Chapter 20: The Fall of Innocent Victim
"Hirate, untuk kali ini kami mohon dengan sangat. Bantu kami untuk menyelesaikan masalah ini. Ini untuk teman-temanmu, mereka membutuhkan keadilan, mereka membutuhkan kesaksianmu." Akane berkata dengan suara memelas. Di atas meja terdapat enam lembar foto dari anggota The Elites yang sama sekali tidak dilirik sedetikpun oleh Hirate meskipun Akane sudah bertanya nyaris untuk yang kelima kali dalam beberapa menit terakhir.
Berbeda dengan Akane yang masih terus berusaha, Fuyuka sudah sepenuhnya menyerah. Semua pertanyaan, permohonan serta bujukan sudah ia keluarkan. Ia tidak memiliki apapun lagi untuk memancing gadis berambut pendek itu dan memilih memperhatikan gerak-gerik Hirate. Sayangnya, gadis itu masih tidak merespon apapun. Selama kurang lebih 45 menit mereka di sana, seluruh waktunya dihabiskan oleh Fuyuka dan Akane yang berbicara tanpa henti pada seseorang yang bahkan seperti tidak menganggap mereka ada.
Menjelang detik-detik terakhir kunjungan, Akane menggelengkan kepala dengan gerakan lemah dan putus asa, menganggap usahanya kali ini sia-sia. Ia membereskan kembali lembaran-lembaran foto tersebut dan memasukkannya dalam stofmap cokelat khusus.
"Jika kau terus diam seperti itu, kami tidak akan pernah bisa membantumu." ucap Fuyuka saat ia berjalan menuju pintu.
"Lalu apa? Apa yang aku ucapkan tidak akan ada gunanya. Kalaupun aku membantu kalian, tidak akan ada yang berubah. Aku akan tetap membusuk disini, dan kalian..." Hirate mengangkat tangannya yang diborgol. Ia menggunakan ibu jarinya untuk meraba lehernya dan membuat gestur seperti leher yang dipenggal. "...kalian akan mati."
Apa maksud orang ini? Detik itu juga, Fuyuka menghentikan langkahnya dan dengan cepat membalikkan badannya untuk merangsek mendekati Hirate dan menggebrak meja di depannya. Suara keras yang tiba-tiba menggema di dalam ruangan kosong membuat jantung Akane jatuh seketika. Tak pernah ia menyangka Fuyuka berani membuat kegaduhan dan bertindak kelewat agresif di sini.
Dilihatnya gadis itu sudah menarik pakaian Hirate dengan tangan kanan mengepal kuat di udara. Fuyuka seperti akan menghajarnya habis-habisan dan Akane tidak ingin ada pertumpahan darah yang tak diinginkan. Jadi, ia segera menarik lengan Fuyuka.
"Apa maksudmu dengan itu. Kau ini... memang senang mempermainkan kami atau bagaimana? Huh?" ucapnya dengan nada ancaman. Tapi Hirate malah tersenyum kecil, senyuman itu kemudian berubah menjadi tawa keras seolah meremehkan. "Apakah kau melihat ada yang lucu dari ucapanku? Sialan!"
Hirate tidak menanggapi Fuyuka. Ia malah memusatkan perhatiannya pada Akane yang berdiri di dekat pintu. Matanya yang tajam menusuk sempat membuat dada Akane berdesir ngeri. Bayangkan saja, seseorang yang menatapmu dengan tatapan mendelik tetapi dengan senyuman lebar di bibirnya. Satu yang lewat di pikiran Akane adalah badut mengerikan yang ada di dalam film-film horor Amerika.
Pandangan Akane kemudian menurun pada tangan Hirate yang diborgol. Ia sama sekali tidak berniat untuk melihat ke arah sana. Itu terjadi secara tidak sadar, seperti sesuatu menyuruhnya untuk melihat apa yang Hirate lakukan dengan tangannya. Hirate menunjukkan telapak tangannya, kemudian melipat ibu jari dan mengepalkan tangannya dengan ibu jari berada di dalam jari-jari lain.
Ia seperti melihat gestur itu di suatu tempat. Tapi ia benar-benar lupa dari mana ia mengetahuinya dan apa arti tersembunyi dari balik gestur tersebut.
Fuyuka, tentu saja, semakin memanas. Kedua kepalan tangannya yang menggantung di sisi tubuhnya bergetar hebat, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menerjang Hirate dengan membuat beberapa memar di wajah sinting Hirate. Tapi ia tidak sempat melakukannya karena beberapa petugas sudah masuk ke dalam ruangan dan bersiap hendak mengamankan Hirate di bangsalnya. Ia hanya dapat menatap marah pada Hirate yang bahkan masih menunjukkan senyum aneh padanya.
"Sudah kubilang kita tidak perlu bertanya pada orang dengan gangguan jiwa. Ini yang kita dapatkan. Seperti berbicara dengan simpanse saja, bahkan simpanse saja mungkin lebih bersahabat." masih memperhatikan beberapa orang petugas yang berjalan menjauhi mereka hingga menghilang di persimpangan koridor, Fuyuka memprotes dengan bersungut-sungut.
"Tapi dia satu-satunya orang yang bisa kita tanyai tentang hal ini. Kau tahu sendiri ia memiliki hubungan dekat dengan korban dan juga The Elites." Akane membalas. Tidak mau kalah begitu saja oleh Fuyuka.
Mereka berjalan menuju ruang keamanan untuk mengambil barang-barang pribadi. Selama itu, Fuyuka masih tidak membalas ucapan Akane. Bahkan saat mereka sedang berada di dalam lift sekalipun. Hanya diam, tidak sekalipun mau repot-repot untuk menoleh pada Akane yang berdiri di dekatnya.
