Chapter 16: The Fall of the First Pillar

Ozono Rei, siswi tingkat 3. Saat ini ia tengah berada di dalam ruangan khusus dengan dinding beton yang dingin—suatu tempat di dalam lingkungan Sakurazaka Academy. Bagian yang paling tersembunyi, dimana tempat itu hanya diketahui oleh teman-teman terdekatnya yang paling ia percaya. Bahkan petugas keamanan pun tidak mengetahui keberadaan tempat itu sejak tahun pertama ia berada di Sakurazaka. 

Bagi dirinya tempat itu sudah hampir seperti rumahnya sendiri. Sebagian besar waktunya sebagai pelajar ia habiskan di ruangan itu. Bahkan saat libur, atau malam hari dia akan memakai student card miliknya untuk menyelinap masuk ke dalam area akademi dan bekerja di dalam sana, sendirian.

Ruangan itu terbagi menjadi dua dan dipisahkan oleh pembatas kayu yang tebal. Ruangan utama adalah tempat dimana Rei berada sekarang. Terdapat tumpukan kertas dan file arsip di atas meja, dengan beberapa kursi dan sebuah kulkas kecil. Ruangan lainnya tidak memiliki perabotan selain papan tempat perkakas digantung, beberapa karung goni kosong dan sebuah kursi yang beradadi tengah-tengah ruangan. Di ruang perkakas, lampu yang digunakan adalah lampu dengan aliran listrik yang rendah sehingga cahaya yang dihasilkan tidak terlalu terang.

Ia mengetuk-ngetuk meja kerjanya yang penuh dengan goresan sembari tangan kirinya memegang ponsel. Menunggu seseorang di seberang sana menjawab pesan darinya. Matanya sesekali melirik monitor CCTV di atas meja.

Suara langkah kaki yang menggema masuk ke dalam indra pendengarannya. Ia tak mau repot-repot menengok untuk mencari tahu siapa orang yang baru saja datang karena sekarang memang hanya ada dua orang yang sedang berada di basement—dirinya sendiri, dan satu orang lagi, Endo Hikari. "Takemoto sudah berada di lokasi?" tanya Endo. Ia berdiri di hadapan sebuah laptop, layarnya menunjukkan tampilan utama dari blog sekolah.

"Ya. Inoue juga bersama dengannya," Rei menjawab singkat. Ia meletakkan ponselnya dan bangkit berdiri untuk berjalan mendekati dinding ruangan yang cat nya mulai mengelupas. Di sana terpajang lima bingkai foto, di bagian bawah foto diberikan kode angka yang ditulis dengan tinta merah. "Gadis itu terlihat ragu. Aku jadi sedikit khawatir." ucapnya kemudian.

"Saat melihatnya, aku merasa seperti sedang melihat diriku sendiri di masa lalu." Endo menggumam pelan, "Dia baru beberapa kali melihat hal serupa. Sebagai manusia, wajar saja dia merasa seperti itu. Ingatkan saja dia dengan seniornya dan dia akan mematuhimu lagi seperti anjing liar yang berhasil dijinakkan dengan sepotong tulang."

"Benar. Biarkan anak itu melihat pertunjukan ini, biarkan perasaan puas dari dendam yang terbalaskan itu menghangatkan hatinya yang hancur." Rei tertawa. Suara tawa nya menggema di ruangan tertutup itu, bersamaan dengan bunyi notifikasi dari ponsel miliknya. Saat ia melihat email yang masuk, sebuah senyuman terpatri jelas di wajahnya. Sebuah senyuman—seringaian yang mengerikan dan mengintimidasi.

"Informan kita sudah memberi izin. Sekarang giliran kita untuk bergerak." diambilnya palu bernoda coklat dari atas meja, mengayun-ayunkannya dengan penuh semangat. "Hikari, hancurkan pilar pertama." tepat setelah itu, Rei mengayunkan ujung palu dan menghantam bingkai kaca bertuliskan angka satu.

"Apa ini tentang Yui?"

Mendengar nama itu genggaman tangan Risa pada gelas minumannya menjadi agak erat. Es batu di dalamnya membuat bunyi nyaring saat ia menggoyangkan gelasnya sedikit. Tidak langsung menjawab, Risa meneguk cairan berwarna gelap itu dengan satu tegukan hingga habis tak bersisa.

"Jangan katakan padaku bahwa kau datang hanya untuk mabuk," Yuuka berkata sekali lagi. Kali ini, dengan suara yang lebih tegas. Gadis itu sama sekali tidak menyentuh atau menuangkan minuman dari botol minuman beralkohol yang ada di depannya. Gelas miliknya masih kosong, berbeda dengan milik Risa yang kini sudah kembali terisi penuh.

Setelah meneguk habis isi gelasnya untuk yang ketiga kali, Risa kemudian benar-benar meletakkan gelas minumannya. Dirogohnya kantung bagian dalam jaketnya dan ia mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam sana dan meletakkannya di atas meja setelah menggeser botol minuman menjauh dari pandangan Yuuka. Gadis berambut pendek itu tanpa mengatakan apapun menata lembaran foto itu sedemikian rupa, secara rapi mulai dari sisi kiri ke kanan. 

