Chapter 6. Perfect Match

Publish ulang, siapa tau kamu belum vote atau komen ^^
Jawab duluuu sebelum baca

Keb nyuruh Cassie duduk di mana?

a. Lantai

b. Dipangkuuu

Vote dan komen yang banyak dongggg.
Selamat membaca.

Chapter 6.
Perfect Match


"Kalau kamu secemas itu sama kursinya, kamu bisa duduk di...."

Keb menepuki pahanya, lalu mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai.

Apaan maksudnya aku duduk di pangkuannya gitu?

Idih. Mukaku sontak berubah. Itu kan pelecehan seksual namanya.

Mulutku sampai nggak bisa berkata-kata.

Kalau kamu berdiri di posisiku, kamu nggak akan nyalahin prasangka burukku. Belum lagi ditambah senyum miring yang bikin aku merasa... oh Tuhan... dia sudah melecehkanku!

Aku yakin dia tahu apa yang kupikirkan. Untung aku belum menyalak atau menuduh. Seraya mengakhiri gerakan kakinya dengan entakan akhir yang lebih kuat, dia menyeringai, "di... lantai...."

Aku mengumpat dalam hati.

"Kamu udah mikir yang enggak-enggak, ya?" cengirnya menyebalkan. "Kalau orang tua kita berencana menikah dua puluhan tahun lalu, sih, aku nggak keberatan kamu duduk di pangkuanku, Cas...."

Kas, kes, kas, kes... manggil namaku kayak udah akrab aja.

"Daripada noda, aku lebih khawatir kaki-kaki kursinya patah kalau kita pangku-pangkuan. Aku sih, aman... aku leg press dua-tiga kali seminggu. Tapi akan lebih nyaman kalau kita melakukannya besok setelah kamu ganti baju, atau setelah kita berhasil misahin orang tua kita."

Kepalaku menggeleng nggak percaya. Kalau ini beneran pelecehan seksual, sih, nggak salah lagi. Aku mengeluarkan ponsel dan berhasil merekam waktu dia berceloteh, "Atau mungkin lebih baik setelah kamu selesai datang bulan...?"

"Recorded," dengusku. "Kalau kamu nggak mau jawab pertanyaanku, rekamannya bakal kukirim ke kantor polisi."

Keb tertawa.

"Siapa tadi namamu? Cassidy Keb apaan? Keb nulisnya gimana? Pakai 'P' kayak kepala sekolah logat orang medan, atau 'B' kayak Kebab?"

"Pakai B," jawabnya. "Tapi dibacanya kayak pakai 'P'. Ngomong-ngomong... kebab enak juga, ya, sore-sore begini?"

"Wah, iya...," anggukku, nyaris kepancing.

"Mau?" tawarnya.

"Emang ada yang jualan?"

"Paling di jalan banyak... sambil ngobrol... aku yang traktir."

Aku berdeham, teringat New York Burnt Cheese dan Royal Velvet Cake yang belum keluar dari perutku. Jatah makanku dua hari udah habis siang tadi. Aku berdiri tegap, menghapus gambar kebab dari kepalaku, lalu menggeleng tegas. "Enggak. Aku udah makan siang. Nomor teleponmu?"

Keb menyebut sederet angka, aku berhasil mencatat tanpa minta diulang. "Makasih buat pembalut dan celana dalamnya, Keb, selamat sore."

"Cassie...," panggilnya lagi sebelum aku beranjak ke mana-mana. "Duduk sini, Cas. You don't want me to be your step brother, I promise. I will make your life miserable."

"Kamu ngancem aku?"

"Sama sekali enggak. Sama kayak waktu aku nolak kamu di café, I don't wanna waste my time. Aku sudah nyari tahu tentang kamu dan mamimu. Berapa kali dia menikah, berapa lama dia bertahan di setiap pernikahannya. Aku memang hanya bisa menduga... menurutku... semua perceraian itu sangat berpengaruh di... hidupmu...."

Alisku mengerut.

Berpengaruh di... hidupku? Keb memandangku dari atas ke bawah dengan cepat, sebelum kembali menatap mataku. Kepalaku menunduk. Untuk memperhatikan diriku sendiri, aku harus sedikit mengempiskan perut. Terlihatlah jari-jari kaki gemuk dan pergelangan kaki chubby-ku. Waktu dia bilang 'hidupku', apa maksudnya 'tubuhku'?

"Kalau kamu biarin dan perceraian terjadi lagi..., kamu akan melampiaskannya ke dirimu sendiri... dan kamu tahu itu nggak sehat."

