Chapter 18: Numbers of Death and The Traitor
Semakin dekat sosok tersebut, semakin jelas cahaya lampu mengenai wajahnya. Sosok tersebut tersenyum kecil, menatap Karin yang masih berusaha memproses siapa yang baru saja ia lihat. Tapi kemudian, Karin tersadar. Rahangnya mengeras, urat lehernya bertonjolan. Ia mungkin saja akan meneriaki sosok didepannya dengan sumpah serapah jika sebuah pisau cutter tidak ditodongkan didepan matanya. Membuatnya tertahan dan hanya bisa menatap dengan emosi yang meledak-ledak.
"Kau keluarkan suaramu, kupastikan pisau ini akan mencabut bola matamu," ancamnya. Orang tersebut berjalan mendekat, tangannya kini bertumpu pada sisi ranjang.
Napas Karin semakin memburu bahkan dadanya terasa sesak. Keberaniannya hilang sesaat setelah gadis itu berdiri sangat dekat dengannya. Menelan ludah, dengan susah payah ia berkata dengan suara pecah, "Apa yang kau mau? Apakah Yuuka tidak cukup mengayomimu?"
Gadis tersebut tertawa kecil. Tangannya yang memakai sarung tangan karet hitam membelai kepala Karin yang lepek karena keringat. "Kau tidak ingin menanyakan mengapa aku melakukan ini Fujiyoshi?" ia membalas. Karin tidak menjawab, hanya memelototinya saja. "Oh, baiklah. Lagipula kau akan tahu sendiri nantinya."
"Jika Risa tahu tentang ini, dia akan membunuhmu." Karin menggeram. Sulit baginya untuk berkata lebih banyak meskipun ia ingin. Rahangnya benar-benar menyakitinya.
"Risa?" gadis lain kembali tertawa. "Risa tidak akan tahu. Saat ia sadar nanti, yang dia tahu adalah kau. Kau pengkhianatnya, bukan aku."
"BRENGSEK!" Karin berteriak. Kali ini suaranya cukup keras, mungkin cukup keras hingga terdengar keluar ruangan. Itu membuat gadis senyuman gadis didepannya seketika menghilang. Seharusnya Karin tidak melanjutkan apapun yang ingin ia katakana saat itu juga, tetapi semua sudah terlambat. "Setelah apa yang kita lakukan, setelah semua yang kita lalui... kau tega melakukan ini pada kami? Kami percaya padamu, kami melindungimu, kami mendukungmu. Dan apa yang kau lakukan sebagai balasan? Benar-benar iblis!"
Tangan bersarung karet itu mengepal erat saat Karin menyelesaikan ucapannya, dengan kata iblis di akhir kalimat. Dengan napas yang sama-sama memburu, ia meletakkan pisau cutternya di atas meja. Kemudian dengan keras ia membungkam mulut Karin, dan tangannya yang lain menekan kuat luka tusukan yang baru saja dijahit itu.
Tanpa berkata apapun, tanpa membalas apapun. Hanya dengan tatapan mata yang membara, dengan tekanan yang ia berikan pada luka jahitan itu sudah cukup membuat Karin menggeram meskipun suaranya tertahan. Karin mencengkeram tangan itu, berusaha melepaskan bungkaman dari mulutnya. Rasa sakit tak tertahankan semakin menjadi-jadi saat jahitannya ditarik dengan paksa. Ia berteriak, air mata beranak di sudut matanya.
Tapi sepertinya itu belum selesai.
"Jika saja Ozono tidak melarangku untuk membunuhmu secara langsung, aku akan melakukannya disini. Akan kugantung kepalamu di jendela itu, agar semua orang tahu bahwa kalian lah penyebab dari semua ini! Aku tahu kau ada di sana Fujiyoshi, aku tahu kau tidak menyetujui ini. Tapi mengapa? Mengapa kau tetap diam dan menutup mata saat semua kejahatan itu terjadi di depan matamu? Kenapa?"
Karin tidak dapat lagi berkata apapun. Seluruh energinya terkuras habis. Ia hanya bisa fokus pada rasa sakit di sisi tubuhnya. Ia hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya dengan panik saat pisau cutter tadi diambil kembali oleh pemiliknya. Sarung tangan karet itu sekarang sudah berlumur darah, lengket menempel pada gagang pisau.
Si pengkhianat itu memasang wajah sulit. Tampak likuid transparan mengalir turun dari kedua matanya. Ia menangis dalam diam, begitu pelan meskipun suara isakannya dapat didengar oleh Karin. Ketika Karin memalingkan wajah, ia menemukan orang ini menatapnya dengan tatap yang tidak bisa dijelaskan. Tapi ia dapat membaca berbagai macam emosi yang bercampur aduk di dalam sorot matanya yang dalam.
