Chapter 28. Match The First Time
Unmatch The Parents sudah terbit sampai chapter 39 di karyakarsa dengan versi lebih panjang dari yang dipost di wattpad.
Silakan dukung paket per-sepuluh part biar harganya lebih murah untuk kepuasan lebih dalam menikmati cerita ^^
Jangan lupa komen dan vote biar aku tetap posting versi wattpad-nya. Kalau nggak mau, silakan sabar, dan silakan kesal kalau direpost2 ulang ^^
Selamat membaca!
Chapter 28
Match The First Time
Apa sih rencana Keb sebenernya? Intimidasinya udah naik level kayaknya. Alih-alih muncul di rumah bawa hadiah atau pizza, dia ke sini pas banget sama jadwal Ruben tanda tangan kontrak. Ini pasti sengaja, bukan kebetulan. Dia pura-pura nggak bisa hubungin aku, otomatis Ruben ngasih tahu kondisiku lagi sibuk dan mungkin spill jadwal Ruben tanpa sadar. Keb udah nggak percaya sama aku, dia nyari tahu sendiri hubunganku dan Ruben bakal kayak apa.
Dasar licik.
Semua ini hanya demi wasiat Mamanya yang udah meninggal? Beneran, nih, cuma gara-gara itu? Atau jangan-jangan... cemburu?
Keluar dari kantor Alec ke ruang kubikel, Ruben sedang dikerumuni staf lain yang dikoordinir oleh Mila. Aku menyelinap ke toilet buat ngehubungin Mami. "Iya, tuh, kata Mas Nugros. Katanya udah sejak kemarin lusa, ngurusin supplies buat dikirim ke klinik-kliniknya."
"Lah kok... kemarin aja Mami masih nanyain Cassie Keb di mana?"
"Ya dia nggak ngabarin Mami juga, Mami nggak tau."
"Om Nugros kan tahu... kok nggak ngasih tahu Mami?" protesku. "Gimana sih hubungan Mami sama Om-Om ini? Nggak jelas."
"Ya... kan... Mami peduli sama Keb sebagai calon mamanya. Kalau Mami berlebihan nanya-nanya ke Mas Nugros... ntar dikira Mami caper doang. Kalau ke Keb-nya langsung, kan... beda. Keb jadi tahu Mami perhatian betulan ke dia."
Dih... jijik.
"Mam...," kesahku. "Cassie cuma nggak mau Mami gegabah kayak sebelumnya. Mami tuh terlalu santai sama urusan pernikahan. Kirain mami udah sadar. Mami tuh ngerti nggak sih semua tindakan Mami tuh pasti bakal ada dampaknya ke Cassie? Kalaupun Cassie bilang Om Nugros baik, semua suami Mami juga dulunya baik. Kalian berhasil atau enggak juga nggak akan ada hubungannya sama Om Nugros baik atau enggak. Udah ah, Mami nggak mau ada urusan apa-apa sama hubungan Mami dan Om Nugros, apalagi sama Keb!"
Hidungku mendengkus. Di pantulan cermin toilet, rahangku terlihat mengetat. Alisku menukik. Untuk meredam emosi, kututup kelopak mataku. Orang kalau pipinya gembil, kenapa nggak bisa kelihatan serius, ya, pas lagi emosi gini? Aku ngerasa mukaku yang merah padam malah kelihatan lucu. Pantesan Keb demen banget godain aku.
Ayo, pikir lagi, Cassie. Ngapain coba Keb nemuin Alec? Nggak mungkin gara-gara cemburu. Pasti dia sedang mencoba ngedekatin aku lagi tanpa harus merendahkan harga dirinya dengan ngehubungin aku duluan.
Okay... kalau itu maunya... lihat aja. Aku juga nggak mau kehilangan harga diri. Cepat atau lambat, Alec pasti bakal nyuruh aku back to business sama Keb begitu urusan Ruben beres. Kalau dia yang mau make a move duluan, silakan aja. Kelihatannya, hubungan Mami dan Om Nugros memang makin serius. Keb pasti resah, makanya dia nggak bisa tinggal diam.
