Chapter 3. Preparation Re-Match

Coba lagi, ah... 300 votes, komen sebanyak mungkin. Kalau bisa 300, langsung update part selanjutnya, kalau enggak... tunggu 3 atau 4 harian, ya....

Jawab dulu, udah masuk library atau reading list?


Preparation Re-Match

Statistik siang hari (timbangan kantor, jadi nggak bisa dibanting):

Berat Badan sebelum makan siang: 78,97KG

Berat Badan sesudah makan siang: 82 KG

"Gila makan siang lu ampe tiga kilo," celetuk Mila.

"Ini mah water weight," kelitku.

"Ah elu... kayak sapi aja kalau bisa ngomong. Water weight... orang lu jelas-jelas makan porsi tiga orang."

"Ini soalnya aku pakai blazer, BH, celana dalam, sama sepatu. Oh iya... ini, Hp gue masih di saku."

"Ooo... biasanya emang lu nimbang gimana? Telanjang?" tanya Mila sambil mengintip. Hp udah di tangannya, jarum timbangan nggak bergerak.

"Iya lah... emang lu kalau nimbang nggak telanjang?" balas gue keki sambil turun dari timbangan.

"Pake baju zirah juga timbangan nggak bisa ngedetect berat badan gue, apalagi telanjang."

Sisa jatah kalori harian: minus 2000 gara-gara extra fettucini, New York burnt cheese cake, dan Red velvet cake.

Heart rate: Jalan kaki dari parkiran ke kantor, panas dan keringetan nyampe 160.

Gila....

***

Balik lagi di kafe.

"Kalau elu yang makan, gue yang muntah ngelihatin lu makan... bisa dibilang bulimia nggak?" tanya Mila.

"Bisa kali," jawabku enteng. "Masalahnya... lambung lu ada isinya nggak buat dimuntahin?"

"Nggak nafsu makan gue...."

Aku menggeleng, menyeruput helai fettucini terakhir dan menjilat krim yang tersisa di bibir. Nggak pernah relate sama yang nggak punya nafsu makan.

"Udah minggat belum setannya?" tanyaku, nggak mau menoleh.

Mila yang menengok ke balik bahuku, "Belum."

"Makannya banyak apa gimana kok lama?"

"Makannya normal," sahut Mila. "Elu yang nggak normal. Orang biasa emang gitu makannya. Dikunyah, bukan digelonggong."

"Belum kenyang gue."

"Astaghfirullah...."

"Fettucini-nya cuma lumayan," kataku, meski nggak ada yang nanya. Mila mana tertarik sama rasa makanan. "Nggak yang enak banget kayak ulasan yang gue baca. Liatin aja tuh reviewers-nya, kebanyakan kurus-kurus kayak elu. Gue yakin mereka bukan orang yang udah banyak menjajal makanan. Reviewer tuh harusnya gemuk, supaya lebih meyakinkan."

"Lu mau ke mana?"

"Dessert."

"Tagihan yang kekover cuma satu main dish sama satu minuman, lho, Cas," Mila mengingatkan, tapi sama sekali nggak menyurutkan niatku menuju etalase kue-kue.

"You should try to smoke," kata Mila setelah gigi-giginya meringis melihat isi baki yang kubawa balik ke meja. "Lu menggila."

"Those thing will kill you," gumamku.

"Those sugar will kill you first," balasnya. "Cuma karena lu nyaman-nyaman aja ama badan, bukan berarti lu nggak bisa kena diabetes. Entar kalau kita sama-sama sakit, kita nggak bisa dirawat di bangsal yang sama. Bangsal paru-paru."

"Yakin banget lu kita bakal barengan terus sampai tua?"

"Siapa yang ngomong soal tua? Dengan kebiasaan ngerokok gue dan kegilaan lu ke makanan manis, nyampe umur tiga puluh juga syukur."

Seenggaknya, ada yang bisa bikin aku ketawa lagi setelah dibikin kesel berat sama si sok ganteng itu. Garpu di tanganku tertancap di tepian New York Burnt Cheese Cake. Lalu kuangkat lagi dan kutusukkin ulang lebih ke tengah. Mila menggeleng. Aku memasukkan sepotong besar keik itu ke mulut dan menjilat garpuku sampai bersih. Secara resmi, dalam setengah hari aku udah makan lebih dari 3000 kalori. Atau 4000.

