Chapter 4. Special Match

Pertanyaan chapter ini yang kudu dijawab dulu sebelum baca, kalian baca Trapping Mr. Mahmoud, nggak? Aku pengin bikin bukunya....

Bertanya2, kok vote-nya nggak kuenceng kayak dulu? Apa karena masih awal, jangan2 ceritanya kurang menarik, atau trend-nya emang udah bergeser? Pembacanya dah pada pindah kali, ya? Wattpad-nya juga nggak nambah feature, malah ngurangin terus.
So, ya udah. No more vote target.

Semoga kalian bertahan ya soalnya ini aku jamin bakalan seruuuwww. Kalian bakal gemes, geregetan, selain itu kita nanti jalan2 ke sampe Afrika Selatan segala!

Terus kalau dipikir-pikir lagi... kadang malu banget ngeluhin hal sepele kayak gini. Masih mending bisa terus menulis dan masih hidup. Di belahan dunia lain, ada orang-orang yang nggak bisa mastiin mereka dan keluarga mereka akan bisa hidup sampai besok, apa enggak.

So, let's have fun aja lah, ya... dan nggak lupa beryukur kita bisa hidup di negara yang damai. Cuma, jangan jadi tone deaf juga. Minimal ikut bantu boikot dan ingat terus, kemerdekaan yang kita miliki di Indonesia ini, mestinya dimiliki juga oleh semua bangsa di dunia.

Selamat membaca dan jangan lupa komeeeen!


***
Chapter 4
Special Match

Aku yakin, aku nggak lagi mau datang bulan.

Memang sebagai lajang yang nggak aktif berhubungan seksual, aku nggak menghitung siklus bulanan, makanya selalu ada sehelai menstrual pad di dalam tas tangan dan mobilku, tapi ini belum waktunya.

If it comes from a man, aku masih bisa maklum. Some sexist men yang tingkat kemampuan mengolah informasinya seperti katak dalam tempurung masih banyak yang berani menyinggung perempuan dengan isu datang bulan. Marah dikit, datang bulan. Emosi dikit, datang bulan. Padahal memang situasinya mendukung buat meledak-ledak.

Aku berani sumpah. Cowok yang Honda City-nya kuikutin ini memang tengil setengah mati. Lihat aja caranya kembali muncul di depan kantorku. Itu berarti dia sampai hafal alamat yang tertera di kartu namaku, kan? Buat apa sikapnya tadi kayak gitu? Jual mahal? Atau mengira aku penipu? Apa salahnya sih dengerin penjelasanku dulu? Memangnya aku tukang gendam yang bakal ngehipnotis dan ngerampok harta bendanya? Aku jelas nggak punya potongan tukang gendam. I am professional talent scout. I dress up accordingly.

Sewaktu mendapati sosoknya berdiri bersandar pada sedan putih dengan tangan terlipat, ponselku dalam keadaan tergenggam. Kalau memang menurut Mila reaksiku yang berlebihan, biar dia saja yang ngadepin laki-laki itu. Tapi, badanku nggak bisa gerak. Seolah kalau gerak, mangsaku itu bakal kabur.

Beberapa detik kemudian, manik mataku masih terpaut padanya. Dia kelihatan yakin aku memang memandang ke arahnya, lalu dia mengayun tubuhnya maju dan berhenti bersandar. Tanpa menggunting tatapannya dariku, dia membuka pintu mobil. Aku mengerutkan alis bingung. Apa maksudnya?

Kami sama sekali nggak berdialog verbal. Sedikit pun. Tadinya aku berniat menghampirinya, tapi dia malah masuk mobil. Aku masih menunggu, bergeming. Apa dia cuma mau ngecek aku kerja betulan di sini apa enggak? Gimana? Dia udah buktiin bahwa aku bukan penipu, kan? Lalu apa?

Di dalam mobil, perlahan sekali kaca jendelanya diturunkan. Dia membuka kaca itu cukup lebar, sepertinya buat memastikan aku bisa ngeliat mukanya. Aku mengernyit, kenapa mobilnya nggak jalan-jalan juga? Jadi dia nggak sekadar mampir buat mengolok-olokku? Mau menyampaikan sesuatu?

