Chapter 14: As If We Are Looking for Nothing

Yui mengerjap, berkedip berkali-kali saat ia membuka matanya. Cahaya lampu membuat matanya silau selama beberapa detik dan ia harus membiasakan matanya dengan itu. Kepalanya tidak lagi terasa sakit dan ia juga menyadari bahwa ia tak lagi mengenakan seragam putih yang berlumuran darah. Seseorang telah mengganti pakaiannya.

Ia lalu menunduk, pandangannya kini jatuh pada kedua tangannya. Dengan ekstra hati-hati Yui mencoba mengepalkan tangan kanannya yang dibalut perban, tetapi rasa perih yang begitu menusuk daging membuatnya mengaduh. Ia kemudian menyebarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Entah sejak kapan ia sudah berada di rumahnya. Terakhir yang ia ingat, ia berada di ruang musik. Saat Risa menemukannya meringkuk kesakitan.

Tunggu dulu. Risa?

Sekali lagi matanya menyapu ke sekeliling ruangan. Ia baru saja menyadari bahwa ada sosok manusia berpakaian putih duduk di kursi meja belajarnya. Orang tersebut melipat kedua lengannya diatas meja dan menggunakannya sebagai bantal. Suara dengkuran kecil terdengar setiap kali orang tersebut menghembuskan napas.

Kenapa ia di sini?

Gadis itu perlahan turun dari tempat tidurnya, berjalan pelan mendekati Risa. Ia memperhatikan setiap langkahnya agar tidak membuat bunyi yang tidak diperlukan. Risa masih memakai seragam sekolah, kainnya agak lusuh dan terdapat noda darah di ujung lengan blazer.

Yui mengernyitkan dahi. Perasaan khawatir muncul di benaknya. Apakah dia terluka? Apakah aku tidak sengaja menyerangnya? Ia hampir saja menarik lengan Risa dan memeriksanya sendiri, tapi ia menahan tindakannya. Melihat wajah tidur Risa yang damai membuat Yui batal melakukan itu.

Wajah itu terlihat lembut. Tak ada ekspresi keras dan tidak bersahabat yang biasanya Risa tampakkan. Wajahnya saat tidur hampir seperti Risa yang dulu. Saat mereka pertama kali bertemu di usia 8 tahun, begitu polos dan manis. Hampir tidak ada yang berubah dari Risa kecuali fisiknya yang semakin tinggi, kuat dan wajahnya yang semakin rupawan.

Mungkin karena merasa diperhatikan, Risa menggumam. Kelopak matanya bergerak dan akhirnya ia membuka matanya. Iris cokelat muda yang masih mengantuk itu menatap Yui, dan itu membuat Yui tertawa kecil.

"Kenapa kau masih di sini? Sekarang sudah pukul 5. Kau harus segera pulang." Yui berucap.

Risa meregangkan tubuhnya. Lehernya terasa sakit saat ia mencoba memutar kepalanya. Seharusnya ia tidak tidur di atas meja karena itu akan membuat lehernya sangat sakit saat ia bangun, dan Risa tahu betul keputusannya yang bodoh itu. Kini, Risa sudah mendapatkan kembali kesadarannya secara penuh meski harus berhati-hati agar ia tidak memutar kepalanya terlalu keras.

"Maaf, apa yang kau tanyakan tadi?" Risa bertanya.

"Kenapa kau di sini?"

Risa tersenyum kecil. Ia tidak menjawab pertanyaan Yui perihal alasan mengapa ia berada di kamarnya, melainkan ia malah berkata, "Apakah kau sudah merasa lebih baik sekarang?" tangannya kemudian menyentuh rahang Yui, ia memutar kepalanya, mengecek tiap inci wajahnya.

Yui menggeram kecil atas perlakuan Risa sehingga melangkah mundur. Wajahnya Nampak kesal karena Risa mengabaikan pertanyaannya. Apalagi gadis tinggi itu sekarang sedang tertawa karena ekspresi Yui yang menurutnya lucu.

"Pakaianmu ..." Yui menatap lengan bawah seragam Risa. Dimana ada noda darah yang warnanya mulai menjadi cokelat.

"Kau melukaiku tadi. Mengigit pergelangan tanganku seperti anjing gila. Sungguh itu tadi menyakitkan. Bahkan, aku hampir saja tidak merasakan tanganku lagi di sana." Risa menjelaskan. Tentu saja itu bohong, ia melakukan itu hanya karena ingin menggoda Yui. Ia kemudian menyentuh pergelangan tangannya, berpura-pura menahan sakit. "Meskipun begitu, aku bisa menggendongmu hingga ke klinik. Dan luka ini mendapatkan 12 kali jahitan."