"Kok ada ya orang kayak gitu," gumamku sambil mengulum keik di mulut.

"Yang nggak pengin terkenal maksud lu?"

Aku mengangguk.

"Menurut gue sih banyak orang yang nggak pengin tenar, kita selalu fokus ke yang pengin aja. Dunia kan nggak hitam-putih, Cas. Lu kelewat keburu nafsu, sih. Mestinya kita selidiki dulu."

Bibirku mendecap sampai pipiku bergetar, "Lu nggak di sana, sih. Gue ngerasa... setelah kartu nama gue kebaca ama dia... penolakannya, tuh... jadi lebih personal gitu... kenapa, ya?"

Mila nggak punya jawaban. Dia mengerling ke ponselku dan bilang, "Matiin aja, sih, kalau nggak mau jawab. Ganggu."

Ponselku memang bergetar sejak tadi.

Mami mencoba mengontak. Kuabaikan. Aku udah duluan baca pesannya soal duit yang belum kusetorkan ke BSI. Duh, Ruben... kamu di mana?

Itu duit berhasil kekumpul sejak tabungan Mami kupakai duluan buat uang muka mobil tahun lalu. Akhir bulan kemarin udah genap. Rencananya kusetorin bulan ini bareng mami. Kalau duitnya udah ada, baru aku mau ngasih tahu bahwa daftar haji mesti sama yang bersangkutan. Doi pasti marah, tapi asal duitnya ada, sih, paling bentar ngambeknya.

Sekarang mami pasti mulai curiga duitnya belum masuk ke rekening pembukaan. Aku nggak bisa berkelit. Dia minta dikasih tunjuk buku tabungannya, buku tabungan apa?

Sebenernya, sebelum mutusin ambil kredit mobil pake duit mami, aku udah khawatir ini bakal terjadi. Mungkin ini karma nilep duit mami sendiri, jadinya Tuhan ngasih ide ke mami buat kawin lagi. Ide yang kutakutkan sepanjang satu dekade terakhir.

Coba kalau duitnya dulu langsung kusetorin ke BSI, mungkin jalan ceritanya nggak begini. Mami jadi lebih giat ibadah, bukan sibuk nyari suami. Lagian mami, ngaji aja masih abatasa, pengin naik haji. Waktu kuketawain, mami bilang kan masih dua puluh tahun lagi berangkatnya. Dih... yakin banget bakal panjang umur. Ibadah tuh sekarang, dong. Udah umur segitu masih nanti-nanti.

Kekhawatiranku terbukti.

"Emang... kalau lu bilang nggak setuju, dia nggak dengerin?" tanya Mila. "Waktu bapak gue mau kawin lagi, kita serumah nggak setuju, dia nggak jadi kawin."

"Bapak lu kan masih punya istri, Mila Sayang... itu namanya poligami," terangku sabar. Harus sabar kalau sama manusia yang kurang asupan kalori begini memang. "Beda lagi. Waktu gue masih kecil aja nggak didengerin, apalagi sekarang...."

"Bilang aja duitnya ilang," katanya enteng. "Intinya kan lu nggak mau nyokap pakai duit itu buat kawin lagi. Mau tuh duit udah disetorin ke BSI, kek, atau lu bilang ilang, yang penting dia nggak bisa pakai. Beres, kan?"

"Lima puluh juta buat kawin lagi... jangan-jangan dia mau kawin sama mokondo lagi," gumamku cemas.

"Lebih muda kali cowoknya," celetuk Mila. "Tante-tante kan suka jagung muda."

Lebih muda? Semuda apa? Jangan-jangan lebih muda dari aku?

Bikin emosi aja.

Aku beralih ke Red Velvet Short Cake. Melumerkannya cepat di lidah dengan ludahku, lalu menelannya bulat-bulat.

Kalau lagi emosi gini, nafsu makanku luar biasa besar. Habis gimana? Aku cuma bisa ngelampiasin emosi ke makanan. Mau kulampiasin ke pacar, nggak punya pacar. Mau cerita, model manusia yang setiap hari jalan berduaan denganku cuma Mila. Semua hal dianggapnya enteng. Kayak barusan. Jangankan masalahku, masalahnya sendiri aja nggak pernah diurus.

