Chapter 2: Chaos at the Cafetaria

"Moriya Akane, silakan masuk."

Mendengar panggilan sang guru, Akane langsung mendorong pintu itu terbuka dan masuk ke dalam kelas. Ia terus melihat ke lantai saat Akane membawa tungkainya untuk mendekat di samping guru. Ketika ia mengangkat wajah, ia menyadari bahwa tatapan teman-teman sekelasnya sudah tertuju kepadanya. Samar-samar Akane dapat mendengar bisikan kecil dari siswi-siswi yang duduk di bagian belakang kelas. Kebanyakan dari bisikan itu membahas tentang bagaimana figur wajahnya, atau sesuatu yang lain.

Ah, rupanya dia berada di kelas yang sama dengan Fuyuka dan Matsuda!

"Mungkin kau ingin memperkenalkan dirimu terlebih dahulu?" ucap sang guru.

Akane mengangguk. Ia menatap ke depan, dengan dagu terangkat, menunjukkan karisma dan kepercayaan dirinya. "Namaku Moriya Akane dari Miyagi. Mulai hari ini, kita akan lebih sering berinteraksi jadi aku harap kita bisa menjadi akrab sebagai teman satu kelas." Ia menyelesaikan perkenalan dirinya.

"Bagus, Moriya. Silakan duduk di bangku kosong di samping jendela sana." Guru menunjuk ke arah tempat duduk kosong berjarak dua bangku dari tempat Fuyuka. Akane menunduk sopan dan berjalan ke tempat duduknya.

Karena ini hari pertama dimulainya semester baru, tenaga pengajar sama sekali tidak memberikan pelajaran. Melainkan ia memberikan cerita-cerita tentang masa mudanya sekaligus aturan-aturan yang harus dipatuhi selama mata pelajaran tertentu. Tentu saja para siswi senang karena mereka tidak mendapatkan pelajaran berat di hari pertama mereka. Beberapa mendengarkan dengan antusias, beberapa yang lain melamun dan bermain dengan smartphone. Cerita tentang perjuangannya saat demo pelajar atau cerita klise tentang sulitnya bersaing masuk ke universitas.

Pandangannya menyebar ke sekeliling ruangan kelas. Tidak ada satupun dari siswi-siswi berseragam putih bersih itu mengenakan pakaian mereka dengan tidak rapi. Semuanya lengkap, mulai dari kemeja abu-abu dengan dasi berwarna abu gelap. Blazer putih bersih dengan tali-tali yang melingkar di sisi pinggang ke belakang. 

Jika diingat lagi, itu sangat berbeda dengan teman-teman sekelasnya dulu. Jarang sekali dari mereka yang mengenakan blazer. Bahkan kemeja saja dikeluarkan dari rok atau celana. Perlu diketahui, sekolah Akane sebelumnya adalah sekolah campuran sehingga ia biasa melihat siswa laki-laki yang berpakaian super berantakan layaknya preman.

Akane lalu mengalihkan perhatiannya dari isi kelas pada Fuyuka, gadis dengan rambut berkuncir itu sedang berusaha melawan rasa kantuk. Sementara Matsuda yang duduk di belakangnya terlihat sibuk mencatat sesuatu di buku catatannya. Akane menghela napas berat dari bibirnya. Ia bosan.

"Moriya." Siswi di sampingnya berbisik.

"Huh?"

"Jika kau mau, aku akan mengantarmu pergi ke cafetaria saat jam istirahat."

Akane mencuri pandang pada plakat nama di blazernya. Koike Minami. "Tentu saja, Koike." Jawabnya.

Waktu berlalu dan suara lantang denting bel raksasa menggema dari The Great Bell Tower  menandakan jam pelajaran akan berganti. Akane meregangkan tubuhnya, melambaikan tangannya pada Fuyuka. Gadis itu tersenyum dan berdiri dari tempat duduknya menuju tempat Akane sementara Matsuda turut mengikuti di belakangnya.

