Chapter 23. Match Request




Halooo...

Unmatch The Parents Chapter 28 udah terbit di karyakarsa dengan versi jauh lebih panjang dari yang bakal di-update di wattpad nanti, ya.

Untuk Chapter 23 ini juga, kegemesan Cassie sama kelakuan Keb juga bisa dibacanya di Karyakarsa. ini adegan Ruben doang. Di karyakarsa ada 1500 kata lagi yang bisa dibaca ^^ dan banyak banget clues yang suatu hari di masa depan akan bikin kamu ber-oooh jadi gitu...???

Hehe

Langsung dukung paket aja karena jatuhnya lebih hemat.

Ayo yang baca di Wattpad, jangan lupa VOTE sekali, komennya yang buanyak!

Selamat membacaaa!


Chapter 23

Match Request


Waktu aku nyampe di depan kamar Ruben, pintunya udah dalam kondisi sedikit terbuka, tapi aku tetap mengetuk.

Ketukanku mendorong pintu itu membuka lebih ke dalam, mataku mencoba mengintip. Namun, aroma pengap yang menyeruak dari balik pintu dan menyambut indra penciuman bikin mukaku ketarik ke belakang secara refleks. Hidungku mengerut. Apak banget baunya. Bau kecoa bukan, sih, itu?

Aku lagi ngendus-ngendus, Ruben muncul sambil pakai baju,.

Dia bukain pintu lebih lebar seraya buru-buru membenahi kaus yang baru nyampe di leher. Kaus polos berwarna putih menutupi dada bidang dan bagian atas pusarnya yang ramping penuh massa otot. Aku mengalihkan tatapan ke urat nadi di leher Ruben sementara kaus itu meluncur ke pinggangnya. Nadi itu berdenyut lambat. Berbanding terbalik dengan denyut jantungku sekarang.

Sial ganteng banget. Pelukable banget lagi....

Kalau soal bodi, Ruben jauh lebih gagah dari Keb yang kurusan. Kegantengan mereka memang sebelas dua belas. Keb lebih terawat karena punya duit, muka Ruben agak dekil, tapi jadi lebih macho. Beda yang lainnya, ekspresi Ruben ramah-misterius. Terkesan pasif, tapi mau mendengar saat pertama kali disapa. Setelah kenal lebih jauh, default mukanya selalu hangat penuh kasih.

Makanya, lima puluh juta melayang dari tanganku dengan mudah.

"Sorry, kamarnya kelamaan kosong, bau, ya?" cengir Ruben.

"Hai, Ruben," aku melambaikan tangan kikuk.

"Hai, Cassie...," balasnya sambil mengulas senyum samar di bibir tipisnya yang lebar.

Dia nggak punya lesung pipi, tapi garis senyumnya sangat karismatik. Kalau dia tersenyum tipis, matanya nggak ikutan senyum, malah biasanya menatap semakin tajam. Apalagi, kalau dia lagi dengerin kita ngomong. Seluruh perhatian terpancar dari tatapan intensnya. Kalau tatapan bisa menancap di hati, seperti itulah tatapan Ruben ketika dia menopang dagu dan sesekali tersenyum saat mendengar cerita lucu.

Dari situ aja aku langsung yakin dia memang terlahir buat jadi idol, bakatnya adalah bonus. Some people like Ruben hanya menunggu untuk ditemukan. Dia bisa difoto dengan senyum dan tatapannya lalu menghasilkan ratusan juta rupiah, nggak nyanyi juga nggak masalah.

"Bengong," celetukku.

"Sorry, Cassie," katanya pendek. Ruben menekan tengkuk dan memutar lehernya malu-malu. Kepalanya agak menunduk, bola matanya naik mengontak manik mataku. "Aku malu ketemu kamu sebetulnya...."

"Udah seharusnya, kan, Ben?" tanggapku, hati-hati. Ruben mengalihkan pandangan, tangannya memijat tengkuk. Salah tingkah. "Nggak ngasih aku masuk?"

"Eum... tempatnya... berantakan...."

"Kamu kan nyuruh aku ke sini, kok nggak disiapin kalau menurutmu berantakan?"

"Aku udah berusaha... tapi kamu ternyata datang lebih cepat dari perkiraan. Kamu masih tinggal di rumah paviliunmu yang waktu itu?" tanyanya.

