Chapter 17: That Cold Night at the Meadows

"Kau benar-benar harus istirahat, Yuuka."

Merasakan dingin pada kulit pipinya, Yuuka tidak bisa menahan diri untuk tidak mengangkat wajahnya dan menatap lesu pada Hono yang tengah menempelkan minuman kaleng di pipinya. Ia menyambut minuman dingin itu dengan senang hati meskipun senyuman tipis yang terpatri di bibirnya tidak menunjukkan demikian. 

Sang lawan bicara berjalan kembali ke hingga ia berdiri di depan tempat duduknya, melirik rupa gelisah dan sendu Yuuka yang hanya berjarak beberapa meter saja darinya. Sama sekali tidak ada perubahan ekspresi di pahatan rupawan sahabatnya itu. Sebuah minuman kaleng yang ia berikan padanya hanya dijadikan pegangan saja oleh jemari lentiknya dan Yuuka sama sekali tidak berniat untuk menenggak habis isinya. Ia menggeleng pelan, pada akhirnya memutuskan untuk tidak duduk dan berjalan mendekati pintu beranda.

"Aku... tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang." Yuuka akhirnya berkata. Dengan pikirannya yang tertuju pada kedua sahabatnya yang terbaring lemah di rumah sakit. "melihat mereka sampai seperti itu, aku jadi teringat saat masa-masa kita masih berbahagia dulu. Hidup selayaknya seperti remaja normal, menjalani hari demi hari tanpa merasa diikuti dan diawasi setiap saat. Tapi sekarang? Hah, rasanya untuk bernapas saja sulit."

Hono menggumam. "Itu bukan kesalahanmu, paling tidak."

"Ya, berarti sebagian yang lain memang salahku."

Memang sih.

Hono menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menyunggingkan sekelebat senyuman miris. Ia sudah berjalan sekitar lima menit bolak-balik di ruangannya. Entah atas dasar apa Hono melakukan itu, tapi ia seperti tidak bisa membiarkan kakinya diam di tempat begitu saja. Kakinya memang sudah dapat digerakkan secara normal, tetapi ia masih harus melatih kakinya itu. Sudah lama ia tidak menggunakan otot kakinya yang lain sehingga sesekali ia merasakan lututnya seperti terjatuh tiap kali ia berjalan selama beberapa meter.

Akhirnya ia membuka beranda kamarnya, membiarkan angin malam masuk kedalam ruangannya. Semilir angin dingin mengusap lembut kulit wajahnya. Tidak terlalu kencang, tetapi cukup membuat surai-surai rambutnya yang berwarna kecokelatan beterbangan ke belakang.

"Kau ini. Tetap saja seperti itu. Kau masih tidak mau pulang? Apakah mereka tidak mengkhawatirkanmu atau mungkin... mencari keberadaanmu yang menghilang secara tiba-tiba?"

"Kau berbicara seakan-akan aku ini memiliki sebuah keluarga kecil yang utuh dan bekerja selayaknya keluarga harmonis pada umumnya," Hono dapat mendengar suara hembusan napas, dan ia menengok ke belakang ketika Yuuka melanjutkan, "Aku akan mencari hotel saja."

"Apa? Aih, anak ini benar-benar..." Hono tertawa kecil. Ia berbalik dan berjalan mendekati Yuuka yang masih duduk menengadahkan kepalanya ke atas. Kedua matanya tertutup rapat, tapi Hono tahu ia tidak tertidur. Dilihat dari kelopak matanya yang bergerak-gerak dan hembusan napasnya yang agak cepat, lebih tepat dikatakan jika Yuuka sengaja menutup kedua matanya untuk menenangkan diri sejenak.

Melihat jauh ke belakang, serentetan peristiwa di Sakurazaka Academy memang selalu hampir membuatnya geleng-geleng kepala. Dimulai dari beberapa siswi yang menghilang tanpa jejak, mati kecelakaan, hingga satu orang mantan siswi yang mengundurkan diri tanpa sebab yang jelas. Ia pernah bercanda pada Seki mengenai kutukan yang ada di akademi, sebuah kutukan yang dapat bersarang pada siapa saja siswi yang berani melanggar setiap aturan dasar yang ada di buku.

Tentu saja itu hanya sebatas candaan semata, sebab tidak mungkin ada campur tangan entitas tak kasat mata disini—sangat mustahil roh orang-orang yang tak sengaja mereka bunuh tidak ditarik ke alam tetangga dan justru berkeliaran di sekitar mereka. Meskipun Hono terbilang lemah di beberapa bidang akademik, ia sadar betul bahwa hal-hal supranatural kebanyakan hanya dibuat-buat demi hiburan semata dan terkadang dapat dibuktikan dengan sains serta logika yang masuk akal.

Mati berarti hubungannya dengan segala urusan dunia sudah putus. Dengan demikian, tidak ada alasan yang masuk akal bagi roh-roh itu untuk tetap berkeliaran di tempatnya bernapas sekarang. Orang-orang yang tengah mencari masalah dengan The Elites sekarang adalah manusia biasa—yang dapat disentuh, dilihat, dan dipukul apabila perlu. Dan The Elites hanya perlu memeras otak lebih keras lagi untuk mencari tahu siapa pelakunya serta bukti-bukti yang dapat memperkuat dugaan mereka.

Berbicara mengenai hal itu, sebenarnya Hono ia masih belum memberitahu Yuuka tentang hasil kerja Seki tempo hari. Malam itu, Seki hanya menghubungi Yui dan sepertinya Yui sendiri juga memutuskan untuk tidak memberitahu Yuuka mengingat gadis itu mungkin tidak pernah membawa topik tersebut untuk dibicarakan setiap kali The Elites sedang menghabiskan waktu bersama di kantor Dewan Pelajar. Ia pun mengorek saku celananya, ujung jarinya merasakan tekstur kertas. Itu berarti benda itu masih aman di sana.

Meletakkan kaleng minumannya yang tersisa sedikit di atas meja, ia menarik keluar lembaran kertas itu dan meletakkannya tepat di samping kaleng. "Aku masih tidak percaya Karin mengkhianati kita..." katanya. "sungguh. Dia yang paling kau percaya bukan? Meski Risa adalah tipe orang yang tidak berpikir dua kali sebelum bertindak dan berdarah panas, kali ini sifatnya itu membawa kita pada keberuntungan."

