Chapter 31. Match Who Fell Harder

Di karyakarsa, udah sampai chapter 47, ya...

Keb sama Cassie sekamar di Zanzibar. Kebayang kan chaos-nya? wkw


Kamu bisa langganan paket baca tiap sepuluh part biar agak saving money.


Jangan lupa vote dan komen di wattpad, ya.

Oh iya... part ini sebenarnya puanjang bangeeet... di karyakarsa ada 2000 kata yang nggak aku post di sini. Boleh baca di sana kalau mau baca lengkap. Cuma 5K tiap part.


Chapter 31

Match Who Fell Harder

Confirmed.

Keb yang nabrak mobilku. Jaguarnya juga penyok, meski nggak separah mobil bikinan Jepangku.

Sambil menungguku mematikan mesin mobil, Keb berdiri lambat.

Aku pura-pura nggak melihatnya di sana, atau Jaguar merah mengilatnya yang kulewati. Seolah Keb hologram tembus pandang, aku turun lagi dari mobil dan mengunci pintu. Lock alarm-ku bunyi. Rahangku mengatup keras dalam perjalanan menghampiri teras.

Keb masih kuabaikan, aku memandang lurus ke depan, fokus ke pintu rumahku. Sibuk mengacak tas dan mencari-cari kunci. Sayangnya, kuncinya dengan cepat kutemukan, jadi aku nggak bisa ngapa-ngapain sewaktu Keb menghalangi langkahku di depan pintu.

"Minggir," erangku memerintah.

"Kamu nggak bisa pura-pura nggak ada aku di sini, kan?" cengirnya, masih tengil aja.

Aku menolak bicara, sampai akhirnya setelah bolak-balik memblok langkahku, Keb mencekal pergelangan tanganku erat.

"Lepasin, nggak?!" bentakku garang. "Mau lu apa, sih?!"

"Aku tepat waktu, kan?" tanyanya.

"Tepat waktu apa?" aku menyalak.

"Kamu tahu apa maksudku," katanya pelan, bola matanya naik sepintas, bahunya menggedik. "Aku nggak perlu ngomong keras-keras, aku yakin setelah kamu ngebuka pagar sekenceng itu, mereka semua sekarang lagi nguping di balik pintu."

"Nggak. Aku nggak ngerti. Tepat waktu apa, sih, maksudmu, hah?!"

"Cas... aku tahu kamu marah—"

"Oh jelas aku marah!" raungku buas. "Bukan cuma marah, aku marah buaaanget, ya, Keb! Aku murka. Aku mau meledak! Badanku sampai gemeteran pengin nampar kamu, jadi jangan coba-coba!"

Keb mundur menghindari tudingan jariku ke hidungnya.

"Aku nggak mau ngelihat muka kamu sekarang. Kalau bisa selamanya. Please... tinggalin aku sendiri. Kalau kamu nggak mau urusan ini jadi panjang, ganti semua biaya perbaikan mobilku, atau—"

"Nanti aku ganti," sambarnya enteng.

"—atau aku kasih tahu ke Papamu selama ini kamu deketin aku buat kamu ajak kerja sama misahin dia sama Mamiku!"

"Kubilang, nanti aku ganti. Jawab dulu aja pertanyaanku!"

"Pertanyaan apa? Emang kamu nggak bisa nanya baik-baik kalau mau nanya? Chat aku, WA, email, telepon, datang ke sini, atau apa?! Harga dirimu terlalu tinggi? Iya? Kamu ngerasa nabrakkin mobilmu ke mobilku itu cara nyari jawaban yang lebih bermartabat dibanding ngehubungin dan ngomong baik-baik?" serangku bertubi-tubi.

Napasku terengah. Keb hanya diam memandangiku dengan ekspresi datar. Aku makin mau meledak rasanya. Nada bicara dan volume suaraku sama tingginya sampai tenggorokanku sakit.

"Lu tuh psycho, ya, Keb?" tudingku tajam. "Sinting tahu, nggak? Minggir. Aku mau masuk."