"Masih."

"Harusnya kamu baru nyampe paling enggak setengah jam lagi. Dan ini Minggu pagi. Kirain kamu baru bangun, masih harus mandi... apalagi tadi kamu lagi ada... tamu...?"

"Aku dari tempat mamiku, jadi bisa lewat tol dan langsung ke sini...," terangku, nggak mau ngebahas yang lain-lain.

"Jadi... tadi itu bukan tamu kamu?"

"Ya... bisa dikatakan begitu...."

Ruben kelihatan lega, "Kamu mau kita jalan keluar aja nyari sarapan di dekat-dekat sini?"

"Ben... ngapain sih mesti malu? Aku kan udah sering ke sini...."

"Tapi kotor, Cas...."

"Kotor... atau... ada orang di dalem?" tanyaku menyelidik.

Ruben terkesiap mendengar terkaanku. "Nggak ada lah, Cas. Kamu tahu sendiri tempat ini, sempit, kurang ventilasi, kalau jarang dibersihin suka didatengin kecoa. Nggak jauh dari sini ada tempat pembuangan sampah. Beberapa hari ini aku nggak pulang, makanya... nggak keruan baunya...."

"Kalau ada orang di dalem juga nggak apa-apa, kok, Ben...."

"Nggak ada, Cas... beneran karena berdebu, pengap dan kotor... kasihan nanti kamu batuk-batuk...."

"Aku ke sini dengan alasan profesional aja. Aku mau kamu ke kantor dan tegasin sekali lagi bahwa tanda tangan kontrak sama label rekaman itu bakal benar-benar terjadi. Itu aja."

Ruben masih belum berkata-kata. Dia malah memandangiku lebih lekat dari sebelumnya, seakan ia sedang berusaha menyelami kedalaman jiwaku.

Aku membasahi bibir, berkedip satu kali, dan membuka kelopak mataku lebih lebar untuk dia selami. "Kenapa?" tanyaku.

"Are you serious, Cassie?" balasnya setelah beberapa saat membisu. Suaranya terdengar agak terjepit. Seperti dipaksa keluar saat ia belum siap.

"Maksudmu serius? Tentu saja aku serius."

"Maaf kalau reaksiku agak lambat," ucap Ruben parau. "Ya... aku yakin kamu pasti mau nemuin aku. Aku pegang uangmu... dalam jumlah banyak... kamu juga butuh tanda tanganku di kontrak itu. Aku juga butuh. Makanya aku nggak akan lari. Kita saling membutuhkan. Cuma... aku agak kesulitan memproses hal lainnya...."

"Hal lain apa?"

Tatapan Ruben memerangkapku, jantungku berhenti berdetak saat dia berkata, "Hal lain yang terjadi... di antara kita...."

Pipiku sontak terasa puanas, aku yakin mukaku merah. Hal lain yang terjadi di antara kita? Kami? Tubuhku membeku. Hampir-hampir menggigil. Ini, lho... yang nggak kurasain dari Keb. Kata-kata Ruben seolah bisa menyihir.

"Cassie...," panggilnya.

Aku agak mundur.

"Jangan lari, ya?" pintanya.

Oh Tuhan....

Ruben yang tingginya kira-kira sama kayak Keb agak membungkuk untuk mensejajarkan tinggi kepalanya denganku. Aku menahan tegukan ludah, agak menarik otot leher untuk menghindar. Puncak hidungku dan hidungnya nyaris menempel. Gerakanku nyaris tak kentara, tapi Ruben bisa merasakannya. Dia bernapas di pipiku dan bertanya. Nadanya berat, artikulasinya jelas, temponya lambat, suaranya serak, "Are you the same girl I kissed the other night?"

Rongga napasku menutup, sebab kalau enggak, napas hangatnya yang akan kuhirup.

"The same girl you dodge after she lent you the only saving she had," kataku, nggak kusangka, suaraku jadi sama seraknya dengan Ruben.

Saat itu aku menyadari, bukan hanya aku, kami berdua sedang sama-sama merasakan pusaran emosi yang menggelora di dalam dada. I can't blame myself for this. Ruben, seperti yang kubilang, dia terlahir sebagai idola. Selayaknya beriris takdir dengan seorang idola, aku bisa memaklumi kepergiannya, tapi bukan berarti aku punya pilihan saat dia kembali, selain menerimanya lagi.