Yuuka mengira Risa akan menunjukkan foto aneh atau foto dari stalker yang baru-baru ini mereka khawatirkan. Tetapi, ternyata tidak. Dan jujur saja, Yuuka merasa lega karena Risa hanya menunjukkan foto dari lima orang gadis yang tampak familiar baginya. Diliriknya Risa yang sedang menatapnya sekilas, kemudian ia kembali menatap pada lembaran foto yang ditunjukkan padanya di atas meja. 

"Kenapa kau menunjukkan foto gadis-gadis ini padaku? Kau tahu sendiri aku sudah mengakhiri hubunganku dengan mereka semua beberapa minggu yang lalu. Lagipula, kau tidak ada sangkut pautnya dengan sisi lain dari kehidupanku yang satu ini, Risa." Yuuka mengusak rambutnya dengan kasar. Kekesalannya pada Risa kembali memuncak ketika gadis itu mengeluarkan selembar foto lagi dan meletakkannya di atas meja—foto Moriya Akane. Mengernyit dalam, Yuuka memandang Risa dengan tatapan tajam. "Apa maumu, Watanabe Risa?"

"Kau tahu apa maksud dan tujuanku meletakkan foto Moriya bersama dengan foto selingkuhanmu yang lain, brengsek."

"Apa ya? Sebentar, biarkan aku berpikir dulu," Yuuka memejamkan mata seraya membawa jari tulunjuk dan ibu jarinya menyentuh dagu—membuat gestur seakan-akan ia sedang berpikir keras. Beberapa detik kemudian, ia menjawab, "Apakah kau iri denganku karena ada lebih banyak gadis yang tertarik dan memintaku untuk berkencan dengan mereka? Aku tahu aku begitu berkharisma dan memiliki daya tarik tertentu bagi para wanita, jadi kau tidak perlu terkejut seperti itu."

"Berhenti membual, dasar gila! Jangan pikir aku tidak tahu kedekatanmu dengan Moriya." Risa menyahut. Dengan santai dan mengabaikan rahang Yuuka yang mulai agak mengeras, gadis itu merentangkan tangan untuk mengambil gelas dan mengisi penuh setengahnya. "Oh, kenapa ekspresimu berubah seperti itu? Apakah asumsiku tentang perselingkuhan kalian berdua itu benar adanya?"

Yuuka tersenyum kecil. "Aku seharusnya tahu cepat atau lambat kau akan membahas hal ini bersamaku. Jawabanku adalah, aku dan Moriya hanya sebatas teman dan tidak lebih dari itu. Hubunganku dengan Yui tetap baik-baik saja."

"Kau melukai Yui," Risa menegakkan tubuhnya, menunjuk Yuuka dengan jari telunjuknya. "jika kau memang tunangannya, seharusnya kau mengerti batasmu. Dia ada di sana saat kau berkencan dengan gadis-gadis lain. Dia juga melihatmu saat kau mencoba untuk mendekati Moriya. Yuuka, dia tetap diam saat kau bermain di belakangnya, kenapa kau masih saja tidak mengerti. Aku tidak tahu lagi, sebenarnya apa yang ada di dalam pikiranmu?"

"Yui menceritakan hal itu padamu?" Yuuka bertanya dan Risa menjawabnya dengan anggukan kepala. "Kalau begitu, seharusnya kau juga tahu jika hubungan kami berdua hanya sebatas urusan bisnis orang tua kami."

Risa menggigit bibirnya, berbicara dengan Yuuka perihal ini memang membuatnya naik darah. Respon Yuuka yang tidak menganggap serius topik yang diangkat Risa membuatnya harus menahan diri untuk tidak memukulnya dengan botol kaca. Ia tidak tahu lagi, apa yang sudah rusak di dalam kepala temannya ini. Ia sudah melakukan berbagai hal yang seharusnya tidak bisa ditoleransi lagi, tapi mengapa ia justru menganggap bahwa semua itu hanya hal kecil yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan?

Emosinya sudah ada di titik limit sekarang. Tanpa berpikir panjang, Risa menyambar botol kaca hitam yang ada di atas meja dan bangkit berdiri mendekati Yuuka dengan gerakan cepat. Ia menarik sweater Yuuka, sementara tangan kanannya menggenggam erat botol kaca. Risa berniat untuk memukul Yuuka, tapi ia tak kunjung melakukannya karena tangan Yuuka tiba-tiba menyentuh tangannya.

Risa dapat merasakan tangan kanannya yang mencengkeram botol mulai bergetar.

"Jangan lakukan itu," sela Yuuka. Ia melepaskan cengkeraman tangan Risa dan menyandarkan tubuh pada kursi, merentangkan kedua tangannya di atas sandarannya seraya menatap Risa dengan sorot mata 'bersahabat'. Kalimat selanjutnya yang ia lontarkan terdengar seperti ancaman terselubung yang ditujukan pada Risa. "Kau sedang berada di wilayahku. Jika kau membuat masalah di sini, aku tidak tahu cara apa yang akan aku lakukan untuk membereskan semuanya." Yuuka terkekeh pelan. Ia kembali menegakkan tubuhnya, menggunakan tangan kanan untuk memangku wajah. "Kau tahu aku tidak pandang bulu saat melakukan eksekusi, iya kan? Sudah lama aku tidak mengotori tanganku sendiri dengan darah, Risa. Aku tidak keberatan jika malam ini aku harus menghabiskan waktu semalaman untuk mencuci tanganku dari darah manusia."