Yuuka menghembuskan napas frustasi, sedikit jengah ketika kata pengkhianat terdengar begitu jelas di indra pendengarannya. Ia ingin sekali tidak menggubris hal itu, tapi bibirnya gatal jika ia tidak merespon dan tetap diam. Sehingga akhirnya ia menegakkan tubuhnya, menukas ucapan Hono dengan cepat, "Yang membawa kita pada serentetan pembantaian, lagi. Tidak, Hono. Tidak ada lagi pembunuhan yang perlu kita lakukan. Aku sudah lelah dengan semua itu!" kepalan tangan Yuuka menghantam meja dan membuat kaleng minuman Hono terlempar ke atas dan jatuh menumpahkan sedikit isinya pada lembaran kertas kecil di sampingnya. Yuuka yang baru saja akan menghardik lagi, seketika bungkam dan terbelalak menatap beberapa digit angka di sana. "—apa ini?"

Kau berbicara seakan kau tidak pernah membunuh saja, Yuuka.

"Kenapa terkejut? Kupikir kau sudah mengetahui arti di balik nomor-nomor ini?" Hono mengerutkan dahi. Sebelumnya ia menduga Yuuka akan bereaksi besar, seperti langsung pergi ke rumah sakit dan menanya-nanyai Karin masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia mungkin akan melakukan apapun agar Karin membuka matanya, jike memang seperti itu.

Tapi nyatanya, Yuuka malah memberikan reaksi pasif yang sangat jauh dari prediksi Hono. Gadis itu meletakkan kembali kertas lusuh tersebut di atas meja dengan perlahan, dan membawa tubuhnya kembali bersandar pada kursi. Tetapi kali ini dengan wajah kosong tanpa ekspresi.

"Baiklah, aku anggap kau belum mengetahui ini," Hono berkata lagi. Diambilnya robekan kertas itu, mendekatkannya pada kedua mata. Ia dapat melihat torehan tinta hitam yang berantakan di sana. Ketara jelas si penulis menuliskan setiap digit angka dengan tergesa-gesa. "komputer Seki langsung hancur sebelum dia mendapatkan semua digit nomor. Jadi hanya itu yang kami dapatkan. Dan sepertinya ini sudah cukup menjelaskan semuanya."

Yuuka menyilangkan kaki kanannya di atas paha kiri. Gadis itu menyilangkan kedua lengannya di depan dada—bersedekap. "Kau sudah memberitahu Risa akan hal ini?"

"Tentu saja belum," memasukkan kertas itu ke dalam saku celana setelah membiarkan Yuuka memotret isinya dengan kamera ponsel, Hono menjawab, "Hingga sekarang kami hanya memberitahu Yui dan gadis itu sepertinya juga memilih untuk merahasiakan hal ini pada Risa untuk sementara waktu. Kita semua tahu hubungannya dengan Karin sedang tidak baik."

Suara gesekan lantai dengan kursi membuat Hono mengangkat kepalanya. Ia melihat sekelebat putih lewat di depannya, itu adalah Yuuka yang berjalan cepat melewatinya untuk mengambil tas serta blazer yang tergantung di balik pintu kamar. Ekspresi wajahnya berubah tegang, berbeda dengan Yuuka beberapa saat yang lalu. Pupil matanya melebar, dan Hono menyadari tangan dan jari-jari Yuuka sedikit bergetar saat ia memakai kembali blazer dan mengancingnya.

"Hei, mau ke mana? K—Kau tidak akan melakukan sesuatu terhadapnya, 'kan?" Hono melompat dari kursinya dan menarik pergelangan tangan Yuuka, mencegah gadis itu meraih gagang pintu. "kondisi Karin masih belum stabil, tolong jangan lakukan apapun padanya." Ditatapnya iris cokelat Yuuka saat ia mengatakan itu. Khawatir jika Yuuka akan segera bertindak sesuai apa yang ia imajinasikan tadi.

Napasnya yang tertahan langsung keluar dengan lega saat Yuuka menggelengkan kepalanya seraya berucap. "Aku akan pulang dan mengambil beberapa barang. Lagipula sekarang sudah malam, aku juga harus menghubungi Yui."

Melepaskan genggamannya di pergelangan tangan Yuuka, Hono mengambil dua langkah lebih dekat dari gadis itu. Kemudian spontan melingkarkan lengannya di tubuh tinggi sahabatnya. Gerakan itu membuat Yuuka tersentak, memang, siapa yang tidak terkejut saat orang lain tiba-tiba memeluknya dengan sedikit paksaan. Baru saja tangan Yuuka terangkat untuk membalas, Hono sudah melepaskan dirinya terlebih dahulu. Matanya memperhatikan Yuuka dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Pastikan menjaga dirimu agar tidak terluka. Kau tahu kepada siapa kau dapat meminta bantuan." Hono menyentuh bahu Yuuka dengan penuh perhatian. Seolah ia tahu apa yang telah ia alami dan apa yang akan ia alami setelah ia keluar dari rumahnya malam itu. "The Elites harus saling melindungi satu sama lain, benar begitu?"

"Seperti aku akan segera mati saja. Tapi, terima kasih."

Hono tidak mengatakan apapun saat Yuuka berjalan melewatinya dan menepuk sekilas bahu kokohnya. Ia berbalik, melihat Yuuka membuka pintu, melangkah keluar dan menghilang di balik pintu kamarnya yang tertutup. Ia juga tidak memastikan lagi ke mana Yuuka akan pergi setelah ini. Tidak, bukannya ia tidak peduli padanya. Ia sudah mengatakan pada Yuuka jika ia boleh meminta bantuan padanya, bukan? Itu artinya Hono bukan orang yang buruk.

Tetapi perihal ke mana perginya Yuuka bukanlah menjadi sesuatu yang harus ia pikirkan sepanjang malam. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah tentang bagaimana ia melakukan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. The Elites sedang dalam posisi yang serba sulit, jika memang benar Karin pengkhianat, itu artinya satu pilar sudah runtuh. Posisi The Elites di Sakurazaka akan terguncang dan mereka akan kembali setelah setahun lamanya.

Satu tahun yang lalu, saat ia masih menjadi siswi kelas satu. Saat dimana semua masalah ini bermula. Bukan tentang kecelakaan kelima siswi itu, tetapi sesuatu yang lain. Yang menjadi sisi gelap dari Sakurazaka Academy yang tidak pernah diketahui oleh siapapun selain mereka. 

Ia menoleh ke kiri. Tepat di atas meja belajarnya terdapat frame foto berbentuk persegi panjang yang tidak terlalu besar. Itu adalah foto dirinya saat upacara penerimaan siswi satu setengah tahun yang lalu, di sampingnya berdiri gadis lain sedang tersenyum kikuk—tetapi sebisa mungkin menunjukkan senyuman terbaik—merangkul Hono dengan satu lengan sementara tangan yang lain memamerkan pose peace.

