Chapter 22: When The Great Sins Exposed

Orang-orang itu nyaris seperti ikan-ikan kecil yang hidup di sungai dengan air mengalir. Membiarkan diri mereka terbawa arus, tidak mau repot-repot berenang melawan arus. Karena, ya, apa sih yang ada di pikiran ikan itu. Mereka hanya binatang yang tidak memiliki akal. Hanya mengikuti apa yang sudah ada di depan mereka untuk terus hidup. Hanya itu.

Oleh sebab itu Tuhan menciptakan manusia dengan istimewa. Yang membuat manusia berbeda dengan hewan. Yaitu kemampuan berpikir, menganalisa, mempertimbangkan hal yang benar dan tidak. Meskipun beberapa orang tidak menggunakan itu untuk hal yang berguna—yang mana itu adalah urusan mereka sendiri. Sebagaimana suatu kalimat yang mengatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan fakta dengan fakta yang ada, lebih baik dikatakan jika manusia memiliki jauh lebih banyak ketidaksempurnaan yang absolut yang sengaja ditutupi oleh topeng yang berkerak.

Itulah yang Karin pikirkan ketika ia kembali ke sekolah setelah absen beberapa minggu pasca percobaan pembunuhan waktu itu. The Elites menjadi lebih waspada dan semakin renggang satu sama lain. Ditandai dengan hubungan Risa dan Yuuka yang semakin panas, Yui yang lebih pasif dari sebelumnya dan cenderung mengasingkan diri, Hono yang akhir-akhir ini terlihat sibuk dan selalu berkelit saat Elites bertemu, dan Seki selalu beralasan sibuk dengan proyeknya.

Untuk sementara, mari kita kesampingkan keadaan The Elites yang semakin kacau sebab saat ini yang paling parah adalah kecelakaan Matsuda Rina, siswi kelas B. Karin baru saja tiba di kelas saat ia mendengar sayup-sayup obrolan murid kelas lain di luar koridor. Mengatakan bahwa pelaku tabrak lari yang kabur itu adalah salah satu anggota The Elites. Bahkan mereka sempat menghubung-hubungkan dengan kecelakaan mobil setahun yang lalu dengan insiden mengenaskan yang satu ini. 

Sekarang Karin baru mengerti. Pantas saja beberapa siswi sempat memperhatikan Karin dengan tatapan sinis sekaligus takut saat ia baru turun dari mobil supirnya. Sejak kapan informasi seperti itu beredar disini? Apa The Elites melakukan hal buruk lagi? Jika memang benar begitu, kenapa kali ini harus Matsuda? Setahuku, gadis itu bahkan tidak pernah masuk ke dalam bahan pembicaraan kita.

Begitu gadis berambut pendek itu berjalan ke kelas dengan langkah sedikit diseret karena luka sayatan di paha yang tak kunjung kering, berharap akan menemukan setidaknya satu atau dua anggota The Elites yang dapat diajak bicara, ia justru tidak menemukan satu pun teman-temannya di dalam. Hanya ada tas yang tergantung di tempat duduk dan beberapa tumpuk buku di atas meja. Terutama meja Risa yang pada lokernya terdapat 4 seri Hannibal

Karin menengok ke belakang, kemudian memindai seluruh kelas dalam diam. Semua anggota The Elites memang hadir pagi itu, tetapi entah ke mana mereka pergi sekarang. Kondisi kelas pun masih terlampau sepi. Hanya ada kurang dari lima belas siswi yang ada di kelas selain dirinya. Karin meletakkan tas di atas meja, memindahkan beberapa buku berat ke dalam loker dan duduk dengan perlahan-lahan agar bekas jahitannya tidak terkoyak.

"Letakkan bom ini di mobil Kobayashi. Tiga hari dari sekarang."

Mereka mengincar Kobayashi, pikirnya. Karin mengutuk dirinya sendiri karena telah melupakan hal penting. Ia seharusnya memberitahu Yui tentang hal itu. Tapi pikiran lain berusaha mempengaruhi niatnya. Jika ia memberitahu Yui, maka, pengkhianat itu akan tahu dan menghabisi semua orang terdekatnya. Yang paling mengerikan adalah ia berafiliasi dengan Ozono Rei, pembunuh gila itu.

Lagipula kenapa si brengsek itu melakukan hal seperti ini? Ia tahu siapapun dapat mengeluarkan sisi gelapnya. Tapi... ini adalah sahabatnya sendiri, orang yang telah berjanji akan saling menjaga dan saling melindungi satu sama lain. Ia hanya ingin tahu alasan pasti mengapa ia sampai tega mengkhianati teman-temannya sendiri sampai seperti ini.

Setelah perdebatan internal, Karin akhirnya dapat membulatkan tekad. Persetanan dengan apa yang terjadi padanya nanti. Ia sudah mengerti apa yang akan terjadi dan ia rela, ia tak masalah jika dirinya harus mati terbunuh sekalipun. Kalaupun ia diburu, ia akan dengan senang hati menyerahkan nyawanya asalkan ia dapat membalas budi pada Yui dan membuat gadis itu hidup lebih lama.

Aku harus memberitahu Yui. Sebelum dia menangkapku lagi.

Karin mengeluarkan ponselnya. Membuka daftar kontak dan mengetuk nama Kobayashi Yui. Perlu waktu sekitar 5 detik sebelum Yui menjawab panggilan Karin. Kali ini ia menggunakan opsi panggilan video untuk mengetahui posisi pasti temannya itu.

Panggilan diterima, memang. Tapi Yui seperti dengan cepat menutup kameranya dengan jari. "Bodoh, aku sedang di toilet. Jangan lakukan video call."

"Apa—okay. Tetap disana, aku akan menemuimu." Buru-buru ia mematikan panggilan, dengan sedikit menahan tawa—tentu saja.

Gadis-gadis yang bergunjing di depan kelas terlihat berpura-pura membahas hal lain saat Karin dengan langkah cepat melintas di depan mereka. Tatapan Karin sempat bertemu dengan salah satu dari mereka, kalau tidak salah nama gadis itu Uemura Rina dari kelas C, ia tidak mengingat siapa nama gadis-gadis lain yang sedang ada bersamanya karena ia memang tak pernah peduli. Lagipula, Karin tentu tidak perlu membuang waktu untuk menegur mereka karena ia memiliki hal lain yang jauh lebih penting.