"Kamu tahu aku nanyain apa," katanya. Kupikir setelah aku menyembur, dia menyerah. Ternyata, dia masih aja menghalangi langkahku. "Aku denger apa yang dia bilang ke kamu di ruang meeting agensimu. He tried to force himself to you, kan? Dia maksa kamu buat berhubungan seks, kalau enggak, dia nggak mau tanda tangan kontrak?"

"Terus?"

"Terus?" ulang Keb heran. "I am trying to help you."

"You're trying to help me?" pekikku melengking. "Apa yang bikin kamu berpikir aku butuh bantuanmu?"

"Karena dia maksa kamu, Cassie! Dia tahu kamu butuh dia nandatangani kontrak kerja itu, makanya dia berani ngancam kamu."

"Terus kamu pikir... kamu pahlawan yang udah nyelamatin kehormatanku, gitu? Dengan ngorbanin mobilku?!"

"Itu cuma mobil, Cassie!" serunya. "Aku bisa ganti. Kupikir kamu berterima kasih sama apa yang kulakukan. Niatku baik!"

"Banyak hal jahat yang diawali dengan niat baik. Niat baik apaan, tuh? Nggak jelas! Kenapa kamu nggak masuk, robohin pintu kamarnya kalau memang benar kamu mau nyelametin aku? Bull shit tau enggak?!"

Keb memelotot terpaku.

Aku terus membombardir, "Kamu cuma kesel, nggak tahu mau ngapain, terus bertindak gegabah. Kamu udah nyiapin jawaban ini kalau kulabrak. Aku yakin niatmu bukan buat nyelametin aku. Kamu jengkel, kamu marah, kamu nggak suka ngelihat kenyataan yang berbeda dari anggapanmu tentang aku. Iya, kan?!"

"Kenyataan yang berbeda dari anggapanku ke kamu?" ulang Keb. "Maksudmu apa?"

"Halah!" kibasku, masih naik pitam. "Kamu nggak terima ngelihat cewek gendut ini diinginkan sama cowok lain!"

"Cassie...," keluh Keb. "Dia itu black mailing kamuuu... ngancam kamu. Kok kamu malah mikir ke sana-sana, sih?!"

"Black mailing," cemoohku. "Apa bedanya dia sama kamu?"

"Tentu saja beda! Aku nggak pernah nyuruh kamu tidur sama aku sebagai ganti bantuanku ke kamu—"

"Karena kamu nggak tertarik sama aku, kan? Karena buatmu, aku ini nggak kelasmu, bukan seleramu. Iya, kan? Lagian konteksnya beda, Keb. Kita memang nggak punya background ke arah sana, tapi kamu nggak jauh beda, kok. What makes you think you're helping me? Alasan konyol banget buat ngerusakin aset orang yang dimilikin dengan susah payah. Orang kaya emang se-ignorant kamu, ya? Terus kamu nanya apa tadi? Apa kamu tepat waktu?"

Dengan menyebalkannya, Keb menerangkan kembali apa maksudnya dengan enteng, seakan nggak merasa bersalah, "Apa aku berhasil ngehalangin niatnya nidurin kamu?"

Aku tergeragap. Lalu kepalaku menggeleng nggak percaya. "Oh my God...," gemapku. "Apa yang bikin kamu mikir aku nggak mau tidur sama dia?"

Keb menahan napas.

"Kamu sudah lihat Ruben, kan? Pernah ngobrol sama dia? He's so nice. He loves me."

"Yang aku tahu... dia bawa lari duitmu lima puluh juta, terus tahu-tahu muncul begitu aja karena dia butuh uang lebih banyak. Cassie—"

"Stop," cegahku, letih. "Aku nggak mau memperpanjang masalah, Keb. Kamu bikin aku pusing. Kalaupun kubilang aku sama sekali nggak keberatan sama keinginan Ruben, kamu toh tetap akan nganggap aku desperate. Iya, kan? Kamu akan nyuruh aku... apa? Ngaca? Orang kayak Ruben nggak mungkin jatuh cinta sama aku, dia cuma mau nidurin aku, lalu nanti setelah dia kaya raya dan terkenal... dia pasti bakal ngejauhin aku. You know what? Kamu nggak perlu ngingetin aku, aku akan ambil risikonya!"