"Yang perlu lu cemasin adalah kerjaan kita," desah Mila sambil mengambil ponsel di meja dan mulai menggulir layar dengan jempolnya. "Kalau gue dipecat, gue bisa kelilit pinjol, Cas...."

"Gue nggak akan ngelibatin lu ke masalah gue. Kalau ada apa-apa, gue yang tanggung semua."

"Tanggung biaya hidup gue maksud lu?"

"Tanggung jawab biar gue aja yang dipecat, bukan elu."

Mila mendecap, "Kapan kira-kira Alec bakal tahu kalau Ruben ngilang setelah bawa lari duit lu?"

"Paling lambat beberapa hari lagi, pas jadwal tanda tangan kontrak. Paling cepat nanti sore, pas dia nanyain ke gue apa Ruben udah baca semua pasal di draft kontraknya, apa belum. Damn it!" makiku, teringat lagi pengalaman nggak menyenangkan barusan. "Kalau aja gue bisa sekadar ngasih janji palsu ke Alec. Nih, ada calon talent cakep bakal aktor laga, it will save us some time sambil nyariin Ruben. Belum lagi urusan nyokap—"

"Kenapa lu nggak bisa sekadar ngasih janji palsu ke Alec?"

"Mana bisa? Dia baru mau percaya kalau seenggaknya kita punya nama, nomor hp... atau foto lah... video yang bisa dia lihat buat buktiin bahwa kita beneran jadi saksi sesuatu yang menjanjikan. Kalau ada itu aja... gue bisa bilang orangnya belum berminat, tapi gue yakin gue bisa membujuknya. Kita nggak punya apa-apa. Nama aja dia nggak mau ngasih."

"Tapi kita punya videonya."

"Mana? Lu ngerekam?"

"Lu nggak bilang dokumentasinya kudu dari kamera kita."

Alisku kontan mengerut. Mila menyedot habis batang rokoknya, lalu menggilasnya di asbak. Belakangan, dia menggeser ponselnya ke arahku. Aku menunduk, melihat halaman yang dibukanya. Mengenali sepersekian detik sisa adegan yang kemudian berganti ke video lain. Kuulangi video yang terlewat tadi dan kuperhatikan dengan saksama.

"Kita bisa pakai video itu, kan?" tanya Mila, sementara aku mengulangnya sekali lagi.

"Kok lu bisa nemu ginian, sih?"

"Gue cuma ngelihat dari tagged video ke instagram Musical Café. Insting. Pasti salah satu dari pengunjung bakal langsung ngunggah adegan barusan ke medsos. Lu bisa tunjukin ini ke Alec, terus bilang dia belum berminat, tapi lu yakin lu bisa ngebujuk dia. To save us some times sambil nyariin Ruben...?"

Kepalaku mengangguk, kuhibahkan sisa red velvet-ku ke Mila, "Nih... buat kinerja otak lu yang barusan.  Kalau asupan kalori lu seminim itu, tapi otak masih dipakai kerja, lama-lama lu bisa meninggal."

Mila mengernyit jijik.

Mataku masih terus menekuni video yang bolak-balik kuulang sampai bosan. Tendangannya benar-benar tendangan pebela diri profesional. Kecepatannya kilat. Nyaris nggak terlihat mata telanjang. Tahu-tahu, ujung kakinya sudah mendarat di sisi kepala, tapi nggak pernah menyentuh kepala itu. Cowok Milkshake itu tersuruk ke tanah hanya karena tekanan udara yang dihasilkan oleh tendangan kaki dan ketakutannya sendiri.

"Can you sell it to Alec? Kalau bisa, gue save videonya."

Aku menarik napas, berhenti menonton video yang sama untuk kesekian kalinya. Sebelum kepalaku mengangguki anggukan Mila, mataku entah kenapa refleks menjeling ke luar jendela. Cowok yang nggak mau ngasih namanya ke aku itu sedang melintas. Kelopak matanya mengedip lambat, lalu bola matanya menggulir sekilas ke arahku. Tatapan kami bertemu dalam waktu yang sangat singkat. Lalu pada detik yang sama, serempak saling membuang muka.