Yui sedang berdiri di depan toilet, tepat di samping pintunya, menyandarkan punggung sembari melipat kedua lengan di depan dada, tampak jelas dari raut wajahnya yang serius ia sedang menunggu seseorang. Karin tidak tahu apakah memang sebuah kebetulan atau insting gadis itu yang kelewat tajam, walaupun terpaut jarak lebih dari lima belas meter, gadis itu menengok ke samping dan tidak terkejut saat ia menemukan Karin berjalan mendekatinya. Seolah Yui sudah tahu akan kedatangan Karin beberapa detik sebelumnya.

Cukup dekat, Karin menangkap Yui meremas beberapa lembar tisu sebelum memasukkannya ke dalam saku blazer. Jika diperhatikan dengan baik, ada noda kemerahan di lembaran tisu tersebut. Mengambil pandang ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang berada di dekat mereka, Karin menyabet pergelangan gadis di depannya ini dan membawanya masuk ke dalam toilet dan mengunci pintunya.

"Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tidak memberitahu aku, Risa dan yang lain? Bagaimana jika hal buruk terjadi lagi karena dia mengambil kendali atas tubuhmu dan tidak ada yang mengetahui?"

Yui benar-benar dibuat kaget oleh Karin pagi itu. Pertama, Karin meneleponnya tiba-tiba mengatakan secara tidak langsung ia sudah berada di sekolah setelah beberapa hari sebelumnya mendapat izin melakukan rawat jalan. Kedua, tanpa izin ia membawanya masuk ke toilet dan membuatnya seperti seorang gadis yang sedang diperangkap oleh sang pacar. Ketiga, membombardir dengan pertanyaan tanpa memberi kesempatan untuk menjawab.

Tawa pelan keluar dari bibirnya, membuat Karin memiringkan kepala. "K-Kenapa tertawa?" gadis berambut pendek bertanya, sedikit kemudian ia menyadari bahwa ia berdiri terlalu dekat dengan Yui. "Oh.. lupakan saja."

"Begini, Karin. Ya, itu sering terjadi akhir-akhir ini tapi semua masih ada dalam kendaliku. Aku sudah memberitahu Yuuka, tapi tidak dengan Risa dan yang lain." Yui menjawab.

"Terimakasih sudah menjawab." Gadis lain merespon. Karin terdiam sejenak, bingung memilih kalimat yang pas agar tidak terjadi kesalahpahaman. "kau harus berhati-hati, Yui. Ada orang.. tidak beberapa orang yang memburumu. Bagaimana aku mengatakan ini... sesuatu terjadi di rumah sakit. Aku tidak bisa mengatakan lebih detail, tapi ia memintaku untuk mencelakaimu."

Dari cara bicaranya yang kelewat waspada seperti seseorang tengah memasang mata padanya, Yui menyadari ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa itu?" ekspresi wajahnya mengeras saat ia menanyakan hal selanjutnya, "itu... bukan aku, kan?"

Karin menggeleng kepala dengan cepat, surai hitamnya jatuh menutupi dahi, bergerak mengikuti gerak kepala. "Kau akan segera tahu, orang itu sudah hampir membuka identitasnya."

Gadis yang lebih pendek mendengus, digenggamnya pergelangan tangan Karin. "Ia menyakitimu. Ia menyebarkan rumor bahwa kita pelaku kecelakaan Matsuda, dan rahasia kita nyaris terbongkar. Katakan, siapa orang itu. Kita tidak bisa menunggu lebih lama."

Bukan sebuah jawaban, hanya senyum getir yang dapat Karin berikan pada Yui. Ada sebuah kesedihan, keputusasaan, ketakutan yang amat mendalam saat Karin berkata, "Berjanjilah padaku untuk tetap hidup."

Karin bimbang. Haruskah ia memberitahu, Yui? Jika ia memberitahu, jelas sesuatu yang buruk akan menimpanya sebentar lagi. Tapi setidaknya ia bisa menyelamatkan teman-temannya yang lain. Masalahnya adalah, apakah akan ada yang percaya dengannya nanti? Dirinya sudah terlanjur mendapat stereotip sebagai pengkhianat.

Akhirnya Karin memilih untuk tidak mengatakan secara gamblang. Yui mengetahui apa yang akan mereka lakukan padanya, itu sudah cukup memberi kesempatan baginya untuk mempersiapkan diri.

"Jangan bercanda, Karin."

"Apakah orang sepertiku pernah bercanda?" Karin memiringkan kepalanya. "aku menyayangi Elites. Aku tidak pernah memiliki teman sebelumnya, aku tidak terlalu memerlukan mereka, menurutku. Tapi kalian membuka mataku. Aku senang selama dua tahun kita dapat menjadi teman meskipun banyak hal abnormal terjadi. Kau tahu aku menyimpan foto pertama The Elites dan memasangnya di kamarku?"

Air mata meluncur turun ke pipi Karin. Entah kenapa rasa takut yang sebelumnya berhasil ditepis olehnya sekarang Kembali menggerogoti hatinya. Suaranya menjadi agak gemetar saat ia berkata memperlihatkan bekas irisan pisau di telapak tangannya. Mata Yui menajam saat ia melihat bekas sayatan itu.

"Pengkhianat itu mengiriskan ini padaku saat ia datang ke rumah sakit. Ini adalah angka. Mereka memberi masing-masing dari kita angka, mungkin itu sebuah kode, urutan atau apalah itu. Dan aku mendapat nomor satu, kau tahu maksudku?"

"Oleh karena itu, aku ingin kau menyelamatkan diri. Aku tahu mereka akan datang kepadaku setelah ini, tapi aku tidak peduli. Nyawaku tidak masalah, kau harus selamatkan yang lain dan temukan pengkhianat diantara kita."

"Karin.. kenapa..?"

"Kau menyelamatkanku saat nyawaku sudah diujung tanduk. Aku mungkin akan terkubur menjadi mayat busuk jika kau datang saat itu. Waktu kita tidak lama lagi. Dia bekerja sama dengan Rei, membalaskan dendam yang sudah mereka pendam selama satu tahun. Mereka menuntut penebusan dosa."