Lift mulai naik dan Fuyuka mendengus pelan. Akhirnya ia mau menjawab juga. "Apa kau meragukan Ozono? Senior yang datang menemuimu di atap gedung tingkat satu kala itu? Dia sepertinya memiliki informasi yang kita perlukan." Fuyuka menatap lurus ke arah pintu lift yang tertutup. Memperhatikan cerminan Akane dari pintu lift itu.
"Ah, benar. Senior yang itu ya." Akane menunduk, perlahan menggaruk alisnya yang mendadak gatal. "Ada yang membuat perasaanku tak nyaman setiap kali dia ada di dekatku. Maksudku, dia mencurigakan. Terlalu mencurigakan malah." Lift berdenting. Pintu bergeser terbuka dan Fuyuka melenggang keluar lebih dulu. Akane mempercepat langkahnya agar ia dapat berjalan sejajar dengan Fuyuka. "Apa kau tidak merasa aneh? Oang asing tiba-tiba datang dan menawarkan informasi rahasia yang sensitif seperti itu. Ia seharusnya sangat berhati-hati saat menyinggungnya, tapi kenapa ia dengan santai datang padaku dan mengatakan akan membantu?"
Fuyuka mendorong pintu keluar dengan siku, kemudian menahan pintu itu agar Akane dapat berjalan keluar mendahuluinya. Matanya menangkap orang lain yang berada di dekat mobil Habu yang terparkir rapi di pelataran parkir rumah sakit. Ada dua orang yang tidak ia kenal dan mereka sedang bercakap-cakap dengan Koike dan Matsuda.
Langkahnya berhenti dan ia memutar tubuhnya menghadap Akane. Ia berkata dengan suara pelan, "Untuk sekarang jangan membahas tentang keraguanmu, terutama di depan Ozono." Fuyuka melirik ke belakang, ke arah sekumpulan orang tadi. Menatap sekali lagi pada Akane seraya menempelkan jari telunjuk di depan bibir, Fuyuka meraih pergelangan tangannya dan berjalan menuju mobil.
"Sepertinya mereka sudah kembali," Matsuda berkata saat melihat kedua temannya mendekat. "Akane, Fuyuka. Kalian mungkin belum mengenal orang yang bersama senior Ozono. Endo Hikari. Senior, ini Saito Fuyuka dan Moriya Akane."
Endo melirik ke arah Fuyuka, kemudian mengangguk sopan. Lalu pada Akane... ia tersenyum kecil padanya. Akane yang diberikan senyum tanpa arti itu tiba-tiba tersentak kaget sekaligus bingung setengah mati. Aku benar-benar pernah bertemu dengan orang-orang ini, tapi kapan dan di mana? Akane mencoba memaksakan senyum pada kedua seniornya, meskipun pikirannya masih mengais memori tentang kapan dirinya dan Endo bertemu.
"Karena kita semua sudah berkumpul, bisakah kita segera melakukan sesuatu?" Ozono berkata, ia mengacungkan tangannya pada Endo. Nampaknya itu adalah sebuah kode yang membuat gadis itu membuka tas ransel hitam yang tersampir pada bahu, mengeluarkan sebuah map hitam dan memberikannya pada Ozono. "Semua yang kau cari ada di dalam sini."
Koike menepuk bahu Akane. Membuatnya sadar dari lamunannya. Terkesiap, Akane tak membuang waktu dan segera membuka pintu mobil untuk mengambil benda yang dimaksud. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan wajah muram. "Aku... tidak membawa berkasnya. Maafkan aku, mungkin aku harus mengambilnya atau lain kali kita bertemu lagi?"
"Apa?" Koike menyela, tidak percaya atas respon temannya itu.
"Yang benar saja, kita sudah jauh-jauh kemari dan bisa-bisanya kau melupakan hal penting itu. Bagaimana bisa!" Fuyuka berkata. Wajahnya jelas menunjukkan kemarahan.
Habu mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sementara Matsuda mengacak rambutnya dengan kasar. Merasa tidak enak, Akane lantas membungkukkan tubuh pada Ozono, berusaha meminta maaf atas kecerobohannya itu. Helaan napas keluar dari mulut Ozono. Alih-alih memasang raut wajah kecewa karena tidak mendapatkan hal yang ia butuhkan, ia justru tersenyum ramah dan mengembalikan map miliknya pada Endo agar dikembalikan ke tempatnya semula.
Ia sama sekali tidak marah. Toh, sebenarnya ia tidak terlalu memerlukan informasi dari Akane dan kawan-kawannya karena ia sudah mengetahui semuanya. Jadi ia hanya mengangguk santai dan memainkan perannya sebagai senior yang baik dan dapat dipercaya.
"Tidak masalah. Lupa itu sikap yang manusiawi. Kita bisa bertemu lain kali." Ozono berkata. Ia kemudian melihat jam tangannya, wajah antusiasnya muncul. "Yah, karena kita sudah jauh kemari, mengapa kita tidak pergi bersama saja? Kami memiliki tempat makan langganan yang sangat enak, bagaimana kalau kita mampir?"
Meskipun sempat menolak beberapa kali, akhirnya Akane dan teman-temannya menyanggupi. Ozono mengacungkan jempolnya dan dengan bersemangat ia berlari ke tempat motornya terparkir. Ia memimpin perjalanan bersama Endo sementara mobil Habu mengikuti beberapa meter di belakangnya.
Di dalam mobil, Fuyuka tidak henti-hentinya mengomel. Banyak sekali yang ia cela dari peristiwa yang mereka hadapi hari ini. Mulai dari kecerobohan Akane, tentang betapa sia-sianya mereka melakukan perjalanan, hingga kekesalannya pada Hirate Yurina dan penyesalan karena ia tidak memukul kepala gadis itu dan memberinya pelajaranyang pantas—paling tidak satu kali saja. Koike yang jengah sampai harus menutup telinganya dengan earphone agar tidak ikut mengomel.