"Aku akan menyelamatkanmu. Tunggulah sedikit lagi."

Mengemudikan mobil sport dengan kecepatan tinggi di jalanan bebas hambatan kota adalah hal ilegal dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang gadis yang baru saja menginjak usia tujuh belas tahun setelah beberapa bulan. Bayangan mengenai surat tilang atau kecelakaan mengerikan yang kapan saja dapat terjadi tidaklah menjadi beban di pikirannya. Saat ini hal yang ia pikirkan adalah bagaimana ia tiba di tempat itu sebelum seseorang yang ia temui tiba terlebih dahulu.

Ia harus berhati-hati karena luka jahitan di telapak tangannya belum sepenuhnya kering. Berkali-kali ia meringis menahan perih karena terlalu keras menyentuh stir atau memindahkan perseneling mobil. Karena kecepatan mobilnya, perjalanan yang sewajarnya membutuhkan waktu empat puluh lima menit dipangkas menjadi hanya dua puluh menit saja—dari sana saja dapat dibayangkan betapa cepat Yui mengemudi. Jika saja ia sedang membawa penumpang, bukan tidak mungkin orang tersebut akan mual ketika melihat keluar jendela.

Kini, mobil sudah mulai meninggalkan jalanan bebas hambatan dan memasuki jalanan biasa yang di kanan dan kirinya terdapat toko kelontong, cafe atau restoran. Tapi tujuan Yui tidak berada pada salah satu dari bangunan-bangunan yang dilewati oleh puluhan manusia sibuk itu. Tujuannya agak lebih jauh, memasuki wilayah peternakan tua, di tengah-tengah padang rumput yang sepi. Tempat di mana para gelandangan biasanya mendirikan tenda-tenda kecil untuk tempat tinggal sementara. Tidak sepelan sebelumnya, Yui meningkatkan kewaspadaan agar tidak menabrak pengendara lain di jalanan yang agak ramai itu.

Ponselnya berdering. Displaynya menunjukkan nama Seki Yumiko. Yui menurunkan volume musiknya, menyentuh layar smartphonenya yang tertempel pada phone holder.

"Ya, Seki?"

Dari ujung telepon terdengar suara gemeresak dari plastik dan suara pintu mobil yang ditutup. Barulah kemudian Seki menjawab, "Kau di mana? Kupikir kau pamit karena ingin menemui Yuuka, tapi ternyata dugaanku salah." Sekarang suara seperti membuka wadah makanan terdengar mengisi keheningan, disusul oleh suara Seki yang sedang menyeruput mie.

"Ada hal lain yang harus aku lakukan daripada harus bergelayut manja seperti anak kecil di sampingnya. Omong-omong bagaimana dengan Karin dan Risa? Orang tua mereka sudah datang?"

"Sudah. Sial, mereka terlibat pembicaraan yang sulit. Meski akhirnya masalah dapat diselesaikan dengan jalur damai. Omong-omong tiga jam yang lalu Karin sudah siuman dan ia tidak mau membuka mulutnya untuk sekedar membela diri."

Yui agak memutar stir mobilnya. Ia berbelok menuju daerah yang agak sepi. "Jadi menurutmu memang benar dia pengkhianat?"

Seki tidak menjawab. Ia seperti menghentikan kegiatannya, bahkan ia tidak menyentuh makanannya lagi. Yui sabar menunggu sambil sesekali memajukan tempat duduknya agar mendapatkan jarak pandang yang baik dari jalanan tanah di depannya. Lampu yang ada mulai minim jadi ia harus lebih berhati-hati agar tidak mobilnya tidak menabrak sesuatu.

"Kau dan aku sama-sama mengenal Karin. Dan aku yakin dia bukan tipe orang yang akan membelot begitu saja. Dia memang agak canggung tapi dia anak yang baik."

Yui mengusap wajahnya dengan kasar. Hembusan napas dari mulutnya menyebabkan kepulan asap samar yang segera memudar dalam beberapa detik. Ia mengangguk lemah atas jawaban Seki, meskipun mereka melakukan panggilan suara. Yui tidak menyahut ataupun memberikan jawaban singkat atas ucapan Seki. Matanya yang setengah tertutup dan pikirannya yang berkelit kacau membuat Yui tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan jawaban yang tepat untuk dijadikan respon. 

Seki pun seakan mengerti dengan keadaan Yui. Ditandai dengan diamnya gadis itu setelah beberapa waktu aktif berbicara dengannya—jelas saja Yui sedang menikmati sakit kepala karena terlalu banyak diberi beban pikiran sehingga Seki melanjutkan kata-katanhya.

"Lalu apa yang harus kita lakukan? Jika Karin terus diam seperti itu, maka semua akan kacau. Kita tidak tahu apa yang dilakukan Risa selanjutnya. Apa yang terjadi waktu itu jelas masih babak pertama dari berbagai siksaan yang akan Karin terima dari Risa, Yui. Kita tidak akan bisa membelanya lagi jika ia tetap bungkam."

Mobilnya berhenti di sisi jalan yang tidak lagi beraspal. Masih berada di jalanan, hanya saja berupa jalanan tanah yang dikelilingi oleh daerah berpasir. Ada beberapa tenda plastik jauh di antara padang rumput, dan tenda-tenda itu terlihat kosong tanpa penghuni. Pasti itu tempat tinggal gelandangan. Yui kemudian mengambil ponselnya, menekan tombol untuk mematikan mesin mobilnya.

"Maaf, aku sudah tiba di tujuan. Akan kuhubungi lagi nanti, ya? Selamat makan." ia berucap sebelum mematikan telepon. Sesekali melihat keluar dan mendapati masih tidak ada siapapun disana.

Yui membuka dashboard mobilnya. Di dalamnya terdapat beberapa senjata perlindungan diri. Seperti combat knife, semprotan lada, pisau swiss, dan sebuah stun gun. Tidak terkecuali brass knuckle. Biasanya ia selalu membawa brass knuckle tapi mengingat keadaan tangannya yang tidak mendukung jadi untuk kali ini ia memilih membawa combat knife. Yui menarik pisau itu keluar dari sarungnya, memperhatikan permukaannya tajamnya yang berkilat-kilat terkena pantulan lampu.

Ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Berusaha menenangkan diri. Ia melakukan hal itu selama beberapa detik sebelum memasukkan pisau ke dalam jaketnya dan melangkah keluar mobil.

Udara dingin langsung menyambutnya begitu ia melangkah menjauh dari mobil. Berbeda dengan keadaan yang lalu, di tempat itu benar-benar sepi. Begitu sepi sampai-sampai kau dapat mendengar suara detak jantungmu sendiri di telingamu. Yui berdiri seorang diri di sana, pandangannya berpendar ke seluruh area yang gelap seraya memasukkan kedua tangannya yang mulai dingin ke dalam saku jaket. Tangan kanannya menggenggam gagang pisau miliknya.