Karin menghela napas berat. Menatap Yui yang berdiri didepannya dengan sorot mata teduh. Beban di dadanya seperti menguap di udara bersamaan dengan harapan hidupnya. Mengetahui bahwa kau akan segera mati dan tidak dapat melakukan apapun untuk menghindari kematian itu membuat frustasi. Ia memahami bagaimana perasaan seorang terpidana mati sebelum di eksekusi oleh regu tembak. Bedanya tidak ada seorang rohaniwan yang menemaninya. Ia telah mengucapkan terimakasih dan meminta maaf secara tulus pada orang tuanya, setidaknya ia menjadi anak yang baik bukan?

Masih ada orang lain yang harus ia beritahu. Dua orang terakhir.

Hanya saja.. apakah ia masih memiliki waktu?

"Fuyuka, tolong. Dengarkan aku dulu!"

Sudah lebih dari tiga kali Akane memanggil, tapi Fuyuka sama sekali tidak berniat untuk sekedar berhenti dalam perjalanannya menuju cafetaria. Sementara Koike dan Habu berlari kecil di belakang mereka. Ia mencium suatu hal akan terjadi begitu Akane berhasil memberhentikan Fuyuka. Intuisinya cukup tajam dan kali ini ia sangat yakin dengan apa yang ia rasakan.

Fuyuka tiba-tiba berhenti, nyaris membuat Akane menabrak punggungnya jika saja ia tidak siap. Gadis itu kemudian berbalik, menatap bergantian pada Akane dan Koike dengan sorot mata tidak tertarik.

"Uh, mungkin kita harus duduk? Ada tempat kosong di dekat pilar itu. Kita bisa duduk disana dan berbicara." Habu dengan sedikit terengah berdiri di tengah keduanya. Menunjuk sebuah meja dengan empat kursi yang tidak memiliki penghuni.

Fuyuka tentu saja segera berjalan ke tempat itu tanpa perlu menunggu kedua temannya merangkul bahunya seperti yang biasa mereka lakukan. Hatinya jatuh saat Akane melihat punggung Fuyuka menjauh, tapi Koike meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Akane—mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Fuyuka. Aku ingin kau mengetahui ini. Koike, kau juga." Kali ini Akane berucap dengan nada sendu. Sikap dingin Fuyuka masih terus berlanjut dan ia sudah berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka sekarang. "Tentang Hirate—"

Tapi saat Akane akan menyebutkan kalimat lain sebagai penerus, Fuyuka mendadak berdiri dari tempat duduknya. Membuat kursi yang ia duduki terdorong ke belakang dan menimbulkan suara keras. Tapi mengingat cafetaria selalu ramai oleh suara para siswi dan alat makan, suara kursi Fuyuka tidak akan menjadi pusat perhatian.

"Fuyuka. Duduk. Biarkan Akane menyelesaikan kalimatnya!" Koike mendesis. Kali ini ia bersikap lebih tegas agar temannya itu mau diam. "Oke, kau bisa lanjutkan."

Akane menunduk sejenak. Tangannya tidak berhenti meremas rok yang ia kenakan. Saat ia mengangkat kepala, Fuyuka sudah menatapnya lurus. "Semalam aku menemui Hirate sendirian. Kali ini ia mau mengatakan sesuatu tentang The Elites."

Habu menegakkan posisi duduknya dan membuat tubuhnya yang tinggi semakin menjulang diantara mereka. Koike beringsut mendekati Akane, tapi Fuyuka sontak berteriak dengan nada tinggi.

"Apakah itu masih penting?" Fuyuka mengangkat tangannya, kemudian memukulkan kepalan tangannya di permukaan meja. Perhatian semua orang seketika tertuju pada tempat duduk mereka. Menatap dengan ekspresi terkejut dan penasaran. "Katakan padaku, apakah masih penting untuk mencari tahu?"

"H-Hei, tenanglah—"

"Diam, Habu! Kau tidak mengerti, kalian semua tidak mengerti. Kalian benar-benar bodoh, terlalu jauh masuk ke dalam masalah ini dan apa akibatnya? Matsuri menunggu malaikat maut mencabut penderitaanya di rumah sakit. The Elites... The Elites berniat membunuhnya karena kita terlalu jauh mencari tahu tentang hal busuk yang mereka lakukan selama ini!"

Hening. Begitu Fuyuka berhenti berteriak, suasana di cafetaria berubah menjadi kesunyian yang mencekik leher. Masing-masing siswi saling bertatapan satu sama lain, saling mengonfirmasi hal yang baru saja mereka dengar. Tatapan mereka tertuju pada dua orang yang duduk di dekat pintu keluar.

Pada Seki Yumiko dan Tamura Hono.

"Akane dengan otak bodohnya masih saja melindungi gerombolan tengik itu. Dan lihat apa yang kau lakukan pada akhirnya? Kau mengorbankan temanmu sendiri! Siapa lagi yang akan kau jadikan tumbal untuk The Elites, huh? Koike? Aku? Sebaiknya kau minta The Elites membunuhku setelah ini karena aku sudah muak!"

Sesuatu dalam diri Akane seperti memanas. Sebuah granat yang selalu ia jaga dengan baik agar pemicunya tidak lepas, meledak hanya dalam waktu beberapa detik saja. Wajahnya memerah sampai ke telinga karena menahan emosi. Ia bisa saja membalik meja di depannya dan melemparkan tinju mentah ke hidung Fuyuka saat itu jika sesuatu tidak mengganggunya.

"Apa yang kau katakan itu? Berani sekali kau dengan tidak sopan menuduh kami hanya dengan bermodal kecurigaan!" Hono berteriak. Ia sudah berdiri dari kursi dan sedang berjalan mendekati Fuyuka.

"Fuu, tidakkah kau sadar bahwa kali ini kau sudah berlebihan. Lihatlah kekacauan yang sudah kau perbuat." Koike mendesis. Berusaha keras tidak menghiraukan ratusan pasang mata yang tertuju pada mereka.

"Aku? Aku tidak akan seperti ini jika Akane tidak berulah sejak awal! Jika ia membawa dokumen sesuai perjanjian, Matsuda tidak akan seperti ini. Atau lebih jauh lagi, jika Akane tidak penasaran dengan kematian lima siswi itu semua tidak akan terjadi, brengsek!"