"Kelihatannya Pak Eguchi tidak akan mengajar hari ini." Matsuda berkata. Ia melompat, duduk di atas meja Akane. "Aku melihat dia berkali-kali keluar masuk toilet guru kemarin."

"Benarkah?" gadis lain menyela.

"Iya. Aku bertaruh satu burger!"

"Kalau memang begitu, baguslah. Aku bisa lebih fokus mengerjakan latihan soalku."

Akane agak tersentak. Gadis itu, Harada Aoi, mengejutkan dirinya. Tidak biasanya jam kosong digunakan untuk belajar. Di sekolah lamanya, murid-murid akan pergi ke cafetaria atau tidur seperti jajaran ikan teri yang diawetkan di lantai. Predikat sebagai sekolah berprestasi bagi Sakurazaka Academy memang bukan omong kosong belaka.

Koike menyikut Matsuda, "Hei, Matsuda. Kau tidak menyebarkan berita bohong lagi, kan?"

"Astaga. Kau pikir aku ini apa? Orang sinting yang suka menyebarkan broadcast di sosial media?"

Fuyuka tertawa atas tingkah laku kedua temannya. Ia berbalik pada Akane, yang menatap dengan kebingungan, tidak mengetahui apa yang harus ia katakan.

"Akane." Fuyuka memanggil. "Ayo berkeliling di sekitar sekolah." Tidak memiliki waktu untuk menjawab, Fuyuka sudah menarik lengannya dan membawanya keluar kelas bersama kedua temannya.

Tempat pertama yang mereka datangi adalah main hall. Di sana Akane diperkenalkan dengan bagaimana cara kerja mesin scanner yang menggunakan student card untuk merekam kehadiran siswi secara otomatis. Akane memang belum mendapatkan kartu miliknya dan staff administrasi mengatakan bahwa mereka baru akan mengirimkannya lewat pos sore ini. Koike menunjukkan kartu miliknya pada Akane dan membiarkan gadis itu memperhatikan kepingan persegi panjang itu, membalik-baliknya.

Setelah selesai dengan scanner, Fuyuka membawanya ke depan sudut khusus dengan beberapa bingkai berisi foto yang digantung pada dinding. Ada enam buah bingkai besar yang digantung secara horizontal—dua bingkai ada di posisi atas dan empat bingkai berada di bawahnya. Masing-masing berisi foto formal dari enam orang gadis yang tidak ia kenal. Tunggu, bukankah ini Sugai? Akane hendak menanyakan hal itu secara langsung tapi saat ia melihat plakat emas di bawah bingkai-bingkai tersebut—termasuk satu plakat besar yang berada di atasnya—ia segera membatalkan niatnya.

"Seperti yang kau lihat, Moriya. Inilah The Six Elites." Matsuda mengambil tempat di samping Akane. Ia mengangkat kepalanya, memperhatikan wajah keenam orang tersebut. "Sugai, Kobayashi, Watanabe, Fujiyoshi, Tamura, Seki. Mereka adalah orang-orang penting yang berada di susunan paling atas sekolah ini."

"Jika diibaratkan dalam kemiliteran, mereka memegang pangkat tertinggi di dalamnya atau dengan kata lain, mereka adalah jenderal." Fuyuka kemudian menunjuk sebuah foto yang berada di bagian sudut paling kiri, dan Akane tentu tidak memerlukan Fuyuka untuk menjelaskan lebih lanjut karena ia sudah mengetahuinya. "Kau sudah bertemu dengan pemimpin mereka, Moriya. Sekali lagi, dia bernama Sugai Yuuka. Dia selalu berada di kantornya—kantor Dewan Pelajar—dan terkadang berkeliling untuk sekedar berpatroli. Dan jika kau kebetulan melihatnya berkeliling maka ..." Fuyuka kini berganti menunjuk seseorang disamping foto milik Yuuka. "... kau akan bertemu dengan Kobayashi Yui."