Akane yang sedari tadi diam membiarkan Fuyuka mengoceh lama-lama panas juga telinganya. Ia mematikan layar ponselnya dan menyergah dengan cepat, "Sudah kubilang aku benar-benar lupa. Semalam aku meletakkan papan itu di balik lemari dan aku juga belum merangkum semuanya dalam satu lembar laporan."
"Apa kau mengatakan alasan itu karena kau diam-diam sedang melindungi The Elites? Kau dekat dengan Sugai Yuuka, bukan? Selama ini kau pasti menyembunyikan sesuatu dari kami semua. Katakan yang sebenarnya, apa benar kau sedang melindungi The Elites dan memanfaatkan kami?"
Baik, cukup sudah. Fuyuka sudah melampaui batas. Koike memutar bola matanya dengan malas. Ia menarik earphone yang menyumbat kedua lubang telinganya dan membalik badan agar ia dapat berhadapan langsung dengan Fuyuka yang duduk di bangku tengah, "Bisakah kau menghentikan semua tuduhanmu pada Akane? Biar kuberitahu, omelanmu ini tidak akan menyelesaikan masalah apapun. Akane kali ini ceroboh dan itu wajar mengingat betapa keras ia berjuang merangkai semua informasi menjadi satu."
"Minami, kau tahu kita dikejar oleh waktu. Cepat atau lambat The Elites akan tahu jika kita mencurigai mereka dan diam-diam menyelidiki mereka seperti ini. Apalagi—" Fuyuka melirik Akane. "—dia memiliki hubungan dekat dengan para Elites."
Habu meletakkan tangannya di atas lengan Koike, membuat gadisnya yang hendak menyambar ucapan Fuyuka seketika berhenti dan menghembuskan napas kasar saat ia kembali menghadap ke jalan raya di depan sana. Perjalanan singkat itu diisi oleh omelan, dan akhirnya keheningan. Setelah Koike menyentak tadi, tidak ada yang membuka obrolan. Pun dengan Akane, ia lebih memilih merangkai puzzle-puzzle acak di kepalanya. Tanpa disadari, mobil berhenti di depan sebuah tempat yang agak sepi.
Rei memarkirkan motornya di tempat parkir tepat di depan kedai sementara Habu sedikit terkejut karena tempar parkirnya mungkin tak akan cukup jika ia memarkirkan mobilnya di sana. Truk logistik mengambil spot yang cukup banyak sehingga Habu terpaksa harus parkir di pinggir jalan dan berharap tidak ada polisi yang berpatroli di sekitar sana. Barulah beberapa saat setelah Habu memastikan mobilnya tidak terlalu mengambil bahu jalan, mereka dapat keluar.
"Tempat ini memang agak sepi, tapi percayalah, makanan yang mereka sajikan sangat enak dengan harga yang bersahabat. Dan aku beryukur dapat menemukan tempat seperti ini, Hikari-lah yang pertama kali menemukannya saat ia sedang jalan-jalan malam." Rei menjelaskan. Memahami mengapa juniornya tampak ragu dengan tempat yang mereka datangi.
Memang restoran itu tidak dapat disebut restoran. Tidak ada papan nama atau tulisan lain yang dapat menjadi identitas tempat tersebut. Bahkan tempat itu agak jauh dari keramaian, terpencil di antara toko barang antik dan minimarket yang sudah ditutup. Akane mendapati hanya beberapa kendaraan yang terparkir disitu. Entah milik pelanggan restoran atau toko kelontong.
Di dalam pun sama. Dengan ruangan yang diterangi oleh lampu kuning dan nuansa yang monoton, tempat itu mungkin lebih baik disebut sebagai kedai minum. Rei terlihat seperti sudah akrab dengan pemilik kedai. Begitu gadis itu masuk, ia langsung menyapa seseorang di balik dapur. Seorang wanita berusia 40 tahunan keluar dan menyambut rombongan mereka—Akane menduga ia adalah si pemilik.
Wanita itu memakai penutup kepala seperti tukang masak ramen yang biasa ia lihat di kedai-kedai streetfood pinggir jalan dan membawa spatula kayu yang masih beruap panas. Sepertinya ia sedang sibuk memasak sesuatu dari dalam dapur ketika Rei tiba-tiba masuk dan memanggilnya. Ia mempersilakan Rei mengatur meja yang ada di dalam kedai agar muat ditempati oleh lebih banyak orang sementara ia akan mengambilkan beberapa daftar menu ke meja mereka nanti.
Saat mereka sibuk memilih makanan dari daftar menu, Matsuda berdiri dari tempat duduknya dan tampak kebingungan. Ia meraba saku celana dan kemejanya, meja juga tidak luput dari sorot matanya.
"Kelihatannya ponselku tertinggal di dalam mobil."
Habu merogoh kunci mobilnya dan memberikannya pada Matsuda. "Tolong ambilkan dompetku juga, ya?" ucapnya. Matsuda mengangguk dan segera keluar kedai untuk mengambil barang yang dimaksud.
"Senior, sungguh kami benar-benar minta maaf karena kecerobohan Akane." Fuyuka berkata.
Ozono yang sedang menyesap minumannya buru-buru menelan cairan itu. Ia meletakkan gelasnya diatas meja, sedikit membuat suara dentuman kecil. "Tidak masalah, sungguh. Aku malah senang karena kita bisa mampir kemari, benar? Hikari?"
"Ya, tentu saja." menjawab dari kejauhan. Ia sedang membantu ibu pemilik kedai membawakan makanan ke meja mereka dengan baki. Melihat dua orang itu cukup sibuk berjalan bolak-balik, Akane berinisiatif berdiri dan ikut membantu. Endo menatapnya sekilas dan mengangguk, membiarkan Akane mengambil alih tugasnya sementara ia sendiri mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam kulkas. Endo meletakkannya di atas meja dengan rapi dan ia kembali ke dapur untuk membantu lagi.