"Aku tidak ingin melakukan hal ini padamu, Karin. Tapi aku harus melakukannya. Tidak, kalian yang memaksaku melakukannya. Kalian pantas mendapatkan semua hal ini setelah apa yang kalian lakukan." Suara itu seperti sebuah ancaman yang sangat serius bagi Karin yang hanya bisa menggerakkan kepalanya. "Jangan katakan apapun tentang apa yang terjadi malam ini. Jangan sampai kau mengeluarkan satu kata pun. Kau tahu? Aku bisa melakukan apapun yang tidak kau duga, kau masih menyayangi keluargamu, kan?"
"Atau, jika kau ingin aku membantumu..." ia mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah benda berbentuk balok, dibungkus oleh plastik hitam.
"Kau letakkan ini di dalam mobil Kobayashi Yui. Tiga hari dari sekarang. Daya ledaknya kecil, jadi dia tidak akan mati." si pengkhianat itu tersenyum dengan mata yang merah karena menangis. Menunggu jawaban dari Karin. "Jika kau melakukan ini, mungkin aku akan menyisakanmu nanti."
Air mata yang sudah menggenang di sudut matanya mulai mengalir jatuh. Dalam penyiksaan itu, si pengkhianat memberikan pilihan emas padanya. Ia bisa saja menerima pilihan yang diberikan padanya saat itu. Menyelamatkan diri dari apapun yang akan datang kepadanya, dari siksaan-siksaan yang perlahan membunuhnya.
Tetapi kesetiaannya pada teman-temannya, kepada The Elites, membuat Karin enggan mengulurkan tangan untuk menerima penawaran tersebut. Membunuh Kobayashi? Ia tidak mungkin membunuh orang yang sudah menyelamatkannya dulu.
"Telan saja bom itu. Aku tidak akan pernah mau bekerja sama dengan pengkhianat sepertimu!" Karin menjawab tanpa ragu.
Sediki terkejut atas jawaban Karin meski ia merasa telah memprediksi jawaban itu, si pengkhianat kemudian menyentuh dan mengangkat tangan kiri Karin dengan paksa. Sekali lagi ia membungkam mulut Karin. Lalu dengan pisau cutter, ia mengiris telapak tangan Karin membentuk garis lurus menyerupai angka satu. Dilakukan dengan sangat rapi dan perlahan sehingga membuat Karin semakin tersiksa. Karin makin berontak, tiap ia menarik napas tubuhnya gemetar. Dia sudah tidak tahan.
"Padahal aku berniat mengampunimu. Tapi ternyata kau loyal juga. Masa hidup kalian akan segera habis. Tidak perlu panik. Kalian hanya perlu menunggu kami menjemput kalian jika sudah saatnya nanti."
Kata-kata itu terdengar samar di telinga Karin. Begitu juga saat gadis berpakaian gelap itu menekan tombol darurat dan beranjak keluar ruangan, matanya yang buram hanya dapat menangkap bayangan samar. Perlahan ia mengangkat tangannya yang gemetar. Ia menutup rapat matanya saat melihat luka irisan pisau cutter di telapak tangannya. Malam itu, adalah pertama kali dalam hidupnya Karin menginginkan kematian.
Yui datang ke sekolah dengan suasana hati yang buruk. Cuaca cerah pagi itu berbanding terbalik dengan warna emosi yang memenuhi kepalanya. Cenderung suram dan gelap. Jika emosi manusia dapat divisualisasikan, mungkin di kepalanya sudah muncul badai kecil lengkap dengan petir dan awan hitam. Tidak seperti biasanya, kali ini ia datang dengan memakai kendaraan pribadi.
Barangkali siswi-siswi lain merasa ada yang kurang jika Sugai Yuuka tidak bersanding dengan Kobayashi Yui. Karena dua orang tersebut bisa dibilang sudah menjadi pasangan ikonik di Sakurazaka—meskipun mereka tidak mengetahui kebenaran dibaliknya. Sehingga wajar saja jika mereka sesekali memperhatikan Yui yang berjalan sendirian menuju kelasnya dan menganggap itu sebagai hal baru.
Dan memang itulah salah satu pemicu buruknya suasana hati Yui. Sebelum berangkat ke sekolah, ia sudah singgah di rumah Yuuka untuk menjemput gadis itu. Tapi pelayan di rumah Yuuka mengatakan jika ia semalaman tidak berada di rumah, dan tidak ada yang tahu ke mana gadis itu pergi untuk menghabiskan malam.
Sebenarnya Yui sudah mengirimkan beberapa pesan pada kekasihnya dan tentu saja puluhan pesan dan puluhan panggilan telepon itu berakhir tanpa jawaban. Selain karena kabar Yuuka yang abu-abu, pemicu lain adalah hasil akhir dari rapat dewan sekolah yang akan diumumkan hari ini. Kemudian ayahnya yang sedang berang karena masalah sebesar itu terjadi di sekolah yang ia pimpin, pak tua itu membawa masalah pekerjaan ke rumah.