Let's see what you got, Keb.
Sebelum keluar, ponsel kupastikan tidak sekalipun dihubungi siapapun.
Ruben kebetulan sedang melongok ke arah tempatku menghilang di balik toilet sewaktu aku menampakkan diri. Senyumnya terkembang lega. Dia melambai. Cowok itu berdiri menjulang di balik sekat kubikel menungguku menghampirinya.
Kami masuk ke mobilku, kubiarkan Ruben memegang kemudi dan membuka percakapan, "Kalau sampai albumku sukses, aku nggak akan mau lama-lama jadi performer," katanya, setelah mobil keluar dengan mulus dari area perkiran.
"Terus?"
"Aku mau jadi song writer aja."
Aku mengangguk-angguk setuju, "Kata Mariah Carey... some of the people who are extremely rich are not the singers, they are the song writers."
"Bukan supaya kaya... aku pengin jalanin kehidupan yang private-private aja. Tinggal di pinggir kota, kerja di dalam studio sendiri... punya istri... anak...," katanya, lambat menggantung dan diakhiri dengan tolehan kepala. Aku terpancing dan kami pun bersitatap. "Kamu pernah bayangin punya keluarga, Cassie?"
"Yah... emang ada ya orang yang nggak ngebayangin punya keluarga?"
Ruben menggedikkan bahu.
"Aku udah pernah cerita, kan... Mamiku kayak gimana? Kalau aku mutusin buat mengakhiri masa lajang... aku nggak mau kayak Mamiku. Aku bakal memikirkannya masak-masak... aku bakal ngelakuin a whole background check ke calon suamiku sampai detail-detail kecil dalam hidupnya aku tahu. Dia suka lupa nge-flush atau enggak, terbiasa nutup toilet lid atau harus aku yang nutupin, ada potensi manipulatif dan controlling, atau bakal ngebebasin aku berkreasi... macem-macem, deh. Bbanyak tahu... cewek yang kejebak sama suami-suami psycho. Mereka tuh pintar nyembunyiin karakter asli mereka. Kalau cuma pacaran... gampang banget nyembunyiin karakter seseorang," cerocosku.
"Yah... namanya juga cinta," ucap Ruben pendek. "Kalau udah cinta... kriteria macam-macam juga nggak akan ngaruh, Cas...."
"Masa, sih?"
Ruben mengangguk. "Ngomong-ngomong... aku juga digituin, nggak?"
"Digituin apa?"
"Background check. Atau itu cuman buat calon jodoh kamu aja? Apa kamu background check aku duluan, makanya berani ambil risiko minjemin uang dan percaya aku bakal kembali?"
Aku terdiam.
"Back ground check me," kata Ruben tiba-tiba.
"Hm?"
"Aku siap dikuliti," imbuhnya.
"Yakin... aku nggak akan nemuin sesuatu yang nggak kusuka?" candaku.
Ruben menggamit mesra tangan kananku, darahku berdesir ketika bibirnya yang hangat melekat di buku-buku jariku, "Aku yakin... kamu bakal menemukan banyak kekuranganku. Aku justru pengin buktiin ke kamu... bahwa kalau udah cinta... semua kekurangan pasangan jadi nggak banyak artinya."
"Hmmm... dasar penyair," ledekku, kami sama-sama tertawa.
Perhatian Ruben kembali terpusat ke depan, jemariku masih dalam gamitannya. Seperti juga yang terjadi di bibirku, senyuman Ruben nggak kunjung pudar. Garis-garis di susut-sudut bibir Ruben tergurat menawan. Lesung di pipiku yang tertimbun lemak berusaha menampakkan diri, tapi gagal.