Akane dalam diam mendengarkan Koike dan Fuyuka berdebat di depannya. Bahkan Habu yang semula bertindak sebagai pemisah antara mereka berdua sekarang harus turut menjadi penengah karena dua anggota The Elites masuk ke dalam medan perang. Ia hanya perlu berdoa supaya Risa tidak datang atau perkelahian besar akan terjadi di cafetaria.

Ini salahku. Ini salahku. Kenapa aku bisa terbuai dengan kebaikan Yuuka padahal Fujiyoshi sudah memberiku peringatan sejak awal. Kenapa aku terlalu bodoh menyadari bukti-bukti di sekitarku? Kenapa aku lebih mudah memaklumi The Elites?

Pikiran Akane kemudian tertuju pada gadis berambut panjang dengan senyuman miring yang menyejukkan selama ini singgah sekaligus menyejukkan hatinya. Ia sebenarnya juga tidak mengerti. Mengapa ia bisa begitu santai meskipun selama ini ia bersama orang yang berpotensi menjadi pembunuh.

"Ini semua kesalahanku. Maafkan aku."

Akane berbalik dan berlari meninggalkan cafetaria. Tidak mempedulikan usaha Koike untuk menahannya, ucapan kasar, dan tentu saja teriakan mengancam dari dua orang The Elites di sana. Ia berniat menemui Rei dan membicarakan segala hal pada seniornya itu. Paling tidak dia dapat menjadi orang yang netral dalam masalah ini dan dapat membantunya mencari jalan keluar yang tepat. Tujuannya ada di gedung tingkat tiga dan sekarang ia berada di area cafetaria yang berarti ia harus melewati gedung tingkat satu atau main hall agar dapat mencapai gedung tingkat tiga.

Koridor panjang yang menyambungkan area café dengan gedung kelas satu telah ramai oleh siswi yang berkumpul ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di café selayaknya koloni semut yang menemukan tumpahan gula. Akane tak mau menarik perhatian yang tidak diinginkan sehingga terpaksa mengambil jalan memutar melalui area belakang akademi, dekat dengan hutan buatan.

Karena langkah yang ceroboh Akane tersandung oleh bongkahan batu bata yang tersembunyi dibalik rumput tebal. Beruntung ia cukup tangkas jadi ia tidak jatuh diatas tanah melainkan hanya jatuh ke samping dan bertumpu pada dinding.

Tunggu dulu.

Dinding?

Saat tubuhnya menabrak permukaan dinding, terdengar bunyi nyaring seolah ada rongga di dalam dinding tersebut. Sembari menahan nyeri dari bahu, Akane mengetuk-ngetuk dinding tersebut. Satu ketukan membuat bunyi nyaring.

Apa yang ada di dalam sini? Akane melangkah mundur dan mendongak ke atas. Matanya menyipit saat sinar terang dari matahari memaksa masuk ke dalam pupil. Ini di tangga. Pantas saja ada rongga di dalam dinding.

Ia kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada siapapun, tentu saja. Hanya suara serangga dari hutan sekolah yang dapat ia dengar. Begitu ia mengangkat tungkainya untuk beranjak pergi, ia merasakan tanah yang ia pijak sama sekali tidak ditumbuhi rumput dan hanya di depan dinding berongga itulah rumput tidak mau tumbuh.

Itu berarti ada orang lewat di sini. Tapi ke mana ia pergi? Masuk ke dalam dinding?

Bayangannya seperti di film. Tentang sebuah ruang rahasia bawah tanah yang berada di suatu bangunan. Yang digunakan untuk tempat perlindungan darurat di kala bencana besar yang menghancurkan umat manusia datang. Oke, kali ini halusinasinya sudah kelewat batas. Tapi kendati demikian, Akane tetap iseng menendang—mendorong dinding di depannya dengan kekuatan lebih besar.

BRUK

"Ah? SIAL."

Akane tidak sempat menahan umpatan saat dirinya terdorong masuk ke dalam dinding yang rupanya adalah pintu berlapis baja berat yang warnanya menyatu dengan dinding lain. Ia terguling di anak tangga menurun dan tergeletak menyedihkan di lantai semen yang dingin. Tempat itu gelap dan lembab. Satu-satunya cahaya berasal dari dinding—pintu yang ia dorong tadi. Di depannya ada sebuah pintu besi, entah menuju kemana.

Bahunya yang nyeri menjadi semakin sakit. Bagian lain tubuhnya juga terasa tidak jauh berbeda. Tapi ia tidak mau dan tidak akan membiarkan dirinya terjebak di tempat aneh itu. Lagipula kenapa ada tempat bawah tanah seperti ini di akademi?

Sekali lagi rasa ingin tahu merayap di punggungnya. Dengan sekuat tenaga Akane berusaha berdiri dengan berpegangan pada dinding. Ia membuka pintu di depannya dengan perlahan. Sebuah ruangan dengan beberapa meja dengan tumpukan dokumen, dan satu set computer menyambutnya. Ruangan itu memang gelap, tapi ada satu lampu gantung redup yang cukup membuat Akane dapat melihat apa saja yang ada disana.

Ruangan ini masih hangat. Memang benar ada orang yang kemari, pikirnya saat telapak tangannya menyentuh dinding. Saat Akane masuk lebih dalam, ia tidak dapat menahan diri untuk menutup mulut karena terkejut.

Di dinding terpasang lima foto—dari foto Yuuka hingga foto Seki. Dibawah masing-masing foto terdapat angka yang ditulis menggunakan cat merah. Dan dari kelima foto itu, dua kaca piguranya pecah dan pecahannya berserakan di lantai. Itu adalah foto Karin dan Yui. Ia pun mendekat dengan berhati-hati agar dapat melihat lebih baik. Tanpa ia sadari, napasnya menjadi berat. Seperti sesuatu menekan dadanya dengan beban puluhan kilo. Lampu yang berkedip-kedip seolah membuatnya berada di rumah sakit jiwa.

Saat ia berbalik, pandangannya langsung tertuju pada papan yang bertuliskan tanggal. Juga nama-nama The Elites. Dan... tunggu. Apa? Culik? Bunuh?

Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel dari saku blazer. Ia kesulitan mendapatkan focus karena tangannya menolak untuk tenang barang sebentar. Paling tidak ia mendapat foto dari tulisan di sana meskipun sedikit buram.