Mungkin ia akan kembali menyalahkan Yuuka setelah ini. Tapi bukankah itu agak tidak masuk akal? Yuuka bahkan sama sekali tidak terlibat dalam perkelahian tempo hari. Ia justru turut membantu membawa kedua korban ke rumah sakit. Well, untuk saat ini Yui hanya dapat berharap pembelaannya dapat meredam amarah Ayahnya beberapa waktu yang akan datang.
Yui mendorong pintu kelasnya dengan tangan kanan. Begitu ia melangkah masuk, Seki dan Hono yang duduk di tempat duduk mereka langsung melambaikan tangan kepadanya. Ia tersenyum tipis dan berjalan cepat untuk meletakkan tas pada tempat duduknya sendiri. Tapi, tunggu dulu, kenapa bisa ada sebuah kotak makanan di atas meja miliknya? Siapa yang meletakkan ini?
Kotak makanan itu memiliki tutup yang transparan sehingga Yui dapat mengetahui apa isinya. Memang tidak mencurigakan dan menu yang ada di dalam pun adalah menu yang cocok dimakan untuk sarapan pagi—dua buah roti isi daging dan sebutir telur rebus.
Yui tahu ia memiliki banyak penggemar di kalangan junior. Tapi mereka selalu meletakkan hadiah-hadiah semacam ini di loker penyimpanan yang terletak di main hall sebab mereka tidak pernah mau datang ke gedung tingkat dua jika bukan karena hal-hal genting. Merasa aneh, segera saja ia berbalik badan untuk bertanya pada kedua temannya.
"Aku tidak ingat jika aku memesan hal semacam ini?" Yui mengangkat kotak makanan itu ke atas, menunjukkan isinya pada Seki dan Hono. Anehnya, bukan malah terheran-heran atas benda yang Yui tunjukkan, kedua gadis itu justru kompak tertawa. Tentu saja Yui menjadi agak kesal dibuatnya sehingga ia kembali berbicara dengan nada yang sedikit lebih tinggi. "Berhenti tertawa, aku tidak bisa mengonfirmasi jika makanan ini bebas dari racun tikus. Kalian berdua datang lebih dulu daripada aku, katakan siapa yang meletakkan ini di atas meja."
"Tenang saja, Yui. Aku membeli kotak makanan itu untukmu tadi pagi." Seki menyahut pelan. Tangannya merogoh masuk ke dalam loker bawah meja dan ia mengeluarkan kotak yang sama dengan milik Yui. "Aku tahu kau tidak mungkin sempat mengisi perut setelah mengetahui hasil rapat dewan. Hono juga memberitahu jika kau suka telur rebus jadi, there you have it."
"Oh... terima kasih, Seki..." Yui menepuk pelan bahu Seki dan Hono, "Terima kasih juga padamu Honyo."
Yui membuka kotak makanan itu dan bergabung dengan Seki dan Hono. Mereka menghabiskan sarapan paginya dengan berbincang-bincang seperti biasa. Hanya saja, kali ini tidak ada Risa, Karin, dan Yuuka yang bergabung dengan mereka.
Beberapa menit sebelum The Great Bell berbunyi dan Yui telah menyelesaikan sarapan paginya, Yuuka berlari-lari kecil dari koridor dan masuk ke kelas dengan napas terengah. Ia segera duduk di tempatnya, di samping Yui. Gadis itu tersenyum pada Yui, meminta maaf karena ia datang terlambat. Sayangnya Yui tidak terfokus pada Yuuka, melainkan pada siswi lain yang melewati kelas mereka tepat saat Yuuka memasuki pintu.
Jelas-jelas itu adalah Moriya Akane.
Pelajaran berjalan seperti biasa. Seolah di sana tidak pernah terjadi apa-apa. Mungkin siswi lain merasa biasa saja, tetapi bagi Yui hari itu terasa sangat sepi. Tidak ada Risa yang selalu ditegur guru karena tidak memperhatikan, dan Karin yang diam-diam tidur dengan menggunakan buku sebagai kamuflase. Ia menoleh ke samping, Yuuka rupanya sedang tidak menghadap ke papan tulis melainkan ke bangku kosong tidak jauh dari tempatnya duduk.
Yui menghela napas berat. Mungkin mereka berenam sudah terlalu dekat satu sama lain sampai-sampai satu saja orang yang tidak hadir, akan membuat perbedaan yang besar. Ia menggunakan bolpoin untuk menyentuh tangan Yuuka. Gadis itu menatapnya sembari mengangkat alis.
"Kita harus ke rumah sakit nanti sore." Yui berbisik. Yuuka tersenyum. Mengangguk dengan antusias. Bahkan saat fokusnya sudah tertuju pada penjelasan yang diberikah oleh guru, Yuuka masih tersenyum senang.
Ah, Yui bisa memperhatikan wajah itu sepanjang hari. Ia kemudian beralih pada kedua temannya yang lain. Seki, seperti biasa memberikan seluruh atensi pada pelajaran fisika yang sedang berlangsung. Dan Hono... Yui agak kaget karena pertama kalinya ia antusias dengan pelajaran yang satu itu. Mungkin pukulan Risa waktu itu tepat menghantam sisi otaknya yang tertidur.