Mendengar penjelasan Risa, seketika Yui langsung beringsut mundur mendekati dinding. Gerakan Yui sontak membuat Risa agak terkejut. Gabungan dari ekspresi ketakutan, sedih dan tidak percaya tergambar jelas di wajahnya.

"Risa ... Aku minta maaf! Sungguh, aku tidak tahu jika aku melukaimu. Itu bukan aku, maafkan aku." Yui berkata dengan suara pecah. Ia benar-benar tidak menduga bahwa dirinya sudah menyerang sahabatnya sendiri.

Ia menatap Risa, gadis itu masih menyentuh pergelangan tangannya dan itu malah semakin membuat Yui merasa bersalah. Air mata menggenang di sudut matanya dan Yui hampir saja akan menangis. Apapun yang Risa lakukan, aktingnya dalam berpura-pura merasa sakit harus diacungi jempol. Sepertinya ia harus mempertimbangkan untuk bergabung dalam klub teater.

"Lebih baik kau menjauh dariku."

Dalam hati Risa berteriak penuh kemenangan. Ia kemudian melangkah maju dan sama sekali tidak mempedulikan ucapan Yui. Langkahnya tegap dan pasti, cara berjalan orang militer. Yui mendelik melihat Risa yang bebal, sehingga ia terus berusaha menjauh darinya. Sehingga saat Risa maju, Yui melangkah mundur.

Hingga pada akhirnya punggung Yui bertabrakan dengan dinding dan itu artinya tidak ada lagi tempat lain baginya untuk menjauh dari Risa. Sementara gadis itu sudah berdiri di depannya, menunduk dan menatapnya dengan tatapan datar.

Tanpa ia duga, Risa kemudian tersenyum lebar. Ia mengangkat lengannya dan menggulung lengan blazernya hingga ke siku. Yui menyadari tidak ada luka, tangannya terlihat halus seperti biasa tanpa ada bekas jahitan atau apapun seperti yang diceritakan Risa.

"Aku hanya berbohong kepadamu. Lihat, aku baik-baik saja. Jangan menangis, Koba."

"WATANABE RISA!"

Yui tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia masuk ke dalam jebakan Risa, dan itu membuat gadis yang lebih tinggi darinya itu semakin tertawa bangga atas kemenangannya. Ada sesuatu di hatinya, perasaan lega saat mengetahui bahwa Risa baik-baik saja. Risa lalu mengangkat tangannya, mengusap pucuk kepala Yui. Wajah Risa yang semula jahil kini berubah menjadi lebih serius.

Yui berkata, "Kau tahu itu tidak bisa dijadikan bahan candaan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia benar-benar mengambil alih tubuhku."

"Bukankah kau pernah mengatakan jika kau bisa mengendalikannya?" Risa melangkah mundur, memberikan ruang bagi Yui untuk duduk kembali diatas tempat tidurnya.

Yui diam. Beberapa detik keheningan muncul sejenak dengan Risa yang bersabar menunggu jawaban. "Ya... dan tidak," ia akhirnya menjawab. "aku sudah mencoba berbagai hal agar ia mau berdamai denganku. Seperti menulis catatan agar ia bisa menjawabnya saat kami bertukar tempat. Mungkin ini terdengar lucu, tapi aku ingin kita berdua bisa bertukar kapanpun yang aku inginkan."

"Baik ... lalu apa yang kepribadian lainmu itu katakan?" Risa menempatkan diri di samping Yui. Ia mengusap punggung sahabatnya itu selagi ia memejamkan matanya untuk berpikir. 

"Dia tak lagi membalas catatan yang kutulis di buku. Kelihatannya ia merasa tak senang akan suatu hal, tapi ia juga tidak memberitahu apa yang ada di pikirannya sendiri. Biasanya ia tak pernah sampai seperti ini."

Mendengar penjelasan Yui, Risa menjadi tergerak untuk bertanya lebih jauh tentang kepribadian lain Yui yang misterius itu. "Dan apa yang terjadi kepadamu? Apa yang membuatmu sampai berdarah-darah seperti itu?"

"Aku mendengar sesuatu. Suara bisikan nyaring yang terus menerus, mereka ada banyak sekali. Bisikan itu yang membuat pembuluh darah di kedua telingaku pecah. Mereka mengatakan tentang peristiwa itu, Risa. Mereka mengatakannya berulang-ulang."

Yui menghela napas berat. Ia menyentuh dahinya dengan tangannya yang tidak diperban. Jari telunjuknya menekan-nekan pelipis matanya. Risa berjalan perlahan dan duduk disamping Yui.