Aku terdiam mencerna.

"Kita nggak ketemu secara kebetulan, kan?" tanyaku curiga. "You've been stalking me."

"Kita ketemu secara kebetulan, Cassie, tapi iya... aku berencana melakukannya. Waktuku sempit, tadi siang aku lagi mikirin gimana caranya. Aku harus mulai dari suatu tempat, entah tempat kerjamu, atau rumahmu. Pokoknya... kita harus ketemu duluan sebelum Sabtu tiba."

"Dari mana kamu nyimpulin semua itu tentang hidupku kalau barusan kamu bersikeras kita ketemu secara kebetulan?"

"Kalau kubilang, semua itu kusimpulkan dari berapa banyak kue yang kamu boyong dari etalase dan kamu habiskan semuanya, kamu pasti nggak percaya, kan?"

Mukaku merah padam.

"Tapi kalau kamu tahu spekulasi untung-untunganku berdasarkan pengalaman yang mirip, you will find it logic. Aku juga ngalamin hal itu sebagai anak broken home. Bedanya, aku melampiaskan frustasiku ke sekolah dan pekerjaan, sekarang aku jadi dokter hewan termuda dengan tiga klinik besar di Semarang yang semua urusannya bisa ku-remote demi ini, I made hundreds millions a month, sementara kamu...."

Aku menyambar dengan nada tinggi, "Sementara aku kenapa?" 

"Kamu selangkah lagi didiagnosis pre-diabetes, atau malah udah? Kapan terakhir kali kamu check up kesehatan? Aku yakin nggak pernah. Kamu ngejalanin pekerjaan paling gampang yang bisa kamu temukan, terus melakoninya meski memicu stres. Sekarang kamu kehilangan semua tabungan, sekaligus pekerjaanmu."

Rahangku jatuh.

Keb mengepalkan tinju dan memukul pahanya sendiri.

"Tunggu dulu!" seruku.

Dia barusan kelepasan!

"Okay... okay," katanya menyerah. "Aku mengaku. Itu bukan spekulasi semata. Dua fakta terakhir itu kudapat dari rekan kerjamu. Dia minta aku mikirin ulang tawaranmu karena cuma itu yang bakal menyelamatkan karirmu. Kamu terjebak love scam dan semua tabunganmu ludes."

"Love scam? Ya ampun... brengsek," umpatku.

Kurang ajar si Mila. Udah mengambinghitamkan hormonku yang nggak seimbang, menolak percaya bahwa cowok ini emang nyebelin, ternyata diam-diam menjual informasi pribadiku. Mending kalau berhasil, ini sih bau-baunya tetap gagal, malahan aku yang terancam. Aku yang dikuliti habis-habisan. Gemes banget aku pengin ngejambak rambut tipisnya yang kurang nutrisi gara-gara dia nggak doyan makan itu!

Keb berkata pelan, "Other than that... aku benar, kan?"

Rahangku menggemeretak, gerahamku bergesekkan. Aku menggeram, "For your information... aku nggak kehilangan pekerjaan!"

Apalagi dengan nama dan nomor teleponnya di tangan. Tinggal kuserahin ke Alec buat mengulur waktu sampai Ruben menunjukkan batang hidungnya kembali, karirku bakal aman. Aku yakin, apa yang Ruben lakukan itu bukan love scam. Dia emang lagi butuh duit cepet, tapi pasti kembali. Dia nggak sebodoh itu. Nggak mungkin dia menyia-nyiakan bakat dan kesempatan buat mengubah hidupnya.  Nggak mungkin!

Aku membela diri, "Siapa bilang ini pekerjaan paling gampang? Aku ngedapetin dan menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Aku suka kerjaanku. Aku menikmatinya!"

"Tapi bukan itu yang kulihat," sangkal cowok sok tahu itu enteng.

Aku cuma bisa megap-megap. Tau nggak, sih, rasanya? Kita berusaha ngasih tahu bahwa kita nggak sedang ngebohongin diri sendiri, tapi makin berusaha meyakinkan, orang lain justru ngerasa sebaliknya.

"Kamu menikmatinya karena itu pekerjaan yang gampang," katanya. "Makanya kamu nggak bisa mengatasi sebuah penolakan. Kenapa? Karena gampang. Karena sebelum ketemu aku, nyaris nggak ada yang nolak kamu."

"Apapun kesimpulan kamu, terserah. Menurutku kamu tetap salah. Aku suka kerjaan ini, kok. It pays my bill."

