Chapter 27. Overheard Match

Chapter 27 ini jauuuh lebih panjang di karyakarsa, ya...

Di sana sudah terbit sampai chapter 36

Semua part paling tidak dua kali lebih panjang jika diakses di sana, per part hanya IDR 5K. Kalau ingin lebih hemat, silakan lakukan dukungan paket. Per sepuluh part hanya 35K.

Yang di wattpad kalau mau diupdate lancar, jangan lupa vote dan komennya. Kalau komennya dikit, silakan marah2 kalau di-repost2. Kemarahan tidak akan digubris. Wkwk

Selamat membaca!




Chapter 27

Overheard Match

"Jika segalanya sudah bisa dimengerti dan disetujui oleh pihak pertama, pihak kedua, dan para saksi, di mana di sini adalah pihak agensi dan saya sendiri, silakan membuka kembali draft kontrak dan perjanjian di hadapan pihak pertama dan kedua untuk diberi paraf pada setiap halaman dan ditandatangani pada kolom-kolom yang telah tersedia. Perjanjian rangkap dua ini akan dinyatakan sah setelah saya, sebagai pengacara hiburan dan media, memberikan legalisasi dan salinannya akan diterima oleh kedua belah pihak dalam kurun waktu kurang dari satu minggu. Pembayaran advance atau uang muka royalti sebesar 75% dari jumlah beredarnya salinan rekaman album yang akan didistribusikan oleh publik kedua dan pengerjaannya harus selesai kurang dari enam bulan oleh pihak pertama, akan diberikan dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Seharusnya, lebih cepat lebih baik. Apakah semua pihak sudah siap?"

Ruben membalik salinan kontrak pada bagian kesepakatan khusus kembali ke halaman pertama.

Keberatannya mengenai aturan tidak diperbolehkan terlihat oleh publik  berkencan dengan lawan atau sesama jenis setidaknya satu tahun setelah album pertamanya beredar sempat menimbulkan ketegangan. Ruben meminta diadakan tinjau ulang supaya kesepakatan itu direvisi. Namun dengan jelas dan tegas, pihak label rekaman menyatakan bahwa mereka membayar Ruben cukup tinggi untuk bisa merasa berhak menuntut pihak pertama menyanggupi kesepakatan tersebut. Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa Ruben yang belum membuktikan apa-apa, tidak memiliki kekuatan negosiasi setinggi itu.

Sebagai seorang idola pendatang baru dengan usia tergolong muda, menurut publisis pihak rekaman,  menampilkan image lajang ke muka publik akan sangat berpengaruh pada tingginya penjualan produk, demikian juga sebaliknya. Kesepakatan itu baru akan dipertimbangkan perubahannya jika terjadi perpanjangan, atau perjanjian baru.

Ruben bertanya, "Boleh saya minta waktu sedikit lebih lama?"

Sebelum pengacara media dan hiburan yang menengahi pihak pertama dan kedua melempar pertanyaannya pada pihak kedua, perwakilan label rekaman yang hadir memotong dengan angkuh, "Kami sudah menunggu cukup lama. Dengan segala hormat, jika perjanjian ini ditunda sekali lagi, kami mungkin harus meletakkan kemungkinan kerja sama di urutan terakhir dari jadwal pengikatan kontrak dengan pihak lain. Kami sangat mempercayai penilaian Get Noticed Agency, Mas Ruben Akmal Mahesa Sadawira. Sejujurnya, kami hanya berpegang pada kepercayaan tersebut dan kemampuan publisitas kami. Lebih sedikit penangguhan dan keberatan di awal perjanjian akan lebih baik. Selanjutnya, kami akan mengikuti apapun yang Mas Ruben ajukan kalau kemampuan musikalitas Mas Ruben sudah terbukti."

"Lima menit," kata Ruben, bersikeras.

"Lima menit saya rasa masuk akal," kata pengacara pihak label rekaman yang menyertai. Kedua perwakilan pihak rekaman mengangguk setuju.

Ruben beralih padaku, "Bisa bicara berdua sebentar?"

Kubawa Ruben ke ruang pertemuan lain tepat di samping ruang yang kami pakai tanpa sebelumnya mengecek apakah ruang itu akan dipakai. Ternyata, lampu-lampu di dalam ruangan itu padam. Aku membuka satu tirai tanpa menghidupkan lampu. Cukup terang untuk kami bicara. Ruben menarikku kembali ke balik dinding, menjauhi tirai.

"Ben...."

"Aku mau kepastian," bisiknya. "Dari tadi... kamu menghindar terus... apa aku boleh ngambil kesimpulan dari ciuman kita sebelumnya? Kamu hampir-hampir nggak membalas...."