"Dia menumpahkan amarahnya saat itu dan ia terus mengatakan jika itu salahku. Itu semua salahku karena itu mereka menghantuiku. Kepalaku seperti terasa ingin pecah, tepat saat itu dia mencoba mengambil alih tubuhku. Tapi aku melawan dengan sekuat tenaga hingga hidungku mengeluarkan darah. Tapi dia tidak menyerah, sehingga aku tidak punya pilihan lain." Yui mengangkat tangannya yang diperban. Tampak warna merah darah merembes keluar dari perban, "aku harus membuat kesadaranku kembali meski dengan rasa sakit."

Yui mempraktikkan bagaimana caranya melukai tangannya hingga sedalam itu. Dengan menggunakan tangannya yang tidak terluka, ia melakukan gerakan seperti mencengkeram sesuatu.

"Sial, Yui! Kau memecahkan kaca tebal itu hanya dengan mencengkeramnya! Bagaimana caramu melakukan itu?"

"Aku tidak tahu bagaimana caraku melakukan itu, sungguh. Hanya, mencengkeramnya, itu saja."

Mereka terdiam, tidak ada satupun yang mengeluarkan suara mereka untuk menjawab atau bertanya lagi. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Yui dengan pikirannya tentang kelainan psikologisnya, dan Risa tentang apapun yang ia pikirkan sekarang.

Risa tahu Yui memiliki potensi luar biasa sebagai anggota The Elites, dan itulah yang menjadi alasan mengapa ia memegang jabatan sebagai vice-president. Ia memang tidak pernah terlalu menonjol dalam kelompok, tapi ia cukup populer di kalangan siswi tingkat satu. Berbeda dengan The Elites yang lainnya, Yui juga memilih untuk tidak bersikap onar dan tetap menjaga kewibawaannya. Setelah apa yang terjadi dan dialaminya, ia tetap menjadi Yui yang dulu ia kenal.

"Dimana Yuuka?"

Haruskah kau bertanya tentangnya saat kita sedang berdua seperti ini? Risa kecewa. Dan Yui jelas tahu itu dari Risa yang tidak menjawab apapun saat ia menanyakan keberadaan Yuuka. Sebenarnya ia tidak mau membuat perasaan Risa yang sudah hancur menjadi lebih berantakan, tetapi ia benar-benar harus tahu kabar Yuuka mengingat apa yang sudah terjadi hari ini.

Yui menggoyangkan bahu Risa dengan lembut, berharap Risa akan mau menjawab pertanyaanya. Dan usahanya berhasil, Risa akhirnya mau menjawab. Meskipun dengan nada datar. "Aku meminjam mobil Yuuka dan membawamu kemari. Ayahmu yang meminta. Entahlah, mungkin dia sedang bersama Karin atau Moriya kembali ke sekolah. Jadi seharusnya mereka sudah pulang sekarang."

Yui mengangguk pelan. Setidaknya ia memiliki acuan jika ingin bertanya tentang Yuuka. Ditatapnya Risa lekat-lekat. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua seperti ini dan Yui sangat merindukan keberadaan Risa di sampingnya. Karena selain Yuuka, Risa adalah orang lain yang selalu memahami dirinya. 

Risa bangkit berdiri dari tempat tidur, merapikan seragamnya. "Kupikir sudah waktunya bagiku untuk pulang." melihat keluar jendela, cahaya matahari sudah tidak lagi masuk melalui sela-sela tirai. Lampu-lampu di luar rumah Yui juga sudah mulai karena sensor mereka sudah tidak mendeteksi adanya cahaya matahari.

Tetapi ia tidak mau ditinggal sendiri—tidak, ia tidak bisa membiarkan Risa meninggalkannya begitu saja. Dan Yui ingin meminta Risa untuk tinggal lebih lama bersamanya. Tetapi saat ia mencoba mengeluarkan suaranya, tenggorokannya tercekat. Semua kalimat yang semula ia siapkan seketika tertahan begitu saja di tenggorokannya. Sementara bibirnya menolak untuk terbuka, ia hanya bisa memperhatikan Risa membereskan barang bawannya.

"Tunggu,"

"Hm?"

"Tidak bisakah kau tetap bersamaku? Setidaknya tinggallah sampai ayahku pulang. Kau bisa ikut makan malam juga."

Risa kecewa. Sangat kecewa. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak marah saat Yui menanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Yuuka padanya. Tapi ia tidak bisa mengatakan tidak pada orang tercintanya itu. Terutama jika Yui berbicara dengan suara yang lembut—yang mana itu adalah kelemahan utama Risa.