Bulu kuduknya meremang. Siapapun dia, pastilah orang itu sangat membenci The Elites sampai merencanakan pembunuhan. Atensinya kemudian berpindah pada dokumen-dokumen di meja komputer. Dengan cekatan, ia mengambil beberapa dokumen acak dan membaca tulisan di sana bergantian. Sayangnya ia tidak menemukan informasi mengenai siapa yang menggunakan ruang bawah tanah itu. Sebagai gantinya, ia menemukan potongan-potongan koran lama yang memberitakan

Akane menjatuhkan kepalanya, mengeluarkan helaan napas berat dari mulut. Ia berniat untuk mengambil beberapa foto dan video dengan menggunakan flash. Sebuah pintu di sudut, sekitar 4 meter dari tempatnya berdiri terlihat jelas di matanya sekarang.

"Pintu ke mana lagi itu?"

Pandangannya turun. Pada jejak darah memanjang yang menuju ke dalam. Perasaannya mengatakan bahwa ia tidak seharusnya masuk ke dalam sana. Dan dorongan itu begitu kuat sampai-sampai membuat isi perutnya bergejolak hebat. Tapi sekali lagi, Akane merasa bahwa ia sudah menemukan hal baru. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini dan mengambil bukti sebanyak mungkin.

Dasar kepala batu.

Ia pun berjalan dengan cepat. Begitu bersemangat membuka pintu yang mengarah ke ruangan lain.

Demi Tuhan, ia mungkin akan melanjutkan hidupnya dengan trauma berat mulai sekarang. Sebab yang tersaji di depannya adalah sebuah ruangan dengan papan perkakas di dinding. Di lantai terdapat genangan darah kering, tidak terkecuali pada dindingnya. Penuh cipratan darah. Di sudut ruangan terdapat sebuah karung yang berwarna gelap—saat Akane menyorotkan lampu flash barulah ia sadar bahwa karung itu penuh lumuran darah.

Dia baru saja menemukan tempat jagal—koreksi, Akane baru saja menemukan tempat pembantaian dan ia tidak mau membayangkan sudah berapa orang yang mati dibunuh di atas lantai tempatnya berpijak sekarang.

Kakinya menolak untuk bergerak. Hanya tubuh bagian atasnya yang masih dapat ia kuasai. Dengan napas tertahan, Akane mengarahkan lampu flash ke arah lain. Dan, tuhan.. dia menyorot palu godam penuh darah disana. Palu itu cukup untuk menghancurkan kepala manusia dan membuatnya menjadi perkedel. Orang gila mana yang melakukan hal seperti ini? Di Sakurazaka Academy?

Mengumpulkan keberaniannya yang sempat hancur berserakan, Akane berjalan mendekati meja kerja tersebut. Ia meletakkan ponselnya dalam bersanggahkan buku untuk menerangi meja. Setelah memastikan ponselnya berada di posisi yang pas, ia mulai membuka laci dan membaca kertas-kertas yang bertumpuk di sana. Sekali lagi ia menemukan foto The Elites—foto yang sama dengan yang ada di kantor Dewan Pelajar.

Di foto itu, wajah mereka dicoret oleh pulpen merah berulang-ulang hingga bekas ujung bolpoin membuat permukaan di belakang foto menjadi tidak rata. Dengan tangan gemetar, Akane memasukkan foto itu ke kantung dan menyimpannya sebagai barang bukti. Ia beralih ke tumpukan kertas, mengambil sebuah dokumen bersampul hijau dengan cipratan darah pada sampulnya. Itu hanyalah dokumen tugas sekolah.

Tunggu, nama. Siapa nama? Akane menutup dokumen itu dan kembali membuka lembaran pertama. Sekali lagi, ia dibuat kaget setengah mati saat mengetahui siapa pemilik dokumen itu. O—Ozono Rei.

KLANG

Tap, tap, tap, tap

Suara keras dari ruangan sebelah membuat Akane sontak menutup dokumen itu dan mengembalikannya dengan asal. Kepanikan menjalar di sekujur tubuh, ia tidak bisa keluar sekarang. "Sial. Sial. Sial." Yang dapat ia lakukan hanya bersembunyi. Jadi, ia segera melompat dan masuk ke dalam lemari arsip besar yang ada di sudut ruangan.

Sekarang Akane hanya bisa berdoa agar siapapun di luar sana tidak menemukannya.

Langkah kaki itu berhenti sejenak di ruangan sebelah. Terhitung sekitar 25 kali denyut jantung orang tersebut berada di sana. Lemari tempat Akane bersembunyi sangat sempit, ya... paling tidak ia mendapat pasokan oksigen karena lemari itu memiliki lubang-lubang kecil yang dapat digunakan sebagai lubang intip dan oksigen masuk. Beruntung saja Akane tidak mengidap claustrophobia. Napasnya semakin berat saat Akane mulai mendengar orang tersebut kembali berjalan, mendekati ruang jagal.

Namun, pandangan Akane nyaris berkunang-kunang karena shock menghantam dirinya. Merutuki kebodohannya berkali-kali bahkan terasa percuma. Ia meninggalkan ponselnya di atas meja dengan flashlight menyala. Tiap detik terasa seperti mendekati kematian.

Ia nyaris pingsan saat ponselnya itu berbunyi menandakan ada pesan atau email masuk. Orang itu berjalan pelan dan mengambil ponsel Akane diatas meja. Cahaya dari layar ponsel menyinari wajah Rei dan Akane dapat melihat senior itu menyunggingkan senyum.

"Kepada Saudari Moriya Akane, kami turut berduka atas kematian Hirate Yurina. Ia meninggal dunia karena bunuh diri di bangsalnya semalam. Pihak rumah sakit menemukan sebuah surat yang ditujukan kepada anda dan kami akan mengirimkannya dalam beberapa jam." Rei terkekeh. "Halo, Moriya. Aku lihat rupanya kau meninggalkan barang berharga di sini. Apa kau tidak ingin keluar dan mengambilnya lagi?"

Sialan, sialan, sialan. Tidak, Akane. Tenang... Tarik napas... hembuskan... Apa yang terjadi? Hirate bunuh diri? Apa jangan-jangan orang ini yang ia maksud sebagai iblis?

Rei mengarahkan flashlight ke sembarang arah. Cahaya terang itu sempat mengenai lemari tempat Akane bersembunyi dan sempat membutakan matanya selama beberapa saat.