Ia tidak terkejut saat seseorang tiba-tiba mencengkeram bahunya dari belakang yang menahannya untuk berbalik badan. Justru ia baru terkejut ketika ia merasakan permukaan dingin dan tajam yang menyentuh tengkuknya dari belakang—perlahan-lahan benda logam itu bergerak memutar dan sekarang sudah berada di lehernya, meninggalkan bekas luka sayatan tipis di sepanjang leher dan darah segera mengucur keluar dari luka tersebut. Pisau itu didiamkan disana, memang tidak disayatkan pada lehernya tetapi orang itu menekannya cukup kuat sehingga pisau itu dapat mengiris tenggorokannya kapan saja.

"Aku membuatmu terkejut?"

Pisau yang tadinya nyaris memotong lehernya sekarang sudah ditarik kembali oleh si pemilik. Ia meraba darah yang keluar dari luka di leher Yui dengan pisau tersebut hingga mungkin ada noda darah yang menempel di sana. Meski perih menjalar dari leher, Yui dapat bernapas lebih lega sekarang karena tidak ada lagi pisau yang ditodongkan padanya. Meski begitu ia tidak dapat membiarkan pertahanannya lepas satu detik saja.

"Nyaris." Yui menjawab singkat. Memutar lehernya untuk dapat menatap orang tersebut melalui bahunya hanya untuk memastikan orang yang baru saja melukainya adalah orang yang memang ia cari. Itu benar-benar dia. Yui lantas berbalik dan kini sepenuhnya berhadapan dengan si lawan bicara. Jari telunjuk dan jari tengahnya mengusap darah di lehernya, Yui mendekatkan kedua jarinya yang ditempeli darah itu beberapa senti di depan mata. "Kau lupa perjanjiannya. Ini akan meninggalkan bekas merah selama beberapa hari, sialan."

"Oh. Angkat kedua tanganmu."

"Apa?"

"Kubilang, angkat. Sekarang juga."

Yui berdecak. Terpaksa ia melepaskan pegangannya dari gagang pisau di sakunya. Perlahan-lahan mengangkat kedua tangannya, mengaitkan jemarinya di belakang kepala dan duduk berlutut. Ia tidak bisa melawan saat orang yang tadi mulai menggeledah isi saku jaketnya dan mengeluarkan combat knife.

"Huh, sudah kuduga." Ozono berjalan memutar. Ia kini berada di hadapan Yui yang masih duduk berlutut dengan tangan dibelakang kepala. "berani juga kau."

"Aku hanya berjaga-jaga. Jika sewaktu-waktu kau berniat licik." Yui membalas. Ia kemudian menurunkan tangannya dan berdiri dari posisinya. Ekspresi seseorang di depannya itu.. tidak dapat ia jelaskan. Cara Ozono menatap sangat berbeda dengan Ozono yang biasanya ia lihat di sekolah.

Ozono yang didepannya mengeluarkan senyuman tanpa emosi. Tidak ada kerutan di matanya meskipun bibirnya membentuk senyuman lebar. Senyuman itu sangat mengerikan, terutama dengan pisau teracung di tangannya. Senyuman dari seorang psikopat.

"Itu kau, bukan? Apa yang terjadi pada kami." Yui bertanya pelan. Dan juga berhati-hati.

Ekspresi Ozono berubah. Ia memasang wajah seolah mengatakan yang benar saja? Apa kau serius? Pisau yang ia genggam perlahan ia turunkan dan sarungnya kembali ia tutupkan pada bagian tajamnya. "Astaga. Sudah kuduga kau mencurigaiku, lagi. Apa tidak cukup kau membuatku tertekan, Kobayashi?"

"Sejak kami berkuasa di sekolah, kau tidak lagi keluar sebagai pembuat onar. Dan itu membuatku berpikir. Siapa lagi yang akan mencari masalah dengan kami jika bukan kau."

"Yang benar saja. Dengar, Kobayashi Yui. Kau sudah membuang waktuku yang sangat berharga dengan membuatku mendengarkan tuduhan omong kosongmu. Tunggu dulu.. kau menemuiku secara pribadi. Itu berarti isi video yang waktu itu, benar adanya? Kalau begitu, kalian memang benar-benar pembunuh."

Yui memicingkan matanya. Menatap sengak pada Ozono, "Bercerminlah pada dirimu sendiri," ia mulai melangkah maju, nyaris mendorong Ozono jika ia tidak menodong wajah Yui dengan pisau.

"Sekarang aku tidak berdosa, Kobayashi. Aku tidak pernah melakukan tindakan apapun selama kalian berada di atas. Kalian sendiri yang mencari masalah, mengerti? Lagipula, apakah pernyataan Marino tidak cukup bagimu? Aku sudah bosan dengan perebutan kekuasaan demi mendapatkan posisi tinggi di hirarki akademi. Mengganggu kalian juga tidak akan memberikan keuntungan apapun untukku karena masing-masing dari kita sama-sama memiliki sesuatu yang mencegah kita untuk tidak saling mengusik."

"Dan lagi, aku tidak mau namaku ternoda oleh tuduhan tidak jelasmu itu. Sungguh, aku tidak main-main." Ozono menurunkan combat knife nya, menancapkan pisau itu jauh kedalam tanah. Ia pun berdiri, memakai kembali helm fullface hitam dan berjalan kembali menuju tempat motornya terparkir. Rei sempat menggeber motornya dan membuat telinga Yui pekak karena suara bising dari mesin motor sebelum ia melaju dengan kecepatan tinggi dan meninggalkan Yui di tengah-tengah padang rumput yang sepi.

Yui menggeram dengan kesal. Semua analisisnya yang telah ia susun matang-matang rupanya salah sasaran. Dengan marah, ia mencabut paksa combat knife  miliknya dari tanah dan memasangkan kembali tudungnya dengan tangan gemetar.Tapi jika bukan Rei, lantas siapa? Apakah memang Karin benar-benar pengkhianat? Tidak.. tidak, itu tidak mungkin.

Gadis itu lekas berjalan kembali ke mobilnya dan menyambar ponsel yang tersimpan aman di dalam saku. Membuka lockscreen ponsel, ia membuka riwayat telepon dan mengetuk nama Yuuka yang berada di posisi paling atas menu. Butuh waktu agak lama hingga Yuuka menerima panggilan telepon, sehingga Yui begitu suara Yuuka terdengar dari speaker, Yui langsung berbicara tanpa membiarkan Yuuka menanyakan sesuatu.