"Nggak tahu kenapa, gue punya feeling... dia bakal benar-benar bisa lu bujuk," kata Mila.

Kali ini aku malas mengangguk.

Kabar buruknya, aku kena skors. Kabar baiknya, aku belum dipecat. Tapi itu sama sekali bukan hal yang mustahil, melihat betapa murkanya Alec barusan. Bokongku baru melekat sedetik di kursi dalam kubikel sempit, muka berminyak dan kepala botaknya langsung muncul di balik jendela kaca. Manik matanya pada mataku dalam jarak belasan meter. Walaupun puncak-puncak kepala lain ikut menyembul dari sekat-sekat kubikel, aku tahu isyarat gerakan dagu itu ditujukan buatku.

Aku beranjak, mencegah Mila mengekoriku. Nggak usah nunggu laporan dariku, atau siapapun, Alec udah panik sendiri karena Ruben nggak bisa dihubungi.

"You what?!" serunya melengking.

Aku meringis. Telingaku pengang. Setelah kupikir-pikir, harusnya aku bisa menyimpan sendiri alasan Ruben melarikan diri. Aku bisa saja bilang aku nggak tahu apa-apa, bilang dia memang sinting, atau nggak cukup punya mental buat jadi bintang, bukannya nyemplungin diriku sendiri ke lubang buaya. Mestinya aku berpikir seenteng Mila. Kalau duitnya nggak balik, bukannya itu yang kuharapkan supaya mami nggak bisa pakai uang itu buat kawin lagi?

But come on. Lima puluh jeti itu banyak banget buatku. Aku butuh power Alec buat ngirim alerting email ke rekan-rekan talent agencies dan industri hiburan. Tanpa itu, Ruben yang belum terikat sama kami boleh-boleh aja tanda tangan kontrak lewat agensi lain, atau malah tanpa perantara sama sekali.

"I know—"

"If you know, you wouldn't do that!" bentak Alec memotong. "You MUST know. Money speaks volume. Mau bilang goblok, nanti nggak etis, tapi beneran goblok!"

"Bilang aja, Pak, nggak apa-apa. Kalau itu bikin Bapak lebih enteng...," kataku pasrah.

"Diam kamu," salaknya. "Kalau tau dia butuh duit, percepat jadwal tanda tangan kontraknya. Kasih dia harapan supaya mau ngelakuin apa saja, bukan malah ngasih solusi prematur yang membahayakan kredibilitas dan reputasi perusahaan! Dari mana kamu dapat duit sebanyak itu buat dia? Pinjol? Astaga, Cassie, otak lu di mana? Di dengkul?"

"Masih di kepala," jawabku. "Itu duit saya sendiri. Bakal naik haji Mami."

"Oh my God... kenapa duit bakal naik haji mamimu ada di kamu?"

"Bapak inget, nggak, pengajuan kredit karyawan saya tahun lalu nggak disetujui?"

"Terus kamu pakai duit itu buat uang muka kredit mobil?"

Aku mengangguk, "Tapi kayaknya dia berubah pikiran. Dia mau pakai buat kawin lagi."

"Cassie...," tahan Alec, lelah. "Aku nggak mau dengar lagi keluhan lain soal urusan pribadimu. Ngerti? Kalau sampai perusahaan dirugikan karena ulahmu, kita kena denda atau semacamnya dari pihak ketiga, kamu bakal dipecat. Mila... juga bakal dipecat!"

Aku menelan ludah. Alec always blunt and frontal, but this is too much. Dadaku langsung sesak mikirin cicilan mobil yang masih panjang, tagihan kartu kredit, kehilangan asuransi kesehatan premium, status, dan yang paling mengerikan di atas segalanya... kembali ke rumah Mami. Berkumpul bersama suami baru dan saudara tiri bernama Cassidy. Dan Mila...? Mila nggak akan bisa bertahan hidup tanpa kerjaan ini.

"Saya aja, Pak... jangan bawa-bawa Mila. Dia nggak salah."

"Biar jadi pelajaran buat kamu! Gara-gara keteledoranmu, nasib orang lain jadi taruhannya!"

"Please, Pak...."

"Skorsing. Kamu diskors tanpa gaji sampai kamu bisa nyeret Ruben kembali."

"Tapi—"

"Titik. Keluar dari sini."

