Chapter 1: The Grand of White

Blazer putih halus dengan emblem bordir tebal berbentuk perisai di lengan kiri, dasi abu-abu, kemeja abu-abu gelap serta rok putih dengan panjang hingga di bawah lutut. Entah sudah berapa kali Akane menatap dirinya sendiri di depan cermin dan memastikan ia telah mengenakan seragamnya sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam buku.

Semalam ia baru saja tiba di apartemen sehingga ia tidak memiliki cukup waktu untuk membereskan koper dan kardus-kardusnya karena ia langsung terlelap di lantai beralaskan tikar tipis begitu ia tiba. Ia juga enggunakan tas ranselnya sebagai bantal dan selimut tipis untuk menggulung tubuh. Terlihat menyedihkan, memang. Di usianya yang baru menginjak 17 tahun ia harus tinggal sendirian di Kota Metropolitan Tokyo, terpisah dari rumah keluarganya di Prefektur Miyagi.

Beberapa bulan yang lalu, Akane terpaksa harus dikeluarkan dari sekolah lamanya di Sendai, Miyagi karena ia terlibat dalam sebuah kasus serius. Pada waktu itu, ia berkelahi dengan seniornya di klub tenis. Awalnya, perkelahian tersebut hanya sebatas adu mulut saja namun semakin lama, perkelahian menjadi semakin sengit dan melibatkan kontak fisik. Saat itu lah Akane, yang telah dibutakan oleh amarah yang mendidih, menghantam kepala seniornya dengan raket tenis sebanyak dua kali hingga kepala seniornya itu pecah dan jatuh tak sadarkan diri dengan kepala bersimbah darah.

Akane sempat mengira orang tuanya akan mendaftarkannya atau memindahkannya ke sekolah swasta di sekitar sana. Atau paling tidak, sekolah yang berjarak beberapa stasiun lebih jauh dari rumahnya. Sayang, asumsinya itu runtuh begitu saja saat Akane tanpa sengaja menemukan brosur Sakurazaka Academy di atas meja ruang keluarga.

Ia tidak percaya orang tuanya akan mendaftarkannya ke Sakurazaka Academy yang identik oleh siswi-siswinya yang cenderung tenang, berprestasi dan tidak suka membuat onar—hei, jelas sangat berbeda dengan track record Akane yang terlihat seperti berandalan, bukan? Mungkin saja orang tuanya ingin Akane tertular perilaku baik dari murid Sakurazaka dan membuat anak gadis mereka itu memperbaiki diri di lingkungan yang lebih baik. Sebenarnya Akane tidak memiliki masalah dengan itu. Sakurazaka Academy itu keren—mereka terkenal di seluruh negeri, perwakilan siswinya seringkali muncul di televisi dan headline surat kabar. Tetapi, masalahnya adalah, Akane bukanlah orang yang cocok untuk masuk ke dalamnya. 

Ia tidak bercanda dengan itu. Neon box, billboard, video tron, poster, ataupun spanduk Sakurazaka Academy tersebar di seluruh negeri. Barangkali hampir semua orang di Jepang pernah melihat dan hafal betul dengan enam orang siswi yang menjadi model promosi di semua iklan tersebut.

Omong-omong, Akane memang terpaksa mengikuti ide orang tuanya untuk mendaftar ujian tulis dan Akane lolos dengan nilai sangat baik yang mana menurutnya itu hanya kebetulan terjadi. Karena memang pada faktanya Akane bukanlah siswi yang luar biasa cerdasnya. Prestasi pun hanya di bidang olahraga dan itu saja belum mencapai tingkat nasional dan internasional. Akan tetapi, orang tuanya terus memaksa sekaligus memberinya dorongan mental dengan memberitahu bahwa ujian tulis Sakurazaka Academy adalah salah satu ujian tersulit di Jepang dan dengan lolosnya Akane, berarti sudah cukup menunjukkan bahwa Akane bukanlah siswi dengan kecerdasan rata-rata.

Akane menghembuskan napas, penuh kegusaran. Ia mengambil tas dan smartphone yang tergeletak di meja belajar lalu melangkah keluar. Masih ada setengah jam sebelum bel berbunyi, pikirnya. Ia berjalan menuju stasiun dan sesekali melirik jam tangannya. Saat ia hendak menyeberang jalan, tatapannya tertuju pada mobil Hummer putih yang berhenti—menunggu lampu merah. Ia melihat kaca mobilnya yang terbuka, menunjukkan seorang gadis mengenakan seragam yang sama dengan dirinya.

Akane terdiam selama beberapa saat. Memperhatikan lekat-lekat wajah si pengemudi mobil hingga perhatiannya turun pada pakaian familiar yang dikenakan oleh si gadis. Tunggu dulu. Bukankah itu seragam Sakurazaka Academy?