Ia tahu Yuuka tak sepenuhnya serius dengan ancamannya. Ia juga tahu betul Yuuka tidak akan benar-benar melakukan apa yang ia ucapkan barusan kepadanya. Hanya saja, Risa tetap tidak bisa mengelak bahwa ucapan Yuuka barusan cukup membuatnya gentar. 

"Sejak kapan kau menjadi menyebalkan seperti ini, huh?" Risa berkata dengan nada tidak bersahabat. Diletakkannya botol hitam yang semula akan ia gunakan untuk memukul kepala Yuuka di atas meja dengan satu hentakan keras. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentang hubungan kalian. Tapi Yui sangat mempercayaimu, Yuuka. Dia tetap diam saat ia tersakiti olehmu dan aku harap kau mau mempertimbangkan itu."

Yuuka menurunkan wajahnya. Ia benar-benar tahu dengan fakta bahwa Yui tersakiti karena perlakuannya pada Moriya pada saat itu. Meski Risa tidak dapat melihat ekspresi wajah Yuuka, tetapi ia tetap melanjutkan. "Ini hanya peringatan. Jika aku sampai mengetahui kau bermain di belakang Yui lagi..." Ia berdiri dari tempat duduknya. "Aku rasa aku tidak perlu memberikan penjelasan lagi."

Melihat mobil Yuuka memasuki gerbang utama membuat Risa tidak sengaja mengingat pembicaraannya dengan gadis itu tempo hari. Sebuah pembicaraan yang membuatnya naik darah hingga ia tanpa sengaja memecahkan layar ponselnya ketika berjalan keluar menuju tempat ia memarkir mobil di halaman kediaman Sugai. Ia memang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan mereka berdua, tetapi karena Yui adalah teman baiknya dan juga orang yang ia cintai, Risa merasa harus melibatkan diri.

Risa tidak terlihat seperti mau keluar dari dalam mobilnya. Ia masih betah memperhatikan Yuuka dan Yui yang terlihat seperti membicarakan sesuatu. Wajah Yui terlihat serius saat ia menunjukkan sesuatu pada Yuuka dari layar smartphonenya. Risa menyipitkan matanya, berusaha membaca gerak bibir mereka agar dapat mengetahui apa yang mereka bicarakan.

TING

Email? Apa mereka mengirimkan email padaku? Risa melihat pada pasangan itu, kemudian beralih pada ponselnya.

Sekali lagi, email itu tidak memiliki pengirim yang jelas. Dengan kata lain, pesan hitam. Pesan itu berisi sebuah foto yang diambil dengan sembunyi-sembunyi. Foto Karin yang sedang memegang sebuah kaleng cat, di samping mobil Risa yang penuh coretan merah. Melihat sekilas pada foto itu sudah cukup membuat Risa menggeram penuh amarah. Ia membuka pintu mobilnya dan segera berlari ke dalam gedung kelas dua, tidak mempedulikan Yuuka berteriak memanggil namanya.

Para siswi yang kebetulan berada di sana sontak berteriak panik saat Risa yang baru saja datang langsung mendorong Karin dengan sekuat tenaga hingga ia terjungkal ke belakang. Teriakan itu berubah menjadi teriakan histeris saat kapten basket itu menarik kerah blazer Karin dan memaksanya berdiri dengan sangat kasar. Karin berontak, tapi Risa menampar wajahnya dengan sangat keras hingga ia terhuyung ke samping. Tidak peduli dengan kepanikan dari siswi lain, ia menyeret Karin menuju ruang kelas kosong di lantai tiga.

Risa mendobrak pintu, melemparkan Karin hingga ia tersungkur dan sempat tidak mampu berdiri. Karin beringsut mundur, tubuhnya gemetar setengah mati saat Risa selesai mengunci pintu dan berbalik menghadap dirinya. Tatapan matanya menunjukkan amarah yang sangat besar, dipenuhi oleh dendam dan kebencian. Sampai-sampai ia merasa Risa dapat membunuhnya hanya dengan tatapan mata saja.

"Dengarkan aku dulu, kumohon. Kau salah paham, bukan aku yang melakukan itu!" Karin berkata, sedikit tergagap. Ia semakin gemetar saat Risa berjalan mendekatinya. Ia tersentak saat Risa meraih batang lehernya, "Bukan aku, Risa!"

BANG

Rasa nyeri luar biasa dapat ia rasakan dari kepalanya saat Risa menghantamkan kepalanya ke dinding dengan sangat keras. Ia berteriak kesakitan saat Risa melepaskan cengkeramannya dan memukul dadanya dengan kepalan tangan. Kepalanya bocor, aliran darah mengalir dari kepalanya. Pandangannya seketika buram dan keseimbangannya tidak stabil. Darah menempel di dinding dan telapak tangannya saat ia memegangi kepalanya yang berdarah.

"Aaaarrrrgghhh!" Karin berteriak, merasakan sakit di kepalanya. Dengan pandangan buram, ia masih dapat melihat Risa berdiri di depannya tanpa ekspresi apapun. Ia terus berusaha untuk bergerak mundur, berusaha menjauh dari Risa.

