Chapter 32. Filthy Match VS Cute Boyfriend
Unmatch The Parents di karyakarsa versinya jauuuh lebih panjang dan udah nyampe part 52, ya. Dukung paket baca per sepuluh part biar lebih irit. Lebih murah
Yang di wattpad, jangan lupa vote dan komen!
Chapter 32
Filthy Match VS Cute Boyfriend
Ruben mengernyit.
"Kamu habis ngapain, Sayang?" tanyanya.
"Eum... jogging," jawabku jujur.
Kerut di antara alis tebal Ruben semakin dalam, "Aku nggak tahu kamu olah raga," gumamnya.
Sama. Aku juga enggak.
"Sejak kapan kamu mulai olah raga? Kamu nggak pernah cerita. Kalau tahu kamu suka olah raga... aku kan bisa ngelatih kamu, Yang...."
Aku tersenyum kecut. Baru ingat di sela-sela hari menganggurnya, Ruben sering menghabiskan waktu di gym, atau dimintain tolong jagain mesin kasir kalau salah satu pegawai sasana olah raga itu berhalangan hadir.
"Kenapa?" tanyanya.
"Kenapa apanya?"
"Kok kamu"—Ruben menirukan senyum kecutku—"kaget ya aku panggil Ayang?"
Sekarang, aku malah menyengir. "Enggak... aku malah kurang denger kamu manggil gitu. Geli, ah... anyway... kok kamu pagi-pagi udah sampai sini? Ngapain? Semalam aku telepon kamu, nggak kamu angkat."
Ruben tertawa manis. "Aku udah bobo semalam," katanya. Dia menyodorkan bungkusan plastik di tangannya kepadaku. "Eum... aku cuma mampir mau ngasih ini."
"Apa ini?" tanyaku sambil mengendus bungkusan itu. Wangi masakan bersantan semerbak menggelitik hidungku. Jantungku berdegup. Udah lama banget kayaknya aku nggak makan karbohidrat bersantan di pagi hari.
Ini kesempatanku.
"Makan bareng, yuk?"
"Duh... nggak bisa, Sayang. Habis ini aku harus langsung pulang, soalnya mau ada rapat sama team. Kayaknya... bakal dikasih tahu sekarang juga di mana aku bakal dikarantina."
"Jangan-jangan kamu ngarang, ya?" tuduhku. "Kamu sengaja jauh-jauh ke sini nganterin aku makanan karena nanti malam kita nggak bisa ketemuan?"
Muka Ruben sontak merebak merah.
Dia merangsek dan memeluk badanku yang bau keringat, lalu mendorongku masuk melewati ambang pintu, "Aku kangen kamuuu...!" rengeknya manja.
Pada saat yang sama, di atas pundak Ruben, kulihat Max baru keluar dari rumah Anna.
Mata Max membelalak senang. Semua orang di paviliun ini mengira aku dan Keb pasangan imut yang menggemaskan. Saling suka, tapi berantem terus. Mirip di drama-drama Korea. Makanya, Max langsung senang melihat kemesraan pagi ini. Jarang-jarang. Biasanya aku dan Keb adu mulut terus, malah nggak jarang mau saling bunuh.
Maxx mengangkat tangan, hampir menyapa. Aku buru-buru meletakkan jari telunjuk di depan mulut. Waktu Ruben menoleh, Max yang mengira itu Keb langsung memelotot. Cowok itu nggak jadi menyapa dan menyelonong masuk rumahnya.
"Kenapa dia? Kok kayak ngelihat hantu? Cowok boleh masuk ke dalam rumah, kan?" tanya Ruben bingung.
Aku pura-pura nggak tahu soal Max. Tentu saja cowok boleh masuk rumah.
Omong-omong, Ruben menciumku. "Aku nggak bisa lama-lama," katanya. "Cup... cup... cup... mmm... Cas... aku sukaaa bau keringat kamu...."
"Iiih...," kelitku risih. "Geli, ahhh.... Malu dilihat orang!"
"Orang apa, sih?" celetuk Ruben. Nengok kanan kiri. "Nggak ada orang. Aku serius...."
Ruben makin mendusal di lekuk leherku. Nyiumin kulitku yang bekas keringetan habis dibawa jogging. Badanku terdekap erat di lingkar lengannya yang kuat dan kokoh.
Tiba-tiba, Ruben terdiam.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kamu kurusan, ya, Cas? I just want you to know... aku beneran sayang dan cinta sama kamu apa adanya. Kamu nggak usah berubah. Aku aja yang berubah buat kamu—"
"Kamu ngomong apa, sih? Kamu juga nggak perlu berubah. Kamu udah keren begini aja. Kalau bisa... nanti kalau udah jadi idola beneran... cinta kamu juga nggak berubah...."