"Siapapun itu, jelas bukan Ozono Rei."

"Astaga, Kobayashi Yui! Apa yang ada di dalam pikiranmu sampai-sampai kau bertemu dengan Rei malam-malam begini. Argh... bagaimana keadaanmu? Apakah kau terluka? Kenapa kau tidak berdiskusi dengan kami sebelum memutuskan untuk bertemu dengannya? Kau tahu sendiri seberapa berbahayanya dia!"

Yui menyalakan mesin mobil dan mengambil jalan memutar agar dapat kembali ke daerah ramai. Ia tidak mau dihadang oleh kelompok Ozono Rei yang mungkin saja menunggu kedatangannya di jalan yang tadi ia lewati. Keringat yang ada pada leher membuat luka sayatan pisau di sana kembali terasa perih. Tapi karena luka itu bukan luka yang serius, maka Yui memilih untuk mengabaikannya.

"Kita tidak memiliki banyak waktu, Yuuka. Sadarkah kau jika kita berdiskusi si pengkhianat akan ada bersama kita juga? Lebih baik aku pergi sendiri daripada hal itu terjadi dan membuat rencana kita terbongkar pada siapapun di luar sana. Kusampaikan padamu, saat ini postingan lain di blog sekolah berisi foto yang sama dengan yang tadi pagi diposting. Jangan hapus foto itu, mereka bisa mengira kita menghapus bukti dan memperkuat kecurigaan."

"Yui, mengenai isi dari beberapa digit nomor telepon yang didapat oleh Seki. Kita semua tahu milik siapa kombinasi nomor yang tidak utuh itu. Karin"

"Memang pengkhianat, huh? Kau ini sedang membela siapa sebenarnya?"

"Maafkan aku. Apa yang terjadi saat ini membuatku nyaris kehilangan kepercayaan pada semua orang, dan aku harap kau mengerti. Uh... Aku baru saja kembali dari rumah Hono. Dan aku menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana sejak terakhir kali kita masuk ke kamarnya. Aku tidak tahu jika Hono masih menyimpan fotonya dengan Hirate."

Ia mendesis. "Lalu? Kita semua tahu jika Hono pernah berteman dekat dengannya sebelum anak itu membuatnya seperti kambing hitam di depan para pengajar."

"Aku tahu, tapi memang bukan itu yang ingin aku sampaikan. Saat itu, ia juga memelukku dan mengatakan selamat tinggal sebelum aku pergi. Anehnya, aku merasakan hawa tidak nyaman dari gadis itu. Seakan ada sesuatu yang memintaku untuk segera pergi meninggalkan rumahnya dan menjaga jarak dengannya."

"Persetan dengan itu. Jangan naif, Yuuka. Jangan terlalu percaya dengan takhayul! Daripada itu, ada hal lain yang lebih penting. Dua jam yang lalu, Seki menghubungiku dan mengatakan jika Karin sudah siuman. Ia sempat menanyakan beberapa hal singkat padanya tapi Karin menolak untuk menjawab. Jika Karin tetap bungkam dan tidak membela diri, maka semua tuduhan yang tertuju padanya bisa menjadi benar."

"Astaga, Fujiyoshi Karin! Urgh, kita tidak bisa melakukan apapun selain menunggunya bersaksi dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Terutama alasan mengapa ia melakukan percobaan pembunuhan pada RIsa."  Yuuka mendesah. "Bagaimana hasil rapat dewan? Apakah Ayahmu memberitahu hasil rapat padamu?"

"Hasil rapat akan diumumkan besok di hadapan seluruh petinggi akademi. Ayahku sama sekali tidak membahas hal ini bahkan ketika ia tiba di rumah. Ia sendiri terlihat sangat tidak baik setelah mengetahui kejadian ini. Jadi, aku tidak bisa memberikan informasi lebih banyak tentang hal ini, maaf."

"Tidak apa-apa, jangan merasa bersalah dan menyalahkan dirimu sendiri. Kau sudah berusaha keras hingga sekarang dan aku menghargai itu. Omong-omong aku harus pergi. Pastikan untuk menjenguk Risa juga. Aku mencintaimu, Yui. Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu, jadi tunggu aku, ya?" Setelah mengucapkan tiga kata itu, Yuuka tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. "maafkan aku."

Apakah Yuuka baru saja menggodanya? Ia tidak berbohong jika kalimat sederhana itu membuat jantungnya berdegup kencang dan mengirimkan kehangatan hingga leher dan telinganya yang memerah. Yui mencengkeram erat roda kemudi berusaha sebisa mungkin tidak menganggap serius ucapan Yuuka. Hanya mencegah agar dirinya sendiri tidak terlalu berharap. "Aku juga mencintaimu, Yuuka." Akhirnya ia menjawab juga. Meski ia langsung mematikan telepon dan fokus menyetir.

Tapi sejak hari itu seharusnya Yuuka sudah mengetahui perasaannya, bukan? Seharusnya Yuuka juga merasakan hal yang sama terhadapnya.

Yui mengerutkan dahinya. Sosok Moriya Akane tiba-tiba saja muncul dalam otaknya. Gadis yang akhir-akhir ini tampak didekati oleh Yuuka. Meskipun ia beralasan bahwa mereka berdua hanya teman kendati gerak-gerik Yuuka ketika berada di dekatnya justru berkata sebaliknya. Yui bertanya-tanya pada dirinya sendiri, haruskah ia mengurus masalah yang satu itu?

Sebaiknya tidak. Yuuka sudah mengerti batasnya sendiri.

Dia memang tidak tahu apa yang Yuuka pikirkan di dalam kepalanya. Untuk saat ini, Yui hanya bisa percaya pada Yuuka sepenuhnya. Mengenai hubungan Yuuka dengan Moriya Akane, Yui tidak memiliki otoritas penuh untuk mengaturnya karena Yuuka tetap berhak untuk berteman dengan siapa saja. Guna mengalihkan pikirannya dari persoalan rumit itu, ia menginjak pedal gas lebih dalam. BMW M3nya meraung buas dan meluncur di jalan raya, mendahului beberapa truk dan mobil-mobil lain yang menghalangi jalannya. Malam semakin larut dan Yui harus segera pulang dan beristirahat.

Akane menatap papan putih di dinding kamarnya. Terdapat beberapa foto dan tanda panah yang saling sambung-meskipun ada yang berakhir dengan tanda tanya. Yang pertama adalah Hirate Yurina, bersanding dengan kelima siswi yang meninggal karena kecelakaan. Kedua objek itu dilingkari dengan spidol merah.