"Sayang sekali dia bunuh diri. Padahal aku baru saja bertamu semalam. Ah, tidak. Yang paling aku sayangkan adalah kau Moriya. Padahal aku sudah susah payah membangun kepercayaan di antara kita dan kau dengan tidak sopan menghancurkannya dengan masuk ke dalam rumah ini."

Brengsek! Ternyata selama ini kau hanya seekor serigala yang memakai bulu domba. Kupikir aku bisa mempercayaimu!

"Yah... karena keadaannya sudah pas. Mungkin aku bisa mengatakan ini." Rei meletakkan ponsel Akane diatas meja, membiarkan flashlight menjadi satu-satunya sumber cahaya disitu. "Sugai, Kobayashi, Fujiyoshi, Tamura, Watanabe, dan Seki adalah pembunuh."

Huh?

"Mungkin kau sudah tahu. Tapi aku akan memperjelasnya lagi untukmu. Ya, mereka adalah kelompok pembunuh. Jika kau mau menggali tanah yang tanamannya tumbuh lebih tinggi dibanding tanaman lainnya di hutan belakang sana, kau akan menemukan beberapa mayat yang mereka kubur." Rei berbalik, mengambil sebuah dokumen dan membacanya, "Mereka adalah siswi yang hilang setahun lalu di Sakurazaka Academy. Dan kemudian mereka membunuh kelima siswa lain—teman-teman Hirate dengan menabrak dan membuang mereka ke laut."

Apa? Yuuka... pernah membunuh orang? Fujiyoshi? Jadi kuburan itu yang dimaksud Hirate?

"Kau mungkin tidak percaya. Tapi akulah yang lebih dulu mencari tahu tentang mereka. Tempat ini adalah milik mereka yang sudah lama ditinggalkan. Aku menyimpan semua barangku disini."

Gadis berambut Panjang diluar sana berhenti berbicara. Rei berjalan ke sudut, mengambil sebuah kapak dan mulai mendekati lemari tempat Akane bersembunyi. "Karena aku baik hati dan aku tertarik padamu, maka aku memberimu dua pilihan." Sekarang Rei sudah berdiri tepat didepan pintu lemari. Hanya beberapa inci jarak wajahnya dari lubang intip.

"Pertama, aku akan mematikan lampu dan menutup semua akses keluar dari sini. Kau harus mencari jalan keluarmu sendiri dengan mencari kunci yang aku sembunyikan dan berusaha sebisa mungkin agar aku tidak memenggal kepalamu—ah, singkatnya hide and seek. Kedua, kau membiarkanku menghantam lemari ini dengan kapak. Jika kau beruntung, itu tidak akan mengenaimu. Dan kau boleh keluar dan anggap semua ini tidak pernah terjadi."

Lutut Akane sudah hampir menyerah menopang beban tubuhnya. Pilihan yang diberikan Rei sama-sama tidak menguntungkan dan sangat berbahaya. Tapi ia menimbang lagi, jika ia memilih pilihan pertama kesempatan hidupnya mungkin lebih besar. Karena ia dapat dengan mudah mengambil senjata dan membunuh Rei begitu ia bisa. Pilihan kedua? Hell, lemari itu begitu sempit. Hampir tidak ada space bagi Akane untuk berlindung—lagipula ia juga tidak tahu dari mana Rei akan menghujamkan kapaknya.

Tapi otaknya terlanjur tidak bisa berpikir. Semua yang ia alami ke belakang membuatnya benar-benar shock. Terutama memorinya tentang Yuuka.

Ia masih tidak percaya. Yuuka yang diam-diam menunjukkan kehangatannya pada Akane dan membuatnya sempat jatuh hati meskipun ia tahu Yuuka sudah memiliki seorang tunangan—adalah seorang pembunuh yang menjadi pelaku semua kekacauan ini.

"Bagaimana, Akane? Sudah memutuskan pilihan mana yang akan kau ambil?" Rei tersenyum. Dan entah kenapa senyumannya ini berbeda. Biasanya saat seseorang tersenyum, mata orang tersebut akan agak menutup dan nampak kerutan di sekitar mata. Tapi senyuman Rei saat itu berbeda... dan mengerikan. Bibirnya membentuk senyuman. Tapi matanya terbuka lebar.

Demi Tuhan, Akane tidak tahu manusia macam apa yang ia hadapi sekarang.

BRAK

Akane tersentak ke belakang saat Yuuka mendadak mendobrak pintu ruang jagal yang terkunci rapat dengan tubuhnya sendiri. Tak berhenti disitu saja, Yuuka segera menerjang Rei dan menghantam kepalanya dengan ensiklopedi. Ia bahkan memukul Rei dua kali dengan buku tebal itu dan sukses membuat Rei tumbang.

"Rei—keparat gila!" Yuuka berteriak saat ia membalik tubuh Rei dan menindihnya. Kepalan tangannya berkontak dengan pipi, hidung, rahangnya berulang kali. Tak semua pukulannya tepat sasaran. Beberapa justru meleset hingga tidak memukul Rei melainkan menghantam lantai semen dengan keras. Buku-buku jari Yuuka mulai terasa nyeri sekarang tapi ia masih belum berhenti.

Rei mengangkat pinggangnya, membuat Yuuka jatuh ke samping dan membuat Rei bebas. Ia segera berguling, mengambil kapak yang tergeletak di dekatnya. Yuuka tidak bisa membiarkan itu, jadi ia menendang kapak itu menjauh.

"Dasar pengganggu," desis Rei. Membalas serangan Yuuka yang tiba-tiba, Rei lantas mengayunkan siku dengan kekuatan penuh dan menghantam itu berhasil menghantam dada Yuuka sekeras yang ia bisa. Pukulan tajam itu membuat Yuuka tersentak dan berteriak kesakitan hingga jatuh tersungkur dengan tangan meremas pakaiannya. Tulang-tulang rusuknya terasa sakit dan ngilu sekali. 

