[0] A Piece Of Our Memories
Sakurazaka Academy memiliki upacara khusus saat penerimaan siswi baru. Biasanya siswi tingkat tiga dan tingkat dua akan memakai seragam putih Sakurazaka, masing-masing perwakilan dari tingkat dua dan tiga membawa tongkat dengan bendera putih bersurai emas di pinggirnya. Emblem Sakurazaka Academy dibordir tebal, lekukannya yang berbentuk perisai terlihat sangat elegan dalam bendera.
Para siswi baru akan berbaris dengan rapi, dipimpin oleh dua orang pembawa bendera. Mereka memimpin jalan anak-anak baru itu masuk ke dalam gymnasium tempat siswi tingkat dua dan tiga menunggu. Saat pintu ganda gymnasium dibuka, para senior yang awalnya menghadap ke depan, secara serentak membelah menjadi dua kubu. Kubu kiri menghadap ke kanan, kubu kanan menghadap ke kiri. Sehingga mereka berhadapan satu sama lain dan memberikan jalan bagi siswi tingkat satu.
Pembawa bendera melakukan tugasnya dengan baik. Memimpin junior dan memandu mereka berbaris di bagian depan—karena anak kelas dua dan tiga berada di belakang. Saat semua siswi tingkat satu telah berbaris rapi, siswi tingkat dua dan tiga kembali ke posisi mereka semula, menutup jalan yang tadi mereka buat. Sementara itu, pembawa bendera masing-masing mengambil tempat di ujung barisan.
Kepala sekolah sudah siap di atas podium. Hendak melakukan beberapa pidato penyambutan dan beberapa kalimat motivasi yang membuat para siswi sangat bersemangat. Upacara penyambutan ini kemudian diakhiri oleh lagu Sakurazaka No Uta yang dinyanyikan bersama-sama.
Kobayashi Yui, sama sekali tidak menyangka siapa seseorang yang memanggil namanya tepat setelah upacara penerimaan usai dan murid-murid mulai meninggalkan gymnasium. Gadis tinggi dengan rambut pendek sebahu yang sedari tadi terus mencuri pandang ke arahnya selama upacara. Itu adalah sebuah pertemuan yang tidak diduga, sepasang teman masa kecil kembali dipertemukan di Sakurazaka Academy setelah berpisah selama 3 tahun.
"Risa!" Yui tidak dapat menyembunyikan wajah bahagianya saat gadis itu berjalan mendekatinya. Ia langsung berlari untuk memeluk teman lamanya itu.
"Aku sudah menduga jika itu kau, Pon. Wajahmu itu tidak pernah berubah, dan kau masih pendek seperti dulu." Risa berucap. Ia melepaskan pelukan, melangkah ke samping. Yui kembali terkejut saat ia melihat gadis lain yang sedari tadi berdiri di samping Risa. "Dia juga. Aku langsung mengenalinya saat ia turun dari mobil."
Sugai Yuuka tersenyum kecil. Ia mengangguk pada Yui dan menjulurkan tangannya. Gesturnya terlihat agak kaku dan Risa sempat mengomentari hal itu. Meski begitu Yui tetap menyambut uluran tangan Yuuka dan menggenggamnya erat. Ketiga teman lama itu kemudian berjalan keluar gymnasium bersama-sama, menceritakan berbagai hal yang mereka alami dan lewatkan selama mereka tidak bertemu.
Di sisi lain, lebih tepatnya didepan gedung utama Sakurazaka Academy. Dua orang siswi kelas satu tampak sedang ribut hanya karena pose foto. Yang satu terlihat antusias dan yang satunya lagi protes dan terus berkata 'kenapa kita harus berfoto di tempat ramai seperti ini?' Tetapi meskipun mereka sempat bickering dan membuat siswi lain yang memegang kamera bingung, akhirnya mereka berhasil mendapat foto sempurna.
"Lihat, Yurina. Kau terlihat bagus di foto ini." siswi tersebut menunjukkan kameranya pada dua orang tersebut. "Kau harus sering-sering tersenyum." Plakat nama di dadanya bertuliskan Sato Shiori.
"Jika bukan karena Hono yang memintaku, aku tidak mungkin mau. Kenapa juga kau harus memilih tempat ini." Yurina membalas. Jika tadi pipinya yang memerah, sekarang rona merah itu naik ke telinganya.
Siswi yang dipanggil Hono tersenyum usil. Ia menepuk-nepuk punggung Yurina seolah bangga padanya. "Kau lihat gedung di belakang kita ini? Ini adalah bangunan ikonik yang paling prestisius di seluruh Jepang! Kau lihat bentuk bangunannya yang sangat artistik itu? Tiang-tiangnya, mirip bangunan bergaya Eropa!" Hono menjelaskan sembari menunjuk gedung putih di belakang mereka, menjelaskan dengan penuh percara diri seolah ia mengerti betul ciri-ciri bangunan yang ia maksud.
Yurina hanya memutar bola matanya. Sementara Shiori terkekeh mendengar ucapan Hono. "Mungkin yang kau maksud dengan tiang itu adalah pilar. Dan bangunan dengan pilar seperti itu adalah bangunan bergaya Yunani. Bangunan Eropa jelas berbeda berbeda dengan yang satu ini."
Mendengar itu, Yurina tertawa. Sementara Hono memasang wajah datar seolah tidak mendengar apapun dari Shiori meskipun jauh di dalam ia seperti ingin merobek wajahnya dan membuangnya ke tempat sampah. Lalu pergi ke rumah sakit untuk implant wajah baru.
"Baiklah, kami harus kembali ke kelas. Sayang sekali kelas kita berbeda." Shiori menyela. "Aku akan mengirim hasil fotonya besok."
Hono mengangguk. Melaimbaikan tangan pada kedua orang tersebut. Ia menghela napas berat, berjalan memasuki gedung utama dan menuju gedung kelas satu. Dirinya tampak memprihatinkan karena mungkin ia satu dari beberapa murid yang berjalan tanpa teman. Dengan kata lain, sendiri. Banyak yang sudah berkenalan dan membentuk kelompok pertemanan kecil.
Diantara banyak siswi Hono mendapati seorang siswi kelas satu lainnya yang Nampak kebingungan. Ia berdiri sambil melihat plakat kelas dan layar ponselnya bergantian, seperti mengecek apakah ia berada di kelas yang benar atau tidak. Hono pun berjalan mendekati siswi itu.
"Oh, kelihatannya kau akan berada di kelas yang sama denganku." Jelas suara Hono yang tiba-tiba itu membuat gadis tadi sangat terkejut—bahkan sampai menatapnya aneh. "maafkan aku jika tidak sopan. Aku melihatmu kebingungan disini jadi mungkin aku dapat membantu. Jujur saja, aku sedikit melihat layar ponselmu."
"B-Begitu..." gadis itu menjawab singkat. Masih kebingungan karena tingkah laku Hono yang sebagian besar mirip seperti penculik. Tapi jika ia melihat dengan baik, gadis di depannya itu tampak bersahabat.
"Oh, benar juga, maafkan aku karena tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namaku Tamura Hono. Senang bertemu denganmu, Seki Yumiko."