Apa yang harus kulakukan?

Pokoknya jangan janji-janji, Cas.  Ntar ribet belakangannya. Aku mengingatkan diri sendiri. Terus gimana, nih? Cium dia? Ajak bemesraan? Bikin mabuk kepayang?

Ya... kalau kuajak bemesraan sebentar, itu bakal melemahkan otaknya dan bikin dia lebih gampang  diajak balik ke ruang sebelah, kan ya? Begitu aja, Cas. Jalan pintas aja dulu. Alih-alih bicara menjawab penantian Ruben, aku justru merenggut bibirnya.

Dengan bibirku.

Detik pertama, Ruben terhenyak.

Detik berikutnya, mulutnya menggeram.

"Ruben," cicitku.

Ciuman itu seharusnya singkat karena aku harus mengingatkan bahwa waktunya hanya lima menit, tapi Ruben memperpanjangnya sampai lima menitnya nyaris habis.

Tangan Ruben sedang akan memijat sebelah payudaraku. Saat aku mencegah, dia sudah menelangkupnya. Pekikan melengking dari bibirku membuat Ruben nyaris menggigit.

"Semua orang nungguin kita," aku mengingatkan.

Sebelum bibirnya melepas bibirku, jemarinya mengambil kesempatan meremas duluan. "Sorry," katanya, lalu buru-buru melepas. "Maaf... aku nggak seharusnya—"

"Aku nggak suka ini, Ben," kataku jujur, membenahi kemejaku yang sedikit berantakan. "Hal-hal kayak gini bisa menghancurkan karirmu!"

"Maaf... tapi aku nggak akan ngelakuin ini ke sembarang orang. Aku mau kamu jadi milikku, Cas... aku mau kepastian... bukan hanya ciumanmu? Lagian... apa artinya ciuman barusan? Kamu mau ngelabuhin aku, ya?"

"Bukan begitu... aku cuma bingung mau ngomong apa... kupikir... aku bisa nenangin perasaanmu...," bualku. "Ben... percaya ama aku, kamu butuh kontrak ini. Kita pikirin yang lain-lainnya nanti."

Ruben menggeleng, terus menghalangi tubuhku dengan tubuhnya. "Aku butuh jaminan," bisiknya.

Ludahku terteguk. "Jaminan apa?" tanyaku.

"Jaminan kamu nggak akan menjauh setelah kontraknya kutandatangani," jawabnya. "Kamu tahu aku nggak bisa mundur dari perjanjian itu. Aku nggak akan bisa apa-apa kalau kamu bohongin aku."

"Bohongin kamu? Ben... kamu yang hidupnya bakal berubah. Kalaupun salah satu dari kita ada yang berbohong... jelas bukan aku."

"Jangan terlalu yakin. Semua orang bisa berubah. Aku nggak sekuat cowok-cowok lain dalam menghadapi patah hati, if you leave me... aku bakal kesulitan ngelanjutin pengerjaan album dan menuhin tanggung jawab. Kalau aku nggak bisa menuhin tanggung jawab, aku nggak bisa bayar kalian sebagai agensiku. Now... what is your win-win solution?"

"Ayolah, Ben... semua orang tahu apa artinya waktu kamu nyium bibirku tadi. Apa kamu nggak percaya sama aku? Di sebelah ruangan ini, ada masa depanmu, Ben. Ada ratusan juta rupiah nungguin kamu paling lama bulan depan dan kamu masih meresahkan hal nggak penting kayak gini?"

"Buatku ini penting. Siapa yang tahu aku bakal berhasil atau gagal? Aku mau kamu tetap ada di sampingku kalau-kalau aku gagal. Kalau aku berhasil, aku mau kamu ngedampingi aku jauh lebih lama lagi—"

"Okay," sahutku, buru-buru. "What do you want? Aku harus gimana supaya kamu yakin aku nggak akan ninggalin kamu setelah perjanjian kontrak itu ditandatangani?"

"Entahlah... aku ngerasa... kamu nggak benar-benar tulus," ungkapnya jujur.

"Kamu mengharapkan ketulusan dari seseorang yang terang-terangan kamu bilang, kalau kamu nggak mau jadian sama aku, aku nggak mau tanda tangan?"

"Soalnya... aku ngerasa setelah kita ketemu lagi... kamu nggak kayak Cassie yang kucium sebelum aku pergi."

Mataku membola.

"Dulu kamu tulus... dulu aku yakin... perasaan kita saling sambut... kenapa sekarang beda? Apa ada orang lain yang dekat sama kamu setelah  aku bikin kamu kecewa, Cas?"