Beberapa jam berlalu. Bel makan siang berbunyi serentak, suaranya yang keras membuat beberapa siswi terkejut tapi segera berhamburan keluar kelas bersama teman masing-masing. Ada yang menuju kantin, ada berhenti untuk membeli makanan ringan di mesin penjual otomatis. Ada juga yang membawa bekal makanan sendiri dan makan di kelas.
Pun dengan Akane. Ia adalah siswi golongan kedua yang membeli makanan dan minuman ringan di mesin penjual otomatis. Perutnya masih terasa penuh karena omelette yang dimasak Yuuka untuk sarapan mereka berdua pagi itu. Karena itu juga mereka sedikit terlambat datang ke sekolah. Selain itu Yuuka juga tidak sengaja membakar serbet. Mereka menghabiskan lima menit penuh untuk menertawai kebodohan si ketua osis itu.
Saat Akane mengeluarkan kartu digital dari dompetnya dan hendak menempelkannya pada alat pemindai, ia tersentak saat menyadari presensi orang lain disampingnya. Gadis itu menempelkan kartu miliknya terlebih dahulu dan Akane tentu kaget karena tiba-tiba ada tangan yang menjulur didepannya.
Yui menyentuh layar besar itu. Di section minuman ia memilih air mineral dan di section makanan ia memilih bento. "Pilih apa saja yang kau mau," ucapnya. Mesin besar itu berdenting, mengerjakan tugasnya memproses pesanan.
Akane menatap gadis disampingnya itu. Memperhatikan wajahnya dengan agak ragu. Ia tidak pernah bertemu dan berbicara dengan Kobayashi Yui secara pribadi sebelumnya jadi saat gadis itu menawarkannya sesuatu rasanya agak aneh bagi Akane. Seolah mengerti dengan apa yang ada di pikiran Akane, Yui akhirnya tersenyum.
"Baiklah kalau begitu..." ia kembali menyentuh opsi yang sama dengan yang tadi. Mesin bekerja dua kali. Tidak perlu menunggu lama karena mesin yang ada di sekolah mereka jauh lebih modern dan lebih cepat dari mesin biasanya. Yui membungkuk, mengambil barangnya dari tempat yang sudah disediakan.
Satu kotak makanan dan sebotol air ia berikan pada Akane. Meski merasa ragu, Akane tetap menerima pemberian itu. Rasanya tidak sopan menolak pemberian orang lain, ia juga tidak ingin Yui merasa tidak dihormati jika Akane menolak. "Terima kasih...? Oh, tunggu sebentar."
Akane dengan canggung memindahkan bento miliknya dan memegangnya dengan tangan kiri. Ia ingin mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya untuk membayar Yui. Tapi dengan kedua tangan yang terpakai, agaknya itu sulit dilakukan. Yui menggeleng pelan, tangannya menyentuh bahu Akane. Mengisyaratkan bahwa ia tidak perlu membayarnya kembali.
"Tidakkah aku mengatakan padamu jika aku ingin bertemu? Yuuka menggantikanku mengikuti rapat dewan, Hono dan Seki.. kau pasti mengerti. Kebetulan kau sendirian jadi sekarang waktu yang pas." Yui berkata. "Ayo, ikuti aku." Lanjutnya.
Mereka berdua menuju ruang OSIS. Saat Yui membukakan pintu, bau pengharum ruangan beraroma lavender menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Akane lupa kapan terakhir kali ia masuk ke dalam ruangan itu. Kalau ia tidak salah ingat, mungkin di minggu pertama ia bersekolah di Sakurazaka?
Ia melihat ke sekeliling ruangan itu. Tidak ada yang berubah. Kecuali sebuah foto yang terpajang di dinding. Mungkin Akane tidak terlalu peduli seperti apa bagian dalam ruang OSIS karena waktu itu ia datang dan pergi dengan terburu-buru. Terdapat enam orang di dalam foto, anggota The Elites. Dua orang duduk dan empat orang lainnya berdiri.
"Itu foto kami saat pertama kali resmi menjadi anggota disini. Satu tahun berlalu dengan cepat, banyak sekali yang berubah." Yui menjelaskan. Ia mempersilahkan Akane untuk duduk di seberangnya.
"Apa telapak tanganmu sudah pulih?" Akane bertanya saat melihat Yui membuka tutup plastik kotak makanannya. Tidak ada lagi perban tebal yang melingkar di tangannya.
Yui mengangkat telapak tangannya. Memperlihatkan bekas jahitan yang masih terlihat jelas pada Akane. Sontak itu membuat Akane sedikit khawatir. "Ini sembuh lebih cepat dari perkiraanku. Aku harus berterimakasih padamu karena kau ikut membantu waktu itu. Anggap saja yang satu ini sebagai balas budi dan perkenalan kita. Karena kau terlihat dekat dengan Karin dan Yuuka, jadi kupikir tidak masalah jika aku juga menyapamu."