"Kobayashi Yui? Gosh, dia cantik." Akane berbisik pelan, "Maksudku bukan seperti itu, tapi ya, dia memang cantik. Maksudku, ia memiliki wajah yang terlihat tidak terlalu berbahaya. Berbeda dengan teman-temannya." 

"Bagaimana ya ... sejauh ini dia memang tidak terlalu mencolok daripada yang lainnya. Tapi bukan berarti kau bisa bersantai-santai saja jika berada di dekatnya. Orang bilang singa ditakuti karena ia diam."

Akane mengangguk mengerti. Mereka kemudian meninggalkan main hall dan berjalan melewati lapangan besar yang tadi Akane lihat pertama kali sewaktu ia tiba di akademi. Melewati koridor dimana ada seorang staff yang menggunakan tangga untuk memasang bingkai foto—seperti foto kampanye Dewan Pelajar—di dinding. Mereka kemudian berhenti sejenak di tepian lapangan dan memperhatikan anggota klub basket melakukan latihan mengoper bola untuk latihan ketangkasan. 

"Oh, lihat. Anak-anak dari klub basket sedang berlatih." Koike menunjuk pada lapangan basket outdoor. Lapangan itu cukup lebar, beberapa anggota klub dengan jersey putih bergaris hijau berdiri di pinggir lapangan, sedang melakukan peregangan ringan. "Moriya, kau lihat orang yang berambut pendek di sana? Ia memakai sepatu berwarna biru tua."

Akane mengalihkan perhatiannya pada gadis tinggi berambut pendek yang sedang melompat-lompat kecil. Ia memakai headband di kepalanya agar rambutnya tidak mengganggu penglihatan. Gadis itu dengan lincah bergerak dari sudut ke sudut, sepatunya mengeluarkan suara decitan nyaring tiap kali ia melakukan belokan tajam dan mengerem. "Watanabe Risa?" ia mengkonfirmasi, membaca nama yang ada di bagian belakang jersey.

"Tepat, dia adalah salah satu dari The Elites yang aku sebutkan pagi ini. Heh, kau memiliki ingatan yang baik, ya?"

Dia sekali lagi mengalihkan perhatiannya pada Watanabe Risa. Tinggi, berambut pendek sebahu, dengan sorot mata dingin dan tidak bersahabat. Sejak tadi dia yang paling lincah berlari membawa bola di lapangan, sesekali meneriakkan komentar dan mengarahkan pemain lain agar bergerak sesuai strategi yang sedang mereka uji. Akane berasumsi bahwa Risa adalah seorang kapten.

"Kenapa kau menunjuk Risa?" Matsuda berkata pada Fuyuka. Ia menurunkan tangan Fuyuka dengan cepat, kemudian berdiri di depannya.

"Aku hanya memperkenalkan dia pada The Elites." 

Matsuda menggeram. Dahinya agar berkerut sebagai tanda bahwa ia tidak terlalu senang dengan apa yang dilakukan rekannya itu. "Jangan membuat dia masuk ke dalam masalah."

"Lebih baik dia tahu sehingga ia dapat menjaga diri agar tidak terlibat masalah dengan salah satu dari mereka, Matsuda. Bukankah itu lebih baik?"

Mereka kembali fokus pada klub basket. Koike berteriak, "Habu!"

Gadis tinggi yang sedang mendribble bola, menoleh pada Koike. "Mii-chan!" ia mengoperkan bola pada rekannya dan berlari mendekati Koike—tidak mengindahkan si kapten yang meneriakkan namanya.

"Habu, bukankah kau pemain cadangan?" tanya Fuyuka.

Habu, yang sedang bermain dengan rambut Koike menjawab, "Aku baru saja sembuh dari cidera lutut. Hmm... mereka memasukkanku dalam lineup pemain yang akan bertanding bulan depan!"