Wajah Keb terlintas di benak, tapi langsung menguap oleh kejutan tawa kecil Ruben. Aku bernapas kembali.

Aku memprotes, "Kok ketawa?"

"Bukan... aku nggak bisa nahan rasa senengku... karena kamu ada di sini...."

"Tentu aja aku di sini... kamu di ujung dunia juga... bakal kukejar... asal aku tahu kamu di mana. Kalau enggak... aku bisa dipecat!"

"Aku benar-benar minta maaf... tapi aku nggak berniat bikin kamu celaka...," katanya.

"Nggak apa-apa... yang penting kamu udah di sini...."

"Ya... aku udah di sini," Ruben mengulang. Masih tepat di hadapanku, cowok itu melipat bibirnya. Fokus matanya turun lebih ke bawah, kembali ke mataku. Turun lagi ke celah bibirku, naik lagi ke mataku. Reaksi kimia kembali terjadi di badanku, tapi aku merasakannya lebih dulu di wajahku. Gigitan deretan gigi atas ke bibir bawahku sendiri sedikit bisa menahan reaksi itu menjalar dan merangsang syaraf-syaraf motorikku melakukan sesuatu yang mungkin akan kusesali.

Bibir Ruben sendiri terlepas dari lipatan dan membentuk senyum yang perlahan berkembang semakin lebar. Dia lalu menegapkan badan lagi dan menyimpan kedua tangan ke dalam kantung celana jeans. Menarik napas panjang. Membuangya pendek. Membuatku berpikir dia sama gugupnya denganku.

Dengan pipi bersemu, Ruben bertanya, "Kamu keberatan nggak sama debu?"

"Oh... nggak, kok."

Ruben menyingkir dari ambang pintu, and just like that, aku berada di balik pintu kamarnya. Kamar itu cuma sepetak. Kecuali di dalam kamar mandi, kupastikan nggak ada orang lain seperti tuduhanku sebelumnya.

Aku mengucek hidung. Sirkulasi udaranya buruk. "Kamu bisa buka jendelanya, Ben...," saranku.

Persis di balik badanku, Ruben menjawab, "Nggak bisa dibuka. Macet."

Aku baru ingat kami selalu kayak di dalam sauna karena jendela macet dan nggak ada AC, cuma ada kipas angin tua. "Kalau gitu buka lagi aja pintunya."

Alih-alih membuka pintu, Ruben yang berdiri di belakangku malah makin lekat di punggung.

Hentinya detak jantung menjegal embusan napasku. Ketika dengan sangat hati-hati dia meletakkan kedua tangannya samar di lekuk pinggangku yang lebar, kelopak mataku memejam. Rahangku mengatup paksa.

"Ruben...," aku mencicit.

Satu sentuhan kecil itu saja mengusir keresahanku akan Keb, sejuta rencana jahat kami memisahkan Mami dan Papanya, setumpuk concern-ku mengenai kontrak, utangnya sebesar lima puluh juta, dan segala keterjagaanku untuk melindungi diri dari kemungkinan dia memanipulasiku sekali lagi.

"Kalau pintunya dibuka... nanti orang yang lewat... bisa lihat kita," bisiknya.

"M-memangnya... kenapa... kalau... orang yang lewat ngelihat kita?"

Ruben mengambil jeda, dia lantas semakin maju sampai bagian belakang telingaku bisa merasakan belaian napasnya. "Aku sih nggak masalah orang ngelihat aku... tapi akan jadi masalah... kalau mereka ngelihat kamu...."

Sekujur tubuhku menggelenyar mendengar bisikannya, tapi pada saat yang sama, aku jusru terbebas dari keterpakuan. Kuayun satu langkah maju, lalu berbalik berhadapan dengannya. Ruben nggak sempat menahan.

"Kamu malu mereka ngelihatin aku di dalam kamarmu? Gitu maksudmu?"

"Bukan itu maksudku, Cas... maksudku... kalau mereka ngelihat kita lagi...."

"Lagi apa?"

"Lagi...."

"Lagi apa, sih?"

Ruben membunyikan lidah, "Udahlah lupain aja.... Kubuka pintunya, ya?"