"Supaya kamu nggak harus tinggal sama ibumu lagi, kan?"

Wait what?

Kok jadi ngebahas soal ini? Kok bisa balik ke urusan ini? Kok dia bisa tahu semua ini kulakukan demi itu???

"Sekarang kamu paham, kan? Ini sama sekali bukan ancaman. Aku ngomong gini karena nasib kita hampir sama. Aku juga pernah berada di posisimu, Cassie. Aku nggak perlu tambahan informasi dari partner kerjamu buat menyimpulkan ini. Aku biasa meriksa anjing dan kucing yang nggak bicara..., instingku jauh lebih peka."

"Kamu nyamain aku sama anjing dan kucing?"

"Basically, human are much easier to be judged."

Napasku terbuang berat. Dia benar. Aku nggak mau punya saudara tiri kayak dia. Dia menakutkan.

"Okay," anggukku, menyerah dengan mudah. "Lalu gimana dengan kamu sendiri? Kenapa kamu nggak mau ayahmu nikah sama mamiku? Apa untungnya buatmu?"

"Duduk di sini supaya kita bisa bicara."

"If you disrespect me once again, aku pulang."

Keb membuat garis lurus dengan gerakan jarinya di depan mulut, lalu pura-pura menguncinya.

Ogah-ogahan, langkahku terseret menghampirinya. Leherku sakit menahan dongkol, jadi aku memutar otak untuk membalas ucapannya dalam beberapa detik yang singkat itu. Dokter hewan dengan tiga klinik besar? Making hudreds of millions a month? Pasti blazernya mahal, dong? Gimana rasanya kalau blazer mahal itu kena noda darah menstruasi?  Sebelum tiba di kursi panjang tempatnya duduk, kusambar blazer yang disampirkannya di sandaran kursi.

"Eee... eh... eh...," serunya waktu benda itu kukibaskan. "Jangan!"

"Ups...," celetukku, tapi terlambat... keburu jadi permadani terbang... bokong besarku sudah mendudukinya.

"Itu Armani, Cassie...!" dia meraung, mencoba menarik blazernya dari tindihan berat badanku.

"Coba kalau bisa," tantangku.

Muka Keb membiru, nggak cuma memerah. Dia menggunakan seluruh tenaga. Walau aku lebih besar, tapi tenaganya boleh juga. Namanya juga tenaga laki-laki. Dia aja berani sesumbar mau memangkuku, pasti dia rajin olah raga. Kalau aku nggak mengingatkannya, aku bakal didepak.

"Percuma...!" pekikku. "Udah telanjur kena!"

"Sialan!" umpatnya, terengah-engah.

Aku meringis. "Sekarang kita impas. Kita sama-sama nggak mau jadi saudara tiri buat satu sama lain. Jawab pertanyaanku, lalu kita bisa diskusi. Sebelumnya, Mila benar. Kamu bisa nyelametin karirku, setidaknya sampai orang yang bawa lari duitku kembali, atau aku nemuin talent lain yang benar-benar bisa kuorbitin."

"Aku nggak mau bantuin kamu soal itu," katanya.

"Kalau kamu nggak mau bantu, aku bakal nganggur dan terpaksa balik ke rumah mamiku."

"Bodo amat," katanya.

"Okay."

Bahuku mengedik. Aku lantas berdiri, lalu duduk lagi dan kutekan-tekan bokongku ke blazernya yang melapisi busa kursi.

Keb mengacak-acak rambutnya frustrasi.

"Silakan berjuang sendirian misahin mamiku sama ayahmu, Cassidy Keb Faraji. Aku nggak peduli berapa banyak cowok yang dinikahi mamiku, kalau akhirnya aku harus tetap tinggal serumah sama dia. The deal is... you help me, kuorbitin sampai kamu dapat kerjaan, atau sampai Ruben balik dan menuhin kewajibannya."

"Gimana kalau orang itu nggak balik? Aku nggak bisa diorbitin jadi aktor laga, apalagi stunt double, atau apapun itu, I have respectful job and reputation!" serunya, menurutku reaksnya terlalu dramatis.

Jadi aku membelas dengan seruan lebih lantang dan jauh lebih mendramatisir, "Respectful job and reputatiooon????"

Keb menarik kepalanya ke belakang, mukanya mengerut.  Maksudku, dia cowok dan aku cewek, dia mau berkompetisi denganku soal mendramatisir sesuatu?

"Kamu dokter hewan, Keb, bukan dokter bedah plastik. Klienmu berkaki empat, berbulu, dan menggonggong. Who the fuck care with your reputation? A pitbull?"