Koike menjawab. "Eh, kupikir kau akan diistirahatkan lebih lama."

"Tidak mungkin mereka menyia-nyiakan pemain berkualitas tinggi sepertiku." Habu tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.

"Hei, Habu." Suara lain bergabung dengan mereka. "Kembali ke lapangan sekarang. Sialan, kau begitu mudah terganggu, huh." Risa berucap dengan nada rendah, cenderung kasar. Setelah mengatakan itu, ia sempat melirik Akane, Fuyuka, Matsuda dan Koike sebelum kembali bergabung di lapangan.

Suaranya yang menggelegar dapat didengar lagi, "Matsudaira, buka matamu! Ayo fokus!"

"Aku akan menemuimu sepulang sekolah. Sampai jumpa!" Habu pun berlari ke lapangan. Ia terlihat berbicara pada Risa sebelum Risa memerintahkannya untuk berlari mengelilingi lapangan.

"Risa menakutkan." Matsuda berbisik.

Fuyuka menangguk setuju sementara Koike memilih diam dan tidak menjawab karena ia sadar bahwa mereka masih berada di jarak pandang Risa.

Mereka berempat akhirnya meninggalkan lapangan basket, menuju tempat lain. Fuyuka membawa Akane melihat pavillion, hutan buatan di belakang sekolah, auditorium, lapangan indoor, hingga The Great Bell Tower yang berada di tengah-tengah akademi. Membutuhkan waktu cukup lama bagi mereka untuk berkeliling mengingat Sakurazaka Academy memiliki wilayah yang cukup luas daripada bangunan sekolah pada umumnya. 

Selesai dengan wilayah lain, akhirnya Fuyuka membawa Akane ke cafetaria. Ia yakin teman-temannya ini sudah lapar karena lelah berkeliling. Sekali lagi, Akane dibuat kagum oleh sekolah barunya. Ia melihat beberapa mesin pembuat kopi otomatis dari brand yang sangat terkenal. Ada juga yang menjual kue, donat atau roti—yang tentunya bukan dari brand yang biasa-biasa saja. Beberapa yang lainnya menjual makanan cepat saji dan makanan sehat untuk para siswi.

Sama sekali tidak ada penjaga yang bertugas di cafetaria. Tiap pembayaran dilakukan dengan kartu khusus berwarna perak atau hitam mengkilat dengan chip khusus yang tertanam di dalamnya. Ada juga yang menggunakan uang digital dan melakukan pembayaran lewat NFC di smarphone masing-masing.

Meskipun masih belum waktu istirahat, cafetaria sudah penuh oleh beberapa siswi yang duduk bersama teman-teman mereka. Ada yang sibuk menulis resume atau artikel dengan laptop, ditemani oleh secangkir minuman atau makanan kecil. Ada juga murid yang sibuk berkutat dengan setumpuk buku di atas meja dan menulis apapun yang mereka baca di atas binder. Kelompok Akane memilih duduk di dekat jendela yang tinggi dan lebar. Terdapat emblem sekolah terukir di kaca besar itu.

"Ah ... sangat menyegarkan disini." Akane menghembuskan napas kecil. Ia mencium bau roti yang lezat, baru saja dipanggang dan terlihat masih panas. "Aku akan pergi ke sana. Ada yang ingin kubelikan sesuatu?"

Matsuda menyandarkan dagu di atas kedua tangannya. Ia menjawab, "Aku ingin apapun yang kau beli. Aku akan memberikan uangnya di dompet digitalmu nanti."

"Aku juga," Fuyuka menyahut.

Koike berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Akane. "Ayo, aku akan ikut bersamamu."

Akane mengambil piring kecil yang disediakan kemudian memilih roti kesukaannya—roti coklat dengan topping kacang—dan mengambil roti isi sayuran. Sementara Koike membelikan minuman untuk Fuyuka dan Matsuda dan sup asparagus untuk dirinya sendiri.