Mengesampingkan ego, Risa akhirnya mengangguk pelan. Ia meletakkan kembali tas nya di lantai dan membuka pintu kamar. Ia juga melepaskan blazernya dan menggantung kain tebal itu di balik pintu. "Aku akan membawakan sesuatu untuk kau makan." ucapnya dingin.

Sepeninggal Risa, Yui masih tidak bergerak dari tempatnya. Ia hanya meregangkan tangannya untuk mengambil smartphone yang ada diatas nakas. Ia membuka chat app, mencari sebuah kontak dan mulai mengetikkan pesan singkat. Hanya untuk memastikan, ia mengirimkan pesan pada Yuuka.

Pesan terkirim, tapi hanya menunjukkan tanda centang satu. Itu berarti Yuuka sedang tidak menyalakan smartphone atau bisa saja  ia sengaja mematikan data selulernya untuk menghemat konsumsi daya. Atau bisa juga baterai ponselnya habis dan ia lupa mengisi ulang lagi. Yui menghela napas, ia keluar dari chatroom Yuuka. Beralih ke groupchat pribadi The Elites.

Ia mendapatkan beberapa percakapan antara Hono, dan Seki dan Karin. Dilihat dari waktunya sepertinya percakpan itu baru terjadi tadi sore, saat Yui masih belum siuman. Mereka hanya menanyakan perihal keadaan Yui, dan Karin menanyakan bagaimana kondisi sekolah saat The Elites sibuk.

Kobayashi Yui
Aku baik-baik saja. Satu tanganku tidak bisa bergerak. Tapi aku hidup, terimakasih.

Tamura Hono
Terimakasih, Tuhan. Kupikir kau sedang koma
Ada banyak darah di ruang musik!
Bagaimana kau bisa selamat setelah kehilangan darah sebanyak itu

Seki Yumiko
Kau bisa mengetik?

Kobayashi Yui
Aku bisa.
Lihat?

Seki Yumiko
Selamat. Kupikir mereka harus memotong tanganmu
Omong-omong selama kalian pergi, terjadi keributan di sekolah.
Kelihatannya dari gedung kelas tiga
Ada yang bilang tentang perkelahian

Fujiyoshi Karin
Aku sudah mengurus itu, jangan khawatir

Kobayashi Yui
Begitukah? Terimakasih.
Tetap waspada.

"Yuuka dan Moriya terlihat dekat, ya?"

Suara Risa membuat Yui mengangkat kepalanya. Gadis itu menutup pintu dengan dorongan siku karena kedua tangannya memegang nampan, diatasnya terdapat sepiring kari, dengan telur setengah matang. Ia juga membawa dua gelas jeruk hangat.

Saat Risa meletakkan nampan diatas meja, bau kari yang masih panas itu langsung menyeruak di indra penciuman Yui. Memang benar, perutnya langsung berbunyi begitu ia mencium bau sedap kari. Ia pun meletakkan ponselnya.

"Kelihatannya begitu." Yui tertawa kecil. Tetapi tawanya itu tidak terlihat tulus. Melainkan menggambarkan kekecewaan.

Ia dapat mendengar Risa mendengus. "Apa kau sedih?"

Yui mengangkat bahu dan memilih tidak menjawab. Ia mlihat sepiring kari lezat diatas nakas, dengan hati-hati ia menggunakan tangannya untuk mengambil piring itu. "Ah, shit." Yui mengumpat. Rasa perih dari lukanya langsung membuatnya batal melakukan tindakan. Rasa sakit itu seperti menyetrum syaraf-syaraf kecil di tangannya sehingga ia dapat merasakan rasa sakitnya hingga ke siku.

Tanpa banyak bicara, Risa mengambil piring tersebut. Ia mengambil satu sendok nasi dengan bumbu kari kental kemudian menatap Yui, "Buka mulutmu."

"Apa-apaan? Aku tidak mau. Kemarikan, biarkan aku melakukannya sendiri,"

"Dengan tangan berbalut perban seperti itu? Tidak, tidak... ayo, buka mulutmu. Atau aku yang akan memakan makanan lezat ini."

Ia menatap Risa dengan dekat. Gadis itu kembali menyodorkan sesendok nasi menunggu Yui membuka mulutnya. Akhirnya ia membuka mulutnya dan menerima suapan dari Risa. Saat itu, Yui merasa seperti akan meleleh. Ia malu bukan main, rasa panas di telinganya semakin menjadi-jadi. Karena itu, setelah menerima suapan Risa, ia langsung menggeleng pelan sembari memutar wajahnya ke arah lain.

Hal itu dilakukan untuk menyamarkan rasa gugup yang menjalar di seluruh wajahnya.