"Hei, kau akan menyeberang atau hanya berdiri di sana dan melamun?" Akane tersentak. Ia langsung memutar kepalanya ke sumber suara. "Sakurazaka?" gadis yang semula membuatnya terkejut kembali bertanya.

Masih dengan bibir yang terbuka, Akane memperhatikan gadis itu dari bawah ke atas. Tapi ia segera memusatkan atensi pada sepasang matanya karena merasa tindakannya itu tidak sopan. "Ya, dan sepertinya kau juga."

"Ah, senangnya! Kita bisa pergi bersama-sama!" gadis itu tersenyum ramah. Akane menjawabnya dengan senyuman.

Mereka berdua kemudian menyeberang dengan terburu-buru. Akane menyadari gadis itu sedikit melihat ke arah mobil Hummer putih yang tadi ia perhatikan—tidak, ia tidak melihat mobilnya melainkan melihat ke sang pengemudi. Ketika mereka memasuki stasiun dan menunggu kereta, Akane berbicara. "Namaku Moriya Akane."

"Saito Fuyuka. Kelas 2-B." Fuyuka menjabat tangan Akane selama beberapa saat. "Aku tidak pernah melihatmu di antara anak-anak kelas dua. Apakah kau anak baru?"

"Ah, kau benar. Aku baru saja pindah hari ini. Maukah kau membantu untuk mengantarku ke ruang kepala sekolah?"

"Tentu saja! Aku juga akan menunjukkan area sekolah padamu nanti! Oh, dan juga, semoga kau ditempatkan di kelas yang sama denganku, aku akan sangat senang melihat wajah baru di kelas."

Akane tersenyum senang. Paling tidak ia berhasil mendapat teman di hari pertamanya sehingga ia tak harus duduk sendirian di kelas dan kantin seperti siswi yang dengan mudah dirundung. Lantai tempatnya berpijak bergetar, disusul oleh datangnya kereta listrik yang ditunggunya sejak tadi. Ia dan Fuyuka menunggu orang-orang keluar sebelum masuk ke dalam kereta. Di dalam, Akane bertanya. "Apakah kau melihat mobil besar berwarna putih tadi? Yang jendelanya terbuka."

Fuyuka mengerutkan dahi. "Mobil apa? Ada banyak mobil putih di Tokyo." Ia terdiam selama beberapa saat. "Oh, mobil itu, huh?"

Akane mengangguk.

"Itu mobil Sugai."

"Sugai ... siapa itu?"

Ia mendapati Fuyuka seperti berpikir. "Sugai Yuuka, dia siswi kelas 2-A. Seharusnya kau merasa familiar dengannya karena wajahnya terpampang di seluruh media promosi yang tersebar baru-baru ini. Kami tidak dekat, dan aku tentu tidak mau dekat dengan dia."

"Ada apa dengan Sugai?"

"Dia dan teman-temannya adalah salah satu dari siswi elit di Sakurazaka. Jika kau macam-macam dengannya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan karirmu di sekolah. Jika kau cukup kuat, kau akan pindah. Tapi jika tidak ... kau mungkin akan memilih untuk bunuh diri saja."

Akane mengangguk. Ia mencatat Sugai Yuuka di dalam kepalanya, untuk berjaga-jaga agar ia tidak perlu berurusan dengannya. Meski begitu, jujur saja, Akane sangat penasaran dengan sosok Sugai Yuuka. Dan juga dengan teman-temannya yang Fuyuka sebutkan tadi. Bukankah manusia akan semakin ingin mencari tahu tentang sesuatu yang terlarang baginya? Ah, mungkin jika keberuntungan sedang berpihak padanya, ia dapat bertemu dengan salah satu dari mereka nanti.

"Mungkin kau akan beruntung untuk bertemu dengan mereka di hari pertamamu." Fuyuka tersenyum licik dan tertawa. "Santai saja, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu."

"Aku tidak akan membiarkan diriku diinjak, Saito."

"Oh, aku suka caramu berbicara." Fuyuka menepuk-nepuk bahunya dan mengangguk bangga.

Sakurazaka Academy.

Akane berdiri di sana, membeku dan tak bisa berkata-kata. Bangunan akademi tersebut sangat mewah, besar dan juga megah. Bercat putih tulang dengan warna abu-abu di beberapa bagian. Akademi ini memiliki bentuk bangunan seperti bangunan Yunani. Terdapat empat gedung besar, dengan gedung utama yang berada di bagian tengah digunakan sebagai lobi dan penyimpanan etalase besar yang di dalamnya terdapat banyak sekali piala dan medali.

Tulisan emas Sakurazaka Academy terpampang jelas di gedung utama dan gerbang depan. Bendera-bendera dengan gambar dua ekor singa yang memegang perisai berwarna merah terpasang di segala penjuru. Emblem besar Sakurazaka Academy terpajang dengan gagah di dinding dan logam itu berkilat-kilat menyilaukan tatkala sinar matahari mengenainya. Lalu di sebelah kiri terdapat lapangan outdoor yang luas. Ada tribun penonton di sisi lapangan, tepat di belakang tribun berbatasan dengan pagar besi yang memisahkan area sekolah dengan dunia luar. Di tempat parkir bahkan terdapat beberapa mobil mahal, membuat tempat itu nyaris menyerupai showroom mobil mewah.