Tidak peduli dengan peraturan dimana saat hari pertama awal semester, tidak ada satu siswi pun yang datang terlambat. Terutama siswi kelas satu yang wajib mengikuti upacara penerimaan. Karin dengan santai masuk lewat gerbang utama, tepat satu jam yang lalu upacara penerimaan selesai dilaksanakan.
Suasana di luar gedung tidak seramai sebelumnya karena banyak siswi sudah masuk ke dalam kelas masing-masing. Meskipun begitu, Karin tetap melenggang santai seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Saat ia melewati gedung utama dan mulai berbelok menuju gedung kelas satu, jauh di sudut matanya ia melihat sekelompok siswi yang sedang bertengkar hebat.
Yang benar saja? Di sekolah seperti ini? Karin berhenti sejenak, menyipitkan matanya. Setelah diperhatikan itu adalah pertengkaran satu lawan tiga yang jelas tidak imbang. Ia ingin tahu apa yang mereka bicarakan, mengapa terlihat begitu serius? Karin pun perlahan melangkahkan kaki, berusaha mencari tempat tersembunyi agar dapat mendengar tanpa takut ketahuan.
Tapi, baru saja lima langkah ia berjalan. Satu dari ketiga orang itu menatap Karin dan membuatnya langsung menghentikan langkahnya. Merasa ada orang asing yang mengintervensi, dua orang lainnya kini ikut memperhatikan Karin. Melihat dengan seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki, menghapal persis bentuk wajah Karin.
Ia gemetar. Menyesali keputusannya untuk melakukan sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan. Tapi apa boleh buat karena ia sudah ketahuan, haruskah ia maju menolong siswi tersebut atau mundur dan masuk ke kelasnya? Tidak ada pilihan yang dapat ia pilih. Saat Karin menjatuhkan pandangan pada siswi yang menjadi bulan-bulanan kelompok itu, sorot matanya seolah memberi isyarat pada Karin untuk segera pergi.
Kaki kirinya melangkah mundur. Tanpa sedikitpun melepaskan pandangan dari ketiga orang itu, berjaga-jaga jika sewaktu-waktu mereka tiba-tiba mengejar. Setelah beberapa detik meyakinkan diri, barulah ia berbalik dan berlari sekencang mungkin menuju kelas.
Sebulan kemudian Sakurazaka Academy digemparkan oleh hilangnya seorang siswi kelas dua bernama Shida Manaka. Ciri-ciri, identitas dan foto Shida Manaka terpajang di papan buletin sekolah. Kobayashi Yui melihat sekilas isi dalam lembaran kertas itu, cukup sekali lihat ia sudah dapat menghapal tiap detail tulisan yang ada disana.
Oleh karena itu tidak ada alasan baginya untuk tetap berlama-lama disitu. Tapi kenyataannya ia malah tetap berdiri disana. Tidak, bukan untuk membaca tiap kertas dan selebaran yang tertempel disana. Melainkan memperhatikan gadis berambut pendek yang berdiri tidak jauh darinya—seingatnya dia mereka adalah teman sekelas—yang terlihat terkejut.
Sebenarnya ia merasa sedikit curiga atas perangai gadis itu. Namun bagi Kobayashi Yui itu bukan hal yang penting. Jadi ia tidak menghiraukan gadis itu dan berbalik pergi.
Bahkan setelah berminggu-minggu lamanya polisi masih belum menemukan keberadaan Shida Manaka. Tidak ada saksi, tidak ada bukti yang tertinggal. Seolah Shida menghilang tanpa jejak. Polisi sempat menginterogasi beberapa siswi yang sekiranya memiliki hubungan dekat ataupun tidak baik dengan Shida. Tapi tetap, semua usaha itu berakhir nihil. Keberadaan Shida masih misterius.
Lambat laun kasus itu mulai dilupakan. Termakan oleh waktu, terhapus oleh masa. Orang tua Shida hingga pihak sekolah hanya dapat berdoa dan percaya sepenuhnya kepada pihak kepolisian. Berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban yang muncul dan membawa Shida Manaka kembali ke pelukan keluarganya.
Hari itu Yui, Yuuka dan Risa tengah menghabiskan makan siang mereka di cafetaria. Suasana terlampau damai seperti biasanya. Para siswi memutuskan untuk tidak lagi mengangkat kasus siswi yang menghilang misterius untuk menjaga suasana agar lebih kondusif. Denting sendok beradu dengan piring dan suara para siswi mengobrol, membuat suasana terasa hangat dan bersahabat. Tapi suara pecahan piring disusul oleh suara teriakan keras membuat suasana berbalik menjadi agak berat dan mencekam.
Siswi tingkat dua, Ozono Rei, berdiri diam saat siswi tingkat tiga bernama Oda Nana berteriak padanya dan memukul permukaan meja dengan kepalan tangan. Padahal yang terjadi sepertinya hanya masalah sepele, hanya perihal tempat duduk. Pada umumnya orang-orang juga tidak akan mempermasalahkan hal semacam itu. Tapi berbeda dengan Oda. Senior tingkat tiga itu merasa berkuasa dan tidak terima kursinya ditempati oleh orang lain. Beberapa senior nampak berusaha menahan Oda agar ia dapat menahan diri.
Oda memang berhenti memaki Rei di depan umum, tapi bukan karena bujukan teman-temannya. Melainkan karena Rei sendiri. Oda menyadari ada yang salah dengan gadis itu. Rei hanya diam dan menatap langsung mata Oda yang melotot selama ia berteriak marah tadi tanpa melakukan apapun. Bahkan kedua tangan Rei masih tidak lepas dari pisau daging dan garpu yang ia gunakan untuk memakan steaknya. Reaksi itu yang membuat Oda merapatkan bibirnya dan memutuskan pergi dari tempat itu.
"Apa semua senior di sini seperti itu?" seorang siswi bernama Inoue Rina bertanya pada senior tingkat dua yang duduk berseberangan darinya.
"Tentu tidak. Yang seperti itu dapat dihitung jari, kau tidak perlu khawatir." Sang senior menjawab. Kemudian melanjutkan mengisi penuh sendoknya dengan sup krim sebelum melahapnya.
"Tapi, Imaizumi..."
"Hei, cepatlah makan. Lihat, lalat sudah siap singgah di makananmu."
Esok harinya, peristiwa yang sama terulang kembali. Seorang siswi kembali menghilang. Sama seperti sebelumnya, tidak ada saksi dan tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk menemukannya. Tidak diketahui apakah ia kabur dari rumah atau diculik oleh seseorang karena tidak ada jejak yang dapat memperkuat kedua dugaan tersebut. Lembaran kertas berisi ciri-ciri dan foto Oda Nana ditempel tepat di samping foto Shida Manaka di papan buletin sekolah. Sudah ada dua siswi yang hilang, sekolah menganggap hal ini bukan permainan lagi.
Polisi menduga bahwa kasus tersebut adalah kasus penculikan bermotif uang dengan pelaku yang sama dan tidak lagi sebagai kasus biasa dari siswi yang kabur dari rumah. Kali ini mereka mulai gencar menyelidiki dari kalangan keluarga korban, rekan bisnis, saudara dan siapapun yang memiliki motif kuat untuk melakukan penculikan.
