Chapter 24. The Contract Match
Aaah... komennya dikit ahhh... mulai males, aaah...
Ayo, dong, semangat lagi komennya. Biar aku semangat update jugak.
Anyway... chapter 29 udah update di karyakarsa, ya, dan ini SPECIAL PART.
Untuk part 24 ini yang aku post draft awalnya, jadi buat baca part yang lebih enak dibaca dan dua kali lebih panjang, chapter 24 ini silakan dibaca di Karyakarsa. Di sana, karakter Ruben jauh lebih jelas tergambarkan.
Selamat membaca kedua versinya!
Chapter 24
The Contract Match
"Menurutku... kamu harus memperbaiki struktur kalimatnya, Ben. Mungkin maksudmu... mau nggak kamu jadi pacarku?"
"Aku mau," jawab Ruben jahil.
"Maksudku kalimat kamu ke aku...," kesahku. Tak ayal, pipiku bersemu. "Gini aja deh, kita omongin lagi habis kamu bawa aku ke IGD. Beratku 72KG dan kemungkinan 50%-nya lemak semua, bukan otot atau tulang. Kalau kamu giniin aku lima belas detik lagi, tulang punggungku pasti cidera. Dan kalau kamu giniin aku karena kamu pikir kayak begini ini romantis, mungkin kamu perlu nembak cewek yang jauh lebih langsing."
Ruben mengayunku. "Aku serius, Cassie. I have zero interest to be famous."
Jantungku masih berayun gara-gara ayunannya tadi, belum berdegup normal, tapi sudah mengejutkanku dengan satu kalimat yang mengingatkanku pada seseorang. Keb. Dia lagi ngapain sekarang? Kenapa ponselku belum berdering juga?
"Cassie...."
"Everybody with talent like yours has to be famous," kataku, meyakinkan. "Kamu mau nyanyi-nyanyi dari kafe ke kafe doang sampai tua? Akhir-akhir ini juga nggak banyak kafe yang ngasih live music buat pengunjungnya. Mereka cuma perlu langganan spotify, orang-orang ke kafe buat kerja, ngobrol, bukan buat dengerin musik. Kalau kamu terkenal, kamu bisa bikin gig-mu sendiri, kamu bisa pindah dari tempat dengan sirkulasi udara yang buruk kayak gini. Working in a great studio, dibayar mahal... dan... I don't know... dating hotter chicks all you want?"
Ruben malah ketawa.
"Stop laughing. You're making me blush, and I am serious too, Ruben. Kalau kamu bilang begitu, aku ngerasa bersalah. Tapi kalau aku milih nurutin rasa bersalahku... aku bisa kehilangan pekerjaan. Alec marah banget waktu dengar aku minjemin kamu duit dan keberadaanmu malah jadi nggak jelas kayak gini."
Alisnya menukik, "You told them?"
"Aku nggak punya pilihan," kataku jujur. "Well... mungkin aku punya pilihan, tapi kredibilitasku akan makin dipertanyakan kalau aku nggak punya jawaban apa-apa setelah semingguan lebih kamu nggak bisa dihubungi."
Napasnya terembus, tapi dia nggak kelihatan kesal, atau marah. Malah, dia merenggut pinggulku makin erat dan membawa pinggangku semakin rapat ke pinggangnya. Darahku berdesir. Ada sesuatu yang nggak seharusnya kurasakan, kurasakan di sana. "Kamu tahu kenapa aku langsung bilang iya waktu kamu nanya apa aku punya waktu sebentar?"
"Kenapa?"
"Karena aku ngelihat anstusiasmemu dengerin suaraku. Bahkan waktu semua orang mengernyit sama laguku sendiri yang nggak dikenali kuping mereka, you were listening with your eyes shining bright. That moment I thought... aku butuh seseorang yang dengerin aku seperti kamu dengerin musikku waktu itu buat mengasah kreativitasku. Aku sudah lama nggak kencan sama siapapun, all my songs are dull and lonely... I wanna make something hyped, and fun, and happy."
"Terus...? Buat siapa semua itu kalau kamu nggak terkenal? Buat orang-orang yang mengernyit, atau orang-orang yang bertanya-tanya lagu Ed Sheran track mana yang kamu mainkan?"
Hidung Ruben mengerut, dengan berani, dia mengadunya ke hidungku. "I really like you, stop making me fall in love kalau kamu nggak mau jadi pacarku."
"Ben...."
"Kamu nggak suka aku?"
"Aku—"
Dua minggu yang lalu, aku pernah terjaga semalaman gara-gara chattingan sama orang ini meski seharian kami sudah berduaan di kos pengapnya. Dengerin dia bikin lagu cinta chord by chord, mencoret-coret buku tulis Sinar Dunia-nya untuk mendapatkan lirik yang berima. Enjoy every minutes of it. Bohong kalau aku nggak suka sama dia. He's sweet. He's gorgeous. He wrote you a song. What's not to like?
What's not to like, Cassie?