"Seharusnya aku sudah membantaimu sejak hari itu, Fujiyoshi. Sejak hari dimana aku mencurigaimu sebagai pengkhianat di antara kami dan aku menyesal mengapa aku tidak melakukannya saat itu," Risa berucap dengan suara rendah, tatapannya menjadi semakin mengerikan saat ia menggulung lengan blazernya hingga ke siku.

Pintu ruang kelas digedor-gedor, berusaha dibuka paksa. Suara Yui dan Yuuka  yang berteriak panik dapat ia dengar dengan jelas. Mereka—dan siapapun yang ada di luar sana meminta Risa untuk membuka kunci pintu dan melepaskan Karin. Namun, ia tidak mendengarkan mereka dan justru memberikan senyuman keji. Mereka tidak akan bisa membuka pintu karena ia juga sudah menahannya dengan meja dan kursi yang berat.

Karin berusaha berdiri meskipun ia agak sedikit oleng. Wajahnya berlumur darah, ia bahkan mengusap matanya yang tertutup oleh darah. Ia menatap Risa, hatinya terasa panas. Sebuah emosi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Kali ini ia dapat merasakannya. Rasa takut, marah bercampur menjadi satu dalam dirinya. Ia dapat mengingat, terakhir ia merasakan hal itu adalah saat Yuuka menabrak mobil dan membunuh teman-teman Hirate.

"Apa itu solidaritas, Risa? Kau tidak pernah mempercayai temanmu sendiri. Apa arti The Elites bagimu? Kau hanya mengkhawatirkan reputasimu yang akan hancur jika kasus itu terbongkar? Sadarkah kau jika itu terjadi karena kesalahanmu juga?" Karin berkata dengan suara parau. Ia kini berdiri tegak karena kesadarannya sudah sepenuhnya kembali.

"Apa maksudmu?"

"Jika kau tidak membawa Hirate ke tempat itu, kejadian itu tidak akan pernah terjadi! Kita tidak perlu menghabiskan seluruh hidup kita untuk menutupi rahasia busuk ini, bajingan."

Risa berteriak, ia berlari dan melayangkan pukulan ke wajah Karin. Ia dapat menghindari pukulan Risa sehingga kepalan tangan Risa hanya menyentuh udara. Karena kekuatan Risa, tubuhnya terlalu berputar sehingga ia tidak mampu menyiapkan diri karena Karin langsung memukul perutnya dengan kuat. Karin melangkah mundur, melayangkan kakinya—roundhouse kick dengan sasaran kepala. Tulang keringnya beradu dengan lengan Risa, gadis itu masih dapat menahan serangannya.

Ia memang selalu takut pada Risa. Tapi tidak kali ini, ia tidak akan membiarkan harga dirinya diinjak. Suara gedoran pintu dan suara teriakan teman-temannya dari luar semakin riuh seperti menghilang, seperti hanya ada mereka berdua di dunia. Hanya ada Risa dan Karin yang saling menatap liar satu sama lain. Detik itu, rasa takut seperti dtiarik keluar dari ruhnya.

"Kau pikir untuk apa aku melakukannya? Itu untuk kepentingan semuanya!" Risa mendorong Karin sekali lagi. Ia menjadi lebih serius sekarang. "kau ingin semuanya mati terbunuh? Kau ingin ada lagi korban di kuburan itu?" ia menjegal kaki Karin dan menjatuhkannya, tubuh mereka saling tumpang tindih sekarang. Ia memukuli muka Karin tanpa ampun, tanpa jeda sedikitpun.

Darah bercipratan di mana-mana, seragam putih mereka dipenuhi noda darah, buku-buku jarinya terasa ngilu tetapi pukulannya menjadi semakin kuat. Karin terengah-engah, ia tidak bisa diam saja. Dengan menggunakan kaki, ia menendang Risa dan membalik posisi mereka. Dengan cepat ia berdiri, menginjak dada Risa dengan menggunakan lututnya.

Tubuh Risa lebih besar darinya, dan itulah kelemahan Risa. Karin memang memiliki tubuh yang lebih kecil dari Risa tetapi ia lebih cepat dan lincah dalam bergerak. Masih menginjak tubuh Risa dengan lututnya, ia melepaskan ikatan dasi di lehernya. Kemudian dengan cepat melingkarkan dasi tersebut di leher Risa dan menariknya dengan sekuat tenaga.

"Karin, sialan!" Risa berontak, berusaha melonggarkan ikatan tali di lehernya. Dasi itu seperti akan menghancurkan tenggorokannya, nafasnya tercekat. Dia akan mati jika ia masih berusaha melepaskan ikatan dasi itu.

"Matilah, matilah!" Karin semakin memperkuat tarikannya, Risa semakin sekarat. Wajahnya membiru, ia tidak bisa bernapas karena dadanya diinjak dan tenggorokannya di cekik.

Aku tidak bisa mati di sini.

"ARGH, PENGKHIANAT!"

Saat ia merasa kematian akan menjemputnya, Risa memaksa kakinya untuk bergerak. Ia menendang kaki Karin yang lain dan membuat gadis itu jatuh menimpa tubuhnya. Matanya menangkap gunting tidak jauh dari mereka. Segera saja Risa mengambil benda itu, menusukkan gunting ke perut Karin dan berguling menjauh, sama sekali tidak mengindahkan teriakan Karin yang menahan sakit karena tusukan gunting.