"Kenapa.. kau bisa terluka separah itu?" Akane bertanya.
Yui diam sejenak. Meletakkan sumpitnya diatas kertas tisu yang ia letakkan disamping kotak makanan. Ia tak serta merta menjawab dan memilih meneguk air dari botolnya. "Kau tahu kenapa," ia menjawab. Menatap Akane mengetuk-ngetuk penutup plastik bentonya. Yui kemudian melanjutkan, "Saat itu Yuuka memberitahumu, benar? Itu kalau aku tidak salah dengar."
Yuuka memang memberitahu dia bahwa Yui memiliki suatu kondisi khusus, DID atau apalah itu. Dan Yuuka kembali menegaskan hal itu kemarin malam saat mereka makan bersama.
"Aku tidak suka mengakuinya. Oh Tuhan, sepertinya Yuuka begitu percaya padamu hingga ia menceritakan hal ini padamu tanpa seizinku."
Oh, ini mungkin tidak akan berakhir baik.
"Bagaimana aku mengatakannya, ya? Itu... bagiku adalah sebuah aib. Dan mengatakannya pada orang asing-" Yui memutus ucapannya, sepertinya lidahnya terpeleset mengeluarkan kalimat yang salah. "Hei, apa kau tidak memakan milikmu? Dia akan menangis karena merasa tidak dihiraukan."
Akane memberi senyuman tipis sebagai jawaban. Ia melihat ke bawah, pada kotak bento miliknya. Dibukanya plastik penutup dan diletakkan dibawah kotak. Sekali lagi ia terkejut karena menu bento yang akan ia santap adalah varian yang paling mahal. Berteriak dalam hati, ia bersyukur vice president itu secara sukarela membeli makanan enak ini untuknya—ia tidak berbohong, rasanya memang sangat lezat.
Mereka menghabiskan makan siang mereka dalam diam. Untuk alasan kesopanan, tentu saja, karena itu adalah pertemuan pertama mereka. Well, sebenarnya tidak. Karena Yui dan Akane pernah bertemu di restoran cepat saji kala itu. Yang membedakan adalah, waktu itu Yuuka ikut bersama Yui.
Lagipula dari cara Yui yang secara gamblang memutar balik topik obrolan, Akane sudah paham bahwa ia seharusnya tidak menekan lebih jauh lagi. Meskipun ia ingin mencari informasi lebih jauh dari Elites yang satu ini. Tunggu, kenapa ia tiba-tiba menjadi karakter antagonis yang suka menganalisa orang lain?
"Sepertinya kau berteman baik dengan Yuuka."
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Yui sempat membuat gumpalan nasi ia telan masuk ke rongga pernapasannya. Akane terkesiap, berusaha keras menahan diri untuk tidak terbatuk-batuk saat dirinya membuka botol air.
"Ia terlihat senang, kau tahu? Terakhir ia seperti itu mungkin waktu ibunya masih hidup." Yui tersenyum kecil. Kesedihan nampak jelas dari raut wajahnya. Mendadak ia sudah tidak tertarik pada makanannya yang tersisa seperempat. "Di depanku ia tampak bahagia, mungkin lebih tepatnya dia berpura-pura bahagia."
Ibu Yuuka sudah meninggal? Kenapa aku tidak pernah mengetahui hal ini langsung darinya?
"Semalam Yuuka tidak ada dirumahnya. Pagi ini aku sengaja datang ke sana dan pelayannya mengatakan ia tidak ada. Kenapa aku memanggilmu kemari? Karena hanya kau orang terakhir dapat aku tanyai tentang keberadaannya.
Akane menyelesaikan suapan terakhirnya. Ia menutup kembali kotak bento miliknya dan menggeser benda itu ke samping. Entah kenapa ia merasa takut. Meskipun Yui berbicara dengan intonasi yang tenang dan bersahabat, dibalik semua itu Akane dapat merasakan sesuatu yang mungkin berbahaya.
Apakah Yui sudah tahu tentang luka-luka yang ada di tubuh Yuuka? Haruskah aku memberitahu hal itu?
"Moriya Akane?"
Aku sudah masuk terlalu jauh ke dalam semua ini. Sial, aku sudah cukup sulit dengan kasus Hirate dan tetek bengeknya sekarang aku berhadapan dengan masalah baru.
"Semalam ia datang ke apartemenku." Yui menaikkan salah satu alisnya. Ia mencondongkan tubuhnya agar dapat mendengar lebih baik. Padahal sudah jelas hanya ada mereka berdua disana dan ruangan itu kedap suara. "Ia meminta izin untuk menginap semalam. Saat aku menanyakan alasannya, Yuuka hanya menjawab ia hanya sekadar jalan-jalan malam. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya tapi ia datang dengan tubuh terluka, ia memakai ransel dengan digantung di bahu kiri."