Sayangnya, seolah Tuhan menghapus keberadaan kedua siswi itu, sekali lagi pencarian berakhir hampa. Kejadian ini semakin diperparah dengan kematian kepala sekolah yang terkesan mendadak. Tetapi, karena beliau sudah terlampau tua makan semua orang menganggap kematiannya itu dikarenakan usia senja. Saat itulah ayah Kobayashi Yui mulai menjabat sebagai kepala sekolah baru di Sakurazaka Academy. Sejak ia memimpin, keadaan Sakurazaka perlahan membaik. Tidak ada lagi kasus aneh yang terjadi, tapi sebagai imbasnya dua kasus menghilangnya dua siswi tersebut berakhir tanpa keterangan.
Beberapa orang sempat berasumsi bahwa Tuan Kobayashi—yang juga merupakan direktur dari salah satu perusahaan besar di Tokyo—membayar media, polisi, hingga keluarga-keluarga korban yang terlibat dengan nominal yang sangat besar demi membersihkan dan merestorasi nama baik Sakurazaka Academy yang sempat meredup karena kasus-kasus yang terjadi. Tentu saja semua rumor-rumor tak bertuan itu tidak bisa dibuktikan sehingga sekali lagi, mereka membiarkannya menghilang seiring berjalannya waktu.
Setidaknya Sakurazaka Academy tak lagi disebut sebagai sekolah terkutuk karena banyaknya siswi yang hilang tanpa jejak di sana. Well, baiklah, mereka tidak bisa disimpulkan menghilang di lingkungan akademi (toh, tidak ada yang menemukan mayat mereka di tempat itu). Tapi dikarenakan orang luar dan media massa yang memberitakannya dengan berlebihan, maka semua orang menganggap bahwa mereka menghilang di lingkungan akademi seperti hantu.
Setelah melewati masa sulit, Sakurazaka Academy mulai bangkit kembali. Medali dan piala pernghargaan mewarnai etalase kaca besar di gedung utama, nyaris semuanya emas dan kalian akan langsung menyadari jika tidak ada satupun perunggu di antara logam berharga itu. Berkali-kali Sakurazaka Academy mendapat predikat sebagai sekolah terbaik sehingga tidak dipungkiri bahwa mereka sedang berada di masa emas—dan akan terus seperti itu.
Tapi, di antara ratusan siswi Sakurazaka Academy, terdapat enam orang yang selalu berada di posisi terdepan dalam prestasi di bidang mereka masing-masing. Keenam siswi itu mendapat kehormatan khusus, foto mereka dipasang di gedung utama. Tepat di bawah emblem besar Sakurazaka Academy.
Kobayashi Yui, si jenius musik. Berkali-kali menyumbangkan penghargaan dalam berbagai kompetisi musik, puncaknya ia berhasil membawa pulang medali emas dalam kompetisi internasional.
Sugai Yuuka, atlet equestrian. Ia berhasil mewakili Sakurazaka Academy dalam suatu perlombaan dan meraih poin tertinggi disana meskipun ia pulang dalam keadaan bahu yang patah.
Watanabe Risa yang secara mengejutkan memenangkan olimpiade matematika, dan secara ajaib mendapat kehormatan menjadi pemimpin tim basket setelah berhasil membawa tim mereka menuju kemenangan.
Fujiyoshi Karin yang merupakan pemain ace bisbol sejak dirinya masih berada di sekolah menengah. Sekarang ia sedang berjuang untuk masuk ke liga professional. Ia sudah bertanding di bawah nama singa merah Sakurazaka Academy dan berhasil membawa pulang piala emas dengan rekor pitcher dengan strike-out terbanyak musim lalu.
Seki Yumiko seorang ahli komputer. Berkali-kali memenangkan kompetisi pemrograman dan menjadi developer muda sejak ia masih SMP. Otaknya seperti sudah diatur untuk memahami kode-kode pemrograman yang sulit.
Tamura Hono, seorang atlet muda kebanggaan Jepang. Sehingga tidak mengejutkan jika dirinya turut bersanding bersama kelima orang yang lainnya. Sakurazaka Academy patut bangga siswi seperti dirinya menjadi bagian dari Sakurazaka.
Keenam siswi tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan kelompok elit. Itu dikarenakan selain dari prestasi mereka yang gemilang, mereka juga berasal dari keluarga yang tidak sembarangan. Meskipun mereka disebut kelompok, mereka jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Hanya sebatas rekan, tidak lebih.
Inoue nyaris menabrak punggung seniornya karena Imaizumi tiba-tiba menghentikan larinya dan berbalik menghadap Inoue. Kali ini Imaizumi benar-benar serius, karena wajahnya yang biasanya tenang kini berubah menjadi berkerut. Kedua alisnya bahkan hampir menyatu.
Dengan napas terengah ia menyentuh bahu Inoue, mencengkeramnya dengan erat. "Sudah kubilang, kembalilah ke kelasmu! Apa yang aku lakukan sekarang sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganmu, dan aku tidak mau kau terlibat dengan hal ini, Inoue!" ucapnya. Setengah membentak, tapi ia tidak peduli.
"T-Tapi—"
"Tidak ada tapi. Ini perintah. Segera kembali dan saat aku berbalik, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi. Aku akan menemuimu lagi nanti," Imaizumi memotong ucapan Inoue. Ia kemudian kembali berlari menuju hutan belakang sekolah. Tanpa sekalipun melihat ke belakang, ia berkata pelan. "aku tidak mau kau terlibat dengan rahasia gelap ini."
Sementara Inoue memperhatikan punggung Imaizumi yang makin menjauh, ia hanya dapat menunduk. Menyembunyikan wajah sedihnya sembari berbalik menuju kelas. Mungkin ia tidak sadar, tapi kepergian Imaizumi adalah pertanda. Imaizumi mungkin tidak akan bisa menemuinya lagi.
Saat Imaizumi tiba, semuanya semakin parah. Nagasawa sudah berdiri dengan seragam yang sangat kotor, bahkan wajahnya terlihat sembab. Tidak kecuali dengan lebam di dahinya. "Ozono! Kau, sialan!" tubuh kecil Imaizumi sontak menyeruduk Ozono. Sepertinya masalah lain akan segera muncul.
Sementara itu, Fujiyoshi Karin yang kebetulan baru saja kembali dari makan siang pribadinya di bangku taman mendengar sayup-sayup suara teriakan. Kali ini ia agak ragu menghampiri suara itu. Berkaca dari pengalamannya yang lalu saat menemukan Shida Manaka dirundung oleh tiga siswi yang tidak dikenalnya.
Tapi bagaimana ia tahu jika siswi tersebut adalah Shida Manaka? Karin mengerutkan dahi. Mencoba mengingat-ingat. Dia siswi yang hilang itu... kan? Tunggu dulu. Bagaimana jika setelah ini ada lagi siswi yang hilang? Persetan dengan rasa takut, Karin adalah atlet baseball. Jika perlu ia dapat menggunakan kekuatan lengannya untuk berkelahi.
Sampailah ia di hutan belakang sekolah. "A-Apa yang terjadi.." Karin menggumam. Suara langkah kakinya diatas rumput dan daun-daun yang jatuh membuat orang-orang yang ada disana menoleh ke arahnya. "senior!"