Kami mampir ke restoran masakan cina, membeli makan siang untuk disantap di rumah. Dalam perjalanan ke kos Ruben, sesuai arahanku, mobil berbelok ke kedai liquor. Setidaknya, harus ada sebotol anggur untuk selebrasi. Karena duit Ruben belum cair, kami sepakat memilih merek anggur lokal yang nggak terlalu mahal.
"Halaman parkirnya penuh," decih Ruben di depan gerbang kosnya. "Parkir di depan aja, ya?"
"Pemilik indekosmu kebal hukum, ya?" kelakarku. Aku harus nunggu sampai lalu lalang kendaraan agak sepi buat keluar dari mobil. Pagar rumah kos Ruben terlalu menjorok ke depan. "Korupsi badan jalan gini nggak takut diviralin sama netizen?"
"Post power syndrome, biasa," kata Ruben. "Dulunya punya jabatannya tinggi di POLRI."
"Oh... pantesan."
Bungkusan makan siang di tanganku baru mendarat di atas satu-satunya meja di dalam kamar kos Ruben. Aku belum mengeluarkannya dari plastik.
"Lumayan juga... udah nggak pengap," pujiku.
"Berkat kamu," bisik Ruben. Kemarin aku emang ngasih duit ke penjaga kos buat memperbaiki jendelanya.
Meski aku tahu Ruben akan segera melakukan kontak fisik denganku, aku nggak menyangka dia beraksi secepat ini. Dadaku berdebar saat dadanya yang bidang merapat di punggungku. Ruben meletakkan botol anggur tepat di depan perutku, melewati celah antara lengan dan pinggangku. Di sana, Ruben memutar tutupnya.
"Ruben!" seruku tertahan, setetes cairan anggur merah memercik ketika kerat tutup botol terbuka. Ruben mengumpat kecil, botol anggur di tangannya hampir jatuh, aku menyelamatkannya.
Ketegangan yang singkat, tapi cukup membuat aku dan Ruben sama-sama terengah. Menyadari kekonyolan itu, kami tertawa. Kering dan kaku. Posisi kami berhimpitan dengan kedua tangan saling menumpuk memegangi leher botol. Aku bertanya-tanya, siapa yang akan duluan memecah keheningan jika kehangatan ini lambat laun terasa nyaman dan mendebarkan?
Ruben mengambil tindakan. Detak jantungku berhenti. Bibir Ruben menggeser samar di atas pundakku, hidung bangirnya menghirup aroma rambutku.
"Cas," bisiknya, mesra.
"Ruben," aku mendesah.
Ruben membiarkanku bebas hanya untuk kembali dipenjara dalam dekapan eratnya. Pinggul tebalku dibalik dengan mudah seperti pengulen donat membalik adonan. Kami berdiri berhadapan begitu dekat. Napas pendek-pendek Ruben sengaja diembuskan ke celah di antara bibirku. Sensasi pinggul diputar barusan masih bikin jantungku berdegup lumayan kencang.
Menghirup napas Ruben sama sekali tidak membantu. Aku tersengal, terdesak deru hasrat yang menjalar dengan cepat di balik kulitku. Hal yang sama sepertinya juga sedang terjadi pada Ruben. Tatapannya meredup berlumur hasrat. Bola matanya berlabuh entah di bibir atau daguku, membuatku salah tingkah.
Keraguanku segera terjawab ketika bibir Ruben memupus jarak. Sepersekian detik sebelum Ruben mulai memagut, aku tergeragap.
Mmmhhh...
Ruben menatapku. Menjilat bibirnya yang basah.
"Ben... kwetiau goreng paling enggak enak kalau dingin...."
"Masa?" tanyanya. "Tapi kamu tahu nggak... ada yang lebih panas dan harus buru-buru dimakan?"
"Ruben, oh!" pekikku.
Shit.
Is this really happening?
Dia benar-benar ingin berhubungan seksual denganku???
Maaf, ya... part 28 ini banyak dipotong-potong, baik adegan dewasanya, juga teka-teki kehadiran Keb di kantor Cassie. Silakan baca versi lebih panjang di karyakarsa ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top