Kemudian, The Elites. Dengan foto Fujiyoshi Karin dan Watanabe Risa agak terpisah dari foto teman-temannya yang lain. Dibawah foto kelompok Elites, Akane menuliskan beberapa poin; Pembunuhan, perundungan, pertengkaran internal. Khusus pada pertengkaran internal, ditujukan pada Karin dan Risa.

Lalu, pada bagian yang tidak memiliki foto, siswi yang hilang. Akane menarik garis dari kelompok Elites ke bagian siswi yang hilang. Tapi atas pertimbangan, ia akhirnya menghapus garis itu dan membiarkannya kosong.

Ia kemudian berbalik, menatap layar laptopnya yang menunjukkan gambar dari teman-temannya. Habu bergabung diantara mereka, karena ia sudah mengetahui rencana yang mereka miliki dan juga mereka memiliki cukup kepercayaan pada Habu. Melalui panggilan video, hanya Fuyuka yang sibuk mencatat-mencoret-coret apapun yang ada di mejanya sehingga ia tidak tahu saat Akane selesai menggambarkan peta di papan.

"Aku sudah mencatat semuanya secara beruntut. Berdasarkan informasi terakhir yang kita dapatkan dari Hirate dan juga beberapa dugaan," Akane memulai. Ia memiringkan kepalanya ke samping, menyadari sesuatu. "kameraku sedikit.. buram? Lupakan saja."

"Jadi ceritanya seperti ini. Hirate adalah korban perundungan dari The Elites. Karena suatu alasan mereka membawa Hirate ke suatu tempat, hingga teman-temannya mengetahui hal itu dan memutuskan untuk menjemput Hirate dan menyelamatkannya dari The Elites."

Koike mengangguk. Ia mengambil sebuah lembaran koran. "Sayangnya di hari itu, sehari sebelumnya tanggal 23 Desember telah terjadi badai salju sehingga jalanan licin oleh salju dan es. Mereka mungkin melaju terlalu kencang hingga mobil hilang kendali dan menabrak pagar pembatas. Karena tabrakan terlalu keras, pembatas jalan hancur dan mobil terlempar masuk ke laut."

"Benar juga. Di hari itu memang ada badai salju." Fuyuka menyahut. Ia kini sudah fokus dengan layarnya. "kerja bagus, Mii-chan!"

Kali ini Habu yang akan mengeluarkan pendapatnya, "Oh, dan tambahan. Foto dan video dari blog menunjukkan bahwa ada suatu pengkhianat dari The Elites. Berarti mereka juga ketakutan jika suatu hari terbongkar bahwa memang benar mereka membawa Hirate keluar kota di hari itu. Tapi pertanyaannya adalah kenapa mereka menarget Hirate dan bukan anak lain? Dan juga, kenapa postingan blog selalu merujuk pada kata pembunuh."

Matsuda menyahut. "The Elites memiliki alibi yang cukup kuat. Mereka sedang berada di klub mereka sendiri di malam itu. Karin memang pengkhianat, dan Risa yang mengeksekusi dirinya. Pasti ada hal yang mereka tutupi."

Akane terdiam. Kemudian menggeleng. "Tidak. Bukan Karin yang melakukan itu, aku berani bersumpah. Dia anak yang baik." Teman-temannya menatapnya bingung dari layar monitor. Mempertanyakan kenapa Akane membela Karin. "Karin pernah mengantarku pulang. Kami becerita banyak hal, dan ia menyuruhku untuk pergi dari Sakurazaka. Dia juga menyebutkan orang-orang jahat itu."

"Itu merujuk pada The Elites."

Matsuda menundukkan kepalanya. Mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "Argh ini memusingkan. Apa mereka benar-benar membunuh kelima siswi itu? Tidak mungkin! Ditambah dengan informasi dari Akane, kenapa kau tidak memberitahu kami sejak awal, eh?"

Akane tidak menggubris pertanyaan Matsuda. Wajahnya tampak serius berpikir. Setelah beberapa saat ia kembali berbicara. "Ada satu senior yang mengatakan padaku bahwa ia juga menyelidiki hal yang sama. Dia menawarkan kerja sama padaku."

"..siapa?" Koike bertanya.

"Ozono Rei. Kalian mengenalnya?"

Habu mengangkat alisnya. "O-Ozono..? Waktu aku kelas satu, dia dan teman-temannya memang terkenal di kalangan siswi. Mereka sempat terlibat konflik dengan The Elites. Entah bagaimana anak-anak itu membungkam kelompok Ozono sampai sekarang."

"Kau menerima tawarannya, Akane? Rei itu sepertinya memiliki banyak informasi yang dapat dibagi. Lebih baik daripada kita mewawancarai orang sakit jiwa dan berputar-putar disini saja." Fuyuka berkata. Beberapa temannya mengangguk, kecuali Koike. Ia tidak terlihat antusias dengan Ozono.

"Hei.. jangan menyebut Hirate orang sakit jiwa. Aku masih harus bertanya padanya tentang anak-anak yang hilang itu nanti!" Akane membalas. Disusul dengan helaan napas. "baiklah. Aku akan berbicara pada Ozono nanti. Kita sepakat dengan scenario kecelakaan tunggal, untuk sekarang."

DING

"Ada seseorang yang datang." Akane berkata. Ia kemudian berjalan mendekati pintu, mengintip pada lubang intip yang ada disana. Tapi saat ia mengintip, ia tidak mendapati apapun di luar sana. Merasa kesal, ia membuka pintu dengan agak kasar. Mulutnya sudah siap mengeluarkan kata-kata tidak sopan jika ia menemukan siapapun orang iseng diluar sana yang sudah mengganggunya.

Tapi ia langsung membatalkan niatnya. Karena ia melihat Sugai Yuuka berdiri didepannya. Ia langsung terlonjak ke belakang. "Sial, kau hantu atau apa? Aku tidak melihatmu di lubang intip!"

Yuuka tersenyum miring. Ia kemudian membungkuk, menyapa Akane. "Kupikir kau sudah terlelap. Maaf karena tidak sopan, tapi bolehkah aku menumpang di rumahmu untuk semalam saja?"

Menginap? Akane mengulang-ngulang kata itu di kepalanya. Tidak percaya dengan apa yang Yuuka katakan. Ia tidak serta merta menjawab, melainkan memperhatikan keadaan Yuuka dengan seksama. Gadis itu membawa tas ransel yang agak penuh. Dengan celana training, sepatu hiking, dan jaket bomber, Yuuka masih terlihat berkarisma.

"Kenapa kemari? Kenapa kau tidak ke rumah istrimu saja? Tempatku tidak semewah itu, kau tahu?"