Ia tidak salah lihat. Ketiga orang yang sedang merundung dua orang senior di depannya ini, benar-benar orang yang sama dengan tiga orang yang merundung Shida waktu itu. Itu berarti.. Karin mengepalkan tangannya, sorot matanya menajam. Menatap ketiga senior itu yang sekarang memusatkan atensi padanya.
"Bukankah dia ini anak yang waktu itu?" salah satu dari mereka berkata. "baguslah, kami tidak perlu mencarimu. Kau memilih untuk datang sendiri pada kami."
Karin menggeram. Ia melompat, melayangkan tinjunya ke wajah orang yang berdiri paling dekat dengannya. Ozono tidak menduga serangan mendadak itu sehingga pukulan Karin dapat dengan mudah mengenai wajahnya. Ia terhuyung ke samping karena impact pukulan tersebut, darah mengalir keluar dari hidungnya.
Melihat pemimpin mereka dilukai oleh seorang junior, kedua temannya tidak tinggal diam. Marino menerjang Karin dan menjatuhkannya, kemudian dengan cepat mencekiknya dan membuat Karin berontak berusaha melepaskan diri. Endo tersenyum kecil, ia terlihat bersemangat karena korban mereka nantinya akan bertambah satu orang. Ia melipat lengan blazernya, kemudian menarik Karin yang telah kehabisan napas.
"Kita apakan anak sok jagoan ini, Ozono?" tanyanya.
Suara langkah kaki kembali terdengar dari belakang mereka. Ozono tidak menjawab dan memfokuskan pandangannya pada seseorang atau apapun yang mungkin akan muncul dari balik pepohonan.
"Ternyata memang benar ada orang lain disini. Seharusnya kalian sudah pulang, kenapa masih bermain-main.. oh, tidak. Kelihatannya... Aku mengganggu permainan kalian..." Yui membiarkan ucapannya itu menggantung. Ia sangat terkejut, melihat dua orang senior terluka dan satu orang lagi ditarik paksa kerah blazernya. "Fujiyoshi?"
Ozono mengusap darah dari hidungnya dengan punggung tangan. Berjalan mendekati Yui dengan membawa tongkat kayu yang semula tergeletak di salah satu pohon. "Seharusnya kau tidak perlu kemari, Vice President Kobayashi. Kau jadi melihat terlalu banyak." Ucapnya. Ia tidak memberikan satu detikpun bagi Yui untuk menghindar, ayunan balok kayunya lebih cepat, tanpa ragu. Seolah ia sudah terbiasa melakukan hal serupa.
PRAK
Balok kayu itu berhasil menghantam kepala Kobayashi. Membuatnya tumbang dengan mudah tanpa perlawanan. Rei tertawa, menjatuhkan balok kayu bernoda darah ke tanah. Kemudian berlutut di depan tubuh Kobayashi. Karin memperhatikan semua itu dengan tatapan horror.
Pukulan keras pada kepalanya jelas membuat isi kepalanya bergetar, tulang tengkoraknya bahkan terasa seperti retak pada satu sisi. Yaitu tempat bagian tajam sisi balok tersebut mendarat. Memang itu membuat matanya dipenuhi oleh ribuan titik hitam selama beberapa saat, tapi ia segera bangkit berdiri dan menabrakkan tubuhnya pada Rei.
Yui tidak pernah berkelahi ataupun terlibat dalam perkelahian sebelumnya. Dan ini adalah kali pertama ia terjun langsung ke dalamnya. Tapi paling tidak ia tahu dasar-dasar dalam perkelahian jalanan. Aturan pertama; selalu menjaga jarak aman dan memastikan untuk tidak membelakangi lawan.
Senior tingkat tiga itu menggeram, membuat Endo dan Marino ingin berdiri untuk membantunya melawan Yui yang kini telah memasang pertahanannya sendiri. Hanya saja, Rei sendiri memerintahkan mereka untuk tidak ikut campur dan mengawasi tawanan.
"Aku sedang melihat dua pelanggaran berat sekaligus hari ini, Ozono." Yui mengeratkan kepalan tangannya, berbicara dengan nada mengancam.
Mendengar ancaman itu malahan membuat Rei tertawa terbahak-bahak. Ancaman pejabat Dewan Pelajar—The Elites—itu tak membuatnya takut sama sekali.
Jadi, Rei dapat dengan mudah menghindar setiap kali Yui menyerangnya. Setiap pukulan itu hanya mengenai udara kosong dan selalu meleset beberapa senti karena Rei dapat membaca sasaran pukulan Yui.
Bagaimana bisa semua pukulanku meleset begini? Ah, brengsek!
Rei kemudian mencengkeram pergelangan tangannya, kemudian menggunakan tangannya yang dilapisi oleh lempengan brass knuckle, ia memukul wajahnya berkali-kali. Dengan itu, Yui benar-benar terhuyung dan kehilangan separuh kemampuannya untuk berdiri. Ia menundukkan wajah, membuka mulutnya. Darah yang berkumpul di dalam mulutnya segera keluar dan menetes pada rumput di bawahnya. Yui terengah, sedikit merasa mual karena bau amis darah.
Jarinya meraba susunan gigi bagian atasnya. Satu gigi taringnya patah dan terlepas begitu saja—jatuh dalam genangan darah.
Sial. Gigiku lepas.
Tak membuang waktu lama, Rei menendang balok kayu yang ada di depan kakinya. Kemudian ia meraih leher Yui, melingkarkan lengannya disana sebelum mencekiknya dengan sangat kuat. Itu membuat darah milik Yui menempel dan membasahi bagian lengan blazernya. Sementara Yui tersedak dan menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan cekikan Rei. Tetapi justru tiap kali ia memberontak, Rei semakin kuat mencekiknya dan membuat temggorokannya hancur.
Yui melirik Karin yang berdiri dengan Endo dan Marino yang menahan lengannya. Raut kesakitan terlihat jelas di wajahnya yang memerah. Gigi Yui bergemeretak, ia tak dapat melihat apapun selain kegelapan total. Dan kini ia benar-benar tak bisa bernapas. "Fuji—"
Jangan... Jangan ambil kesadaranku sekarang—
"Hah!" Rei berteriak. Tidak mempedulikan cengkeraman tangan Yui pada lengannya, ia menggunakan kekuatannya secara penuh.
"Tidak, jangan siksa dia—Kobayashi!"
Yui tak lagi memberontak, cengkeraman tangannya juga tak lagi menusuk lengannya. Rei tersenyum beringas, melepaskan lengannya dan membiarkan tubuh Yui yang lemas tergeletak di tanah yang basah oleh tetesan darah.
Melihat teman sekelasnya mati di depannya sendiri, karena ulahnya sendiri. Jika saja ia tidak sok jagoan dan datang ke tempat itu, mungkin Kobayashi tidak akan berakhir di atas genangan darahnya sendiri.
"Selanjutnya, kau." Rei berkata. Endo dan Marino bersamaan menjatuhkannya ke tanah, mencengkeramnya dengan erat sehingga ia tidak dapat melepaskan diri. Rei kembali bersiap dengan balok kayunya. "seharusnya kau berhenti bermain-main—urgh!"
