Chapter 30. Hit and Run
Unmatch The Parents udah sampai Afrika di karyakarsa, ya.
Dukung paket-paket bacanya aja biar bisa irit uang jajan kamu. Di sana udah sampai part 44.
Walaupun udah baca wattpad, versi karyakarsa paling enggak dua kali lipat lebih panjang dan lebih enak dibaca.
Jangan lupa vote dan komen, yaaa!
Chapter 30
Hit and Run Match
"Ini bukan keserempet nggak sengaja, nih... emang ditubruk dari belakang!" celetuk seseorang.
"Kelihatan nggak ya dari CCTV?" tanya Ruben. "Nggak ada yang lihat orangnya? Langsung lari gitu aja?"
"CCTV pajangan doang," kata yang lain. "Tapi coba aja tanyain CCTV toko sekitar."
Aku nggak bisa berkata-kata. Harus jaga image juga di depan Ruben dan orang-orang sekitar. Kalau kami heboh-heboh, nanti malah ada yang videoin segala.
Jelas sekali, mobilku bukan terserempet karena bodinya memakan badan jalan gara-gara pagar rumah sialan itu terlalu menjorok ke depan. Dia disundul dari belakang dan disekelilingku nggak ada mobil lain yang sepertinya bisa disalahkan. Lalu lintas sudah kembali lancar seperti biasa.
"Diasuransiin enggak?" tanya Ruben.
Aku mengagguk. "Tapi kalau parkirku menyalahi aturan begini... aku nggak yakin bisa dicover apa enggak," kataku hampa. Kubiarkan Ruben meletakkan lengannya di pundakku dan mencengkeram erat tempurung bahuku. "Tabrak lari?"
"Yup," jawab Ruben singkat. "Kamu tunggu di sini aja, ya? Tunggu di dalam biar temenku yang pindahin mobilnya ke depan toko sebelah dulu."
"Kamu mau ke mana?"
"Mau nanya-nanya sekitar, sama cek CCTV yang dipasang tetangga kanan kiri. Siapa tahu kelihatan."
Kurang dari satu jam kemudian, Ruben masuk kamar. Aku lagi tiduran. Pala mendadak pusing. Tensiku pasti naik, nih.
"Gimana, Ben?" sambutku.
Ruben duduk, "Kejadiannya waktu jalanan sepi, jadi dia gampang kabur. Orang-orang keluar rumah, udah nggak ada jejaknya. Ada, sih, saksi mata tukang cilok, tapi jaraknya lumayan jauh."
"CCTV nggak ngerekam?"
"Ada. Punya toko kelontong di seberang jalan. Toko sebelah juga ngelihat mobilnya pas melintas, tapi nggak pas kejadiannya."
"Toko seberang jalan ngelihat pas kejadian?"
"Masuk layar CCTV pas mobil yang nabrak itu mundur, terus tancap gas. Pas kejadian nggak masuk layar, plat nomornya juga nggak kelihatan. Dua-duanya dari samping mobil doang. Kalau kamu mau lihat dan minta rekamannya, aku antar ke sana. Aku udah bilang supaya disimpenin. Atau kalau enggak, biar aku ke sana lagi... kumintain lewat WA aja."
"Tapi buat apa?" keluhku putus aja. "Nggak kelihatan juga plat nomornya."
"Mungkin bisa kamu jadiin bukti ke pihak asuransi waktu melakukan klaim? Ketahuan siapa yang nabrak juga buat apa, kan? Mau dilaporin polisi? Kan percuma.... Yang nabrak juga orang kaya."
"Orang kaya?"
Ruben mengangguk, "Habis pulang dugem kali, mabuk."
"Siang bolong gini pulang dugem? Ada juga tadi pagi kali, Ben...."
"Iya juga... kayak sengaja banget gitu. Kalau dia lurus aja, kan... nggak bakal nabrak. Kalaupun makan jalan, ya nyerempet lah... enggak nyundul juga kayak banteng marah gitu. Dalem, lho, penyoknya."
"Dia kesel kali... sama bapak kos yang makan bahu jalan," celetukku.
"Ya kalau kesel nabraknya pake mobil yang murah, kek," kekeh Ruben. "Nggak pake Jaguar juga."
"Jaguar...?"