Kesempatan kembali terbuka, dengan Yuuka yang masih tertatih-tatih dengan keadaan yang memilukan. Rei mengambil kapaknya dan memukul kepala Yuuka dengan gagang kapak. Yuuka oleng ke samping dan kakinya menginjak lantai yang licin karena genangan darah yang belum kering, ia terjatuh dengan lengan menahan beban tubuhnya. Rei memutar kapaknya, mengayunkan sisi tajam ke arah kepala Yuuka. Dengan sigap Yuuka berguling dan kapak itu menghantam lantai, meretakkannya. Jika refleksnya tidak cukup cepat, mungkin kepalanya sudah terpenggal sekarang.

Karena kapaknya menancap kuat, Rei terlalu fokus berusaha melepaskan kapaknya itu. Dan itu memberikan Yuuka kesempatan. Yuuka memaksa tubuhnya bangkit dan menyambar sebuah palu dari kotak perkakas dan melesatkan satu pukulan tepat pada bagian belakang kepala Rei. Tidak terlalu keras, karena cidera bahu membuat kekuatan ayunan tangannya berkurang. Tapi pukulan itu cukup membuat Rei kehilangan kesadaran.

Luka-luka di tubuhnya kembali terasa sakit, terutama bahunya yang masih dibalut perban. Yuuka bangkit berdiri dan berjalan mendekati Akane. Mengeluarkan gadis itu dari lemari yang sempit dan pengap, Akane tampak gemetar hebat. Saat Yuuka bertanya apakah ia baik-baik saja ia nyaris tidak dapat mendengar apa yang Akane katakan karena suaranya bergetar.

"Kita harus pergi." Yuuka berusaha menenangkan Akane yang masih shock dengan semua yang ia lihat di depan mata. Gadis itu menyambar ponsel Akane yang tergeletak begitu saja di atas meja, membersihkan noda darah yang ada di permukaannya dan kembali pada Akane. 

Yuuka berusaha menuntun Akane berjalan keluar ruang jagal yang mengerikan dan membiarkan Rei tergeletak tak sadarkan diri, melewati beberapa bingkai foto The Elites yang pecah berkeping-keping. Semua pemandangan itu membuat Yuuka mulai ketakutan. Jelas sekali seberapa besar kebencian yang Rei simpan pada The Elites sampai ia meluapkan dendam yang ia simpan pada foto-foto mereka.

Tidak hanya itu, semua bekas darah berbau busuk dan berbagai senjata tajam yang ada di ruang dajal tadi cukup memberikan peringatan keras pada Yuuka. Rei adalah orang yang sangat berbahaya—jauh lebih berbahaya daripada yang ia duga sebelumnya. Dan The Elites mungkin sudah salah mengambil langkah dalam mengatasi orang ini.

Setelah keluar dan menutup kembali jalan satu-satunya menuju basement, Yuuka tanpa mengatakan apapun merangkul Akane dan membawanya menjauh kembali menuju gedung tingkat dua. Ia masih terguncang dan tidak bisa menolak perlakuan yang Yuuka berikan kepadanya. Tapi setelah beberapa langkah ia kembali tersadar. Didorongnya tubuh Yuuka menjauh, membuat gadis itu terkejut.

"Jangan sentuh aku, Sugai!" Akane mendesis. Ia melangkah mundur, memberi jarak di antara mereka. Tetapi Yuuka dengan keras kepala terus mengikis jarak yang Akane buat. "Kau—kau... pembunuh. Karena kau semua ini terjadi, karena kesalahanmu Hirate mengalami trauma berat dan bunuh diri. Kalian mencelakai Matsuda karena takut semua akan terbongkar, kan? Sudah berapa orang yang mati karena kalian, keparat!"

"Moriya—tunggu dulu. Tenang dan dengarkan aku!"

"Kalian menyiksa Fujiyoshi yang ingin meminta bantuan pada orang lain. Kalian menuduhnya sebagai pengkhianat hanya karena ia mengkhawatirkan keselamatannya—keselamatan kalian. Apalagi yang ingin kau jelaskan? Kenapa kau mendekatiku, huh? Untuk mencuri kepercayaanku agar aku mau membelamu?"

"Akane!"

Yuuka menarik Akane mendekat, kemudian mendekapnya dengan kedua lengannya yang kokoh. Gadis itu berontak, berusaha mendorong dada Yuuka agar gadis berambut panjang itu melepaskan dekapannya namun sayangnya Yuuka justru semakin mempererat pelukannya.

Menghentikan gerakannya yang serampangan, Akane tidak bisa untuk tidak menolak pelukan Yuuka. Itu cukup menenangkannya setelah melihat semua yang ada di belakangnya, bau parfumnya yang menghangatkan hati juga hembusan napas Yuuka saat ia membenamkan wajahnya di bahu Akane. Beban pikir, perlakuan Fuyuka yang mempermalukannya, kematian Hirate, Matsuda yang sekarat, kemudian... fakta menyedihkan bahwa orang yang ia sukai adalah pembunuh—hanya dengan pelukan saja, semua itu bisa menguap entah kemana.

"Hanya—tolong, biarkan aku, Akane."

Suara lembut Yuuka pecah. Terdengar begitu kecil sampai Akane menganggap suaranya dapat menghilang terbawa angin. Akhirnya, ia membiarkan Yuuka. Melepaskan semua emosi yang mengganggunya. Mungkin ia tidak sadar bahwa Yuuka baru saja memanggilnya dengan nama kecil dan bukan menggunakan nama marga.

Dan lagi, mereka berdua mungkin tidak sadar dengan beberapa orang yang secara kebetulan melihat mereka.

"Risa, jangan." Yui menarik ujung lengan blazer Risa. Hampir saja gadis berambut pendek itu melompat dari tempatnya berdiri hanya untuk menyerang Yuuka. Risa baru saja kembali dari rumah sakit dan sedang dalam tahap pemulihan. Tidak mungkin Yui membiarkannya berkelahi lagi.

"Tapi, Yui. Si brengsek itu—"

"Aku baik-baik saja."

"Yui—!"

"Sudah kubilang, aku baik-baik saja. Bisakah kita pergi dan tidak mengganggu mereka?"

"Urgh..."

Ia mengerang kecil saat jemarinya meraba hidung dan rahang. Sisi kepalanya berdenyut hebat, membuat pandangan matanya berkunang-kunang selama beberapa detik sebelum kembali normal. Ia dapat merasakan sisi kanan kepalanya lebih berat, jadi mungkin pukulan palu tadi telah sukses membuat pembengkakan disana. Paling tidak kepalanya tidak pecah.