Akane terkesiap saat ia menatap wajah orang didepannya. Ia sangat yakin ekspresi Yui sempat berubah, wajahnya benar-benar menunjukkan suatu emosi terpendam. Kedua alis gadis itu menyatu lengkap dengan sorot mata tajam. Tapi anehnya dalam waktu sepersekian detik, wajah itu menghilang dan berubah menjadi ekspresi wajah yang normal.
Jujur saja Akane sempat merasa takut.
"Kobayashi... kau bilang ibunya meninggal. Jadi ia tinggal bersama ayahnya, kan? Apa... Apakah ia disiksa oleh ayahnya?" ia bahkan tidak menyadari jika suaranya bergetar saat ia menanyakan hal itu pada Yui. Sudah kepalang tanggung, rasa penasaran sudah merasuk jauh ke dalam jiwanya.
Tapi alih-alih menjawab pertanyaan tersebut Yui malah tertawa kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat ia berbicara, Akane sadar jika nada bicara Yui benar-benar berubah. "Untuk yang satu itu kau tidak memiliki hak untuk tahu."
Tidak memiliki hak untuk tahu? Sudah jelas bukti yang ada bahwa Yuuka kemungkinan besar membutuhkan bantuan, dan ia secara tidak langsung meminta tolong padanya. Dan orang didepannya ini yang merupakan tunangannya malah berbicara seperti itu?
"Apa maksud—"
"Terima kasih sudah menemani makan siangku, Moriya," Yui kembali tersenyum. Ia berdiri dari tempat duduknya, berjalan menuju pintu. Akane ikut berdiri juga, ia ingin meraih lengan Yui dan menahannya agar tidak keluar. Pembicaraan mereka belum selesai.
Tapi sepertinya ia tidak perlu melakukan itu karena Yui tiba-tiba berbalik, kini mereka berdiri berhadap-hadapan. Mereka berdua terlihat seperti hendak saling menampar satu sama lain-itu lucu karena mereka berdua terlihat seperti memperebutkan Yuuka-Akane memperhatikan sepasang mata cokelat Kobayashi, menyadari jika pupil matanya bergerak secara tidak wajar.
"Aku memiliki satu permintaan. Dapatkah kau menjauhi Yuuka?"
Hatinya seketika mencelus saat Yui mengatakan hal itu. Kalimat yang singkat tapi sanggup membuat Akane terhenyak selama beberapa saat. Seharusnya ia tidak merasakan sakit di dadanya saat Yui memintanya menjauhi Yuuka. Toh, ia bukan siapa-siapa bagi Yuuka. Menjauh darinya seharusnya bukan masalah besar, kan?
Iya, kan?
Tapi saat Yui meninggalkannya sendirian di kantor Dewan Pelajar, Akane tidak bisa menahan diri untuk tidak berkaca-kaca. Kenapa aku menjadi seperti ini? Jangan salahkan orang lain, orang yang patut disalahkan tentu dirinya sendiri. Setidaknya itu yang Akane pikirkan. Itu salahnya karena membiarkan dirinya terbuai oleh sesuatu yang tidak seharusnya.
"Sial, kenapa semuanya jadi kacau begini."
"Kita harus bicara,"
Ozono yang sudah bersiap hendak menyalakan mesin motornya saat Akane berlari mendekatinya. Ia mengulas senyum ramah dari balik kaca smoke helmnya. Mematikan mesin motor, dibukanya kaca helm agar dapat melihat gadis di depannya lebih baik.
"Tentu," jawabnya. "Haruskah kita berbicara di tempat lain?"
Lawan bicaranya menggeleng singkat. Sepertinya Akane tidak berniat untuk berlama-lama disitu. "Tentang penawaranmu tempo hari. Kupikir aku memang membutuhkan bantuanmu."
Mendengar itu Ozono lantas sumringah. Ia tertawa kecil, rencananya berjalan sesuai keinginannya. "Baik... jadi kapan kita bisa saling bertukar informasi?"
"Hari minggu. Kita bertemu di tempat parkir rumah sakit jiwa Miyahama."
"Tentu saja," Ozono mengangguk. Ia kemudian menyalakan mesin motornya kembali, "Sampai bertemu di sana." jawabnya sebelum memacu motornya keluar dari tempat parkir. Suara gemerisik terdengar dari earphone yang sengaja ia pasang setiap kali ia berkendara. Tapi sekarang bukan untuk mendengarkan musik, tetapi berkomunikasi dengan seseorang.
"Rumah sakit jiwa Miyahama, hari Minggu. Jangan terlambat."
Yui tidak bisa menahan diri lagi saat melihat Risa sedang duduk bersandar di atas ranjang. Gadis berambut pendek itu tampak sehat meskipun tubuhnya terluka di sana-sini. Ia langsung memeluk Risa dan membuat gadis itu sangat terkejut. Selama ini perhatiannya tersita oleh buku yang ia baca sehingga ia tidak menyadari kehadiran orang lain di ruangannya.