Ruben masih menyerocos, "Jaguar punya majikannya kali. Makanya dia lari ketakutan. Kalau orang kaya, ngapain kabur? Dilihat dari penyoknya bempermu, mobilnya juga pasti sama penyoknya. Yah... tapi misal pemilik jaguar itu sendiri yang nyetir, masuk akal sih kalau dia kabur. Penyoknya Jaguar pasti diasuransiin, kalau nggak kabur kan... pake ganti kerusakan mobil orang segala. Di sini, tuh, ada uang keamanan... tapi keamanannya nggak ad—"
"Wait, wait," tahanku, baru Ruben berhenti menyerocos. "Kamu bilang apa tadi? Jaguar?"
"Jaguar," Ruben membenarkan singkat.
Perasaanku makin nggak enak. "Aku mau lihat langsung aja," tekadku.
Ruben menemaniku ke dua toko tetangga, di samping dan di depan. Aku melihat sendiri semua rekamannya. Waktu itu, abang-abang yang masih berkerumun penasaran karena nggak ada kerjaan ikut nonton dan ribut membenarkan bahwa itu Jaguar. Analisa terdengar silih berganti. Ada yang bilang supir mabuk, ada yang bilang HP-nya jatuh terus nubruk, ada yang bilang di dalam mobil lagi berantem sama istri atau pacar lalu hilang kendali, dan lain-lain, yang isinya spekulasi kosong.
Yang jelas, pengemudi Jaguar itu menabrak mobilku dari belakang tanpa alasan yang jelas. Dilihat dari kecepatannya saat melintas dan terekam CCTV toko sebelah juga, nggak seberapa tinggi. Sama sekali nggak ngebut.
Aku memperbesar layar yang kutunda sampai ke kaca mobil pengemudi, tapi terlalu gelap. Nggak kelihatan apa-apa.
"Kenapa, Cas?" tanya Ruben. "Kamu kenal mobilnya? Ada yang kamu curigai?"
"Oh enggak... ada yang tahu nggak, ya, ini Jaguar tipe apa?" cengirku.
Nggak ada yang tahu. Siapa yang peduli sama tipe Jaguar?
"Buat apa emang tahu tipe-nya apa?" celetuk seseorang.
"Eum... siapa tahu bisa dicek... Jaguar kan nggak banyak jumlahnya," jawabku ngasal. Orang-orang pada ngangguk-angguk. Aku sih mana tahu bisa dicek pemiliknya atau enggak, tapi siapa tahu aja tipenya cocok sama yang disewa Keb.
Tapi masa sih ini ulah Keb?
Bukannya dia keluar duluan dari gedung? Waktu aku pergi sama Ruben, Keb udah kabur, kan? Dia juga pasti nggak tahu lah Ruben tinggal di mana. Kalau Jaguarnya masih nungguin di luar waktu kami ngambil mobil di parkiran terus dia ngikutin, aku pasti lihat. Mobil sport mewah menyolok begitu.
Apa ini cuma kebetulan? Kebetulan mobilku diparkir di badan jalan, kebetulan hari ini Keb muncul kembali setelah beberapa hari menghilang, dan kebetulan itu Jaguar.
Segila apa Keb sampai menabrakkan mobil sewaannya ke mobilku? Dan untuk apa? Apa dia marah? Apa ini salah satu cara psiko gila itu menarik perhatianku? Kemudian aku ingat dia ada di dalam ruangan di mana aku dan Ruben membuat kesepakatan.
Dia dengar apa yang Ruben minta dariku.
Atau paling enggak... mendengar apa kesimpulanku tentang permintaan Ruben setelah tanda tangan kontrak itu.
Kupastikan kembali layar CCTV. "Ini bener merah, kan, ya?" tanyaku.
"Merah, Kak," angguk penjaga toko. "Kurang kerjaan banget mobil mewah gini lewat jalan sempit, aspalnya aja berantakan. Apa nggak sayang sama mobilnya, ya?"
Ada yang menyahut, "Nggak waras kayaknya yang punya mobil. Kalau gua punya mobil semewah itu, mending gua parkir di ujung... guenya jalan kaki!"
"Seumur-umur... baru ini lihat Jaguar lewat sini, ya?" tambah Ruben.
Sialan.
Aku menggeram. Bajingan tengik itu nggak pernah mau ngaku kalau dia cemburu, tapi dia main tabrak mobilku yang cicilannya belum lunas, lalu kabur?!
"Cassie... kamu mau ke mana?"
"Mau lihat rekaman yang di seberang!"