Kedai yang biasanya sepi itu sekarang menjadi ramai. Riuh oleh suara denting gelas dan sendok yang beradu. Juga suara obrolan singkat yang dilontarkan oleh satu atau dua orang. Kendati makanan sudah tertata di atas meja dan siap untuk disantap, mereka tidak serta merta langsung menyentuh makanan itu. Karena satu orang lagi tidak kunjung kembali dari mobil. Padahal tempat di mana mobil Habu terparkir bisa dibilang tidak terlalu jauh dari kedai sehingga tidak wajar ia membutuhkan waktu lebih dari lima menit untuk kembali.
Koike bangkit, membuat orang-orang yang ada dimeja memusatkan atensi padanya. "Aku akan menjemputnya. Kalian makan saja dulu."
Namun, baru saja Koike akan mengangkat kaki, suara yang sangat keras tiba-tiba terdengar dari luar kedai. Hampir mirip dengan suara benda atau sesuatu yang saling bertabrakan. Sepersekon kemudian suara raungan sepeda motor menjauh dari tempat mereka. Sontak saja mereka kalang kabut mencari tahu apa yang baru saja terjadi. Koike berlari keluar disusul oleh Akane yang nyaris tersandung oleh keramik lantai yang mencuat.
Jantungnya seakan berhenti berdetak. Aliran darah di tubuhnya kompak berhenti. Begitupun dengan mulutnya, sekeras apapun usahanya untuk berbicara tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya yang terbuka.
"Panggil ambulans! Sialan, orang itu mungkin belum jauh." Ozono berlari, mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya. "Hikari, panggil ambulans, polisi, atau apa saja. Aku akan mengejar orang itu." Tanpa memakai helm, Ozono segera menggeber motornya dengan kecepatan tinggi, keluar dari gang dan mengikuti arah ke mana motor itu pergi.
Matsuda tergeletak di atas aspal. Kubangan darah menggenang, membasahi jalan dan mengalir ke sembarang arah. Darah mengucur keluar dari kepala Matsuda, tangannya terlipat dengan posisi yang menyakitkan, dan kakinya yang... tidak bisa dijelaskan. Akane bersumpah melihat sesuatu berwarna putih di sana, entahlah mungkin tulang? Tidak ada satupun dari mereka yang berani menyentuh tubuhnya ataupun membawanya ke pinggir jalan. Takut jika sesuatu yang lebih buruk terjadi, salah sedikit saja bisa fatal.
Napas Fuyuka bergetar saat melihat temannya tergeletak dengan tubuh berlumur darah. Dan yang paling membuat hatinya remuk adalah, ia tidak tahu dan tidak dapat memastikan apakah Matsuda masih bernapas atau tidak. Habu bolak-balik mengintip, ia takut jika harus melihat secara langsung. Koike? Dia sedang membeku di samping Akane, sepertinya otaknya tidak mampu mencerna apa yang sudah terjadi.
"Ambulans akan segera datang. Jangan khawatir," Endo berusaha menenangkan Fuyuka. Ia menoleh, ke arah Matsuda tergeletak. Dengan hati-hati ia mendekati Matsuda dan berjongkok disampingnya. Ia menekan pergelangan kiri Matsuda, berusaha mengecek apakah nadinya masih berdenyut. "untuk sekarang ia masih hidup. Ini tergantung seberapa cepat tim medis datang ke sini dan membawanya ke rumah sakit.
Dari kejauhan terdengar suara sirine yang perlahan mendekat. Selain ambulans juga ada mobil polisi yang berhenti di sana. Beberapa petugas medis dengan hati-hati mengangkat Matsuda ke tandu dan membawanya ke dalam ambulans, Fuyuka menawarkan diri untuk ikut masuk dan mengantar Matsuda ke rumah sakit. Beruntung, petugas medis mengizinkan sehingga mereka bisa meninggalkan TKP dengan cepat.
Polisi tentu saja segera menertibkan tempat itu karena mulai banyak orang yang berkumpul karena penasaran apa yang terjadi. Dalam beberapa menit garis polisi sudah terbentang dan siapapun yang tidak berkepentingan dilarang keras melewatinya. Karena ini adalah kasus tabrak lari, polisi perlu membersihkan tempat kejadian dari orang-orang yang berpotensi merusak barang bukti yang ditinggalkan si penabrak.
Semua orang yang masih tinggal di sana dan tidak ikut menemani Matsuda ke rumah sakit terpaksa harus masuk kembali ke dalam kedai dengan wajah muram. Makanan yang terhidang di atas meja sudah tak lagi menggugah nafsu makan mereka, teringat oleh darah yang berceceran di jalan raya cukup membuat mereka mual.
Saat Habu tengah menuangkan minuman bersoda dari botol ke dalam gelas kecil, seorang petugas polisi masuk ke dalam kedai dan berjalan mendekati tempat duduk mereka. Di tangannya terdapat sebuah notebook dan pulpen. "Apa kalian rekan korban?" tanyanya, mencoba memastikan. Habu mengangguk lemah dan menggeser gelas yang setengah penuh menjauh dari pandangan. Polisi itu menggumam, memasukkan buku catatannya ke dalam kantung. "Kami membutuhkan beberapa keterangan untuk penyelidikan lebih lanjut."
Sementara itu, beberapa meter jauhnya dari tempat kejadian perkara atau lebih tepatnya lokasi pertemuan Ozono Rei dengan Kobayashi Yui tempo hari, seorang gadis memarkirkan motornya di dalam sebuah bangunan kayu tua. Bangunan itu berada jauh di dalam padang rumput yang menguning. Mungkin bekas peternakan sapi atau kuda karena di dalamnya terdapat beberapa tumpuk jerami yang membusuk.