Setelah melewati gerbang utama, para siswi harus berjalan melalui jalan yang lebar untuk mencapai gedung utama. Di sisi kanan dan kiri terdapat pohon besar yang berdaun sangat lebat sehingga dapat menghalangi cahaya matahari. Memberikan kesan dingin dan nyaman. Berada di Sakurazaka Academy seperti memasuki sisi lain dunia. Dan Akane serius dengan hal itu.

Ia dan Fuyuka kemudian berjalan menuju lobi, bertepatan dengan itu Hummer putih yang tadi mereka lihat ternyata sudah terparkir di tempat parkir. Dari dalam mobil keluar seorang gadis dengan rambut panjang. Ia mengibaskan rambutnya dengan elegan. Fuyuka menyikut lengan Akane, "Lihat, itu Sugai."

Akane mengangguk. Matanya lantas tertuju pada seorang gadis yang tengah membuka pintu mobilnya dan berdiri di samping kuda besi gagahnya selama beberapa saat. Rambut panjangnya tergerai begitu saja, membuat semilir angin sejuk membuat anak rambutnya beterbangan. Dua plakat berlapis dengan warna emas mengkilat menempel di bagian dada—Akane memandang siswi-siswi lain di sekelilingnya, mereka memakai warna emas untuk plakat nama dan merah untuk penanda tingkatan kelas. Sejenak ia merasa aneh mengapa Yuuka mengenakan warna emas untuk keduanya.

Akane agak tersentak saat gadis lain tiba-tiba keluar dari pintu penumpang. Dan gadis ini sama-sama memakai dua lapis plakat emas seperti yang Sugai Yuuka sematkan di blazernya. Ia menduga mereka berdua adalah anggota dari suatu organisasi yang ada di akademi sehingga mereka memakai penanda yang berbeda dari siswi lain.

Sugai sendiri mungkin merasa diperhatikan sehingga ia tak langsung pergi setelah mengunci pintu mobil dan menerima sebuah buku dari gadis yang lebih pendek. Malahan kedua gadis itu langsung menatap balik Akane dengan tatapan penuh pertanyaan. Sontak saja Akane terkejut setengah mati dan menundukkan kepala, menarik Fuyuka untuk berjalan lebih cepat.

Fuyuka yang terkejut ingin bertanya pada Akane, mengapa gadis itu tiba-tiba menyeretnya dan berjalan dengan begitu tergesa-gesa. Tapi setelah ia menengok ke belakang dan menyadari ada dua orang anggota Dewan Pelajar yang cukup berpengaruh memperhatikan mereka seraya sesekali menunjuk-nunjuk mereka dengan senyuman miring. Fuyuka tahu siapa dua orang itu—Sugai Yuuka dan Kobayashi Yui. Pasangan president dan vice president Dewan Pelajar.

Ia tidak tahu apa yang dilakukan Akane sehingga dua orang pejabat akademi  itu sampai memperhatikan mereka hingga seperti ini. Fuyuka dan Akane baru merasa tenang ketika mereka berada di dalam main hall yang ramai oleh siswi-siswi dari tingkat satu hingga tingkat tiga yang melakukan absensi di mesin otomatis yang tertanam pada deretan dinding.

"Fuu! Selamat pagi!"

"Hei, selamat pagi." Fuyuka menyapa gadis dengan senyuman yang bersemangat di depannya. "Lihat, aku membawa anak baru dan ia baru saja dipindahkan kemari. Moriya Akane, aku perkenalkan padamu, Matsuda Rina. Matsuda, ini Moriya Akane."

Akane tersenyum sekilas, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat ramah di hadapan teman barunya sementara gadis di depannya ini memasang senyuman lebar dan melingkarkan lengan kanannya di bahu Akane. "Moriya. Selamat pagi, aku Matsuda Rina!"

"Dia berada di kelas yang sama denganku. Aku yakin kalian berdua akan berteman baik." Fuyuka tertawa. "Tenang saja, meskipun ia sangat suka tersenyum dan memamerkan giginya, Matsuda tidak akan menggigitmu."

Setelah mengobrol dengan Matsuda, Fuyuka membawa Akane menuju ruang kepala sekolah. Fuyuka memberikan selembar kertas bertuliskan nomor teleponnya pada Akane sebelum berpamitan untuk masuk ke kelasnya. Dan hari pertama Moriya Akane sebagai siswi Sakurazaka Academy dimulai dalam waktu kurang dari sepuluh menit.










I'm using Massachusetts Institute as visualization of Sakurazaka Academy's main building

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top