"Aku khawatir jika memang benar terbukti ada pengkhianat di antara The Elites." Risa memulai.

"Kau ingin menuduh Karin lagi di depan wajahku?"

"Aku hanya khawatir, oke? Tolong mengertilah. Tidak ada yang mengetahui kebenaran kasus itu selain kita dan Hirate yang entah berada dimana ia sekarang. Bukankah aneh jika ada orang asing yang mencoret-coret mobilku dengan tulisan itu?" Risa kemudian melanjutkan, "Pelakunya telah merencanakan ini dengan baik sebelumnya. Tidak ada kamera pengawas aktif di sekolah sepagi itu sehingga tidak ada bukti fisik." Ia menghembuskan napas dengan agak kasar. "tapi Karin berdiri disana, tepat disamping mobilku. Bukankah wajar jika aku menaruh kecurigaanku padanya."

"Hanya karena dia tidak pernah bersikap kooperatif, bukan berarti dia seorang pengkhianat yang kau cari. Aku memahami anak itu lebih baik darimu." Yui membalas.

Meletakkan piring diatas nakas, Risa membalas lagi. "Aku tidak main-main. Kita bisa hancur jika kasus sampai itu terungkap!" Risa membalas dengan suara tinggi. Tangannya meremas kain rok seragamnya hingga jemarinya memutih. "kita harus mulai bergerak sekarang. Jika kalian tidak mau, biar aku sendiri yang melakukannya."

Yui menengadahkan kepalanya. Risa memang benar. Kejahatan yang mereka lakukan memang tidak selamanya bisa disembunyikan. Bangkai yang dikubur tak selamanya akan terpendam jauh di dalam tanah. Akan ada masa dimana bangkai itu muncul begitu saja di atas permukaan tanah tanpa perlu digali sekalipun. "Kita bisa memulai dengan mencari siapa yang mengirimkan broadcast misterius itu. Seki mungkin akan banyak membantu." akhirnya ia berucap.

Saat ia menoleh untuk melihat ekspresi wajah Risa, gadis tinggi itu sedang menatapnya dalam. Cahaya remang dari lampu meja di dekat tempat tidurnya membuat Yui dapat dengan jelas melihat sepasang iris cokelat Risa. Itu membuat Yui tenggelam jauh ke dalam warna gelapnya yang indah. Risa menggeser posisi duduknya mendekati Yui.

Seakan dihipnotis, Yui tidak bergerak sedikitpun saat Risa meletakkan tangan kirinya di belakang leher Yui. Padahal ia tahu, dengan begitu Risa menjadi semakin dekat dengannya dan  ia juga sama sekali tidak mengalihkan wajahnya dari Yui. Sebagai gadis yang baik, seharusnya Yui segera menjauh begitu Risa mendekatinya. Tapi tatapan dalam Risa membuat Yui nyaris melupakan semuanya—bahkan tentang Yuuka sekalipun.

"Kenapa kau harus bersamanya, Yui?"

"Huh?"

Risa semakin mendekatkan kepalanya, mendekatkan wajahnya ke wajah Yui. Kemudian ia berhenti dan menatap Yui dengan jarak sedekat itu. Hanya lima sentimeter, hanya lima sentimeter saja jarak diantara mereka. Yui dapat merasakan napas hangat Risa di wajahnya dan itu membuatnya agak merinding.

Yui menahan napas. Suasana di kamarnya berubah menjadi berat, tegang. Suara langkah kaki seseorang mondar-mandir di luar pintu kamar tidak mampu membuat Risa bergerak menjauh dari posisinya. Matanya beralih, memberikan atensinya pada rak buku di samping meja belajar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Risa mulai bertindak berani sekarang. Dan ia juga merutuki dirinya sendiri kenapa tubuhnya tidak mau bergerak menjauh sesuai perintah otaknya.

Risa sendiri juga tidak jauh berbeda. Ia bimbang antara ingin dan tidak ingin. Tapi melihat bibir Yui yang nampak menggoda baginya, keinginan Risa untuk mengecupnya semakin menjadi-jadi. Bahkan tanpa perintah, tangan Risa sudah lancang menyelipkan helai rambut yang menutupi wajah cantik Yui di belakang telinganya lalu menyentuh pipi Yui dan mengusapnya dengan lembut. Sudah lama ia menginginkan hal ini dan inilah kesempatan baginya untuk mendapatkan keinginannya itu. 

Sekali lagi Risa mencuri pandang ke bibir gadis didepannya itu. Matanya kemudian naik keatas dan memandang Yui seolah meminta izinnya untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan. Yui tidak memberikan respon apapun melainkan meremas kemeja abu-abu yang Risa kenakan. Risa menggumam, lantas menganggap hal itu sebagai afirmasi. 