"Kamu nggak sempat bikin aku kecewa," kataku cepat. "Aku nggak peduli sama uangnya, aku tahu kamu pasti balik. Dan kamu balik. Please... Ben... kalau kamu sendiri nggak tahu win-win solution macam apa yang kamu maksud, hentikan omong kosong ini. Kita sama-sama tahu, cuma kata-kata yang bisa mengikat perjanjian macam gini. Bukan cuma aku, kamu bisa berubah pikiran kapan aja. Nggak ada yang bisa mengikat dua hati selamanya, pernikahan juga nggak bisa... nggak ada selain komitmen dan kata-kata."

Ruben terdiam. "Sebenarnya ada," katanya beberapa detik kemudian.

"Apa?"

"I want you," tegasnya.

Sebelum aku bertanya lebih lanjut, Ruben sudah merapat lagi padaku. "I want all of you."

"Maksudmu?"

Ruben terus merapat, memainkan bibirku dengan jarinya. Nggak mau menjelaskan apa yang diinginkannya.

Jadi aku menebak, "Maksudmu... kamu... mau berhubungan seks... sama aku?"

Ruben enggan menjawab. Cuma menatap. Tubuhnya menegang membayangi tubuhku.

Aku berkelit memalingkan mukaku menjauhi tangannya, "Okay."

"Okay...?"

"Okay, let's have sex after you sign the contract," tegasku. "Nggak usah dibahas panjang lebar lagi."

"Cas, nggak gitu... aku cuma mau kamu janji—"

"Okay aku janji. Habis ini kita pulang, ke hotel... kita akan melakukannya."

"Cas—"

"Apa lagi yang kamu tunggu? Kamu nggak perlu kayak gini kalau cuma mau ngajak cewek berhubungan intim, Ben. You risk your hundreds million contract for this? You sound like a predator."

"Inilah masalahnya," kata Ruben. "Makanya kubilang... aku ngerasa kamu berbeda. Sebelum aku pergi, aku yakin kamu nggak akan menganggap apa yang kulakukan sejahat itu. Kamu tahu aku bukan predator, dan aku nggak mau maksa kamu berhubungan seks, bukan itu maksudku."

"Lalu apa? Kamu bilang you want me, kan?"

"Ya... aku nggak akan menarik ucapanku. I want you. I want all of you!"

Ponsel yang kubisukan bergetar di saku celana. Saat itu, Ruben masih bicara, "Aku nggak tahu gimana caranya ngeyakinin kamu bahwa aku mau kamu, aku nggak mau ngancam nggak tanda tangan, tapi aku mau kamu. Aku mau tanda tangan dan mau kamu sekaligus, Cas. Aku bingung, aku nggak pernah pacaran sebelumnya!"

Keb?

Keb menghubungi ponselku?

"Cas?" usik Ruben. "Kamu dengerin aku, nggak?"

"Kamu mau tanda tangan dan mau aku juga, noted, bagus," kataku, merepet. Persetan Keb. Aku lesakkan ponsel tadi kembali ke saku. "Ayo kita balik, tanda tangani kontrakmu dulu supaya kita bisa cepat-cepat ngelakuin apa yang kamu mau."

"Cas—"

"Ben, please! Aku paham. Kamu nggak bermaksud maksa aku berhubungan seks, tapi kamu nggak mau aku tinggalin setelah tanda tangan, kan? Tapi kamu juga nggak bermaksud nggak tanda tangan, kan? Artinya kamu mau tanda tangan, kan? Iya, kan? Please bilang iya."

Ruben gelagapan.

"Dengar, ya. Kamu harus tanda tangan. Titik. Kamu dan aku sama-sama tahu... patah hati atau enggak... dua-duanya jauh lebih enak dilakukan di dalam rumah mewah, di dalam mobil yang AC-nya dingin. Bukan di kosan pengap dekat tempat pembuangan sampah!"

Ruben kugandeng, kubuka pintu dari dalam. Di depan ruangan, Amera, salah satu staf personalia, ternyata sedang akan membuka ruangan itu.

Pintu ruang sebelah sudah kubuka ketika Amera masuk ke ruang sebelumnya. Sayup-sayup kudengar cewek itu berseru, "Duh... Pak Cassidy, maaf ya nunggu lama. Pak Alec belum selesai meeting-nya. Maaf... maaf... emang lampunya mati, ya? Kok nggak ada yang hidupin, sih? Maaf, ya, Pak...?"

Cassidy???


Baca versi karyakarsa juga, ya... ada 3000lebih kata. Di wattpad ini hanya 1500

yang punya bukti dukungan lengkap seperti biasa bisa simpan pdf full-nya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top