Kenapa kamu malah mikirin cowok arogan yang terang-terangan body shaming kamu setiap waktu, constantly telling you that you need to change, dan meyakinkan kamu bahwa jadi saudara tirinya adalah ide yang buruk karena kamu pasti bakal naksir sama dia? Kenapa kamu mesti peduli sama rencana jahatnya misahin Mamimu sama Papanya by pretending to be a couple?
This guy in front of you, Cassie, offer you a real relationship you have never had.
Kamu tahu kamu berminat sama dia, Cassie. Kenapa kamu berubah pikiran begitu cepat? You're not your mom.
Aku keasyikan melamun, nggak sadar sedari tadi kalimatku menggantung dan bibirku membuka kecil dan mataku—lagi-lagi—terpusat pada denyut lambat di nadi leher Ruben. Saat aku mengesiap, ujung ibu jari Ruben tengah memainkan bibir bawahku. Bola mataku naik mencari matanya, tapi dia sedang asyik memandangi bibirku.
"Kenapa aku?" tanyaku.
Ruben menggeser jarinya di permukaan bibirku, dari kanan ke kiri. Dia bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari sana. "Kenapa enggak?"
"Look at me."
Baru dia berhenti dan mempertemukan matanya denganku. Senyumnya kembali hadir. "I am looking at you."
"Kamu bisa dapetin cewek lain yang jauh lebih okay daripada aku, Ruben. You probably likes me because... aku satu-satunya orang yang... percaya sama bakatmu? Yang ngasih kamu kesempatan, yang membuatmu merasa... lebih berarti?"
"Apa kamu paham arti kata-katamu sendiri, Cassie?" sahutnya. "Aku miskin, cewek mana yang mau sama aku?"
"Sebentar lagi juga kamu bakal jadi orang kaya."
"Itulah. Apa yang istimewa dari seorang cewek yang mendekat saat seorang cowok udah jadi orang kaya?"
"Remember one thing...," kataku. "Aku mendekat karena aku yakin kamu bisa jadi orang kaya."
"Jadi kamu nggak suka aku?'
"I didn't say that."
"So you like me?"
"Ruben...," keluhku putus asa.
Ruben mengekeh. Dia berhenti mendekap dan menggamit tanganku. Membawaku duduk di tepi tempat tidurnya, satu-satunya tempat untuk duduk selain di lantai. Seingatku, inilah kenapa waktu itu kami berciuman. Dia duduk dengan gitar di pangkuannya, khusyuk memainkan lagu-lagunya. Aku yang tadinya juga duduk perlahan berbaring miring melepas lelah setelah seharian bekerja. Mengagumi punggungnya yang lebar dan otot-otot trisepnya yang aktif setiap kali jari-jarinya memetik dawai gitar. Di depan kosnya ada gym dengan biaya bulanan sangat murah. Ruben biasa melatih otot-ototnya di sana kalau dia capek bermain gitar. Kadang dia kerja sambilan di situ kalau owner-nya lagi nggak bisa jaga. Selain itu, dia menyambung hidup dengan main musik di bar atau kafe, dan menjalani pekerjaan serabutan di sana-sini.
Is he an ideal boyfriend kalau dia nggak tanda tangan kontrak yang kami siapin? Tentu saja enggak. Akan tetapi, tanpa kontrak itu pun, tawaran buat jadi pacarnya tetap lebih baik daripada hubungan pura-pura sama cowok yang ngambek tanpa sebab meski sudah kujelasin kenapa aku harus merespons panggilan Ruben. Iya, kan?
That night we kissed, malam sebelum dia minjem tabunganku buat biaya berobat ibunya, he called me to listen to his new song. Lagunya bagus, aku memintanya mengulang sekali lagi. It was romantic. Malam hari, di kamar sempit bersama seorang cowok supercool yang benar-benar bisa main gitar dan bikin lagu sendiri. Dia bilang, lagu pertama gratis, putaran berikutnya harus bayar. Aku ingat tawaku yang berderai malam itu. Kupikir dia bercanda, jadi aku merogoh saku celanaku dan mengeluarkan selembar sepuluh ribu rupiah. Ruben menolak. Bayarannya bukan uang, katanya. Lalu dia maju, seinchi dari bibirku dia berbisik, "Kalau kamu nggak mau dicium, tolong mundur sekarang juga."
Dan aku nggak mundur.
And then puff. Setelah dia ngambil uangku, dia menghilang.
Sekarang, aku mencari-cari di mana diriku malam itu di kamar ini. Kenapa aku nggak kunjung menemukannya kembali? Apa hilangnya Ruben bersama uangku adalah sebuah turn off yang teramat sangat susah kutepis?
Atau jangan-jangan... aku sedang mempertimbangkan kemungkinan lain? Kemungkinan yang jauuuh lebih kecil dan berpotensi melukai hati orang lain?
"Ruben... aku mau nanya."
Ruben masih menggamit tanganku.