Senyum Ruben makin lebar, hidungnya dilekatkan pada hidungku, lalu dia menggerakkan kepalanya manis beradu hidung denganku. Kami berciuman lagi. Bibirnya melekat erat, melumat dan mengulum.
"I really wanna stay...," bisiknya di celah mulutku. "Aku pengin nyiumin kamu sampai bau keringatmu hilang."
"Ruben... that's creepy."
"That's love, Baby," bantahnya. Ruben lalu mendesah dan mengecup bibirku sekali lagi. "Habis kamu makan malam sama Mamimu... besoknya kamu ke apartemen baruku, ya? Kamu kemarin nggak jadi ikut waktu milih-milih—"
"Okay...."
Pintu depan kututup, pintu kamar mandi dibuka.
"Tolong, dong, cek-in toiletmu!"
Hatiku yang tadinya dipenuhi bunga-bunga mawar harum semerbak langsung berubah jadi bunga kentut. "Kenapa, sih?" salakku.
"Cek aja tadi aku lupa nge-flush apa enggak. Habis muntah-muntah denger kalian berdua mesra-mesraan!"
Aku memutar bola mata. Keb merebut bungkusan plastik di tanganku, melihat isinya dan mencampakkannya ke tempat sampah.
"Hey!" aku memprotes.
"Isinya bubur ayam!" bentaknya keji. "Kalau tiap pagi kamu makan begituan... yang ada sebelum umur tiga puluh kamu udah penyakitan!"
Aku menggeram. "Seenggaknya... jangan langsung dibuang ke tempat sampah, dong! Itu kan makanan!"
"Makanan sampah tempatnya di tempat sampah!"
Aku melongo, suaraku ampe bergetar. "Keb... kamu tahu nggak... di luar sana... banyak orang yang makan aja susah!"
"Ya udah... ambil lagi sana, terus kasih ke orang yang butuh makan. Kamu jelas nggak butuh itu!"
Tanganku mengepal erat, "Kamu jahat! Kamu buang itu karena itu dari pacarku!"
"Dia yang jahat! Udah tahu kamu butuh diet, malah dikasih makan begituan!"
"Cuma kamu yang bilang aku butuh diet! Ruben enggak!"
"Itu bukan sayang namanya, itu mau ngebunuh kamu pelan-pelan!"
Kalau aku ikan, insangku pasti udah mengembang nahan emosi. "Dasar cowok sok-sokan paling laku, padahal nggak pernah punya pacar!"
"Siapa bilang?!"
"Bapakmu yang bilang!"
"Bapakku tahu apa?!" bentaknya lebih keras. "Kalaupun aku nggak punya pacar yang SERIUS buat dikenalin sama dia, bukan berarti aku nggak pernah pacaran. Tolong jangan ngerendahin bujangan sukses macam aku gini. Kalau nggak dikontrak label rekaman, Ruben itu kerjanya apa?"
Mataku merebak. Mukaku berdenyut.
"Seriously, Cassie... how can he manage to live in Jakarta, sewa kamar indekos kelas menengah, biayain ibunya yang lagi sakit kalau kerjaannya cuman ngisi live music di kafe dan sekali-sekali jagain gym murahan—"
"Indekos kelas menengah apa, sih? Kosannya aja pengap, kalau kemarin kamu coba masuk sana, kamu udah mati kekurangan oksigen kali! Ngadi-ngadi kamu bisanya. Gym-nya juga nggak murahan! Banyak orang kaya nge-gym di sana!" bualku.
"Orang kaya nge-gym di sana," cemooh Keb. "Tukang bensin eceran kamu bilang orang kaya?"
"Tukang bensin eceran apa?!"
"Ya... yang gym di sana... kan tetangga-tetangga di situ. Kamu sadar nggak, sih? Omonganmu kontradiktif. Kamu nggak terima aku ngatain indekosnya kelas menengah, tapi bilang gym yang dia jagain dipake orang kaya. Okay... kalau bener begitu... dia nge-gym di sana juga, kan? Berapa tuh harga member bulanannya?"
"Ya mungkin dia dikasih gratis karena sering gantiin pegawai di sana! Ngapain, sih, kamu malah ke mana-mana bahas begituan?!"
Keb mendengus. "Aku cuman ngajarin kamu berpikir kritis. Sejelek-jeleknya tempat kos dia waktu itu, harga sewa sebulannya paling enggak satu juta. Belum bayar token listrik, belum makan, belum biaya hidup lainnya. Berapa kali dia main di kafe? Berapa bayarannya jaga serabutan di gym? Jangan-jangan dia jadi juru paket narkoba?"
"Mulut kamu tuh waktu kamu sekolah tinggi-tinggi sampai ke Amerika, kamu tinggalin di rendeman cucian kotor, ya, Keb? Mulut kok jahat banget!"