Ia berteriak saat merasakan suatu tusukan dari bahunya. Dilihatnya Yui berdiri dibelakangnya, mencabut kembali jangka yang ia tusukkan di bahu Rei. Yui tanpa berkata apapun, meraih tangan Rei sementara kakinya menyapu kedua kaki seniornya itu dengan satu tendangan kuat. Rei kehilangan keseimbangan dan jatuh telungkup. Memanfaatkan kesempatan itu, Yui yang masih memegang tangannya langsung memutar lengannya hingga mengeluarkan suara crack yang menyakitkan.
Lawannya tersentak saat matanya bertemu sepasang mata elang dengan milik Yui. Ini... Ini berbeda. Bagaimana bisa begini? Rei mengerang keras saat tubuhnya menghantam tanah. Yui tak berhenti disitu, ia berlutut di samping Rei dan menarik rambutnya—memukulkan kepala Rei pada tanah berkali-kali hingga gadis itu kehilangan kesadarannya.
Rei dilumpuhkan dengan cepat. Bahkan Endo dan Marino tidak cukup cepat untuk menyerangnya terlebih dahulu. Tapi mereka tidak takut, meskipun Yui sekarang sudah bersiap dengan kuda-kuda yang kokoh. Pertarungan kedua segera terjadi, dua lawan satu. Fujiyoshi melihat sendiri kejadian itu, ia tidak bisa melakukan apapun selain beringsut mendekati dua seniornya yang terluka.
Saat Karin menoleh ke belakang, Yui baru saja selesai dengan permainannya. Ia memaksa Ozono berdiri dengan menarik kerah pakaiannya yang berantakan. "Pergi dari sini." Ucapnya dengan suara rendah. Ia dapat melihat rahang gadis itu menegang, menahan amarah yang luar biasa. "SEKARANG!" Yui berteriak. Mendorong Rei menjauh darinya.
Ketiga senior tersebut tak membutuhkan waktu lama untuk pergi meninggalkan mereka. Yui berjalan mendekati Karin yang berusaha berdiri. Ia mendapati kakinya terluka, jadi Yui segera memberikan bantuan kecil padanya.
"Terima kasih. Kobayashi. Aku berhutang budi padamu." Karin berkata setelah ia dapat berdiri dengan kedua kakinya.
Tetapi gadis yang baru saja membantunya hanya memiringkan kepalanya, menatap Karin dengan tatapan penuh pertanyaan. "Kobayashi... siapa yang kau maksud?"
Karin terkejut. Ia memastikan sekali lagi. Meskipun mereka jarang berinteraksi tapi ia ingat betul siapa gadis yang berdiri didepannya sekarang ini. Kobayashi Yui, siswi kelas 1-A, anak kepala sekolah. Memangnya siapa lagi kalau bukan dia? Sekali lagi Karin melihat wajahnya, wajah Kobayashi yang berlumur darah. Saat ia melihat sepasang iris cokelatnya, ia tidak dapat melihat apapun selain nafsu untuk melukai disana.
"Jadi kau ya... The Elites?"
Ia mungkin harus merasa beruntung karena ia baru saja bertemu dengan kepribadian lain dari Kobayashi Yui, yang lebih berbahaya dari ketiga senior yang menghajarnya tadi. Karin menyebut dia dengan, Yang Tak Bernama.
Hirate dengan susah payah mengejar Hono di koridor. Meski ia sudah berteriak padanya, berkali-kali meminta maaf Hono nampaknya sama sekali tidak menghiraukan usahanya. Ia berang, Hirate yang ia anggap sebagai teman yang dapat ia percaya sepenuhnya dengan matanya sendiri malah mengkhianatinya.
Ia lebih memilih bersama teman-teman barunya. Selain itu Hirate juga mengatakan pada guru bahwa Hono lah yang mencuri lembar soal ujian semester. Padahal mereka berdua sepakat untuk tidak saling menyebutkan nama, dan Hirate dengan mudahnya menyelamatkan diri dengan memberikan tuduhan sepenuhnya pada Hono.
Itu masalah yang sangat serius.
Mungkin karena sudah Lelah berlari dan risih karena Hirate yang terus mengejarnya., Hono akhirnya berhenti di salah satu anak tangga menuju lantai tiga. Beberapa pasang mata tertuju padanya saat Hono dan Hirate berdiri disana, pada anak tangga yang berbeda.
"Yurina, aku benar-benar serius mengatakan hal itu. Aku tahu aku bodoh, sangat bodoh sampai-sampai kau dengan mudah menginjak harga diriku. Oke, aku tahu memang aku yang salah dalam hal itu. Tapi kesepakatan kita?" Hono berkata.
"Maafkan aku. Biarkan aku meluruskan masalah ini, kumohon."
Hono menggeleng. Menatap Hirate dengan dahi berkerut. "Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi untuk sementara waktu. Jangan ganggu aku." Tanpa menunggu jawaban Hirate, Hono melangkah melewati temannya itu.
Seki pulang agak larut hari itu. Matahari sudah nyaris tenggelam di ufuk barat, menyisakan sinarnya yang perlahan menghilang. Pekerjaannya di ruang OSIS sudah selesai dan ia hanya tinggal mematikan komputer dan pendingin ruangan agar ia dapat pulang dengan tenang. Suasana lebih sepi dari yang ia duga. Hanya suara detik jam dan suara gema dari sepatunya sendiri. Andai saja ia tidak menyuruh Yuuka dan yang lainnya pulang terlebih dahulu, mungkin ia tidak perlu merasa khawatir berlebihan seperti itu.
Khawatir? Bagaimana mungkin ia tidak khawatir setelah pikirannya sendiri menakutinya. Mengingat ada dua orang siswi yang hilang misterius tidak menutup kemungkinan dirinya akan menjadi korban juga.
Tapi mungkin ia hanya khawatir berlebihan. Ya, dirinya selalu merasa seperti itu saat sendirian, dan selama ini ia baik-baik saja. Pasti sekarang juga seperti itu, kan?
Ia melangkahkan kaki menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. Sakurazaka Academy sangat besar dan mungkin terkesan menyeramkan saat kau berada disana sendirian di waktu senja. Kau akan merasa begitu kecil disana dibandingkan pilar-pilar raksasa yang tinggi menjulang. Jadi Seki mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang untuk menghilangkan rasa sepi.
Beruntung, ia tidak perlu menunggu karena orang diujung telepon langsung mengangkat panggilannya. "Seki! Apa kau sudah pulang? Bisa aku mampir ke rumahmu malam ini?"
"Hei, dapatkah kau menemaniku? Aku baru saja selesai dengan pekerjaanku dan sekolah sepertinya sudah kosong sekarang." Seki kini sudah berada di gedung utama, menuju lobi dan mengeluarkan kartu pelajarnya untuk mengisi absensi.
"Kau takut, ya?"
"Tidak. Aku hanya tidak suka berada di tempat luas, sendirian."
"Aku mengerti." Hono lalu menggumam pelan di ujung sana. Meskipun hanya menggumamkan kalimat tak jelas, suaranya itu sudah cukup untuk menenangkan perasaan gelisah Seki. "pernah mendengar kisah hantu Sakurazaka Academy?"
"Apa itu? Kau membuatku ingin memukul kepalamu dengan kunci inggris saat aku tiba di rumah nanti."