Hono menutup pintu. Di tangannya terdapat satu kotak besar berisi brownies coklat yang rencananya akan mereka makan bersama. Ia meletakkan kotak itu diatas meja dan berjalan mendekati Risa.
"Kau dapat membuka matamu, huh. Tidak jadi mati, ya?" ucapnya. Senyuman lebar tersungging di bibirnya, itu membuat lesung pipinya nampak jelas dan membuatnya terlihat sebagai gadis cantik yang manis. Meski berbanding berbalik dengan caranya berbicara sehingga Seki perlu menendang kakinya saat mendengar ia mengatakan sesuatu yang kasar.
"Kupikir aku sudah mati. Tapi ternyata aku terbangun di sini." Risa menjawab. Ia mengusap-usap kepala Yui yang masih memeluknya. Tidak tahu alasan mengapa gadis itu tiba-tiba merangkulnya tanpa mengatakan apapun. Tapi Risa tidak akan protes, ia menyukai hal itu.
"Sial, bung. Ada garis mengerikan di lehermu!"
Risa mengangkat satu alisnya. Dengan perlahan ia meraba lehernya. Ia tidak terkejut saat jemarinya merasakan bekas memanjang di sana. Saat ia menggunakan kamera depan ponselnya dan menyadari ada garis kemerahan melingkar di lehernya, ia bahkan tidak berkomentar apapun.
Yang penting ikatan tali itu tidak mematahkan lehernya. Itu sudah cukup bagi Risa.
"Apa dia masih hidup?" Risa bertanya dengan nada dingin.
"Karin?" Yui memastikan.
Diamnya Risa membuat tiga tamu disana saling tatap. Mengasumsikan bahwa respon pasif darinya adalah jawaban iya.
"Untuk itu biarkan kami yang mengurus. Kau harus fokus untuk pemulihan dan kembali ke sekolah. Akan ada banyak hal yang kita lakukan," Seki menjawab. "Mengenai Karin, ia memang sudah siuman. Tusukan gunting di perutnya tidak terlalu parah."
Risa mendecakkan lidah. "Dia benar-benar gila. Aku tidak akan pernah lupa senyumannya itu saat ia menggantungku."
"Risa. Sudah kubilang jangan biarkan apapun membuat kita terpecah." Yui menyahut. "Aku lupa mengatakan ini. Tapi ini kabar baik, karena kalian berdua tidak akan dikeluarkan dari akademi. Headmaster ingin kalian menyelesaikan masalah secara damai."
"Syukurlah. Itu berita yang sangat bagus. Tapi berita buruknya adalah; mulai ada banyak asumsi liar dari para siswi karena foto yang kau lihat juga terposting di blog sekolah. Dan kita tidak dapat melakukan apapun untuk menghalau hal itu terjadi."
Sesaat setelah Seki menyampaikan berita buruk tersebut, pintu ruangan terbuka. Yuuka dengan raut muka frustasi masuk ke dalam ruangan. Ia bahkan menutup pintu dengan agak keras, suaranya berdebam membuat jendela ruangan bergetar. Gadis berambut panjang itu menyeret kakinya dan mendaratkan diri di sofa.
Hono barangkali hendak membuka mulut, mengatakan sesuatu kalau saja Yuuka tidak menginterupsi.
"Ia sama sekali tidak mengatakan apapun. Saat aku menanyakan tentang foto itu, Karin hanya menatap sekilas dan kembali melihat keluar jendela. Aku sudah berusaha sebisa mungkin agar ia mau berbicara denganku tapi tetap saja, sia-sia." Setelah berbicara seperti tidak diberi lampu merah, Yuuka menatap teman-temannya bergantian. "Bagaimana menurut kalian?"
Hono menggumam. Ia kemudian mengambil kotak brownies yang tadi ia letakkan diatas meja dan meletakkannya diatas paha Yuuka. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Seki dan Aku akan mencoba berbicara dengannya." Tidak lupa Hono mencuil sedikit dari roti tersebut dan memasukkannya kedalam mulut. "Astaga ini enak sekali."
Hono berjalan keluar ruangan dengan Seki mengekorinya. Entah kenapa saat kedua orang itu pergi, keheningan yang mencekik langsung menyelimuti tiga gadis yang tersisa di ruang rawat. Menatap Risa dan Yui bergantian, Yuuka menghela napas pasrah. Ia membuka boks brownies itu. Memang benar dari rupanya saja makanan yang satu itu terlihat enak.
Yuuka berjalan melintasi ruangan. Mendekati Risa dan Yui. "Ini enak," ucapnya sembari menyodorkan dua orang itu masing-masing sepotong. Meski agak canggung, tapi setidaknya mereka berdua menerima pemberian Yuuka.
"Apa kau masih dekat dengan, Moriya?" tanya Risa tiba-tiba. Yui mengedip bingung, dengan cepat memeriksa Yuuka yang rupanya sedang memasukkan sepotong brownies bulat-bulat ke dalam mulutnya.
