis itu hanya menunduk dengan bahu bergetar.

Layar ponsel menunjukkan foto yang diambil pada malam hari. Sedikit gelap, tapi lampu flash membuat apa yang menjadi objek utama terlihat sangat jelas. Itu adalah Yui, dengan kepalanya yang tertutup kain hitam. Blazer putihnya berubah warna menjadi merah darah, dengan luka tembak yang terlihat jelas di bagian bahu.

Hikari menarik kembali ponselnya, "Watanabe dan Sugai mendapat nomor empat dan dua di catatan Rei. Kalian akan melihat mereka nanti, jika kalian masih hidup tentu saja."

Seki menggeram kecil. Kalimat yang keluar dari mulutnya menjadi semakin tak jelas, ia hanya bisa meracau. Kepalanya terasa tidak terisi apapun selain kenyataan bahwa ia akan segera mati di tangan kelompok pembunuh. Rasa perih menusuk di tangan dan kakinya sudah terasa begitu menyakitkan sampai ia tidak mampu mengeluarkan suaranya—ia hanya bisa merintih, memohon untuk dilepaskan.

"Permisi," Hikari menyentuh tangan Karin dan memperhatikannya, meraba tiap inci dengan sarung tangan karetnya. Ia kemudian mengambil gunting taman dan mulai menggunting perpotongan jari manisnya dengan perlahan.

"Endo, tolong hentikan, shit ...!"

Ia terlihat menikmati hal itu. Sementara Karin memberontak sekuat yang ia bisa sebagai respon dari rasa sakit yang teramat sangat. Dengan mata tertutup air mata, ia dapat melihat bagaimana Endo mengoyak jarinya hingga tulang jari manisnya nyaris putus. "AARRGHH!" Karin berteriak keras saat Hikari menarik putus jari manisnya—yang kini hanya tinggal setengah. Ia dapat melihat tulang jarinya dengan jelas, dan itu membuatnya ingin pingsan.

Tubuh Seki bergetar tak karuan saat Hikari menunjukkan potongan jari Karin di depan wajahnya. Ia menangis, menyadari bahwa gadis di depannya ini benar-benar berbahaya. Entah apa yang ia tangisi karena sejujurnya ia tidak merasa sedih. Bukan pula karena luka sayatan pisau yang disiram air garam karena luka itu sudah membuatnya mati rasa.

Mungkin ia menangis karena fakta mengerikan bahwa mereka akan mengalami teror mengerikan yang berkepanjangan.

"Fujiyoshi, aku tahu kau memberikan petunjuk pada Kobayashi tentang Tamura. Terima kasih berkat alat penyadap yang ia tempel padamu." Karin memaksa membuka matanya meskipun tubuhnya sudah semakin lemah karena shock. "Sayangnya, Kobayashi masih belum memberitahu apa yang ia ketahui pada Sugai dan Risa. Jadi mereka masih belum mengetahui semuanya. Rencana kami selanjutnya akan segera dilaksanakan, jadi tolong nikmati sambutan dariku terlebih dahulu."

Setelah mengatakan itu, Hikari mengambil mesin bor dan menyalakannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top