Seki selesai dengan absensi dan sekarang hendak menuju tempat parkir. Ia terlalu fokus berbicara dengan Hono sampai ia tidak sadar ada mobil lain yang masuk ke area sekolah. Mobil mereka berpapasan di gerbang utama saat Seki hendak menyeberangkan mobilnya. Ia mengintip lewat rearview, mobil itu terparkir sempurna. Penumpangnya keluar, tiga orang.
Dan yang membuat Seki ketakutan dan terkejut setengah mati adalah sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang yang diseret keluar dari mobil oleh orang-orang tersebut. Dua orang, tidak jelas siapa karena kepalanya ditutup oleh kain hitam. Seki berasumsi seperti itu karena ia tidak dapat melihat kepala disana.
"Tolong katakan bahwa aku sedang tidak bermimpi sekarang karena aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang aku lihat."
Cahaya lampu yang minim membuat Seki terpaksa menyipitkan matanya. Berusaha menangkap siapa orang mencurigakan disana. Ia terkejut saat cahaya senter yang sangat terang disorot langsung ke mobilnya, membuat matanya buta oleh sinar terang itu. Merasa tertangkap basah, Seki mengumpat dalam hati. Tanpa berpikir panjang, ia segera menginjak pedal gas sedalam mungkin membawa mobilnya keluar dari area itu dengan kecepatan tinggi.
Jantungnya berdetak cepat. Telapak tangannya basah dan terasa licin saat ia mencengkeram roda stir. Dengan tangan gemetar ia mengambil ponselnya yang ia tak sengaja ia lempar di kursi samping, didengarnya dari speaker Hono berteriak-teriak khawatir. Tatkala ia mencoba berbicara, ia sudah tidak bisa mengendalikan suaranya yang bergetar, "Hono, ada sesuatu yang salah di sini. Benar-benar salah."
Hari ini semua anggota Dewan Pelajar—atau lebih baik disebut sebagai The Elites saja—tampak berkumpul di ruangan mereka. Sangat jarang mereka berkumpul jika bukan karena urusan pekerjaan atau kepentingan tertentu yang mengharuskan mereka berkumpul untuk mendiskusikan suatu hal. Meskipun mereka berada di satu kelas yang sama, frekuensi interaksi mereka bahkan hanya beberapa persen saja.
Akan tetapi, pada hari itu mereka mengobrol seperti biasa. Selayaknya kawan lama yang telah lama tak berjumpa. Topik obrolan mengalir, mulai dari yang ringan hingga yang paling berat. Dimulai makanan kesukaan, hewan peliharaan, hobi atau yang lainnya. Di sini, Tamura Hono adalah yang paling banyak bicara, juga paling banyak bertanya. Bisa dibilang dia yang paling ahli memecahkan dinding es di antara mereka. Dan sebaliknya, Karin adalah yang paling pasif.
Usaha yang bagus karena setelah ini mereka akan membicarakan sesuatu yang rumit.
"Itu terjadi lagi, ya?" Yuuka memulai. Hono menatapnya dengan agak kecewa karena ia memotong candaannya.
"Setelah beberapa bulan tidak terjadi apa-apa di akademi, kupikir semuanya sudah berakhir. Tetapi ternyata mereka kembali melakukan aksinya. Minggu lalu, senior tingkat tiga, Imaizumi Yui dan Nagasawa Nanako menghilang." Risa menatap langit-langit. Pikirannya menerawang jauh entah ke mana. "Aku tahu mereka pasti sudah mati. Tapi masalahnya, di mana mereka berada sekarang? Di mana tubuh mereka? Mereka bahkan tidak meninggalkan jejak seperti surat atau semacamnya."
"Fujiyoshi. Pertama kali aku melihatmu berdiri di depan papan buletin, kau melihat foto Shida yang tertempel di sana. Wajahmu saat itu terlihat aneh, kelihatannya kau mengetahui sesuatu dan kau mungkin ingin menyampaikannya pada kami?" Yui bertanya pada Karin.
Gadis itu menundukkan kepalanya saat menjawab. Ia masih takut menatap langsung wajah Yui karena pertemuannya dengan kepribadiannya yang lain waktu itu. Sepertinya itu meninggalkan bekas di memorinya. "Saat hari pertama di akademi... aku melihat mereka dirundung oleh tiga orang itu."
"Maaf, siapa?" Yuuka bertanya. Pertanyaannya mewakili teman-temannya yang lain yang sama-sama antusias mendengarkan.
Karin membasahi bibirnya. Kemudian melanjutkan, "Orang yang sama dengan orang yang dipukuli olehnya," ia pun mengacungkan jari telunjuknya pada Yui.
Atensi semua orang yang ada di sana seketika tertuju pada Yui. Sementara yang menjadi pusat perhatian terkejut bukan main. Dengan mata yang terbelalak, ia menunjuk dirinya sendiri, "Aku? Aku tidak melakukan apapun dengan mereka. Aku hanya meminta mereka agar meninggalkan akademi saat itu." Yui menyahut cepat, berusaha membela diri. "Ah, tapi terakhir kuingat satu dari mereka memukulku dengan kayu setelahnya."
"Kau menghabisi mereka, Kobayashi. Aku lihat kau seperti tidak merasa sakit sedikitpun saat mereka memukulmu dengan senjata sementara kau melawan dengan tangan kosong!"
Risa menatap keduanya bergantian. Air wajahnya berubah menjadi sedikit lebih keras dalam sekejap, seolah-olah ia telah mendengar konversasi yang tidak diinginkan di antara Karin dan Yui. Jadi ia segera mengangkat tangannya seolah meminta mereka berhenti berdebat. "Jadi, orang yang sama? Seki, apa yang kau lihat waktu itu juga tiga orang? Apa kau melihat wajahnya?"
"Ya, benar. Saat itu memang ada tiga orang. Tapi aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena waktu itu sudah malam. Mereka bahkan membutakan mataku dengan senter."
"Setiap tiga orang itu merisak seseorang, beberapa hari kemudian orang tersebut menghilang tanpa jejak. Mungkin kita harus melihat sendiri apa yang ada di belakang sekolah. Jika dugaan kita benar... kita mungkin akan mendapatkan jackpot." Yuuka berkata pelan.
"Kau ingin kami menyumbangkan nyawa kami?" Hono menyahut.
"Tidak, sial. Kita akan pergi bersama-sama. Tiga tidak akan menang melawan enam, kau tahu?" Yui menjawab. "Malam ini di hutan buatan belakang akademi. Pukul 9 tepat, jangan ada yang terlambat."
Sesuai rencana, tepat pukul 9 malam mereka sudah berkumpul di tempat parkir. Suasana begitu hening, tidak ada seorang pun yang berkeliaran di gedung-gedung besar itu. Yuuka menatap ke belakang, ke arah teman-temannya yang tengah menurunkan beberapa senter. Raut wajah mereka sama-sama tegang jadi setidaknya Yuuka bukan menjadi satu-satunya orang dengan wajah muram.
"Ayo,"
Cahaya senter menyorot koridor gelap di depan mereka. Suara langkah kaki dan napas menjadi satu. Saat mereka tiba di hutan belakang sekolah, kegelapan yang lain muncul. Hitam pekat, tidak ada sorot lampu disana kecuali dari senter yang mereka bawa.
Hono berkata pada Yui, dengan nada bergurau, "Mungkin kau harus suruh ayahmu memasang lampu di hutan ini agar para hantu tidak menjadikan tempat ini markas mereka." Tetapi Yui menangkap candaan itu sebagai hal yang serius.