Berpikir bahwa dirinya sudah aman, Risa berusaha mengambil oksigen ke dalam paru-parunya dengan menarik napas dalam berkali-kali. Tetapi Karin tidak menyerah begitu saja. Ia mendengar suara dari sudut ruangan, Karin mencabut paksa gunting yang menusuk perutnya dan mengambil kursi, kemudian melemparkan benda berat itu hingga mengenai kepala Risa. Gadis tinggi itu langsung tumbang dan terkapar tidak bergerak di lantai.

Hal yang terjadi selanjutnya adalah hal yang sama sekali tidak direncanakan oleh Karin. Tubuhnya seperti bergerak sendiri tanpa keinginannya. Ia menyeret tubuh Risa mendekati jendela. Menatap lekat-lekat wajah penuh lebam dan berdarah-darah itu, ia sama sekali tidak merasa takut.

Diambilnya sebuah meja dan dengan susah payah ia mengangkat tubuh Risa ke atas meja, ia harus menopang tubuh Risa agar ia tidak jatuh bersamanya. Hembusan napas Risa dapat ia rasakan di lehernya saat ia mengikat ujung lain dari dasinya ke daun jendela.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau akan membunuhku, huh?" Risa berucap dengan napas tersengal. Melalui wajahnya yang berlumur darah, Risa dapat melihat bibirnya berkedut membentuk seringaian. "Kau memang pecundang."

Karin tidak menjawab. Ia mengusap leher Risa, kemudian naik ke wajahnya. Senyuman masih tetap terpatri di bibirnya. "Selamat tinggal." Karin melompat turun, menendang meja yang masih membantu Risa berdiri menjauh dan membuatnya tergantung dengan leher terikat.

"Bajingan! Akh—" Risa berusaha melepaskan ikatan dasi di lehernya meski ia tahu akan percuma. Ia akan segera mati, dan ia tahu itu.

Saat pintu itu berhasil didobrak hingga terlepas dari engselnya, mereka tidak memiliki waktu untuk terkejut saat melihat Risa tergantung meronta-ronta. Karin mendengar suara keras itu, seketika tersadar dari apapun yang telah merasuki dirinya. Ia jatuh terduduk saat melihat Risa tergantung di depannya. Sekelebat warna putih lewat di sampingnya, Karin tahu itu Yui. Ia menahan kaki Risa, memberinya pijakan agar beban tubuhnya tidak membuatnya mati terbunuh.

Beberapa guru dan petugas keamanan membantu menurunkan Risa dan melepaskan jeratan dasi di lehernya. Mereka datang di waktu yang tepat karena Risa sudah hampir kehilangan nyawanya. Sementara Yuuka dan Yui membantu petugas untuk mengevakuasi Risa, Seki dan Hono mendekati Karin dan tampak seperti mencoba berbicara padanya, ia tidak dapat mendengar apa yang kedua temannya katakan. Karin hanya bisa menatap kosong ke arah wajah Risa yang mulai membiru.

Karin hanya bisa membeku melihat semua keributan yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan saat Seki mencoba menepuk-nepuk pipinya untuk memastikan bahwa ia masih tersadar dan menekan kuat-kuat luka tusuk yang ada di perutnya, Karin masih saja jatuh terdiam dalam keheningan miliknya sendiri. Ia terlalu terguncang dengan apa yang sudah ia lakukan, dengan apa yang baru saja terjadi dengannya.

"A—Apa yang sudah aku lakukan?" ia menatap ke bawah tubuhnya, darah masih mengalir dari luka tusukan di perutnya meskipun Seki berusaha keras untuk memberikan tekanan agar pendarahan tidak menjadi lebih parah. Sementara gunting berlumur darah tergeletak tidak jauh darinya. "Seki, apa yang sudah aku lakukan?" suaranya terdengar parau, bahkan seperti akan menangis. Ia terus mencengkeram lengan Seki hingga gadis itu meringis menahan sakit.

"Kau tidak melakukan apapun, Karin. Tenanglah. Lihat, kau ada bersamaku dan kau akan baik-baik saja." jawab Seki. Ia menoleh sekilas pada beberapa orang petugas yang membawa tandu mendekati mereka berdua, Hono ada bersama mereka—membantu menguraikan keramaian siswi penasaran yang menghalangi jalan petugas medis. Beralih kembali pada Karin, Seki meraih tangan sahabatnya, menggenggamnya erat-erat."Setelah ini kau akan dibawa untuk mendapatkan perawatan rumah sakit. Selama itu, jangan lepaskan tanganku. Aku akan menjagamu, jangan takut."

Karin mengangguk lemah dan Seki menepati janjinya. Selama petugas medis mengevakuasi Karin hingga mereka berada di dalam ambulans, ia masih terus menemaninya dan tidak melepaskan genggaman tangannya meskipun mata Karin sudah terkatup rapat dan tubuhnya terbujur kaku dengan ventilator terpasang di wajahnya.

Sementara itu, dari balik kerumunan siswa, Takemoto Yui berdiri bersebelahan dengan Inoue Rina. Memperhatikan dengan jelas bagaimana petugas medis dengan cepat membawa Risa dan Karin masuk ke dalam ambulans. Di antara mereka berdua hanya Inoue yang terlihat shock dan gemetar, ia bahkan memegangi lengan Takemoto dengan sangat erat dan sedikit membuat Takemoto meringis karena kuku jari tangannya melukai lengannya.