Motor lain masuk ke dalam gudang dan berhenti tepat di samping gadis itu. Ozono Rei mematikan mesin motor dan membuka kaca smoke helmnya. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman. "Cepat juga motormu." ia menyanjung. Gadis di sampingnya terkekeh pelan. "Aku mengubah rencana."
"Kenapa begitu?"
"Beberapa hari lalu aku menempelkan penyadap suara pada Moriya. Rupanya ia memiliki hubungan dekat dengan Sugai Yuuka. Aku tidak tahu sudah sejauh apa mereka berhubungan tapi kelihatannya dengan hubungannya itu ia tidak akan percaya begitu saja dengan informasi yang kita berikan."
"Maksudmu Sugai Yuuka berselingkuh?" gadis lain menyahut dengan nada tidak percaya.
Ozono mengangkat bahu, tidak tahu jawaban pasti atas pertanyaan itu. "Sugai Yuuka paling tidak pernah singgah sekali di kediaman Moriya. Aku tidak peduli apa yang mereka lakukan tapi bukan tidak mungkin Sugai mengetahui apa yang Moriya lakukan selama ini dan akan memberitahu rekannya yang lain."
"Oke, jadi?"
"Jangan sampai The Elites tahu kita yang ada di balik mereka selama ini. Aku melewatkan yang satu ini, rencana kita jadi lebih melebar sekarang. Sial." Ozono melanjutkan. "Oh, ini membuatku sangat bersemangat." Gadis berambut panjang itu mengangguk-angguk pelan sembari tersenyum tipis penuh arti.
Mendengar penjelasan Ozono, gadis yang masih memakai helm itu menggumam pelan. "Kalau begitu, apa yang kau ingin aku lakukan?"
"Aku ingin kau memata-matai Moriya. Jika sewaktu-waktu Sugai datang kepadanya, potret mereka dan kirimkan foto yang kau dapatkan itu pada Marino. Pakai strategi yang sama dengan waktu kita menjebak Fujiyoshi." Ozono menanggapi. "Baru setelah itu kita akan mengurus nomor 3."
Desahan pelan keluar dari mulutnya. Seperti tidak puas dengan apa yang dikatakan Ozono pada dirinya. "Sejak kapan tugasku berubah menjadi paparazzi, huh? Kupikir aku sudah cukup bagus menjadi eksekutor."
"Baru membunuh satu orang saja sudah besar ya bicaramu. Kau itu masih di bawah umur, Morita. Kau masih SMP."
Hikaru memutar bola matanya dengan malas. Ia tidak suka dipanggil anak SMP, tubuhnya memang kecil tapi nyalinya jelas lebih besar. "Omong-omong, Senior. Bolehkah aku ikut mengeksekusi nomor 3?"
"Sudah kubilang—" Ozono menaikkan nada bicaranya. Tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya itu. Melihat sesuatu yang aneh dari wajah Hikaru, membuat sebuah ide brilian muncul di kepalanya. "Baiklah, oke. Lakukan saja apa yang kau mau. Tapi, jika ada hal yang membuatku tidak nyaman... aku tidak akan ragu menguburmu di tempat itu."
Gadis pendek itu mengangguk, memberikan konfirmasi dan persetujuan atas resiko yang akan ia terima jika sewaktu-waktu ia gagal menjalankan tugas. Sebelum berpamitan dan berpisah jalan, Ozono memberinya sebuah botol alkohol dan selembar hitam pada Hikaru. "Bersihkan bekas darah itu. Jangan sampai ada yang tersisa di motormu saat kita berkumpul untuk rapat strategi malam ini."
Dengan itu Ozono menyalakan mesin motor dan berbelok keluar area peternakan, meninggalkan debu dan jejak ban motor yang tercetak jelas di atas tanah berpasir. Hikaru menajamkan matanya, melihat Ozono menjauh. Helaan napas keluar dari bibirnya. Dengan hati-hati ia mengembalikan P320 miliknya ke dalam holster dan mulai membersihkan motornya dari noda darah.
Tidak. Tidak hari ini.
Berita kecelakaan Matsuda Rina dengan cepat menyebar di seluruh akademi. Wajar, sebab postingan dari blog official yang menyebabkan berita itu terangkat dengan begitu cepat. Hari itu kelas Akane sedang dalam keadaan berduka. Terutama Fuyuka. Ia datang dengan wajah seperti tidak tidur selama satu minggu. Matanya bengkak. Pastilah ia menghabiskan semalam penuh untuk menangisi sahabatnya yang sedang berada di rumah sakit sekarang ini.
Ia dan senior Endo Hikari yang mengantarkan Matsuda ke rumah sakit. Fuyuka sendiri yang melihat bagaimana Matsuda berjuang melawan kematiannya sendiri. Fuyuka yang setia menemani Matsuda di rumah sakit meskipun ia hanya diizinkan menunggu di luar ruang operasi. Jika saja Endo tidak ada di sana, mungkin ia akan berteriak-teriak keras dan terus menyalahkan dirinya sendiri.
Operasi Matsuda berjalan dengan baik, setidaknya itu yang dikatakan oleh dokter. Karena pendarahan dan terlambat mendapatkan penanganan, ia terpaksa kehilangan satu dari sepuluh jarinya. Benturan hebat di kepalanya juga menyebabkan Matsuda mengalami koma. Matsuda kehilangan terlalu banyak darah saat perjalanan ke rumah sakit dan adalah sebuah keajaiban ia masih bisa bertahan selama itu. Orang biasa mungkin akan meninggal langsung di tempat, entah karena shock atau bagaimana.
Saat pengajar meninggalkan kelas, Fuyuka yang biasanya paling bersemangat untuk mengajak teman-temannya ke cafetaria sekarang hanya duduk termenung di bangkunya. Menatap muram pada bangku kosong milik Matsuda di belakangnya. Koike berkali-kali berusaha membuatnya berbicara tapi Fuyuka hanya merespon dengan gestur fisik. Sementara Akane? Fuyuka bahkan tidak mau memandangnya walau sedetik.