"Tidak, berhenti."

Sebuah dorongan halus di dadanya membuat Risa lantas membuka matanya. Kenapa Yui menolak disaat yang tidak tepat? Yang benar saja.

"Kenapa?"

Yui diam dan tidak menjawab. Dadanya terasa sesak hingga ia menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan. Ia bangkit berdiri. Berjalan menjauh menuju meja belajarnya, menarik kursinya dan duduk disana.

"Pulanglah. Sebelum malam semakin larut. Kau menggunakan mobil Yuuka, bukan? Ia menunggu mobil itu, jadi cepatlah."

Sebuah pukulan menyakitkan menghantam dadanya. Ia meninggalkan mulutnya terbuka selama beberapa saat. Wajah Risa menunjukkan kekecewaan mendalam dan perasaan hancur yang tidak tertahankan. Risa menunduk, menatap kedua tangannya yang mengepal di atas pahanya.

Memalukan.

Lalu ia berdiri, berjalan melewati punggung Yui tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mengambil tas dan mengalungkannya di bahu serta blazer putihnya di balik pintu. Ia berhenti sejenak saat tangannya meraih gagang pintu. Ia ingin mengatakan sesuatu sebelu benar-benar pergi meninggalkan Yui, tetapi sekali lagi, ia tak bisa menemukan susunan kalimat yang tepat untuk dilontarkan. Digelengkannya kepalanya, berusaha keras menghapus frustasi dan melangkah keluar meninggalkan Yui.

"Berani-beraninya kau mempermalukan aku! Apakah kau paham masalah apa yang terjadi karena perbuatanmu, huh? Kobayashi menarik hampir seluruh investasinya dari perusahaan ayah! Dan kau tahu apa yang paling buruk, Yuuka? Kau tahu? Dia menolak menandatangani persetujuan penyatuan perusahaan. Apa ada yang lebih buruk lagi?"

Tuan Sugai menggebrak meja ruang utama yang terbuat dari kayu jati dengan sedemikian keras. Beberapa barang seperti kotak tisu hingga gelas kaca terlempar dan jatuh berantakan di atas permukaan lantai. Air tumpah ruah membasahi lantai dan pecahan kaca tersebar rata di mana-mana. Yuuka tersentak kaget, tetapi ia tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa memandang sang Ayah dengan tubuh bergetar hebat.

"Kenapa kau selalu menjadi penghalang bagiku untuk mendapatkan uang? Kau pikir darimana kau bisa mendapatkan semua fasilitas ini kalau bukan karena aku?" ayahnya berdiri dan mulai berjalan mendekati Yuuka. Langkahnya yang berat membuat Yuuka mundur perlahan.

PLAK

Yuuka kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembab di lantai. Bekas tamparan ayahnya langsung terasa panas. Belum saja ia mencerna apa yang baru saja terjadi padanya, ia langsung merasakan lengannya dicengkeram dengan sangat kuat hingga ia dapat merasakan nyeri dari tulang lengannya. Ayahnya menyeretnya ke dapur, ia berusaha berontak tetapi cengkeraman pada lengannya malah terasa semakin kuat. Tulangnya bisa retak jika ayahnya terus melakukan itu.

Para pelayan yang ada di rumah tidak bisa membantunya dan hanya menatap apa yang terjadi di depan mereka dengan pandangan ketakutan—Yuuka tahu itu. Tidak ada yang berani melawan ayahnya, semua orang di rumah ini takut padanya. Tidak ada yang akan menolongnya sekarang. Bahkan saat ayahnya mengambil tongkat baseball dari dalam lemari dan mulai mendekatinya dengan mengayun-ayunkan tongkat tersebut, Yuuka hanya bisa merangkak mundur.

"Kenapa harus istriku yang mati? Kenapa bukan kau!"

Tuan Sugai mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, kemudian menghantamkan satu pukulan di tubuhnya, pukulan itu mendarat tepat di bahunya. Tulang selangkanya berdenyut nyeri, terutama saat ayahnya kembali memukulnya dengan lebih keras. Yuuka hanya bisa meringkuk tanpa mengatakan apapun karena jika ia merintih atau mengaduh, ayahnya malah akan makin menyiksanya.

"Apakah kau tidak malu dengan dirimu sendiri? Aku bahkan malu! Kenapa kau harus meyandang nama Sugai? Apakah kau sadar bahwa kau sama sekali tidak pantas membawa nama itu, dasar jalang! Kau telah melibatkan diri dalam masalah besar satu tahun lalu. Dan kini kau bahkan membahayakan nyawa putri Kobayashi. Apakah semua masalah itu tidak cukup bagimu?"