Yuuka sesekali melihat ke belakang. Menghitung jumlah orang yang ikut bersamanya, ia menghela napas lega saat mengetahui jumlahnya sama. Tidak lebih, tidak kurang. Ia menoleh ke samping, menyorotkan senter pada sebuah pohon. Ada sekop tergeletak disana.
Ia tidak perlu berkata apapun karena Risa sudah berlari untuk mendatangi benda tersebut. Hono dan Karin langsung mengikuti di belakangnya. Langkah kedua gadis itu mendadak berhenti saat Risa berteriak, kakinya terjerembab masuk ke dalam tanah. "Ah, sial. Berhenti disana, jangan kemari." Risa berkata tiba-tiba. Terdengar suara berisik seperti dedaunan yang disibak juga umpatan Risa. "tanahnya tidak padat!"
Mereka kemudian berdiri di sekeliling Risa. Yui menarik tangan gadis itu dan membantunya menarik kakinya yang tenggelam di dalam tanah. Saat Risa sudah bebas, Seki berlutut didekat petak tanah itu. Tangannya menyentuh permukaan tanah, berusaha menggali tanah tersebut dengan tangannya. Karin mengambil sekop yang tadi ditemukan Yuuka, membawanya.
"Kau ingin menggalinya?" tanya Yuuka saat Karin menancapkan ujung sekop pada tanah gembur itu. Memang jika dilihat lebih baik permukaannya agak anjlok daripada permukaan tanah di sekelilingnya.
Karin mulai menyerok gumpalan tanah dengan sekop, kemudian melempar tanah itu ke sisi lain. "Lalu? Kita harus tahu apa yang ada di dalam sini."
Hono mengangguk setuju. Ia bergabung dengan Karin untuk menggali tanah itu menggunakan tangannya. Yuuka menyorotkan senter ke tanah gembur tersebut, menelan ludah dengan gugup, menerka-nerka apa yang ada didalam sana. Matanya bertemu dengan mata Risa, ketegangan jelas nampak dari sepasang iris coklat itu. Meski ragu, akhirnya Yuuka dan Risa mau membantu untuk menggali sementara Yui dan Seki bertugas memegang senter.
Sepuluh menit berlalu dan usaha keras mereka membuahkan hasil. Sesuatu seperti kain mulai terlihat menyembul dari sela-sela tanah. Karin meletakkan sekopnya, sekarang menggunakan tangannya untuk mengais sisa-sisa tanah. Semakin lama apa yang terkubur di dalam mulai nampak wujudnya. Begitu sadar apa yang teronggok disana, Hono dan Yuuka langsung melompat keluar lubang. Risa pun begitu. Ia turut menarik lengan Karin agar menjauh dari sesuatu berbalut kain itu.
Mereka tidak berkomentar apapun. Semuanya shock, membeku. Saling bertatapan, memastikan apakah masing-masing dari mereka melihat hal yang sama.
Melihat mayat.
Ada empat mayat. Setidaknya begitu yang Yuuka lihat sebelum ia memutar badannya ke arah lain. Bau tidak sedap membuat mereka sangat tersiksa. Bahkan Risa sampai mengeluarkan air mata saking mengerikannya bau itu. Yang paling mengerikan lagi adalah, saat Yui menyorot lubang dengan senter mereka dapat melihat jelas pakaian yang dipakai oleh keempat mayat tersebut.
Semuanya memakai seragam sekolah mereka. Warna putihnya berubah sepenuhnya menjadi coklat, entah karena bekas darah atau tanah yang menempel. Melihat hal seperti itu mungkin akan membekas sepenuhnya di ingatan mereka. Mungkin saat itu mereka memikirkan hal yang sama untuk pertama kalinya. Telah terjadi pembunuhan di Sakurazaka. Dan korbannya adalah semua anak bermasalah, setidaknya yang memiliki masalah dengan tiga orang yang dilihat oleh Seki dan Karin.
Karin menggunakan tangannya menutup hidungnya rapat-rapat. Berusaha keras menahan keinginannya untuk muntah saat ia melongok ke dalam lubang. "Ini benar-benar mayat. Apa yang harus kita lakukan? Melapor polisi?"
SRAK
CRACK
Risa sontak menoleh ke belakang saat mendengar ranting yang terinjak. Senternya menangkap orang lain disana, memperhatikan dengan jelas apa yang mereka lakukan. Orang itu sama terkejutnya dengan mereka, tapi ia lebih terkejut lagi setelah melihat siapa yang baru saja menggali kuburan itu. Ponsel yang ia pegang meluncur jatuh dari genggamannya.
"Halo, terima kasih sudah menelepon Kepolisian Tokyo. Beritahu kami apa masalah anda."
Tapi gadis itu segera sadar dengan apa yang terjadi. Ia pun mengambil ponselnya yang jatuh dan segera berlari meninggalkan tempat itu.
"Brengsek. Seki, Yui. Tutup lubang itu. Kita akan mengejar tikus sialan ini." Risa pun segera berlari diikuti oleh Karin.
"Aku akan ke gerbang utama!" teriak Yuuka sebelum ia menghilang di antara gedung kelas dua.
Begitu Risa, Yuuka, dan Karin meninggalkan area hutan belakang akademi, Yui dan Seki segera mengambil sekop dan mengubur kembali mayat-mayat yang mereka temukan dengan tanah secepat yang mereka bisa. Sementara kedua temannya berjuang melawan bau busuk dan rasa takut yang luar biasa, Hono tetap tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya. Gadis itu membeku, dengan lidah yang kelu.
Ia seperti tidak percaya siapa yang dia lihat. Orang yang baru saja melarikan diri dari tempat itu, orang yang menjadi satu-satunya saksi yang melihat The Elites menggali tumpukan mayat dari siswi-siswi yang hilang. Itu adalah Hirate Yurina—sahabat Hono, termasuk orang yang telah mengkhianatinya.
Di sisi Risa, ia berhasil menangkap Hirate dengan mengorbankan tubuhnya. Ia berlari dan melompat dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh Hirate. Memang berhasil, tapi lutut dan lengannya terluka karena tergores. Sayangnya, Hirate dapat dengan mudah meloloskan diri dari cengkeraman itu karena Risa jatuh berguling di tanah.
Tapi paling tidak Risa mendapatkan ponselnya. Ia segera memutuskan panggilan yang sedang berlangsung, mematikan ponsel tersebut dan mematahkan sim card di dalamnya. Suara orang berlari tunggang langgang terdengar dari belakang sebelum ia melihat Karin berhenti di sisinya, berlutut dan terengah. Tanpa mengatakan apapun ia mengalungkan lengan Risa ke lehernya dan membopongnya menuju mobil.
"Dia kabur?" tanya Yuuka yang baru saja tiba. Ia langsung membungkuk, berusaha mengatur tempo napasnya yang berantakan. "Sial, aku terpeleset di depan toilet. Aku melihat bayangan lewat di depanku. Benar-benar sial!"
Karin mengangguk pelan. "Setidaknya Watanabe berhasil merampas ponselnya," ia kemudian berdiri, berjalan untuk membuka pintu bagasi.