"Kalau saja Akane tidak melupakan dokumen itu, kita tidak perlu pergi bersama senior Ozono dan Matsuda akan tetap bersama kita sekarang. Dan yang paling penting, jika kita tidak bodoh dan mengorek informasi sedalam ini terutama jika itu menyangkut The Elites... Matsuda tidak akan menjadi korban."
Akane dapat mendengar kalimat Fuyuka yang ditujukan padanya meskipun itu diucapkan dalam suara yang tidak terlalu keras.
Koike mendesah pelan. "Itu berarti kau menduga bahwa The Elites yang menyebabkan kecelakaan itu?"
"Sudah jelas, bukan? Mereka pasti tahu apa yang kita lakukan dan berusaha untuk membungkam kita agar rahasia mereka tidak terbongkar." Tangan Fuyuka mengepal kuat. "Seandainya Akane tidak ceroboh, seandainya Akane tidak membiarkan Yuuka bersamanya, seandainya Akane tidak membawa kita dalam masalah ini..."
Akane menggigit bibirnya. Apa yang dikatakan Fuyuka itu benar. Mungkin jika ia tidak termakan oleh rasa penasarannya semua ini tidak akan terjadi. Tapi sesuatu membuatnya tidak dapat menerima mentah-mentah pernyataan temannya itu.
"Tidak ada bukti yang menunjukkan jika The Elites adalah orang yang membuat Matsuda celaka. Mereka sedang memiliki masalah mereka sendiri sekarang dan kau tidak bisa menuduh mereka sembarangan!" Akane membalas, dengan suara agak keras dan membuat siswi-siswi lain yang berada di kelas menatap aneh padanya.
"Ah, begitu ya? Akane, kenapa kau sangat melindungi mereka?"
Jawaban Fuyuka membuat Akane kebingungan. Ia sadar, kalimatnya barusan keluar begitu saja tanpa ia pikirkan terlebih dahulu. Dan sekarang Fuyuka sedang membalik ucapannya dan berusaha memojokkannya. Saat Akane kehilangan kata-kata, mencuri pandang ke seisi kelas dan menemukan beberapa siswi memandangnya dengan pandangan terkejut hingga saling berbisik satu sama lain.
The Elites membuat Matsuda Rina sekarat.
Saat Akane menatap Koike untuk secara tidak langsung meminta bantuan, gadis itu langsung memutus kontak mata secara sepihak. Merasa kalah, Akane menggeram pelan. Ia tidak marah, ia hanya kecewa. "Aku sama sekali tidak melindungi mereka. Aku hanya ingin meluruskan ini, kau tidak boleh menuduh mereka sembarangan."
"Semua ini juga berawal dari tuduhanmu pada mereka, Akane. Apa aku tidak boleh menuduhmu juga?"
"Yui, tolong. Mengertilah, aku tidak mau membahas hal ini sekarang." Yuuka berusaha melepaskan cengkeraman tangan Yui pada pergelangan tangannya—fakta bahwa cengkeraman itu perlahan-lahan mulai menyakitinya membuat Yuuka semakin pasrah dan terpaksa mengikuti langkah kekasihnya agar ia tidak terseret begitu saja.
Siang itu Yuuka sedang mengambil jalannya menuju lobi utama agar ia dapat menuju gedung tingkat satu untuk menemui seorang junior. Sayangnya, itu batal ia lakukan karena Yui tiba-tiba muncul dari belokan koridor dan berlari mendekatinya. Yui, tanpa mengucapkan apapun menyambar dan menarik pergelangan tangan Yuuka, bahkan menyeretnya masuk ke dalam kantor Dewan Pelajar.
Terkejut dengan perilaku kasar dari seorang Kobayashi Yui, Yuuka memilih untuk tidak mengatakan apapun. Ia tidak pernah melihat Yui berlaku kasar sebelumnya sehingga ia bertanya-tanya kesalahan macam apa yang sudah ia lakukan sehingga Yui sampai menyeretnya seperti itu.
"Aku bertanya-tanya kenapa kau selalu menyembunyikan semuanya dariku," Yui berkata saat ia selesai mengunci pintu di belakangnya. Yuuka tidak dapat menyembunyikan ekspresi terkejut saat Yui mengunci mereka berdua di ruangan itu. "aku sedang tidak ingin melakukan itu, tenang saja. Tapi..."
Yui tanpa aba-aba mecengkeram kuat bahu Yuuka dan membuatnya menggeram, refleks mendorong Yui menjauh darinya. Sudut mata Yuuka berair, sebagai dampak dari rasa ngilu yang ia rasakan dari bahunya. Bekas siksaan ayahnya waktu itu masih terasa menyakitkan tiap kali ia menggerakkan bahunya, sementara Yui dengan tidak berdosa malah meremasnya.
"Kau tidak pernah berbicara padaku tentang ini. Ayahmu menyiksamu, dan kau hanya menyimpan semua itu sendiri. Menurutmu aku ini siapa? Kita ini sebenarnya apa?"
Ia tidak henti menghujani Yuuka dengan pertanyaan, Yuuka sampai tidak mengerti bagaimana ia harus menjawab. "Aku berjanji pada diriku sendiri agar aku selalu melindungimu, Yuuka. Tapi kau sama sekali tidak menghiraukan hal itu. Aku peduli denganmu, Yuuka! Kenapa... kenapa kau tidak pernah memahami itu!"
Hati Yuuka mencelus manakala ia mendapati air mata menggenang di mata gadis yang berdiri di depannya. Yui menyadari air mata yang meleleh begitu saja sehingga ia buru-buru mengusapnya dengan punggung tangan.