"Maaf—"

BUG

Yuuka hanya bisa menggigit lidahnya sendiri agar ia tidak berteriak saat pukulan selanjutnya mendarat tepat di belakang lehernya. Ia bahkan tidak bisa menangis, air matanya sudah terkuras habis untuk keadaan seperti ini. Ini bukan pertama kali sang ayah memukulnya, tapi ini pertama kalinya ayahnya memukulnya dengan menggunakan benda seperti tongkat baseball. 

Ayahnya terus memukulnya sambil berteriak dan membentak Yuuka dengan kalimat-kalimat kasar. Gadis itu hanya bisa melindungi kepalanya, berharap sang ayah tidak memukul bagian vital tubuhnya dan itu berarti ia harus mengorbankan bagian tubuh yang lain.

Kaki dan tangannya meninggalkan jejak-jejak kebiruan bekas pukulan. Bahkan ada yang sampai mengeluarkan darah. Melihat kondisinya putrinya yang semakin memprihatinkan, sudah seharusnya ayahnya berhenti menyiksanya. Tetapi tidak, ayahnya malah semakin beringas. Ia limpahkan semua amarahnya yang meledak-ledak pada anaknya sendiri. Tidak peduli sang anak sudah mulai merintih karena tidak mampu lagi menahan rasa sakit.

Lima belas menit berlalu. Tapi bagi Yuuka lima belas menit itu terasa seperti lima belas tahun. Baru saja sang ayah meninggalkannya sendirian di dapur. Beliau membanting tongkat baseball ke lantai dan melangkah pergi dengan langkah berapi-api. Yuuka dapat mendengar ayahnya bolak-balik di ruang keluarga-terdengar suara bergemerincing, jadi Yuuka berasumsi ayahnya mengambil sebuah kunci.

Dan benar saja, beberapa detik setelah itu terdengar suara deru mobil dari halaman rumah juga suara pagar besi berat yang dibuka. Mengetahui majikan mereka pergi, beberapa pelayan terburu-buru mendekati Yuuka dan membantunya berdiri. Yang lainnya mengambil kotak First Aid Kit.

"Oh Tuhan. Aku tidak percaya Tuan Sugai melakukan hal ini lagi." Ucap pria tua, usianya kira-kira 54 tahun. Ia merupakan kepala koki di rumah dan sudah bekerja dengan Keluarga Sugai selama 25 tahun sehingga ia cukup paham dengan perilaku Tuan Sugai yang mengerikan. Pria itu membuka kotak obat dan mengambil kapas juga sebotol alkohol untuk mengobati luka-luka Yuuka.

"Oh, tidak. Aku baik-baik saja, sungguh—argh!"

Yuuka meringis. Alkohol membuat luka nya terasa seperti dirobek sehingga ia tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dengan berhati-hati sang kepala koki membersihkan lukanya sebelum akhirnya menempelkan perban, juga beberapa plester luka untuk luka yang berukuran kecil. Pelayan lainnya memberikan kantung berisi es dan dengan senang hati ia menerimanya.

"Dia sudah benar-benar keterlaluan kali ini. Apa kita harus melaporkan ini ke polisi saja, Nona Sugai? Sejak Nyonya Sugai meninggal, dia jadi bersikap seenaknya saja di sini."

Melaporkan ayahnya ke polisi bukanlah ide yang benar. Tidak akan ada yang percaya dengan laporan yang akan mereka berikan karena di luar, Ayahnya adalah orang terhormat dan selalu bersikap sopan saat berhadapan dengan orang lain. Dia bersikap seperti seorang kepala keluarga yang baik saat di luar rumah, tapi kemudian berubah menjadi iblis saat di dalam rumahnya sendiri.

"Tidak perlu," Yuuka tersenyum lemah. Tangannya masih sibuk mengompres bahunya yang membengkak. Ia berdiri perlahan-lahan sembari berpegangan pada meja—lututnya terasa sangat lemah. Ngilu luar biasa segera ia rasakan ketika tubuhnya sudah berdiri tegak. "Itu justru akan membuat kalian semua dalam masalah. Aku baik-baik saja, aku bisa mengatasi ini. Jangan khawatir." Ia memberikan senyuman terakhirnya sebelum berjalan menyusuri tangga menuju kamarnya.

Di dalam kamar, Yuuka segera duduk di atas tempat tidurnya. Untuk malam itu, ia membiarkan jendelanya terbuka lebar. Angin malam dapat dengan mudah masuk ke dalam kamar, itu membuat suhu terasa lebih dingin. Setiap ayahnya selesai menyiksa Yuuka, ia selalu pergi entah kemana. Dan akan pulang dalam dua hari, atau bahkan lebih. Itu tergantung.