Ia tidak terbiasa dengan darah, tidak akan pernah. Itu sebabnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan Takemoto ke dalam toilet. Inoue tidak berhenti saat Takemoto memanggil Namanya dan ikut mengejarnya.

"Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat..." ia berkata saat sudah berada didalam. Air matanya mengalir, kedua tangannya terasa dingin.

"Hei, hei. Lupakan hal itu, mengerti? Dengarkan aku. Ini akan segera selesai. Inoue, kita akan segera menyelesaikan ini." Takemoto berbisik, berusaha menenangkan Inoue yang terisak-isak. "Hanya beberapa minggu lagi, dan kita tidak akan melakukan ini lagi. Kau bilang kau ingin membalaskan dendam seniormu? Kau ingin membuat kematian mereka sia-sia, Inoue?"

Takemoto mengusap lembut punggung Inoue yang naik turun dengan cepat karena napasnya. Ia mengangguk perlahan. Benar. Ia tidak mungkin berhenti sekarang. Terutama setelah mengetahui siapa dalang dibalik hilangnya lima seniornya sewaktu ia masih berada di kelas satu. Ozono sendiri yang memberitahu dirinya kebenaran yang tidak seharusnya ia ketahui.

"Bagus, ayo kembali."

Inoue tidak menolak saat Takemoto menuntunnya berjalan kembali ke tempat seniornya berada. Keadaan yang tidak kondusif dan para siswi yang lebih memusatkan perhatian ke lainnya membuat mereka berdua mudah menyelinap tanpa menimbulkan kecurigaan. Saat Takemoto membuka pintu dan segera masuk, rupanya seniornya yang lain sudah berkumpul lebih dulu.

"Dua sekaligus?" Marino mengonfirmasi pada Ozono. "aku tidak menduga mereka akan saling membunuh seperti itu."

"Tidak, satu. Tujuan kita adalah merusak kepercayaan Elites pada Fujiyoshi dengan memanfaatkan Watanabe. Setelah ini, Fujiyoshi tidak akan lagi Bersama The Elites sehingga kita akan dengan mudah mengeksekusi dirinya lebih dulu." Ozono menjelaskan, ia tersenyum kecil. "tentu setelah mendapat persetujuan dari dia." Ia melirik Endo, seolah memberikan kode yang hanya diketahui oleh mereka berdua.

"Dengan memanfaatkan kelemahan mereka, kita bisa dengan mudah menghancurkan kepercayaan mereka satu sama lain. Risa memiliki anger management yang buruk dan kita memanfaatkan hal itu dengan baik. Terima kasih pada informan kita, dia melakukan tugasnya dengan sangat baik dalam The Elites."

"Kau mengubah rencanamu, Rei? Kau bilang akan mengeksekusi mereka bersama-sama?" Takemoto menyahut.

"Ah, iya. Hampir saja aku sedikit melenceng dari rencana. Tapi tidak masalah. Toh, kau bisa lihat sendiri jika hasilnya tetap sama. Malahan, kita mendapat bonus dengan tumbangnya algojo mereka." Rei berbalik. Menatap kelima foto di dinding. "Omong-omong bagaimana dengan Moriya dan teman-temannya. Kabarnya mereka berhasil menemukan dan menyelidiki Hirate? Kenapa tidak ada yang memberitahu tentang hal itu?"

"Bukan tidak memberitahu, kau saja yang terlalu fokus dengan The Elites." Endo menjawab dengan nada agak mengejek. "Kami sudah tahu apa yang harus kami lakukan dengan hal itu, jadi jangan khawatir."

"Bagus. Seharusnya aku tahu jika aku bisa mempercayakan hal ini padamu, Hikari. Baiklah, untuk permainan kita selanjutnya, aku memilih nomor 4." Ozono berkata, teman-temannya menggumam tanda setuju. "Tiga bulan menuju Hari Penghakiman. Kita sudah menunggu ini setelah beberapa bulan lamanya."

Manusia itu paling tidak sekali dalam hidupnya melakukan kesalahan yang pasti akan disesali olehnya seumur hidupnya. Mungkin bagi Akane, berada di Sakurazaka Academy adalah salah satunya. Ia bahkan belum setahun berada di sana, tapi ia sudah dihadapkan oleh masalah-masalah yang tidak seharusnya dialami oleh anak sekolah tinggi.

Hari ini, Sakurazaka Academy terpaksa mengosongkan jam pelajarannya. Karena para pengajar sedang mengadakan rapat mendadak bersama dengan headmaster, dan tentunya yang dibahas adalah tentang permasalahan Karin dan Risa yang cukup membuat gempar. Pertimbangan apa yang akan terjadi pada mereka setelah perkelahian mematikan yang mereka lakukan di sekolah akan dibahas dalam rapat tersebut.

Mereka tentu tidak bisa begitu saja mengeluarkan kedua siswi penting itu. Mengingat kedudukan mereka di sekolah—mulai dari prestasi di bidang akademi dan non akademik koneksi orang tua mereka dengan headmaster sendiri. Lagipula, mengeluarkan dua orang siswi berprestasi seperti mereka berdua akan membuat masyarakat kembali mempertanyakan integritas Sakurazaka Academy sebagai akademi terbaik yang mampu mendidik para siswinya dengan sangat baik.