Suara ramai dari para siswi di cafetaria tiba-tiba berubah menjadi teriakan panik saat pintu tiba-tiba ditendang terbuka dan seseorang di dorong dengan keras hingga menabrak meja café. Siswi tersebut mengerang kesakitan, tapi ia dengan tanggap berguling dan berdiri menjauh dari meja. Saat ia bangkit, seorang siswi berambut pendek menerjang dan menarik kerah blazernya. Ia memukuli wajah siswi tersebut tanpa ampun. Keadaan menjadi kacau. Tidak ada seorangpun yang berani memisahkan kedua orang yang sedang berkelahi dengan sengit itu.

Akane sebenarnya tidak ingin menjadi sok pahlawan. Tapi melihat siswi kelas satu dipukuli tanpa diberi kesempatan untuk melawan balik, tanpa sadar tangannya bergerak untuk meletakkan piring berisi makanannya di atas meja. Ia mengambil kursi yang tadi terlempar dan menghantamkannya tepat di kepala siswi berambut pendek itu.

BRAK

"Brengsek! Beraninya kau menghajar juniormu sendiri!" Akane berteriak. Ia melemparkan kursi ke sembarang arah, lalu mencengkeram seragam Risa dengan kuat. Akane memutar tubuhnya hingga tubuh Risa sedikit terangkat menyentuh punggungnya, lalu membantingnya dengan teknik judo yang ia kuasai.

Beberapa detik itu terjadi begitu cepat. Saat Akane sadar, semua siswi yang ada di sana tengah menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Teman-temannya juga tampak sangat terkejut, dan Fuyuka—tentu saja, mengerang dan mengusap wajahnya dengan sangat frustasi. Tetapi Akane tidak peduli, ia mendekati Risa yang sekarang berdiri. Tatapan dingin Risa menunjukkan emosi yang meluap, kedua tangannya mengepal kuat.

Kedua mata Risa memerah tajam dan Akane baru sadar bahwa ia telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Terutama ketika Akane menemukan dua plakat emas tersemat di blazer yang gadis tinggi itu kenakan. Risa anggota Dewan Pelajar? Ia tersentak saat Risa mendorong tubuhnya dan membuatnya mundur beberapa langkah ke belakang, hampir kehilangan keseimbangannya. Risa mengangkat kepalan tangannya, ia akan menghajar Akane sekarang. Akane bahkan tidak sempat memberikan perlindungan diri.

"Watanabe Risa!"

Suara tegas diikuti oleh langkah sepatu yang berderak. Risa sontak melangkah mundur namun masih tidak melepaskan tatapannya yang mengerikan itu dari Akane.

"Bukankah tidak bijak jika kau memukuli junior yang sudah mengakui kesalahannya? Atau kau hanya mencari korban untuk memuaskan perilaku burukmu itu?" suara itu rupanya adalah milik Yuuka. Di belakangnya berdiri empat orang gadis lain dengan dua balok emas menempel di dada kanan blazer mereka menandakan bahwa mereka berdua bukanlah siswi sembarangan. Gadis dengan rambut pendek—sepertinya gadis yang sama dengan yang Akane lihat bersamanya pagi ini—segera berjalan mendekati Risa dan menggaet bahu Akane, membawa gadis itu menjauh dari Risa.

MMereka ... mereka orang-orang yang wajahnya terpampang di gedung utama. 

Akane kemudian berkelit ke samping, memberikan jalan kepada dua orang di belakangnya. Gadis dengan marga Kobayashi itu kemudian berdiri di samping Akane, menahan lengan dan meliriknya sepersekian detik sebelum kembali menatap ke depan. "Sebaiknya kau tetap disini dan tidak meninggalkan daerah pengawasanku." ucap Yui dengan suara rendah dan dalam, membuat Akane sedikit merasa terintimidasi dan perlahan menjaga jarak darinya. Menyadari Akane beringsut menjauh darinya, gadis bermarga Kobayashi itu kembali berbicara, "Moriya Akane, aku tahu kau tidak tuli. Tak sadarkah kau jika aku berusaha melindungimu dari Risa yang hendak menghajarmu?"