Dalam dua hari itu, setidaknya, Yuuka bisa bernapas dengan tenang.

Mengangkat tangannya, ia memperhatikan cincin yang melingkar di jemarinya. Cincin yang terbuat dari emas murni itu berkilat indah saat cahaya lampu mengenai permukaannya. Yui memiliki pasangan lain dari cincin itu. Ah, hanya karena kau semuanya menjadi kacau. Ia bicara pada dirinya sendiri, lebih tepatnya pada cincin yang melingkar di jemarinya. Baginya, hidupnya terbelenggu hanya karena keegoisan ayahnya.

Sedetik kemudian ingatannya memutar kilas balik saat ia mengajak Yui menginap di rumahnya. Ia memang tidak terlalu mengingat momen di hari itu dan lebih menganggap hal itu adalah angin lalu. Tapi sekarang saat ia berada sendiri di kamarnya setiap serpihan-serpihan memori  itu terputar kembali di dalam kepalanya. 

Saat dirinya memerangkap tubuh Yui di bawah tubuhnya. Saat tangannya dengan lancang melepaskan satu persatu helai pakaian yang mereka kenakan. Saat mereka berciuman dengan penuh gairah, saat Yuuka memberikan tanda kepemilikannya pada ceruk leher Yui, dan saat kekasihnya itu menggumamkan namanya tiap kali Yuuka menyentuhnya—

Sontak itu membuatnya ingin membenturkan kepalanya ke dinding. "SIALAN, SUGAI YUUKA! BODOH! APA YANG KAU LAKUKAN!"

Ia mengacak-acak rambutnya sambil mendesis kasar. Yuuka mulai mempertanyakan di mana ia membuang kewarasannya pada saat itu. Bagaimana ia bisa melakukan hal semacam itu pada Yui dan bagaimana bisa mereka berdua bersikap seolah tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka setelah malam panas itu?

Yuuka pun mengambil ponselnya yang sejak tadi terabaikan di dalam tas. Ia memutuskan untuk mengaktifkan kembali ponselnya untuk membuang pikiran-pikiran buruk yang masih terus berputar di kepalanya. Menatap layar ponselnya, ada beberapa notifikasi.

Kobayashi Yui
Kau baik-baik saja?
Dimana kau?

Pesan dari Yui. Dari waktunya, Yuuka langsung tahu jika itu pesan dari dua jam yang lalu.

Sugai Yuuka
Aku di rumah, Pon
Aku baik-baik saja. Kenapa bertanya begitu?
Seharusnya aku yang menanyakan itu padamu

Suara deru mobil terdengar lagi. Kali ini disusul dengan suara klakson nyaring. Yuuka meletakkan smartphonenya di atas tempat tidur dan berjalan ke jendela untuk melihat keluar. Mobil miliknya sedang diparkirkan di garasi. Setelah berada dalam posisi sempurna, sang pengemudi keluar.

Risa mendongak saat menyadari Yuuka memperhatikan dirinya dari lantai dua kamarnya, gadis berambut pendek itu tersenyum sekilas. "Berhenti menatapku seperti kau melihat seorang pencuri. Lihat, aku mengembalikan mobilmu dan mengisi penuh tangki bensinnya." ucapnya dengan setengah berteriak agar Yuuka dapat mendengar suaranya.

Ia menyipitkan matanya, menyadari ada hal yang aneh pada Yuuka. "Tidak masalah jika aku mampir sebentar?"

"Beberapa hari lagi akan ada keributan di sekolah. Ini akan jadi tontonan yang menarik,"

"Memang benar. Tapi tidakkah kita terlalu berlebihan, ya? Lagipula kenapa juga kita harus melakukannya dengan sembunyi-sembunyi?"

"Hal itu tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan. Tidak, aku tidak akan melepaskan mereka setelah membunuh kelima orang itu. Mereka harus membayar semuanya, jika memungkinkan, mereka harus membayar dengan nyawa. Dan asal kau tahu, mereka sangat kuat. Jika mereka tahu siapa yang melakukan ini pada mereka, mereka tidak akan segan menghapus keberadaanmu dari sini—mati, jika kau bertanya."

"Baiklah. Jadi, kapan kita akan mengajukan permintaan penyelidikan untuk membuka lagi kasus itu?"

"Jangan. Aku tidak mau melibatkan orang-orang tidak berguna itu. Aku ingin menghancurkan mereka dengan tanganku sendiri. Kau berpikir seperti itu juga, kan? Inoue?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top