"Nangiiis!" ledeknya.
"Pulang sana kamu!"
"Nggak mau!"
Hiiih. Pengin kuremes aja mukanya kayak Indomie. Aku menghempaskan badan di sofa. "Nyerah! Aku nyerah!!!" jeritku.
"Nggak usah jerat-jerit... nanti kamu diusir dari sini... jadi gelandangan! Sana mandi! Kamu bau calon orang kaya baru!"
"Enggak!"
"Mandi! Aku nggak mau baju yang kamu cobain bau keringet!"
"Nggak peduli. Aku laper! Laper! LAPEEER!!!" aku menjerit lagi "Mana telur rebusku? Aku nggak sabar ngentutin mukamu yang jelek itu. Kamu bikin kentutku bau busuk gara-gara tiap hari sarapan telur rebus, Keb!"
"Kamu nggak akan sempat kentut busuk. Semua katering yang kupesanin udah seimbang mikro dan makro nutrients-nya. Metabolismemu dalam kondisi paling prima sepanjang dua puluh tahun umurmu. Sebelum kamu mau kentut, kamu udah berak duluan!"
"Dasar beraaak!" pekikku jengkel.
Keb keluar membawa kunci rumahku serta. Dia melakukan itu buat jaga-jaga, soalnya aku udah pernah menguncinya di luar. Dia kembali beberapa saat kemudian dengan kotak berisi gaun yang dua minggu lalu sudah dibawanya ke sini. Dia sengaja beli yang ukuran XL dan L sekaligus hanya untuk menegaskan goal yang katanya terhitung dan terarah itu. Sebelum mengatur program dietku, dia konsultasi sama ahli gizi segala.
Waktu Keb masuk lagi, aku tertangkap basah sedang mengais tempat sampah. Mencoba menyelamatkan bubur ayam dari Ruben.
"Cassie...," keluh Keb. Dia meletakkan kotak-kotaknya dan menarikku menjauh dari tempat sampah.
Aku menangis. "Aku mau makaaan... aku tersiksa, Keb... aku mau meninggal. Aku ini manusia, Keb... aku bukan alat... bukan boneka... jangan siksa aku begini, Keb...."
"Nggak usah lebay, ah," Keb mendecih dingin, tanpa perasaan.
Sebelum ke dapur nyiapin telur rebus, bubur ayam yang udah dicampakkan ke tempat sampah tadi diambil dan dikirimnya ke rumah sebelah. Bukan karena dia nggak mau buang-buang makanan, dia takut bungkusan itu kuselamatkan begitu dia pulang. Telur rebus kulahap dalam beberapa detik doang.
Minumnya cuma boleh air putih doang.
Aku lanjut mandi dan menangisi nasib di bawah kucuran air dingin. Keluar-keluar, semua belanjaan Keb udah berserak di meja ruang tamu. Aku memandangnya dengan malas, sengaja yang ada di atas sofa kududukin begitu aja.
Keb nggak protes. "Aku bawain kamu korset," katanya. "Just in case."
"Kalau aku mesti pakai korset, artinya perhitunganmu nggak tepat, dong!"
"Kamu nggak pernah diajarin ngucapin terima kasih ke orang yang berjasa sama kamu, ya? Ruben sendiri bilang kamu kurusan."
"Kalau orangnya kebetulan sama dengan orang yang ngancem mau ngehancurin karir pacarku, jangankan terima kasih, kamu nggak kucekik aja udah bagus, Keb!"
"Nggak usah ngomong pacar-pacar di depanku. Ingat... aku ini saksi kunci semua ancamannya. Kamu mau bilang pacar ampe jutaan kali juga, aku nggak percaya. Kamu cuma mau bikin aku kesel doang, percuma. Aktingmu bagus banget di depan Ruben tadi. Kamu sengaja karena tahu aku dengerin kalian dari dalam kamar mandi, kan?"
"Aku nggak akting, tuh. Aku beneran sayaaang sama dia!"
"Yeah, right!" cemooh Keb sambil melempar korset dan gaun malamnya ke mukaku. "Ganti baju sana."
"Nanti ah... habis makan... perutku gendut!"
"Cuma telur rebus doang... lambungmu lebar, nggak ngaruh."
"Nah, tuh, tahu... lambungku lebar... kok dikasih telur rebus doang? Mau bikin orang mati kelaparan?"
"Cas... aku ngomong baik-baik, ya. Sana ganti baju. Cepat!"
"Kalau nggak muat gimana?"
"Muat."
"Kalau nggak muat?"
"Kamu kalau ngegemesin terus kayak gitu, jangan salahin aku kalau aku nggak bisa nahan diri, ya, Cas.... Aku juga bisa berbuat lebih dari Ruben kalau aku mau."
Nyaliku langsung menciut.
Follow instagramku yaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top