Seorang satpam memintaku menyingkir dari depan pintu dengan sopan, terpaksa aku bergerak. Sekarang aku malah curiga dia yang berniat jahat. Kakiku melangkah, tapi bimbang antara mendekat ke mobilnya, atau mobilku sendiri. Namun, apapun yang kulakukan, kayaknya dia yakin aku sangat membutuhkannya. Kalau aku mendekat, dia tetap bakal nyuruh aku ngikutin dia entah ke mana. Mesin mobilnya baru menyala setelah aku akhirnya masuk ke mobilku sendiri.

Mobilnya melintas di depan tempatku memarkir, berhenti sebentar, lalu berjalan sangat lambat. Aku diminta mengikutinya.

Atau... begitulah menurutku.

Ngerti kan sekarang gimana tengilnya cowok itu? Masa nggak ngerti juga?

Dia sudah tahu apa yang kuinginkan. Dia seyakin itu aku bakal ngikutin mobilnya. Pasti dia berubah pikiran, pikirku penuh kemenangan. Dia bisa saja menghampiriku, meminta maaf karena sudah mencurigaiku, lalu bicara baik-baik. Aku nggak akan menolak, atau mengejeknya karena berubah pikiran, kok. Paling-paling di dalam hati aja. Tuh, kan. Semua orang pada akhirnya akan menaruh hormat pada profesiku yang mirip santa claus. Membagi-bagikan berkah.

Ini mah enggak.

Who does he think he is setting his bar so high? What makes him think he's so special? Okay, dia cakep. Tendangan tanpa bayangannya mengesankan. His vibe was so breath-taking. He stood up for woman without hurting anyone meski dia jelas bisa kalau dia mau.

Alih-alih mempermalukan cowok yang mau ngegampar ceweknya di café, dia memilih merendahkan harga diriku. Brengsek. Tanganku memukul roda kemudi. Tepat di depanku, mobil cowok itu berhenti menunggui lampu merah.

Sial. Kenyataan bahwa aku memang butuh dia bikin aku pengin ngejambak gelungan rambutnya yang keren itu. Lihat aja. Kalau sampai Ruben bisa kutemukan, aku bakal berbalik menolaknya mentah-mentah. Mengorbitkan penyanyi jelas jauh lebih menguntungkan dibanding nyariin kerjaan buat calon aktor laga.

Kamu pengin terkenal? Mimpi aja terus sampai meninggal.

Bibirku udah duluan menyunggingkan senyum licik sambil ngebayangin muka cowok itu merengek menyesali kesombongannya, seolah kalimat itu sudah kusampaikan padanya. Tiba-tiba, beberapa meter di depanku dia menikung tajam. Ban belakangku berdecit. Hampir aja aku kebablasan. Dia masuk ke sebuah kompleks perumahan.

Mobilnya berhenti, mobilku tepat di belakangnya.

Aku celingukan di dalam mobil memperhatikan sekitar. Dia tinggal di gang sempit yang nyaris nggak muat buat dua mobil berpapasan ini? Rumah-rumah berdempetan di kanan kiriku ini sama sekali nggak cocok sama image yang ditampilkannya barusan. Kupikir minimal dia tinggal sendiri di apartemen, pakaiannya semi resmi mirip eksekutif. Kirain kerjaannya yahud gitu..., mobilnya aja lumayan.

Ooo... ternyata rumahnya di gang sempit, gayanya doang yang selangit? Jangan-jangan... masih tinggal sama orang tua? Mesti ngebiayain sekolah adik-adik? Dari mana dia dapat mobil sebagus itu? Inventaris? Hmmm... nggak jauh beda sama aku, dong... makan di café, tapi dibebanin ke kantor. Panteslah kalau akhirnya dia berpikir ulang tentang tawaranku.

"Sama-sama butuh aja... sombong," gumamku.

Mesin mobilku tetap menyala. Kutunggu sampai dia turun dari mobilnya dan mengetuk kaca jendelaku. Aku menurunkannya pelan, sepelan yang dia lakukan ke kaca jendelanya waktu menjemputku tadi. Kepalaku tetap menghadap ke depan, cuman mataku yang menjeling ke samping. Coba... dia mau ngomong apa?