Aku megap-megap, mendadak aku lupa gimana caranya narik dan buang napas.

"It's okay. Asuransi kesehatanmu masih bisa dipakai kalau kamu kena serangan jantung di kantor," katanya sambil membuat gerakan menepis debu ke arahku.

Gila. Diskors tanpa gaji? Yang bener aja? Siapa yang mau bayar kosan dan cicilan mobilku? Aku nggak mungkin ngebalikin mobilku ke dealer, meski menyetir yang bener aja aku masih sulit. Utang mobil itu adalah statusku, pencapaianku, pembuktianku pada society yang doesn't even care that I exist that I am exist. Tiba-tiba saat aku berjuang melawan ancaman serangan jantung, pintu ruangan Alec yang kututup dibuka dari luar.

"Gimana kalau kita punya pengganti?" tanya seseorang di balik badanku. Mila.

Alec menaikkan bola matanya. Dia tertarik.

Singkat cerita, aku keluar dari ruangan Alec dengan putusan skors tetap digaji, tanpa tunjangan, uang bensin dan makan siang selama sebulan penuh. Itu berarti aku harus tetap kerja dengan amunisiku sendiri meski nggak harus ngantor. Kalau dalam sebulan baik Ruben, atau pengganti Ruben nggak bisa kutumbalkan ke agensi, aku baru akan dijatuhi skors tanpa gaji paling lama tiga bulan sebelum dipecat. Kecuali aku mendapatkan talent baru.

Kepalaku berdenyut.

"Hipertensi?" usik Mila.

Aku menggeram. "Bisa nggak sih lu berhenti ngehantuin gue dengan nama-nama penyakit? Gimana caranya kita nemuin cowok itu dan ngebujuk dia supaya mau kita cariin kerjaan kalau namanya aja dia nggak mau ngasih?"

"Next time kalau lu lagi datang bulan, lu bilang. Ingetin gue bahwa lu susah nahan emosi kalau lagi datang bulan."

"Apa?"

Mila menjatuhkan bola matanya ke bawah, ke bagian dalam tasku yang terbuka. Ada menstrual pad menyembul di sana. Kutaruh buat jaga-jaga.

"Jadi maksud lu... yang barusan sama cowok sok ganteng itu salah gue karena gue mau datang bulan? Bukan karena dia emang nyebelin, gitu?"

"First of all, dia nggak sok ganteng, dia memang ganteng. Mungkin... kalau lu nggak lagi mau datang bulan, lu bisa lebih terkendali aja ngadepin orang nyebelin kayak dia. You burst out too quickly. Tadi aja, gue masih usaha nyari tahu namanya, lu langsung nyembur bilang dia nggak mau ngasih tahu nama. Gue nggak bisa apa-apa."

"Ya gue kesel, gimana, dong?"

"Barusan di ruang kerja Alec juga... lu nggak buru-buru ngasih ide soal cowok itu. Kalau gue nggak masuk, lu udah diskors tanpa gaji. Lu mau hidup gimana?"

"Karena gue nggak yakin kita bakal bisa ketemu lagi sama cowok itu. Mau nyari di mana? Nungguin dia balik ke Musical Café? Setelah ada kejadian kayak gitu, menurut lu dia bakal balik ke sana?"

"Pasti kita bisa mikirin sesuatu, yang penting selamat dulu. Bukan malah pasrah. Mending lu balik dulu, deh. Kita omongin lagi besok. Gimana?"

"Yeah... whatever."

"Ati-ati di jalan, Cas. Jangan ngebut."

Aku menggemeretakkan gigi sambil menyambar tas di meja. Bersungut-sungut keluar ruangan jauh lebih awal dibanding yang lain.

Di depan lobi, selangkah dari ambang pintu kaca di balik punggung yang membuka dan menutup berkali-kali karena aku berdiri di area sensor, aku termangu. Kalau ini bukan urusan hidup dan matiku sendiri, aku nggak akan melangkah seinchi pun dari sana.

Ngapain dia ke sini???

Sarah Ayu ini cocok ya jadi Cassie 🥰🥰🥰 udah pernah jadi Tamara di Trapping Mr. Mahmoud, tapi aku suka diaaa 😍😍😍😍

Follow instagramku 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top