"Dia bukan istriku, astaga. Paling tidak, belum."

Tapi kemudian mata Akane menangkap perban didekat leher Yuuka. Dan jika dilihat lebih teliti lagi, terdapat beberapa luka lebam di wajahnya. Yuuka juga membawa tas dengan di kaitkan di bahu kiri. Keinginannya untuk menolak mentah-mentah permintaan Elite didepannya ini seketika menguap. Entah apa yang terjadi pada Yuuka hingga ia sampai harus keluar malam dan menumpang di tempatnya.

Gawat. Aku harus segera membereskan papan sialan itu. Akane memaksa senyum, kemudian berkata. "Tunggu sebentar, oke?" tanpa menunggu jawaban Yuuka, Akane kembali masuk dan menutup pintu perlahan.

Dengan langkah agak cepat ia berdiri didepan monitor, teman-temannya menunggu. Kedatangan Akane yang agak berlari dan ekspresi wajahnya yang panik tentu membuat mereka sangat penasaran.

"Yuuka disini." Akane berkata. Ia segera menurunkan papan putih itu dan melihat sekeliling kamar. "dimana aku menyembunyikan ini, sialan!"

"Kenapa Yuuka bisa ada disana?" suara Fuyuka terdengar dari speaker laptopnya. Agak keras, dan Akane berdoa agar kamarnya memang kedap suara seperti yang dikatakan pemilik apartemen.

"Aku tidak tahu, urgh." Akane keluar dari kamar, berlari menuju dapur. Ia mengintip dibalik lemari. Ada celah kecil diantara lemari dengan dinding. Tanpa pikir dua kali ia segera menyelipkan papan itu kedalam dan berlari menuju laptopnya yang masih menyala. Tanpa mematikan video call, ia menutup lid nya dan segera membuka pintu. "Masuklah."

Membisikkan ucapan terimakasih, Yuuka pun masuk. Tidak lupa ia melepas sepatu tebalnya dan meletakkannya di tempat sepatu. Terakhir ia singgah di tempat Akane adalah beberapa minggu yang lalu, dan tempat itu tidak banyak berubah. Selain tumpukan kardus yang sudah berpindah entah kemana.

Ia duduk di kursi ruang tamu. Memperhatikan Akane membereskan beberapa barangnya yang berserakan sebelum ikut bergabung dengan Yuuka.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Sugai." Akane mengulang. Menuntut Yuuka dengan pertanyaan yang menurutnya penting.

Yuuka menatapnya sekilas. Sebelum mengalihkan matanya keatas, ke langit-langit ruangan. "Aku hanya berjalan-jalan. Tenang saja aku hanya menumpang semalam."

Akane mengerutkan dahi. Memperhatikan Yuuka sekali lagi. Wajah gadis itu tampak lelah, dibandingkan dengan Yuuka saat mereka Akane pertama kali bertemu. Ia sebenarnya ingin menanyakan lebih lanjut tentang luka di tubuh Yuuka. Tapi ia akhirnya membatalkan niatnya.

"Sebentar." Akane berdiri dari kursinya. Mengambil ponsel yang ia biarkan di kamar dan kembali lagi ke tempatnya semula. "kau mau makan apa? Jangan yang mahal, uangku tidak cukup banyak." Ucapnya. Ia sudah membuka aplikasi delivery.

"Hei. Tidak perlu, aku sudah makan saat perjalanan kemari."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan memesan ayam saja, kau harus menghabiskannya." Akane menjawab singkat dan mulai sibuk dengan ponselnya. Setelah mengkonfirmasi pesanan, ia meletakkan ponsel diatas meja.

Suasana kembali hening. Dua orang tersebut sama-sama bingung hendak mengatakan apa. Disamping itu Yuuka juga sedang dalam keadaan yang sulit, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan topik pembicaraan. Akane tentu saja, panik. Berharap Yuuka tidak menemukan papan yang ia sembunyikan di balik lemari dapur.

Berada di tengah keheningan memang tidak nyaman. Akane memutuskan untuk memecahkan es batu diantara mereka. Ia mengingat saat Yuuka memberikan payung padanya tempo hari, "Terima kasih. Kalau kau tidak datang waktu itu mungkin aku tidak akan bisa pulang."

"Aku hanya kasihan. Lagipula kita saling kenal dan tidak mungkin aku membiarkanmu begitu saja." Yuuka menjawab. "omong-omong Yui sempat marah padaku setelah itu." Ia terkekeh. Tangannya menutupi mulutnya saat ia tertawa.

Ternyata pacarnya marah.

Akane tidak memiliki bahan pembicaraan lagi. Dalam hati ia berharap agar pengantar makanan akan datang lebih cepat. Meskipun itu tidak mungkin. Ponselnya berbunyi, ia mengambilnya dan mengecek pesan yang masuk. Lagi-lagi itu berasal dari nomor tidak dikenal. Tetapi ada nama penulis di akhir email.

Kobayashi Yui. Akane menelan ludah. Isi emailnya tidak mencurigakan, tetapi Akane tetap kebingungan bagaimana ia menjawab. Padahal Yui hanya mengajak Akane bertemu saja.

"Aku, Risa dan Yui adalah teman masa kecil,"

Akane mengangkat kepalanya. Suara Yuuka membuatnya sadar dari imajinasi liar tentang Kobayashi Yui yang akan menghajarnya karena dianggap merusak hubungannya dengan Yuuka. Lihat, bahkan dengan The Elites yang lain saja ia masih takut.

"Risa itu anak yang sangat serius dalam segala hal. Orang tuanya adalah orang militer, tidak heran. Ia juga memiliki anger management yang buruk hingga ia dapat meledak kapan saja jika ada hal yang membuatnya tidak senang. Tapi sebenarnya dia orang yang baik dan pengertian. Ya, meskipun baik dan pengertian dalam pemikirannya dapat kau katakan sebagai sesuatu yang menyebalkan."

"Sementara Yui adalah anak yang cenderung pasif. Tapi terkadang juga bisa agresif. Dia memiliki pengalaman traumatis saat masih kecil, tapi ia tidak pernah menceritakan pada kami pengalamannya itu. Tidakkah aku pernah mengatakan jika ia berkepribadian ganda?"

Akane mengangguk.

"Mungkin pengalaman di masa lalu itu membuatnya memiliki gangguan dalam dirinya. Saat kepribadiannya yang lain pertama kali muncul, ia akan bersikap agresif dengan segala hal. Bahkan dengan orang terdekat."