"Kamu cewek di café tadi, kan?" tanyanya.

Ha?

"Ngapain kamu di sini?" dia agak membentak, bikin aku gelagapan. "Kamu ngikutin aku, ya?"

"G—gu—gue... aku... gue enggak—" aku tergagap. Ngikutin dia? Bukannya dia memang minta diikutin?

Setelah puas ngeliatin aku belepotan nggak bisa jelasin apa-apa cuma a-i-u doang, dia mengekeh menyebalkan. Benar-benar nggak worth it banget urusan sama orang kayak gini. Mending waktuku kupakai buat nyari informasi tentang Ruben, daripada ngejar-ngejar yang nggak jelas.

Aku bersiap cabut sambil memaki, "Brengsek," tapi dia mencekal roda kemudiku.

"Lepasin, nggak?!" raungku, buas.

"Turun dulu, yuk?" ajaknya lembut, kemudiku dilepas, tapi tangannya masih diletakkan di kaca jendela mobil.

Sumpah, ya? Ketika kita lagi emosi, terus ditanggapin dengan kepala dingin sama orang yang bikin kita jengkel, tuh, jadi malah makin pengin muarah gitu. Jadilah aku menyalak, "Apa sih maksud lu, hah?!"

"Makanya turun dulu, Cassie, baru nanti aku jelasin," dia bilang, makin santai kayak udah lama kenal sama aku. Orang-orang kayak begini, tuh, tahu, cewek dalam pengaruh kadar gula berlebih kayak aku gini gampang naik pitam. Bukannya to the point, malah sengaja memancing.

"Nggak usah sebut-sebut nama gue, ya," kubilang. Genggaman tanganku di roda kemudi kupererat. Aku tinggal ganti persneling, lalu mundur. "Tengil banget sih lu jadi orang? Tinggal bilang aja lu butuh bantuan gue. Kerjaan lu apaan? Nggak cukup kan buat biayain gaya hidup lu? Lu butuh duit banyak, butuh terkenal juga, kan? Well... gue kasih tahu duluan, ya? Cuma karena udah gue tawarin, bukan lantas jaminan lu bakal sukses. Saingan lu banyak banget di dunia hiburan. Belum-belum sikap lu udah kayak gini!"

"Udah?"

"Udah apanya?"

"Ngomelnya udah?"

"Udah! Minggir! Gue mau cabut! Enak aja lu udah nolak mentah-mentah, nerima kartu nama gue aja enggak, tapi ngehafalin alamat segala. Encer juga otak lu, tapi gue udah telanjur nggak berminat!"

"Yakin?"

Kepalaku berasap, "Ya, yakin lah!"

Kenapa mesti nggak yakin?

Hidungku mendengkus-dengkus. "Emang selain tendangan maut... lu punya apa? Kok nanyain gue yakin apa enggak segala? Buruan jelasin, kalau enggak... gue injak gas, nih... gue cabut, nih...," ancamku.

"Makanya... turun dulu... dengerin. Percaya sama aku," bujuknya sambil kembali nahan roda kemudi di tanganku sampai bergeming.

Aku nggak bisa mengendalikannya untuk dibawa mundur buat sekadar mempertegas ancamanku.

"Call me Keb," imbuhnya. "Lengkapnya kukasih tahu kalau kamu mau tenang dan dengerin penjelasanku."

"Udah telat. Gue udah nggak tertarik. Lu tuh keterlaluan. Ngeselin. Biadap. Tega banget sama orang nggak kenal perlakuan lu kayak gini. Lu kan nggak tahu apa yang udah terjadi sama hidup gue? Lu nggak pernah denger ungkapan, berbuat baiklah sama orang yang nggak lu kenal, siapa tahu seharian itu dia lagi susah?" cerocosku hilang kendali, gemetaran.

Tahu-tahu aku nggak lagi yakin apa benar aku nggak akan datang bulan hari ini? Normalnya, aku nggak kayak begini, kok. Biasanya, kalau udah makan kue-kue manis, aku udah jinak lagi. Mana celana panjangku warna terang lagi....