"Jawab aja dulu pertanyaanku," geramnya.

"Oh... cuma itu yang jadi concern-mu? Aku udah tidur sama dia, atau belum? Kalau kubilang udah, gimana? Kalau kubilang bukan cuma itu, Keb... aku malah udah pacaran sama dia!"

SKAKMAT.

Keb nyaris terhuyung.

Ya ampun... dalam hati aku bersorak. Ini orang bener-bener cemburu.

Mampus kau, Keb!

"Minggir!" bentakku, dingin. "Aku mau masuk."

"K—k—kamu... pacaran sama dia?"

"Lho... kamu dengar, kan, apa yang kami bicarain di ruang meeting?"

"Kamu pacaran sama dia karena itu syarat dari dia buat nerima kontrak kerja itu, kan?"

Aku tertawa mengejek. "Keb, kamu tuh tiap hari ngeledekin aku, ngehina fisikku, tapi giliran kayak gini... tuduhanmu bertentangan sama sikapmu. Aku ngerasa tersanjung sih kalau kamu menganggap orang kayak Ruben lebih memilih kehilangan kontrak sama label rekaman demi aku. Tapi, sorry... kamu salah. Aku pacaran sama dia karena dia cinta sama aku!"

"Yang aku dengar di ruangan itu nggak kayak gitu," sela Keb.

Napasku mendengkus. "Terserah."

Keb memegangi lenganku, "Yang kutangkap... dia khawatir kalian pacaran hanya supaya dia mau nandatangani kontrak kerja. That's why dia minta jaminan."

"Ya terus? Dia cuma insecure. Dia cinta sama aku, sementara posisiku ada di tempat di mana aku butuh kesanggupannya. Apa itu nggak wajar buat kamu? Kalau aku yang nggak yakin sama dia, itu baru wajar buat kamu, kan? Kamu dan segala teorimu—"'

"Itu teorimu sendiri!" sergahnya. "Dari kemarin kamu nyimpulin dari semua omongan kamu sendiri. Kamu nggak pernah mau dengerin apa yang kubilang. Hanya karena aku bilang kamu kelebihan berat badan, you need to change your life style, you stick with it. Kamu abai ketika kubilang, penampilanmu nggak ada masalah. I think you're smoking hot—"

"Oh... shut up!" seruku makin kesal.

"I will not shut up!" balasnya, berteriak.

Aku tersentak dan mundur selangkah. Keb benar-benar marah. Kami sama-sama terengah dan bersitatap dengan mata mencelang penuh kesumat. Tinjuku sudah erat mengepal. Di titik didih itu, Keb membuang napas dan menariknya dalam-dalam.

"Kamu cinta sama dia?" tanyanya, suaranya melunak. "Kamu bilang dia ngajak kamu pacaran karena dia cinta sama kamu. Kamu cinta sama dia?"

Entah kenapa, aku nggak bisa langsung menjawab pertanyaannya.

"Kamu cinta sama dia, atau kamu hanya kesal sama aku, makanya kamu mau pacaran sama dia?"

"Kamu telat, Keb. You are few days' late. Aku akan mikirin keputusanku kalau hubunganku sama Ruben nggak berhasil. Aku janji... saat itu... kamu yang akan pertama kali kupertimbangkan. Okay...?"

Keb menggoyang rahangnya. Dia bisa menyembunyikannya di balik senyuman, tapi aku seakan bisa melihat goresan kotoran itu melintang di wajahnya. "Kamu memang nggak bisa dialusin," katanya. "Kalau kamu memang nggak bisa putus sama dia, pura-pura aja pacaran sama aku kayak rencana kita semula."

"Apa?"

"Aku pegang rekaman pengakuan kalian di ruang meeting tadi siang, sekaligus foto kalian berciuman. Aku bisa bikin kontrak perjanjian Ruben batal cuma dengan satu panggilan ke label rekamannya. Kamu boleh ngerasa menang dengan mempermalukanku sekarang, Cassie. I deserve it. Yang kubutuhkan cuma kesempatan. I just need you to get back to the game. I can't do it without you."

Mataku membola.

Lanjutin baca part-part di chapter ini yang nggak aku post di sini di karyakarsa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top