Tatapan tajam Kobayashi Yui entah mengapa seperti menusuk jauh ke dalam dadanya. Seperti gadis itu sedang memberinya tekanan sekaligus ancaman di waktu bersamaan. Nyali Akane yang semula menggebu-gebu dengan keinginan membalas perilaku brutal Risa mendadak menghilang entah kemana. Jadi, dengan kepala tertunduk dan lidah yang kelu, Akane refleks menahan napasnya dan berdiri satu meter di belakang Kobayashi. Gadis di depannya mendengus pelan karena suasana cafetaria mendadak menjadi sangat menegangkan dan kelewat sunyi. 

Semua anggota Dewan Pelajar—atau lebih akrab disebut The Elites—datang ke cafetaria atas laporan dari salah satu siswi tentang keributan yang terjadi di sana. Kehadian enam siswi ini sontak membuat ratusan siswi yang berkumpul di bangunan besar itu segan dan kompak membungkam mulut tanpa berniat menolong siswi tingkat satu yang masih tergeletak di lantai dengan napas terengah. 

Mereka baru mau membantu ketika Seki Yumiko, Fujiyoshi Karin, dan Tamura Hono mendekati si junior dan membantunya duduk. Mereka juga memberikan kain putih halus untuk mengusap darah yang mengalir keluar dari hidung dan bibirnya. 

Risa, sebagai gadis yang paling tinggi di sana, dengan hidung berdarah dan seragam yang acak-acakan tertawa remeh. Ia menegakkan tubuh, lantas menepuk-nepuk kain blazernya yang ternodai oleh debu dan kotoran. "Ini bukan urusanmu, Yuuka. Kembalilah ke tempatmu." Risa mendengkus. "Oh, Yui. Sudah lama tidak bertemu, eh? Kau sungguh akrab dengan Kapten Sugai."

"Kubilang," Yuuka menjeda, tatapannya yang tadinya biasa-biasa saja sekarang berubah menjadi tatapan tajam. "pergilah. Dan jangan main-main dengan kekasihku."

Risa meludah. Ia menunjuk-nunjuk Akane dengan tatapan mengintimdasi sebelum mengangkat kakinya dari café. Akane, yang sebelumnya membeku, sekarang dapat menggerakkan tubuhnya dan merasakan darah kembali mengalir mengisi tiap peredaran darahnya. Kobayashi berbalik, menatapnya dari sudut mata dan menepuk bahunya sekilas sebelum ikut mendekati si junior yang masih terduduk lemas di lantai. Akane hampir saja menangis ketika teman-temannya mengerubunginya dan menanyakan apakah ia baik-baik saja. 

Ia memang baik-baik saja—terima kasih pada Kobayashi Yui yang membuat dirinya seperti dinding penghalang antara Akane dengan Risa. Sebab jika tidak begitu, mungkin wajah Akane sudah babak belur. Akane justru merasa khawatir dengan anak kelas satu yang tadi dipukuli oleh Risa, Yamasaki Ten. Dari jauh Akane dapat melihat anggota The Elites membantu junior tersebut dan mendudukkannya di kursi. Yuuka menggelengkan kepalanya perlahan. Menyadari anak itu memiliki beberapa luka lebam di wajahnya.

Ia kemudian memerintahkan siswi lainnya untuk membawa Ten ke klinik. Selesai dengan itu, President Dewan Pelajar itu kemudian mendekati Akane. "Terima kasih sudah memisahkan mereka." ucapnya, tepat sebelum ia berbalik meninggalkan café bersama teman-temannya.

Koike menarik napas dalam. "Bagus ... sekarang Risa tidak akan melepaskanmu."













The President of Student Council
Sugai Yuuka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top