"I am sorry," dia mengucap, pelan sekali sampai aku harus menoleh memastikan pendengaran.

"I am sorry I've been rude to you," tambahnya. "Tapi kamu juga nggak tahu, kan, apa yang udah terjadi ke hidupku? Aku udah bilang nggak tertarik, lho, kamu masih aja maksa."

"Gue bahkan nggak lu kasih kesempatan buat ngejelasin apa-apa!"

"Sebab aku lagi nggak pengin dengar apa-apa. Aku cuman lagi pengin makan siang, sendirian, sambil merenung. Waktuku udah tersita karena aku nggak bisa diam aja lihat perempuan mau digampar, meski aku sendiri nggak setuju sama tindakan agresifnya."

Aku diam.

Dia juga diam.

Genggaman eratku di roda kemudi mengendur. Mataku yang udah sempat berkaca-kaca urung meneteskan air mata. Aku menarik napas dalam-dalam. Ini kesempatanku. Aku butuh dia buat nyelametin karirku. Kuasai dirimu, Cassie. Kamu nggak mau kehilangan pekerjaan. Kamu nggak mau balik tinggal sama mami dan suami barunya. Lidahku menjulur lambat, membasahi bibirku yang tandus.

Perlahan, aku menoleh, memutuskan bertanya lebih sopan, "Terus? Apa yang bikin kamu berubah pikiran?"

"Waktu buat berpikir," jawabnya. "Like I said, kalau aku tertarik makan siang sama kamu, nanti kuhubungi. Kamu pasti pernah dengar kalimat kayak gitu, kan? Mustahil semua calon orbitanmu langsung percaya pada pertemuan pertama."

"Kalau gitu... biasanya mereka nunggu paling cepat satu kali dua puluh empat jam buat ngehubungin aku lagi. Ngajak makan siang kayak yang kamu bilang. Apa alasanmu? Kamu kan udah makan siang di café itu tadi."

"Ternyata aku nggak butuh nunggu sampai waktu makan siang berikutnya buat ngajak kamu ngobrol sekarang juga. Gimana? Kamu masih mau ngobrol? Aku yakin... aku punya pembahasan selain tawaranmu yang bakal bikin kamu lebih tertarik."

"Pembahasan lain apa, sih? Lu tuh ngomong apa?" Mode buasku kembali menyala. Aku nggak butuh pembahasan lain selain nama dan nomor HP-nya buat kutumbalin ke Alec.

Apa jangan-jangan aku kenal dia, ya?

Mataku memincing, meneliti mukanya baik-baik. Daguku tertarik ke belakang. Lalu maju. Terus mundur lagi. Nggak. Kepalaku menggeleng. Aku pasti ingat kalau kami pernah ketemu sebelumnya, apalagi kenal. Kalaupun waktu itu dia nggak nunjukkin martial art skill-nya, paling enggak mukanya cukup pantas buat diorbitkan.

Nggak ada salahnya nanya, "Apa kita pernah ketemu sebelumnya?"

"Aku pasti ingat kalau kita pernah ketemu sebelumnya," tanggapnya, persis seperti yang kuucapkan di dalam hati. "But... I must say... pertemuan kita barusan bikin aku sadar... aku memang harus berbuat sesuatu, dan nggak diam aja."

"Maksudnya?"

"Turun."

"Nggak," tolakku mentah-mentah. "Jujur... you creep me out. Sebutuh-butuhnya gue... gue nggak sebodoh ini," sambungku sambil mengedarkan pandangan secara kilat ke lingkungan di sekitar. Siang bolong, tapi sunyi senyap. Gimana kalau aku diapa-apain?

"Gini aja... kalau memang menurut lu kita mesti ngobrol, let's talk somewhere else. Somewhere yang netral buat kita berdua, jadi kalau lu mau ngapa-ngapain gue, gue bisa teriak."

"Ngapa-ngapain kamu kayak gimana?"

"Oh... that line... no, no," kataku, tertawa kering sambil geleng-geleng kepala. Mengancam akan menaikkan kaca jendela di sisiku, tapi lagi-lagi dia menekannya turun sekuat tenaga. "Gue udah terlalu banyak nonton docuseries tentang pembunuh berantai. That's their pick up line. You try to gaslight me into thinking that I am not worth to be wanted. Gue bakal percaya semua kata-kata lu, lalu di dalam... lu mutilasi badan gue jadi beberapa bagian. Nggak."