Ruben memekikiku. Minta aku nunggu dia nge-save video ke perangkatnya. Aku nggak bisa nunggu. Kepalaku berasap.
Maunya apa sih laki-laki satu ini?
Begitu memasuki toko, pemilik toko kelontong sederhana yang menjual bensin eceran dan rokok itu langsung paham apa yang kubicarakan. Dia menyerahkan ponsel Android-nya setelah membuka hasil bidikan jarak jauhnya. Rasanya nggak percaya sama apa yang kulihat. Rekaman itu kuputar berkali-kali dan kukirimkan ke ponselku.
Gambarnya jauh lebih nggak jelas dari video toko sebelah, tapi rasa curigaku yang jauh lebih besar memberiku keyakinan, aku nggak mungkin salah. Pengemudi itu menyundul, diam beberapa detik sebelum mundur. Diam lagi beberapa detik, baru kabur.
Dia sempat menunggu....
Dia kabur karena yang keluar ke jalan bukan orang yang dia tunggu-tunggu.
"Mobilnya tadinya jalan pelan-pelan aja, Neng. Tau-tau tiga meter, tambah kenceng. Nubruk, dah," kata penjaga kios.
Ruben menanggapi, "Abah lihat kejadiannya?"
"Liat. Jalan pas lagi sepi, jadi suaranya kedengeran makin kenceng. Bruaaak, gituh. Saya lagi ngopi ampe muncrat. Agak lama baru ada yang ribut neriakin, beberapa detik lah. Mobilnya keburu kabur, dah."
"Abah nggak ngerekam?"
"Ngerekam."
Telingaku terpancang.
"Cuma kerekam dikit tapi," katanya, ngeluarin ponsel. "Mabuk kali tuh orang. Kalau enggak ya ngantuk. Itu yang punya indekos juga mesti dikasih tahu, pagernya makan badan jalan. Kalau dilaporin bisa kena denda banyak, tuh. Mungkin mobilnya ngerasa nggak salah-salah amat kali, makanya kabur."
Ruben memegang ponsel dan menonton bersamaku sambil habis, mencoba memperbesar bagian belakang mobil. Nggak kebaca.
"Makasih, ya, Pak, rekamannya saya ambil dulu aja," pintaku lemas.
Ruben mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan buat ucapan terima kasih ke si pemilik toko, tapi dia menolak.
Kami menyeberang ke kos Ruben.
"Aku udah ngasih tahu Bapak Kos-ku soal ini," kata Ruben sambil menaruh ponsel. Dia menjatuhkan bahu prihatin menyaksikanku mengaduk kwetiau dingin di dalam kotak kemasan dan mulai melahap dengan jari gemetar memegang sumpit. Kami baru ingat sebelum ke sini sempat beli makan siang.
Entah gimana kami tadi memutuskan bercinta dengan perut kosong, tapi rasanya sekarang aku kelaparan dan emosiku membutuhkan bahan bakar.
"Katanya dia mau tanggung jawab, asal nggak dibikin ribut," imbuhnya.
Aku mengangguk setuju. Lebih karena mulutku sibuk mengunyah dan otakku berpikir keras memikirkan cara membalas dendam yang setimpal ke Keb. Dari tadi aku mencoba menyusun kalimat paling sadis buat kukirimkan padanya, atau pidato emosional yang bakal kusemburkan ke mukanya di depan Mami dan Papanya. Biar mereka tahu sekalian niat busuk Keb memisahkan mereka berdua. Kotak kwetiau pertamaku tandas, aku beralih ke kotak nasi goreng Hainan.
Ruben hanya memandangi nafsu makanku yang meledak sambil menelan ludah. "M—minum dulu, Cas...," suruhnya.
"Hm," sahutku dengan mulut penuh kunyahan nasi.
Air mineral di dalam botol yang tutupnya sudah dibuka kubiarkan begitu saja. Suap demi suap memenuhi ruang di dalam rongga mulutku. Mungkin ini balas dendam yang keji buat Keb. Melihatku melahap habis masakan Cina berminyak yang harusnya bisa ngenyangin lima orang.
Kami melanjutkan makan siang yang terlambat itu, lalu aku pulang.
Di depan gerbang rumah paviliun ibu kosku, Jaguar merah dengan kap depan penyok sudah terparkir di sana.
Baca lebih lengkap dan cepat di karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top