"Sial. Bisakah kita tidak membahas hal itu disaat seperti ini? Ada hal penting lain yang harus dilakukan." Yuuka menjawab. Dengan mulut penuh brownies coklat.
Pintu tiba-tiba terbuka, menunjukkan Hono yang masuk sambil menggaruk lehernya yang tak gatal. Ia berkata dengan suara lantang. "Dia mengusir kami."
Mendengar itu, Yui mendengus. "Apa kau tidak berusaha lebih jauh?"
"Percuma. Ia berteriak pada kami, bahkan perawat yang kebetulan lewat langsung meminta kami pergi." Seki menjawab. Yuuka menyodorkan sepotong brownies dan ia menerimanya dengan antusias.
"Aku masih tidak yakin jika ia pengkhianat. Sungguh." Yui berkata lagi.
Ucapannya itu membuat Hono menyahut, "Kenapa kau begitu denial? Bukankah sudah terpampang jelas bukti didepanmu? Ia bahkan hampir membunuh Risa."
"Dan kenapa kau begitu bersikeras? Dengan mudahnya kau percaya jika Karin adalah pelaku? Bagaimana kalau ia dijebak oleh seseorang dan dipaksa menutup mulutnya? Terlalu banyak kemungkinan, kita tidak bisa langsung menghakiminya!"
Risa menutup bukunya. Menatap tajam kedua temannya yang kini saling berhadapan, beradu argumen.
Hono menggeram. Bom waktu kedua muncul dan hanya menunggu waktu untuk meledak. Ia menegaskan suaranya saat ia menjawab, "Dan bagaimana denganmu dan kepribadianmu yang abusif itu? Bagaimana kami tahu jika itu bukan kau yang secara tak sadar melakukan semua ini untuk balas dendam!"
"Aku tidak pernah meminta hal ini terjadi kepadaku, Tamura!" Yui berdesis. Ia mencengkeram erat kerah kemeja yang dikenakan Hono dan menariknya maju. Yui mengepalkan tangannya, seperti akan melayangkan pukulan pada wajah Hono.
BUGH
Yui terhuyung ke samping saat Hono memukul rahang kirinya dengan sangat kuat. Atlet voli itu mengibaskan kepalan tangannya, sementara tangannya yang lain mencengkeram leher Yui dan mendorongnya hingga nyaris terjatuh.
"Sial," Yuuka berang. Ia bangkit dan berdiri diantara kedua temannya. "tenanglah, kita tidak kemari untuk bertengkar!"
"Lihat, ia bahkan tidak membela diri juga. Apa yang aku katakan benar, Kobayashi? Apa aku benar?"
Yui memperhatikan Hono dengan tatapan mata tajam. Ini semua berjalan dengan sangat, sangat salah. Kenapa mereka menjadi saling menuduh sekarang? Tapi entah kenapa Yui terdiam. Ia tidak mau membalas ucapan Hono. Sebab ia juga tidak tahu, tidak yakin. Karena mungkin saja apa yang ia katakan benar?
"Hono, sudah. Itu tidak akan membantu. Yui jelas terus bersama kita dan ia tidak melakukan apapun yang mencurigakan." Seki berusaha menenangkan kekasihnya yang masih mengomel. "kau sendiri yang tahu isi kertas itu bukan nomor Yui."
"Bisa jadi mereka bekerja sama, kan? Sialan, siapapun pengkhianat itu dia benar-benar licik. Argh, aku selesai dengan ini!" Hono berjalan dengan langkah berat, bahkan ia mendorong Seki yang sedari tadi memegangi lengannya.
Sementara Yui berpikir keras. Sesuatu yang lain membayangi dirinya. Ucapan Hono agaknya mengandung kebenaran. Bisa saja selama ini mereka mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada, karena semuanya berasal dari dirinya.
"Tolong, jangan pedulikan ucapannya." Seki berkata singkat. Menyentuh pundah Yui yang naik turun karena napasnya terlanjur bertempo cepat.
Keadaan benar-benar diluar dugaan. Yuuka tidak dapat membela siapapun sekarang. Ia juga tengah memikirkan hal lain, sesuatu yang janggal yang ia temukan di apartemen Akane saat ia memasak sarapan. Sebuah papan, berisi foto The Elites, Hirate dan teman-temannya, juga siswi yang hilang itu. Untuk saat ini, mungkin ia tidak akan memberitahu teman-temannya. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anak-anak dengan kepanikan luar biasa ini pada Akane seandainya mereka tahu.
Tapi kemudian sebuah suara mengejutkan mereka. "Kasihan sekali benda lembut ini. Tidak ada yang peduli denganmu, ya? Tenang saja, aku akan menemanimu." Risa mengangkat boks brownies, memeluknya seolah itu adalah seeekor kucing. "pspsps."
Sekarang, Yuuka jadi bertanya-tanya. Apakah sirkuit otaknya memang sudah rusak karena dipukuli Karin?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top