"Aku yakin... nggak akan semudah yang kamu bayangin buat ngebekuk badanmu," katanya enteng.

Aku menggeram. Tersinggung. Refleks, tanganku mengayun keluar. Sayangnya, sabetanku cuma menyambar udara di depan perutnya. Badan langsingnya berkelit lebih cepat, persis seperti bagaimana dia menghindari serudukan membabi buta cowok di pelataran Musical Café.

"Oh my God... you are crazy...," geragapnya.

"Kenapa? Belum pernah ketemu calon korban yang aware dan berani ngelawan?" tantangku.

"Trust me... aku sama sekali nggak punya pikiran kayak barusan. Aku juga nggak sebodoh itu kalau mau mutilasi orang, Non. Mantanku dulu juga suka nonton criminal minds, agak-agak psycho, which is maybe one of some reasons I left her. Mobil dan plat nomorku pasti terekam di CCTV kantormu. Seenggaknya satu atau dua orang pasti ngelihat mobil kita keluar beriringan. Kalau kamu nggak muncul besok, temanmu pasti lapor polisi."

"Gue lagi diskors," kataku.

"Gara-gara aku?"

Aku menggeleng. "Terus? Kalau nggak mau merkosa aku, atau jual ginjalku, kamu mau apa?"

Cowok itu geleng-geleng kepala, "Kalau kamu ngasih aku waktu buat ngejelasin, kamu akan langsung paham kenapa aku berubah pikiran secepat ini dan nyusul kamu ke alamat kantormu." Dia merogoh saku celananya. "Temenmu juga ngasih aku kartu nama. Kamila. Mila... nama yang umum."

Alisku mengerut.

"Chasity nama yang nggak umum," imbuhnya.

Sontak, aku meneguk kecut ludahku. Mataku perlahan membola, menatapnya bulat-bulat, sedangkan matanya menyorot semakin tajam sampai pupilnya mengecil. Nyaris nggak kentara, cowok yang masih belum kutahu jelas namanya itu mengangguk. Menyiratkan sejuta makna. Aku menyimpulkan, "Ini bukan tentang tawaranku, kan?"

"Ini bukan soal tawaranmu," ujarnya.

Aku menggumam, "Ini soal lain.... Siapa kamu?"

"Turun dulu."

"Kita mau ke mana?"

"Ke rumah lamaku. Aku baru aja pindah lagi ke sini."

"Jadi kamu memang nggak biasanya tinggal di sini?"

"Enggak...."

"Rumah kosong," aku menggerutu. "Nggak ah... di sini aja."

"Come on, Chasity... aku mau kamu masuk dulu ke dalam. Sebentar aja. Habis itu kita bisa ngobrol di mana aja yang bikin kamu nyaman—"

"Ngapain aku mesti masuk ke dalam segala? Nggak. Ini udah kelewat batas. You yang crazy. Kalau nggak mau jelasin sekarang juga, gue teriak. Minggir, nggak? Minggir. Singkirin tanganmu. Minggir, minggir, minggiiir!"

"Cassie!" serunya hilang kesabaran. "Dengerin aku. Ini soal mamimu. Ini tentang kamu, aku, ibumu, dan ibuku. Ini tentang keluarga kita. Tuhan memang ingin kita bertemu duluan sebelum dipertemukan sabtu besok!"

Sabtu bes...ok?

Aku membekap mulut, "Astaga...."

Ibumu? Ibuku? Jangan-jangan...

Ibuku... ibunya, berarti calon mertua mamiku...? Pasti beliau nggak setuju sama hubungan mereka... tentu aja. Usia mereka terpaut paling enggak dua puluh tahun. Dia mau ketemu sama aku sebelum sabtu besok... buat membujuk supaya aku setuju sama hubungan mereka?

"K—kamu... kamu calon suami mamiku...?"

Chapter berapa ya nanti mau ku-share di instagram baruku biar pada mau follow? Hmmm...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top