"Kenapa kau tidak melakukan perlawanan lebih?" Endo bertanya. Ia sedang memeras kain di mangkuk air hangat untuk mengompres kepala Rei yang membengkak.

"Memang begitu. Agar Sugai membawa Moriya keluar dan Morita dapat melakukan tugasnya. Ah—sssshh! Hati-hati di sana."

Endo membisikkan ucapan maaf dan berhenti mengompress gumpalan darah beku di kepala Rei yang semakin membiru. Memberikan jeda beberapa detik sampai Rei berhenti menggumam dan mengeluh karena nyeri sebelum kembali mengompressnya dengan kain.

"AH!"

"Oke, maaf."

Pintu didorong terbuka, mengeluarkan bunyi derit yang memekakkan selama beberapa saat. Wajar saja karena pintu itu sudah lama tidak mendapat perawatan rutin. Bahkan sekadar menetesi minyak di engselnya saja tidak. Inoue muncul dari balik pintu. Kedatangannya sepertinya sangat di antisipasi oleh Rei karena begitu Inoue masuk Rei langsung berdiri tegak mengabaikan nyeri dari bengkak di sekujur tubuh.

Endo bahkan menghela napas kasar dan melempar kainnya ke dalam baskom air hangat sebelum duduk ke tempatnya dan menyantap makan malamnya.

"Aku melakukannya." Ucap Inoue. Ia meletakkan ransel kecilnya diatas meja dengan wajah muram. Tidak terkecuali tangannya yang gemetar.

Rei mencoba melemaskan tubuh dan lehernya. Tulang lehernya mengeluarkan bunyi seperti tulang patah saat ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan keras. Pandangannya tertuju pada Inoue yang menunduk menyembunyikan wajahnya. Rei menundukkan kepalanya, menyadari terdapat percikan darah di wajahnya. Ia tersenyum simpul.

Menegakkan tubuhnya semula, Rei berjalan pelan mendekati Inoue dan menepuk-nepuk punggungnya. Posisi mereka cukup dekat bagi Rei untuk dapat berbisik di telinga Inoue. "Apa yang kau rasakan?" suara Rei di telinga Inoue nyaris seperti hembusan napas yang sengaja di tiupkan di telinga untuk memancingnya. Itu membuat napasnya tercekat di tenggorokan.

Melawan rasa takutnya, Inoue menjawab, "Gelisah... mungkin? Entahlah. Aku tidak mengerti."

Kedua alis Rei terangkat setelah mendengar jawaban Inoue. "Oh? Kenapa kau masih belum terbiasa juga, eh? Aku ragu apa kau benar-benar serius melatih dirimu sendiri." Inoue memutar lehernya, menatap ke arah lain—pada lima foto anggota The Elites. Rei berdeham, membuat perhatian Inoue kembali tertuju padanya. "begini. Ingin membalaskan dendam, katamu? Hei.. jangan lupakan tujuanmu berjalan sejauh ini. Kau ingin membiarkan Imaizumi menangis di atas sana?"

Setelah Rei mengatakan hal itu Inoue langsung merasa seperti tersambar petir. Nama itu yang selalu membuatnya tidak pernah bisa beristirahat dengan tenang. Yang membuatnya memiliki dendam kesumat pada The Elites yang menempati kasta tertinggi di Sakurazaka.

Endo beranjak dari tempat duduknya dan membuka risleting tas Inoue. Ia mengeluarkan palu dan pisau yang dibungkus dengan kain putih bernoda darah. Diletakkannya kedua senjata itu di samping tas. Rei berjalan mendekat, menunggu apa yang dikeluarkan Endo selanjutnya. Dan itu adalah kantung kresek hitam yang terlihat berbobot.

Saat diletakkan diatas meja apapun yang ada di dalam sana mengeluarkan bau anyir yang tidak nyaman—Endo dan Rei terlihat sama sekali tidak terganggu dengan bau mengerikan itu berbeda dengan Inoue wajahnya memerah karena menahan mual.

Isi kantung itu adalah seekor kucing.

Tubuhnya terpotong-potong rapi berdasarkan bagian tubuhnya. Organ dalam seperti usus, lambung, dan jantung juga masih ada disana. Rei mengangguk pelan dan menutup kembali kantung plastik itu, kemudian meminta Endo untuk memasukkannya ke dalam ruang jagal.

"Kerja bagus, Inoue. Aku suka caramu memotong bagian tubuhnya seperti memotong ayam, luar biasa. Aku bahkan tidak mau repot-repot memikirkan estetika seperti itu." Rei kembali pada Inoue yang masih berusaha menahan muntah. Ia tidak mempedulikan itu dan melanjutkan, "dengar, nak. Ada hal lain yang harus kau rampas dari Moriya selain bukti-bukti itu."

"A-Apa itu?"

"Pihak rumah sakit mengirimkan surat wasiat Hirate yang ditulis untuknya. Seperti yang kau tahu, ia mungkin menuliskan semua yang ia sembunyikan di surat itu mengingat Akane adalah satu-satunya orang yang tergerak untuk membantunya. Aku ingin kau merampasnya dan mengembalikan benda sialan itu padaku."

Mata Inoue terbelalak saat mendengar penjelasan Rei. Tangannya refleks menggenggam lengan Rei. "Hirate.. Hirate mati? Bagaimana bisa kau membiarkannya mati? Bagaimana jika Tamura tahu tentang hal ini? Ozono.. aku tidak mengerti.."

Rei terkekeh. Tidak, ia tidak tergelak atau tertawa sebagaimana orang-orang biasanya. Melainkan terkekeh-kekeh seperti orang sinting—atau mungkin psikopat gila yang menikmati rasa sakit korbannya.

"Dia tidak akan pernah tahu."

Sementara itu, dari balik pintu Hikaru menahan gerakannya untuk memutar kenop dan mendorong pintu itu terbuka. Setelah mencuri dengar apa yang diucapkan Rei ia tidak dapat menahan diri untuk menyumpahinya dengan kata-kata yang luar biasa kasar.

Berarti tidak ada lagi yang tersisa. Kenapa hatiku terasa sepi? Aku bahkan sama sekali tidak mengenal Hirate. Tapi mengetahui nyawanya direnggut secara tidak manusiawi membuatku sakit. Jika begini siapa yang sepantasnya disalahkan..?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top