"Kau tidak memberitahuku ke mana kau pergi malam itu. Rupanya kau menginap di apartemen Moriya. Aku tidak peduli apa yang kalian lakukan dan sejauh mana hubungan kalian, tapi aku hanya ingin kau menghargai aku. Sekali saja, itu tidak akan menyakiti siapapun." Yui melanjutkan. "Kau harus tahu aku mencarimu sepanjang pagi hanya untuk menemukanmu datang bersama dengan orang lain."
Bibir Yuuka seperti kaku. Ia ingin menjawab tapi pita suaranya seolah menolak memberinya kesempatan untuk angkat bicara, memberikan kata-kata yang dapat memecahkan keheningan mencekik diantara mereka berdua.
Melihat sahabatnya hampir menangis seperti itu ia menjadi tidak sanggup berkata-kata lagi.
"Yui... dengarkan aku. Tolong." sejak kapan mengucapkan beberapa patah kata menjadi sesulit ini? Setidaknya itulah yang ada di kepala Yuuka. Ia ingin mengatakan apa yang ada di pikirannya, tetapi sekali lagi, ia tidak sampai hati mengatakan hal itu meskipun sebenarnya ia bisa. "Maaf. Aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir. Sungguh, aku tidak melakukan apapun. Kau tahu sendiri jika aku bukan orang yang seperti itu."
Yui tidak melihat ke arah Yuuka. Melainkan melihat sesuatu di belakang Yuuka. Ia tidak melakukan kontak mata, dan itu berarti Yui sudah tidak berniat menanggapi Yuuka lebih serius lagi. Dan itu tentu membuat Yuuka semakin kacau. Selama ini yang ia lakukan hanya diam, merasa tidak perlu memberitahu Yui masalahnya. Karena ia tahu ia sudah sangat menderita dengan masalahnya sendiri.
Mungkin Yuuka sudah terlalu sering merasa kecewa, merasa sakit hati sampai-sampai ia meragukan kepedulian Yui kepadanya. Ia menganggap kepedulian itu sebagai rasa belas kasihan padanya atau bisa jadi hanya topeng dari hubungan palsu mereka. Ia menganggap perasaan Yui kepadanya hanya angin lalu, kepalsuan, keterpaksaan atau apalah itu.
Ya, mungkin Yuuka sudah kelewat apatis.
"Benar," suara Yuuka retak saat ia mulai berbicara. "tiap kali aku disebut gagal sebagai pemimpin atau masalah yang ada di sekolah, ayah selalu menyiksaku. Tidak, sejak ibu meninggal ia selalu melakukan itu. Saat pekerjaannya tidak berjalan baik ia akan pulang dengan sangat marah dan ia akan melampiaskan semuanya padaku."
Yuuka menanggalkan blazer dan meletakkannya di atas meja. Ia juga membuka beberapa kancing atas kemejanya untuk menunjukkan memar di bahu kanannya. Setelah beberapa saat ia kembali memakai dan merapikan kemeja. Yui agak tersentak saat Yuuka menunjukkan luka-luka lain di kakinya.
Saat kau terluka kemarin juga dia menyiksaku. Semuanya selalu berhubungan denganmu.
"Aku datang ke apartemen Moriya karena takut dia akan menyiksaku lagi karena peristiwa Karin dan Risa. Sebelumnya aku singgah di rumah Hono, saat itulah kau menghubungiku. Moriya.. aku tidak memiliki hubungan khusus dengannya. Aku juga tidak tahu kenapa kami bisa menjadi dekat."
Saat bersama Moriya entah kenapa aku dapat merasakan kenyamanan yang sangat aku rindukan. Aku tidak bisa berbohong dengan perasaanku sendiri.
Gadis dengan rambut lebih pendek menggumam pelan. Mengambil blazer Yuuka diatas meja, ia berkata, "Aku.. maaf. Seharusnya aku tahu hal itu. Apa yang dilakukan ayahmu kepadamu, seharusnya aku tahu lebih awal."
"Itu bukan kesalahanmu. Aku yang terlalu menutup diri. Seharusnya aku tahu kau akan selalu ada untukku,benar begitu?" Ia mendengarkan penjelasan Yuuka dengan seksama. Selama itu juga perasaan tidak nyaman menggerayangi dirinya. Ia berusaha menepis perasaan itu dan juga tidak mempedulikan kepalanya yang mendadak mulai berdenyut. "Itu tidak akan terjadi lagi, Yui. Aku tahu kau mencintaiku dan percaya dengan apa yang aku ucapkan. Aku tidak akan menyalahi ucapanku lagi."
"Berjanji padaku hal itu tidak akan terjadi lagi? Katakan padaku jika ada hal yang mengganggumu?"
Yuuka mengangguk singkat. Tangan kanannya perlahan-lahan terangkat, dengan penuh afeksi Yuuka mengusap lembut sisi wajah Yui dan memainkan anak rambutnya. "Ya, aku janji."
Yui berbalik dan membuka kunci pintu, menggandeng tangan Yuuka—kali ini lebih lembut dari sebelumnya—kemudian menuntunnya keluar. Ia tidak mengatakan apapun setelah itu. Karena Yui sendiri lebih fokus berperang dengan dirinya sendiri, sementara tangannya yang lain diam-diam mengusap darah yang mengalir keluar dari hidungnya.
Lihat dirimu sendiri. Sekuat apapun kau berusaha, kau tidak akan pernah bisa lupa tentang hal itu. Fasilitas rehabilitasi tidak akan bisa menghapus presensi diriku dari dalam dirimu. Tidak akan bisa. Karena jika itu terjadi, kau, juga akan kehilangan dirimu sendiri.
Apa? Memori apa? Apa yang sudah aku lupakan?