"Kalau ada dua pilihan... kamu bakal milih yang lebih sulit, atau yang lebih mudah?"
"Bisa lebih mengerucut lagi nggak pertanyaannya? Dalam hal apa?"
"I don't know... cinta...?"
"Apa aku pilihan yang sulit buatmu, Cassie?"
Bukan, kamu justru pilihan yang sangat mudah.
Gamitan tangan Ruben mengerat di sela-sela jari tanganku. Dia mengangkatnya bersama tangannya dan mengecup punggung tanganku. "Dalam cinta, kamu nggak memilih yang termudah, atau tersulit. Itu bukan pilihan. Dalam cinta, kamu memilih yang mana yang paling kamu yakini. Tapi, bagiku pribadi... biasanya yang paling memberatkanmu, di situlah keberpihakanmu berada. Kalau kamu memikirkan salah satu syarat dalam kontrakku dari label itu... kita selalu bisa menjadikannya rahasia buat kita berdua... gimana?"
Senyumku terkulum kecut. To be honest, memang itu bikin posisi Ruben dan Keb sama-sama jadi pilihan yang sebanding beratnya.
Sampai Ruben kembali kubiarkan mengulum bibirku, tas tanganku masih bergeming. Tidak ada getar dari ponselku.
Pukul empat sore, aku memarkir mobil di halaman paviliun. Max, yang kebetulan kerja shif malam dan baru mau memanaskan motor barunya urung mengenakan helm dan ngasih tahu tadi ada cowok nyariin aku. Keb lah pasti. Siapa lagi? Dia masih absen dari ponselku, nggak ada ngasih tahu dia ke sini, atau apa.
Aku masuk rumah, belagak nggak peduli. Bersih-bersih, pesan makan malam via aplikasi dan menunggu. Menunggu dan menunggu. Tetap nggak ada tanda-tanda Keb bakal break his silence. Aku sudah bertekad nggak mau mengawali. Dia yang harus minta maaf kalau mau kami bicara lagi. Kali ini negosiasiku bakal jauh lebih a lot.
Pintu rumahku diketuk, driver layanan antar menyebutkan nama aplikasinya. Aku keluar, menerima pesananku. "Dicek dulu, Mbak, pesanannya udah lengkap belum," pintanya.
"Nggak usah, Pak. Udah bener," kataku, tanpa membuka kantung kertas di tanganku. Driver itu pergi, tapi aku nggak kunjung menutup pintu. Meski terkejut setengah mati, aku bergeming mengangkat daguku tinggi-tinggi.
"Let me in," Keb memecah keheningan.
"Nggak," tegasku. "You need to learn to apologize."
"Apologize," decihnya. Matanya melirik bungkusan di tanganku. "Kamu pesan apa itu?"
"Bukan urusanmu," jawabku.
"Urusanku, dong," katanya, mencoba merebut bungkusan di tanganku, tapi aku lebih cepat menyembunyikannya di balik punggung. Keb meraih dari arah berlawanan, aku masih bisa mempertahankan bungkusanku. Daguku terangkat makin tinggi.
"Okay," katanya. "You ask for this."
Alih-alih menyerah dan ngomong baik-baik, dia malah bersikap aneh. Di depanku, dia membentuk sebuah lingkaran dengan lengan di atas kepalanya. Saat aku kebingungan ngeliatin kegilaannya itu, dia maju selangkah dan lingkar lengannya tadi mengurung badanku. Detik berikutnya, lingkar lengannya mengerat. Mendekapku kencang. Aku nggak bisa bernapas atau memprotes, tahu-tahu dia mengentak, menjunjung badanku. Kakiku terpisah dari lantai. Keb melangkah, memaksaku melewati ambang pintu bersamanya.
"Keb!" seruku tertahan. Suaraku mencicit. Bungkusan di tanganku jatuh, aku susah napas. "Le—pasinnn!"
"Siapa yang harus minta maaf sekarang?" raungnya. "Enak aja good bye-good bye seenak jidatmu. Kamu nggak bisa lari, Cassie. Kamu punyaku!"
Part depan buat yang mau baca chapter 19-30 versi karyakarsa tapi ga bisa akses karyakarsa bisa siapin dana, ya. Nanti kuinfoin caranya.
Buat yang bisa akses KK, ya akses KK karena lebih cepat update di sana.
Buat yang non KK kesempatan dukung versi KK per sepuluh part akan dibuka setelah paket per sepuluh part itu selesai diposting di KK.
Paham ya?
Jadi misal di Karyakarsa terbit paket 31-40, di sana akan update berkala part 31 sampai 40.
Nah kesempatan buat non-karyakarsa baca versi karyakarsa part 31-40 akan dibuka setelah part 40 update di karyakarsa.
Sambil nunggu bisa baca dan komen versi wattpad-nya.
Dobel2 dong bacanya?
Iya kan kalau mau aja, dan emang versinya jauh berbeda. Dua kali lebih puanjang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top