"Kau juga terjatuh?" Yuuka duduk d isamping Risa yang meringis sambil membersihkan luka di tangan dan kakinya dari pasir.
"Ya. Tapi jatuhku lebih terhormat. Bukan disebabkan oleh ketakutan karena melihat hantu."
"Sialan kau," Yuuka tertawa kecil, refleks memukul luka basah yang ada di lutut Risa. Sukses membuat gadis itu mengumpat keras. "kerja bagus."
Karin kembali dengan membawa beberapa botol air mineral dingin yang segera disambut dengan suka cita oleh Risa. Ia bahkan langsung menyiram kepalanya dengan air itu. Sementara Yuuka menghabiskan setengah dari 750 mililiter isinya. Mereka menunggu dalam diam sembari memulihkan tenaga sementara Seki, Yui, dan Hono baru datang beberapa menit kemudian dengan pakaian kotor oleh tanah dan lumpur—juga darah.
"Hirate melihat kita menggali lubang itu dan hampir melapor polisi. Jika dia tidak melakukan kesalahan mungkin kita sudah berakhir di kantor polisi karena sesuatu yang tidak kita lakukan." Yuuka berkata. Kedua tangannya menutupi wajahnya yang terlihat lelah. "ditambah lagi beberapa dari kita menyentuh mayat itu. Kenapa kita begitu bodoh!"
Risa menutup buku bacaannya dan menjawab, "Sudah jelas senior Ozono dan teman-temannya yang melakukan hal ini. Masalahnya adalah, Hirate melihat kita yang menggali mayat itu. Yang Hirate tahu kita lah yang bertanggung jawab atas hilangnya anak-anak itu. Kalaupun kita membela diri dengan menyeret nama Ozono, polisi tidak akan percaya karena kita tidak memiliki bukti apapun." Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruang Dewan Pelajar, menatap satu per satu orang yang ada disana. "Kita tidak bisa meminta bantuan polisi untuk kasus ini."
Mereka terdiam. Masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka. Tapi kemudian Yui angkat suara, memecahkan keheningan itu. "Yang dapat kita lakukan adalah mencegah Ozono melakukan hal ini lagi. Tidak menutup kemungkinan salah satu dari kita adalah target mereka selanjurnya, terutama aku, Seki, dan Fujiyoshi yang telah bertemu langsung dengan mereka. Kita semua mempunyai privilege, dengan sedikit usaha kelompok kita akan berada di puncak rantai makanan. Kita dapat dengan mudah menginjak Ozono."
"Benar." Risa menjawab. "Selama ini ia terlihat seperti berkuasa di sini. Dengan membentuk kelompok sendiri kita juga dapat saling melindungi. Tapi setidaknya kita harus memiliki pengaruh cukup kuat, benar? Sesuatu yang membuat setiap orang segan saat mendengar nama kita."
"Kalian memiliki potensi yang bagus untuk menjadi perisak." Yuuka mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Kemudian ia berdiri, berjalan menuju jendela. "Mungkin sedikit jahat, tapi kita bisa memanfaatkan Hirate. Meskipun ia akan menjadi tumbal setidaknya kita dapat mendapatkan pengaruh yang pantas, dengan begitu kita akan dengan mudah menekan Ozono."
Mereka semua mengangguk setuju. Meskipun Hono dan Karin sedikit merasa ragu, mereka tidak merespon apapun saat Yuuka dan yang lainnya berbicara. Hanya menunduk dan mendengarkan dengan wajah muram. Yuuka menyadari hal itu dan memutuskan untuk bertanya. "Kenapa kalian terlihat takut?"
"Kita akan melakukan tindak kriminal yang cukup berbahaya untuk karir dan pandangan orang-orang terhadap diri kita. Jika ini gagal, akan bukan tidak mungkin semua ini akan berbalik pada kita seperti bumerang. Jika dipresentasekan, peluang kita berhasil tidak mencapai lima puluh persen." Karin menjelaskan dengan berhati-hati. Sebisa mungkin ia menjaga tutur kata yang keluar dari bibirnya ketika berbicara dengan orang-orang yang ada di dalam ruangan yang sama dengannya saat ini agar mereka mau mempertimbangkan lagi apa yang akan mereka lakukan.
"Hei, kau ingin berakhir di dalam lubang bersama mereka? Tidak perlu takut. Jika kita terus bersama seperti ini, tidak akan ada yang berani menyakitimu. Kita akan melindungimu." Risa tersenyum kecil. Ia menepuk-nepuk punggung Karin, membuat gadis itu tersentak. Kepalanya kemudian mendekatinya, Karin refleks mengangkat bahunya saat Risa berbisik di telinganya. "Maaf aku terlambat memberitahu. Mungkin kau terkejut dengan Kobayashi. Ia memiliki suatu kondisi yang langka dan kuharap kau mau mengerti."
Karin melebarkan matanya saat Risa tersenyum kecil penuh arti dan kembali duduk dengan tegak di tempatnya semula—sepenuhnya mengerti jika Karin hendak mengorek informasi lebih lanjut darinya dan memutuskan untuk Risa tidak menghiraukannya, paling tidak untuk sekarang.
"Aku... entahlah. Maksudku, Hirate temanku sendiri. Dan melukainya seperti itu akan..." Hono terdiam. Teman-temannya yang lain menunggu ia melanjutkan kata-katanya. Ia ragu dan merasa kasihan dengan Hirate, dengan apa yang terjadi padanya setelah ini. Tapi dirinya kembali teringat dengan sesuatu yang membuatnya sangat kecewa pada temannya itu.
Seharusnya ia tidak pernah bisa lupa. Tentang fakta bahwa Yurina pernah sekali mengkhianatinya dan membuat Hono berada di posisi yang sangat sulit selama berminggu-minggu. Ia tak percaya sahabatnya ini, orang yang telah ia kenal sejak sekolah dasar, rela menjatuhkannya demi menjaga harga dirinya di depan semua orang. Membuat Hono terpaksa dibekukan sementara waktu dari jabatannya di Dewan Pelajar dan disidang langsung oleh teman-temannya sendiri.
Itu memang kesalahannya. Tapi, mencuri kunci jawaban dan menjualnya pada teman-teman sekelas sepenuhnya ide Yurina, bukan idenya. Mengapa ia justru dapat menyelamatkan diri dengan mudah dan melimpahkan kesalahan sepenuhnya pada Hono? Apabila diingat kembali, rasa kecewa itu seketika membuat simpati dan empati dalam dirinya menghilang seketika. "Lupakan saja. Ayo kita lakukan ini bersama-sama. Ini untuk kepentingan kita semua, dan dia... dia pantas mendapatkan ini."
Dan sejak hari itu mereka keluar sebagai sosok antagonis di Sakurazaka Academy. Berusaha menanamkan pengaruh mereka sebagai kelompok Elite yang berkuasa. Mungkin bagi orang yang tidak mengerti mereka akan dianggap sebagai kelompok hitam yang harus dihindari. Apa yang mereka lakukan tidak sepenuhnya benar. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Membiarkan hal buruk terulang lagi?
Mereka adalah kelompok putih dan mereka menyebut diri mereka sebagai The Elites. Mereka memiliki hampir segalanya. Kecuali, memprediksi apa yang akan terjadi pada mereka suatu hari nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top