"Kami masuk di SMP yang berbeda dan bertemu di Sakurazaka Academy. Saat kelas satu juga ayahku memberitahu tentang perjodohanku dengan Yui." Akane terbelalak. Ia berpikir jika selama ini mereka berhubungan atas kehendak mereka sendiri. "urusan orang tua. Dan anak mereka yang menjadi korban." Yuuka mengakhiri cerita singkatnya.

"Tentang Fujiyoshi..." Akane berkata. Agak ragu-ragu.

"Risa dan Karin sebelumnya adalah teman dekat. Karin menganggap Risa sebagai seorang kakak yang dapat ia andalkan dan Risa menganggap Karin sebagai adik yang harus ia lindungi. Tapi karena suatu hal mereka jadi saling membenci." Yuuka menghembuskan napas kasar. "aku tidak menyangkan mereka bisa saling bunuh."

"Kenapa mereka bisa sampai seperti itu?" Akane mulai bertingkah antusias. Tapi sebenarnya ia memberikan pertanyaan umpan.

Yuuka mengangkat kepalanya saat Akane selesai dengan pertanyaannya. Menatap langsung ke mata Akane, sama sekali tidak berkedip. Yuuka tidak menjawab dan hanya menatap Akane saja. Dan itu membuat Akane salah tingkah. Lagipula siapa dia sehingga harus tahu seluk beluk The Elites? Ia hanya murid baru yang kebetulan dekat dengan salah satu anggotanya. Bukan berarti ia punya hak untuk mengetahui segalanya.

"Moriya," Yuuka akhirnya mengeluarkan suara juga. Tapi nada suaranya menjadi agak serius sekarang. "terkadang ada hal yang memang seharusnya tidak perlu kau tahu. Memang sudah sikap ilmiah manusia dipenuhi oleh rasa ingin tahu. Tapi, kau harus sadar bahwa rasa ingin tahu mu bisa kapan saja membawamu dalam masalah besar."

Akane membeku. Tanpa sadar ia menahan napasnya. Ucapan Yuuka memukulnya sangat keras. Sebuah pukulan telak yang tidak Akane duga. Kepercayaan dirinya seketika runtuh. Hancur seperti patung berhala yang dihancurkan oleh sebuah kapak. Keraguan, rasa takut, apapun itu menguasai Akane seperti tumbuhan parasit.

Tetapi, sebenarnya Yuuka tidak bermaksud membuat Akane seperti itu. Ia sebenarnya sedang menyindir dirinya sendiri.

Tidak ada yang menyadari bahwa bel pintu berdering. Butuh waktu bagi Akane untuk kembali ke dunia nyata. Saat ia hendak berdiri, Yuuka menekan bahunya dan membuatnya duduk kembali. Gadis itu melangkah ke pintu, menerima pesanan makanan mereka dan memberikan sejumlah uang-tanpa menerima kembalian.

Yuuka kembali dengan membawa satu kotak besar ayam goreng. Dengan dua gelas besar minuman. Ia meletakkan box itu diatas meja dan mulai membuka kotaknya. Akane masih tidak bergeming. Rupanya bau dari ayam yang masih berasap itu tidak menggugah indra pemciumannya.

"Kau tahu masalah tentang keingintahuan?" Yuuka iseng duduk disamping Akane. Agak mengikis jarak diantara mereka. "ada dua orang yang mencabut sebuah penutup dari tempatnya dan membuat seluruh laut menyusut. Kau tahu itu? Aku menonton Spongebob Squarepants."

Ucapan random Yuuka membuat Akane tanpa sadar tersenyum. Entah bagaimana candaan Yuuka barusan menaikkan emosinya. Yuuka lalu menepuk bahu Akane dengan lembut seraya berdiri, berjalan menuju tempat duduk di seberang Akane. "Ayo, makan. Aku yang membayar."

Akane menatap Yuuka yang terlihat sangat antusias. Ia pun mengikuti. Mengambil potongan ayam dan meletakkannya di piring. Melihat Yuuka sekali lagi, padahal Akane tidak keberatan jika Yuuka memilih untuk duduk di sampingnya.

Seorang perawat baru saja meninggalkan kamarnya. Baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap cairan infus. Meskipun rahangnya ngilu, ia tidak keberatan saat si perawat mengajaknya berbicara beberapa kalimat. Setidaknya itu membuatnya tidak merasa kesepian di kamarnya yang sepi.

Ruangan VIP sebesar itu jika hanya dipakai oleh dirinya seorang memang terasa sangat lengang. Hanya terdengar suara air conditioner. Dirinya juga mulai terbiasa dengan bau obat. Tetapi tetap tidak terbiasa dengan sensasi aneh di sisi tubuhnya. Seperti.. basah? Rasanya seperti bagian dari dagingnya tidak menyatu, dan saat ia bergerak bagian itu terasa sangat sakit.

Ia menatap langit-langit. Membiarkan rasa kantuk menguasainya. Namun dalam hati ia mengutuk siapapun orang yang telah memberikan tuduhan-tuduhan itu kepadanya. Dia bukanlah seorang pengkhianat.

Dirinya memang ada disana. Ia memegang kaleng cat itu karena murni kesengajaan. Ia langsung menyembunyikan kaleng itu didalam tas nya karena takut Risa akan mengetahui dan menghajarnya di tempat. Kalau dipikir-pikir posisinya memang sangat tidak mengenakkan. Apapun keputusannya saat itu, ia tetap akan dihajar oleh Risa.

"Aku harap dia baik-baik saja." Ia menggumam. Karin sama sekali tidak sadar saat ia menggantung Risa. Ia baru menyadari hal mengerikan itu saat suara keras dari pintu yang di dobrak membuatnya bangun.

Lagipula Risa tidak memberinya pilihan lain selain membela diri. Dan itu adalah caranya membela diri.

Click

Karin menajamkan pendengarannya saat suara pintu disusul oleh suara langkah kaki perlahan mendekatinya. Untuk alasan kenyamanan, hanya lampu di dinding belakangnya saja yang menyala dan bukan lampu utama. Dan Karin menyesali itu sekarang karena ia tidak dapat melihat dengan jelas siapa orang yang datang tanpa permisi di kamarnya.

Kelambu disibak, memunculkan sesosok manusia dengan rambut terikat. Ia memakai jaket kulit berwarna gelap. Saat orang tersebut mendekat, Karin merasa dirinya sedang dalam bahaya. Sebab tangan kanan orang itu membawa sebilah pisau cutter. Perlahan wajah orang tersebut mulai nampak, dan sontak itu membuat Karin melebarkan matanya tidak percaya.

Di hadapannya adalah sosok pengkhianat yang sebenarnya.

"Jangan takut. Aku hanya datang kemari sebentar untuk menjenguk rekan kesayanganku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top