"Klienku bukan binatang, Mercon Bumbung," katanya.

What? Mercon bumbung?

"Klien-klienku adalah pemilik mereka, kebanyakan orang-orang kaya dan terhormat. Kamu pikir mereka mau bawa anjing atau kucing mereka ke klinik dokter hewan yang sibuk jadi aktor laga?"

"Kenapa enggak? Katanya kamu punya tiga klinik besar yang bisa kamu tinggal buat ngurusin beginian, itu artinya klienmu tetap akan datang meriksain jamur dan kutu peliharaan mereka meskipun kamu nggak ada di sana, kan?"

"Well—yah... well...."

"And this is very important to you. Misahin orang tua kita. Iya, kan?"

Aku membuatnya gantian nggak bisa berkata-kata.

"Kamu nggak punya alasan buat menolak permintaanku, Keb," putusku. "You will help me. I will help you. Sandiwara aja. Pura-pura doang. Sampai aku menemukan Ruben, aku akan berusaha supaya semua audisimu gagal, tapi kamu tetap harus mengikuti semua prosedurnya."

"Masalahnya aku nggak pernah gagal," katanya, pongah. "Lihat aku dan akui aja. Kamu nggak hanya terpesona sama tendangan tanpa bayanganku. This," dia menunjuk dirinya sendiri dari ujung rambut hingga kaki. "I am perfect."

"Kecuali tingkah lakumu," dumalku.

Dia nggak peduli meski bisa mendengar itu. "Kamu pikir kamu orang pertama yang nawarin aku endorsement dan tawaran komersial? Aku sudah terkenal kalau aku mau. I am a vet, I am hot, I am sexy. I enjoy the pleasure of turning down offers based on appearance, Cassie. Gimana kalau usahamu bikin aku gagal itu justru gagal? Ha?"

"Kalau begitu, kutambahkan persyaratannya, kamu harus terima satu atau dua pekerjaan sebelum Ruben kutemukan."

"Satu."

"Dua," aku mengulurkan tangan. "Deal?"

Keb menyabet kasar tanganku sambil melolong, "Not deal. Keluar dari rumahku sekarang juga, tukang bully, tapi sebelumnya, kembaliin pembalut 35 sentimeter dan celana dalam XL-mu!"

"Sudah kupakai!"

"Aku nggak peduli! Lepas!"

"Okay, Satu! Deal!"

Tukang bully, katanya? Aku? Enak aja. Aku menghabiskan masa remajaku bersembunyi supaya nggak jadi target bullying, which is very hard dengan bokong dan dada sebesar ini, plus penampilan mencolok mamiku yang nggak pernah absen ambil rapor mengenakan rok mini demi menarik perhatian orang tua siswa dan guru-guru pria. Dia tuh yang tukang bully. Berapa kali coba dia menyinggungku dengan nyebut-nyebut soal celana dalam jumbo dan ukuran pembalut?

"Aku minta maaf udah ngomong kayak gitu," ucapnya. "Kamu bukan tukang bully."

"Kamu yang tukang bully," gumamku.

"I think you're a very attractive young woman—"

"Nggak usah ngomong gitu. Cuma karena kamu ngatain aku gendut, bukan berarti aku otomatis ngerasa diriku nggak atraktif."

"Aku bilang begitu untuk berdamai dengan diriku sendiri," katanya. Dia membuatku menoleh dan melongo menyaksikan betapa serius kalimat itu diucapkannya. "Aku seorang kaum intelek, nggak seharusnya aku menarik kembali bantuanku, atau mengucapkan sesuatu yang sekiranya mendiskreditkan penampilanmu. Aku sendiri nggak suka orang lain nawarin aku kerjaan hanya karena aku seksi—"

"Can we skip this dan mulai membicarakan urusan yang lebih penting?" potongku. "Orang seganteng apapun, kalau dia terlalu aware sama kegantengannya bisa bikin ilfil."

Keb melipat bibirnya, menahan seulas senyum.

"Itu nggak lucu," kataku.

"I know. It's just... aku lega karena sepertinya kamu orang yang cukup tangguh. Tingkat harga dirimu berada di atas rata-rata, jadi aku nggak perlu khawatir dengan efek samping rencana kita nantinya."

"Maksudmu?"

"Anyway... tadi kamu mau tahu kenapa aku nggak mau ayahku nikahin mamimu, kan?"

"Kita bisa mulai dari sana."

"Karena wasiat."

"Apa?"

Part depan dishare di instagramku, ya 😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top