Memanfaatkan jam kosong, Akane memilih menyendiri di atap meninggalkan teman-temannya yang menghabiskan waktu mereka didalam kelas. Sebenarnya Koike mengajak Akane untuk ke café tapi ia menolak dengan alasan harus ke kamar mandi meskipun alasan sebenarnya adalah karena ia malas menjadi roda ketiga di antara gadis berambut pirang itu dengan Habu. 

Dalam perjalanannya di koridor, ia menemui sebuah mesin minuman otomatis. Menatap beberapa jenis minuman yang tersedia, pilihannya jatuh pada minuman soda berperisa anggur. Segeralah ia mengeluarkan kartu miliknya dan mendekatkannya pada alat pemindai, membiarkan mesin itu mengerjakan tugasnya.

Sayangnya saat ia hendak naik menuju atap, satu-satunya akses menuju ke sana ditutup oleh police tape berwarna kuning yang melintang rapat. Lebih tepatnya akses menuju lantai tiga tidak akan bisa dilewati selama beberapa waktu sehingga secara otomatis ia tidak akan bisa bersantai di atap. Sepertinya aku harus ke gedung lain. Akane menghela napasnya sebelum berbalik menuju gedung kelas satu.

Berbeda dengan gedung kelas dua, gedung kelas satu sedikit lebih besar daripada gedung kelas dua atau tiga. Itu dikarenakan gedung tersebut dahulu adalah gedung gabungan antara kelas dua dan tiga—jauh sebelum Sakurazaka Academy menjadi sebesar sekarang. Para junior menundukkan kepala  dengan sopan saat kebetulan berpapasan dengannya. Saat Akane hendak menuju rooftop, seorang gadis kecil dengan rambut pendek menarik perhatiannya. 

"Oh, Junior Morita?" Akane menghentikan langkahnya di tangga. Melongo ke arah koridor tempat Hikaru berdiri menghadap keluar jendela.

Si kecil itu menoleh ke arah sumber suara. Senyum merekah di bibirnya saat ia mendapati Akane berada disana melambaikan tangan. "Senior Moriya!" ia berlari kecil mendekati Akane. "Senang kita bertemu lagi. Biar kutebak, kau ingin ke atap?"

"Ah, iya. Akses ke lantai tiga di gedung kelas dua ditutup karena kejadian tadi. Jadi aku ingin kesini." Akane menjawab. "Apa kau menemaniku? Kalau kau tidak sibuk dengan urusanmu sendiri, tentu saja."

Hikaru diam sejenak. Mempertimbangkan tawaran Akane, "Tidak, aku sedang senggang sekarang. Lagipula sekarang sedang jam kosong dan Ten sedang tidur di mejanya sejak tiga puluh menit yang lalu." ucapnya. Ia mulai berjalan mengikuti Akane menuju rooftop.

Sinar matahari membutakan matanya selama beberapa detik, membuat Akane menggunakan telapak tangannya untuk menghalau sinar matahari. Hikaru menutup pintu rooftop dan berjalan menuju pembatas, meletakkan kedua lengannya di sana. Akane turut mengikutinya.

Merasakan hembusan angin hangat di wajahnya, Akane memejamkan matanya sejenak. "Pagi yang tidak terduga, iya kan?" dia bertanya.

"Aku tidak memiliki komentar." Hikaru menjawab. "sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka? Sampai-sampai Senior Fujiyoshi menggantung Senior Watanabe hampir membunuh satu sama lain seperti itu." ia menjeda, matanya lurus ke depan dan tidak berkedip.

Bulu kuduk Akane meremang. Otaknya memproyeksikan adegan dimana Karin menggantung Risa, melihat Risa sekarat meronta-ronta, berusaha melonggarkan jeratan di lehernya. Ia tidak melihat langsung tapi ia mendapat informasi dari teman-teman sekelasnya. "Aku... juga tidak tahu." Akane menarik napas panjang. Ia lagi-lagi teringat ucapan Hirate.

Siapa murid-murid yang hilang itu?

Siapa pembunuh kelima siswi tersebut?

Siapa gadis yang selalu datang untuk menjenguk Hirate?

Tentang pertanyaannya yang kedua, firasatnya dengan sangat jelas mengatakan bahwa The Elites lah yang menyebabkan kelima siswi itu tewas. Tapi di sisi lain, ia merasa ragu. Ia merasa bahwa The Elites adalah sekumpulan siswi biasa yang memiliki masalah mereka sendiri. Dan mereka adalah orang-orang yang cukup baik. Yuuka, meskipun pada awal mereka bertemu sifatnya sangat menyebalkan. Semakin lama, sifat aslinya yang lembut terlihat pada Akane.

Ia memang belum mengenal The Elites yang lain selain Karin dan Yuuka. Dan sepertinya ia akan dengan senang hati untuk mencoba berbicara dengan The Elites lainnya.

"Menurutmu kenapa Senior Fujiyoshi yang selalu menjadi sasaran mereka ya? Waktu itu juga sama. Senior Watanabe menghajarnya di hutan belakang," Hikaru menggumam disampingnya. Dan membuat Akane tersadar satu hal.

"Tidak perlu takut. Aku tidak sejahat orang-orang itu."