Aku menanti dengan sebuah pertanyaan, "How's your mom?"

Tangan Ruben masih mengambang setinggi pinggangku habis buka pintu. Dia mengusap pahanya sendiri sambil menjawab, "Yah... udah nggak masalah lagi... oh iya... tunggu sebentar."

Ruben mengambil sesuatu dari dalam lemari pakaiannya.

Sambil nunggu, bola mataku mengelilingi setiap sudut kamar. Tanpa sadar, mukaku mengerut. Perasaan yang sama seperti saat melangkah masuk kali pertama ke kamar ini muncul lagi. Perasaan iba, sekaligus jijik sama kondisi tempat tinggalnya.

Tempat ini menyedihkan banget. Bukan cuma sempit, tapi pengap dan bau. Sama sekali nggak pantas buat orang kayak Ruben. Walaupun misal dia nggak akan jadi seorang idola, tempat ini tetap nggak layak. Aku yakin Ruben orang yang baik, dia cuma kepepet sama kondisinya yang serba terbatas.

"Cassie...."

"Hm?"

"Ini...."

"Apa ini?"

"Buka aja...."

"Hadiah?" tanyaku.

"Bisa dibilang begitu," kata Ruben, memintaku membuka bungkusan plastik hitam di tangan.

Aku meraba. Hadiah kok... nggak dibungkus kado... tapi dibungkus plastik item?

"Kamu nggak perlu ngasih aku apa-apa, Ben... yang penting besok kamu datang ke kantor."

Ruben nggak sabar dan merebut lagi bungkusan tadi, lalu membukanya, "Ini dua puluh juta," katanya. "Itu buat kamu. Nanti kalau aku dapat uang dari kontrak... lima puluh jutamu... tetap aku balikin...."

"Dari mana kamu dapat uang dua puluh juta itu?" tanyaku tanpa buru-buru menerima. Ruben terus mengulurkannya. "Aku mungkin nggak berhak nanya-nanya, tapi Ben... bentar lagi kamu bakal jadi sorotan publik. Kamu lebih baik minjem dari aku, daripada orang lain. Temenku ada yang ngelihat kamu mondar-mandi di kosan cewek nggak jauh dari tempatnya tinggal. Apa ini ada kaitannya dengan itu?"

"Nggak ada, kok... itu sisa uang yang kupinjem kemarin. Aku cuma pakai tiga puluh jutanya aja...."

"Kalau gitu... kamu cuma minjem tiga puluh, nggak usah dibalikin lagi lima puluh, dong...."

"Jangan, Cas. Itu udah kuputusin. Aku ngerti kekhawatiranmu. I didn't do anything stupid..., apalagi... nemuin cewek lain dan bohongin kamu demi uang lima puluh juta.  Aku tahu aku bakal segera nerima banyak duit, dan aku nggak mau usahamu ngebantu aku sia-sia."

"Aku lega denger kalimat pertamamu, thanks, tapi beneran... aku nggak mau nerima sogokan. Nggak bisa. Kalau ketahuan perusahaan... aku malah bisa kena lagi. Kalau kamu tanda tangan... aku bakal terima bonus, kok. Itu udah cukup, Ben."

Ruben menyerah, "Kalau gitu... kamu terima cicilan?"

"Sure," anggukku, tersenyum, uang di dalam plastik hitam itu kusambut.

Ruben belum melepas ujung lainnya. "Jawab dulu... dan jawab yang jujur... kamu pikir aku nyium kamu buat lima puluh juta ini?"

"Nggak," aku menggeleng. "Aku tetap akan minjemin kamu duit itu sebab aku percaya sama tingkat kecerdasanmu. Aku sempat hilang kepercayaan, tapi aku yakin kamu nggak bodoh. Hanya demi tulang kecil, kamu nggak akan ngelepas seekor sapi."

Ruben tersenyum. "Seekor sapi," katanya.

Aku menyambar bungkusan dari tangan Ruben dan memukul dahinya. Ruben menangkap pergelangan tanganku dan dengan sigap maju selangkah.

Dalam satu hitungan, gerakanku terkunci oleh lengannya yang melingkari pinggangku erat.

"Aku minta kamu jadi pacarku. Kamu harus mau, ya?"


Baca bagian depan part ini di karyakarsa!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top