Dengan ekstra berhati-hati Seki mencungkil penutup kaca casing komputernya kemudian mengeluarkan komponen-komponen hangus dari dalam benda kotak besar itu. Beberapa bagian perlu diberikan perlakuan ekstra karena begitu jari Seki menyentuh permukaannya, komponen tersebut patah dan melebur menjadi abu. Ia tidak tahu bahwa kerusakan perangkat CPU miliknya benar-benar parah.
Ia beruntung benda itu tidak sampai meledak dan menghanguskan rumahnya.
Seki baru saja kembali dari toko komputer, bersama Hono, tentu saja. Membeli casing dan perangkat baru yang lebih mumpuni dari sebelumnya. Hono sekarang masih ada di bawah, di dalam garasi lebih tepatnya, untuk mengeluarkan belanjaan mereka dan membawanya ke kamar Seki sehingga gadis itu bolak-balik dari lantai satu ke lantai dua dengan membawa seperangkat alat elektronik.
Menggunakan sarung tangan Seki mengeluarkan semua komponen seperti kipas, power supply, kartu grafis, RAM dan sebagainya. Saat ia akan mengeluarkan kipas ia menyadari hal yang menurutnya janggal. Kejanggalan itu terdapat pada bagian kabel yang tersambung keluar casing. Kabel itu terputus dengan perpotongan yang sangat rapi seperti ada orang lain yang mengguntingnya.
Jadi selama itu kipasnya mati? Pantas komponen-komponennya menjadi sangat panas. Seki mengeluarkan kipas itu dari casing dan mengamati kabelnya sekali lagi. Dilihat dari bagian manapun memang benar ini ulang seseorang yang ingin menyabotase komputernya. Tapi siapa?
Seki meletakkan kipas pendinginnya di atas meja. Kali ini ia menyalakan senter dari smartphonenya untuk mengamati isi casing, jikalau ia menemukan sesuatu yang aneh. Saat ia mengeluarkan semua komponen dan menjejerkannya di atas lantai, Seki menyadari ada sesuatu yang hilang. Kepingan SSD miliknya tidak ada. Kedua alisnya bertaut, dilihatnya casingnya sekali lagi-tidak ada yang tersisa di sana.
Storage devicenya benar-benar hilang. Hasil pekerjaan terakhir, script, tugas sekolah dan semua program yang ia buat lenyap begitu saja bersama dengan kepingan kecil yang sangat berharga miliknya. "Benar-benar sial." rutuknya. Seki memukul permukaan meja dengan kesal dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar untuk mengingat kembali siapa saja yang pernah memakai komputernya ataupun yang bersamanya dalam beberapa hari terakhir.
Sejauh yang ia ingat hanya Karin, Hono, dan teman-temannya yang lain. Tidak ada orang lain selain mereka yang masuk dan menyentuh komputernya—bahkan pelayan dan orang tuanya sendiri sehingga tak ada lagi yang bisa ia curigai. Sekelebat saja ia mengira ada perampok yang menyusup masuk saat ia tidak ada di rumah. Namun, mengingat seberapa ketat penjagaan di sekitar lingkungan rumahnya, asumsi tersebut lenyap begitu saja.
Kecuali?
"Kenapa? Apa yang kau cari di antara barang hangus itu?" suara Hono membuat jantung Seki lepas dari tempatnya. Hono meletakkan case barunya di lantai dan berjalan untuk mengambil case berjelaga hitam di atas meja komputer. Tanpa menunggu jawaban Seki ia bergegas membawanya keluar.
Sementara Seki berdiri dengan pikiran berkecamuk. Melihat kembali ke hari itu, hari dimana ia menemukan nomor yang diduga milik Karin. Ia sempat meninggalkan kamarnya untuk mengambil pesanan makanan di gerbang. Dan satu-satunya orang yang ada di dalam kamarnya adalah kekasihnya sendiri—Tamura Hono.
"Tidak mungkin..." Seki mengasak surai hitamnya dengan kasar. Berusaha menepis dugaan-dugaan yang muncul dari otaknya. Tapi bagaimanapun ia berusaha untuk tidak berburuk sangka, hati kecilnya malah semakin kuat memberikan pengaruh padanya.
BUG
Seki berbalik dan menemukan Hono kembali dengan membawa paperbag. Gadis itu mendekatinya sembari tersenyum lebar. Ia mengira isi paperbag itu adalah suku cadang atau makanan sebelum bulu-bulu berwarna oranye menyembul keluar dari paperbag. "Lihat, aku menemukan anak ini di toko. Aku hampir menggilasnya dengan mobil. Kelihatannya ia sendirian jadi aku membawanya. Mungkin saja Risa mau mengadopsi anak kucing ini." Hono berkata sambil mengelus lembut kepala anak kucing itu.
Tidak mungkin Hono adalah pengkhianat. Berhentilah berpikiran negatif.
"Yumiko? Kenapa? Kau tidak suka kucing, ya?" Seki menundukkan kepalanya, menatap balik Hono yang tampak merasa bersalah. "Maafkan aku, tapi aku tidak bisa membiarkan dia sendirian tanpa induk. Dunia di luar sana terlalu kejam dan ia masih terlalu kecil."
Tidak, bukan begitu! Seki sama sekali tidak memiliki masalah dengan kucing. Ia justru sangat menyukai mereka karena mereka lucu dan manis. Hanya saja... isi kepalanya mendadak diaduk-aduk dan menjadi sangat kacau sekarang. Pandangan dan kecurigaannya pada Hono tiba-tiba saja muncul hanya karena sebuah kebetulan yang terjadi secara tiba-tiba.
Hono, kau bukan orang yang mengkhianati kami, 'kan? Itu tidak mungkin dirimu, 'kan?
Hono agak terkejut saat Seki tiba-tiba memeluknya sembari berbisik di telinganya, "Itu bukan kau, kan?"
"Apa maksudmu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top