"Apa yang ada di pikiranmu sehingga kau mendaftar sebagai murid di Sakurazaka Academy?"

Akane tersentak. Benar, selama ini aku terlalu fokus dengan Hirate. Padahal sebenarnya Karin sudah memberikan tanda kepadaku. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa kecewa dengan dirinya sendiri karena melewatkan hal yang sangat penting.

Bahkan Hikaru sendiri menatapnya dengan penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi? Apa aku mengatakan hal yang salah?"

Click

"Ah, rasanya sangat enak berdiri disini. Menikmati angin hangat setelah apa yang terjadi hari ini, benar?"

Sebuah suara muncul dibelakang mereka. Sontak membuat Akane dan Hikaru berbalik, hanya untuk menemukan siswi berambut panjang. Dengan wajah tersenyum ramah mendekati mereka. Akane melihat sekilas pada nametag di dadanya.

Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Tapi kapan?

Hikaru spontan membungkuk pada siswi tingkat tiga tersebut. Sementara Akane agak membeku karena otaknya masih mengingat siapa orang yang ada di depannya.

"Ozono Rei. Aku hanya lewat di sekitar sini, jangan pedulikan aku." Rei kemudian berjalan ke tempat kosong disamping Akane. "apa kita pernah bertemu sebelumnya? Sebab wajahmu tidak terlihat asing bagiku."

"Entahlah, tapi sepertinya tidak." Akane menjawab. Agak terkejut karena gadis itu sudah tiba-tiba mendekatinya.

"Sial, aku benar-benar tidak menduga apa yang akan terjadi hari ini."

Hikaru dan Akane menoleh. Memperhatikan Rei.

"Aku lihat kau juga mencari tahu tentang hal itu bukan?" Akane terbelalak. Ia sangat terkejut karena bagaimana mungkin senior didepannya ini mengetahui tentang apa yang ia sedang lakukan.

"M-Mencari tahu tentang apa?" Akane menyahut. Dengan cepat menyembunyikan rasa terkejutnya.

"The Elites. Aku tidak sengaja mendengar apa yang kau dan teman-temanmu bicarakan café. Tidak perlu khawatir, aku hanya memastikan. Jujur saja, senang menemukan orang yang memiliki tujuan sama denganku." Rei menjelaskan.

Hikaru menatap keduanya dengan penuh pertanyaan. Ia tahu yang mereka maksud adalah The Elites dari kelas dua yang sangat terkenal di Sakurazaka Academy. Tapi ia hanya tahu sebatas itu saja, tidak lebih. Sekarang ia menjadi ingin tahu tentang apa yang akan kedua seniornya itu katakan.

Tetapi, Akane menggandeng tangannya dengan erat.

"Kau... kenapa tiba-tiba datang dan mengatakan hal itu di depan kami?"

Hikaru mengangkat alisnya, tidak mengerti mengapa Akane mendadak bersikap tidak bersahabat. "Senior...?"

"Maafkan aku. Aku memang agak kasar saat pertama kali kita bertemu tadi," Rei tersenyum kecil. Wajahnya memasang ekspresi kecewa atas sikap Akane yang mendadak berubah. "percayalah padaku. Aku datang untuk melindungimu dari sesuatu yang lebih buruk, Junior Moriya." Rei melangkah mendekati Akane, sementara Akane sendiri bergerak menjauh dan membawa Hikaru di belakang tubuhnya. "aku datang kepadamu dengan maksud yang baik. Aku berada di sekolah ini lebih dulu darimu, informasi yang aku dapatkan lebih banyak."

"Lalu?" Akane menjawab dengan tatapan dinginnya.

Ah, gadis ini... Rei menggelengkan kepalanya. Surai-surai rambutnya jatuh menutupi dahinya. "Kita bisa bekerja sama. Bertukar informasi. Kau beritahu aku tentang Hirate, aku beritahu kau tentang The Elites. Dan semua yang aku dapatkan tentang hubugan keduanya." Ucapnya dengan tegas. Kedua lengannya terlipat di depan dada.

Akane mengerutkan dahinya. Mendengar apa yang Rei ucapkan membuatnya agak tergoyah. Tawaran kerja sama itu membuatnya seperti ingin langsung menyetujui. Tapi ia juga mengakui bahwa dirinya agak sedikit curiga dengan seniornya itu. Secara tiba-tiba datang padanya dan menawarkan kerja sama.

Genggamannya pada Hikaru perlahan terlepas. Tubuh Akane tidak lagi kaku dan tegang seperti tadi, tetapi tatapan matanya masih tetap menunjukkan ekspresi tidak bersahabat.

"Biarkan aku berpikir tentang itu terlebih dahulu," Akane menjawab. Ia kemudian maju selangkah mendekati Rei. "tapi aku minta satu hal padamu. Apapun yang terjadi, jangan melibatkan juniorku."

Rei tertawa kecil. Ia melirik Hikaru yang bersembunyi dibalik punggung Akane, menatapnya dengan ekspresi penuh rasa keingintahuan. Senyumannya itu penuh arti, tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan Rei saat itu. Bahkan Akane tidak menyadari ada sesuatu yang berbeda dari sorot mata coklat Rei.

"Jangan khawatir. Tidak akan terjadi apapun padanya," Rei menjawab. "benar begitu, little one?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top