Chapter 21. Morning Match

CHAPTER 26 VERSI EXTRA UDAH TERBIT DI KARYAKARSA DULUAN YA. Langsung baca aja buat yang udah langganan.

Lho... kok komennya jadi dikit? Kalau males komen, aku repost2 ya biar kamu tambah kesel 🤣🤣🤣🤣🤣

Yang udah baca di Karyakarsa, juga boleh kok baca dan komen lagi di sini.

Biar tau draft awalnya cerita ini kayak apa.

Yang baca di wattpad doang, gpp, tapi jangan lupa vote dan komen, dong... biar cepet ku-update juga. Hehe...

Seperti biasa, baca part goblog ini lebih lengkap di karyakarsa, ya.

Di sana udah up sampai part 25. Langganan aja  biar kamu agak saving cost.

Selamat membaca di kedua platform.


Anyway, kemarin aku jalan-jalan ke Solo. Ke Heritage Rasamadu. Masuknya cuma 35K. Terus di sana bisa foto sama burung hantu lucu-lucu. Ngasihnya sukarela aja, kok, tapi jangan dikit2 ya kasihnya. Aku kemarin ngasih 50K satu orang aja difoto banyak bangeeet!

Lucu yaaa

Chapter 21.

Morning Match


"Cassie...," Mami ngetuk pintu kamarku. "Kamu belum bangun? Cas... Mami duluan, yaaa! Cassie...?!"

"HMMM!!!"

"Kok tumben dikunci, sih? Kamu jadi jogging, nggak sama Keb?"

"HMMMH...."

"Ponselmu bunyi terus, tuh, kedengeran sampe kamar Mami! Bangun, dong, ntar Keb ke sini kamu masih molor! Udah, ya, Mami jalan!"

"HMMMHHH!!!"

Memang. Ponselku terus berdering.

Aku dengar, tapi malas bangun. Pernah nggak, sih, kamu ngerasa, nyaman banget tidur, lagi nyenyak-nyenyaknya, belum ingin bangun, terus ada bunyi-bunyian yang konstan dan sangat mengganggu. Lama-lama alam bawah sadarmu tahu itu berasal dari alarm atau ponsel, tapi kamu bersikeras nggak ngasih respons?

Itu yang kurasain sekarang.

Tidurku benar-benar lelap. Udara sejuk di pagi hari dan kehangatan yang melingkupi badanku bikin kelopak mataku lengket banget kayak dilem. Aku juga heran. Ini apa ya yang di badanku kok nyaman banget? Tiap hari aku bobo pakai selimut rasanya nggak kayak begini. I feel like someone hugging me so tight.

Hugging me so tight...?

Gara-gara kalimat terakhirku sendiri, kelopak mataku mencelang lebar. Aku mengedip. Bertanya-tanya aroma apa ini yang merangsang cuping hidungku kembang kempis? Aku menunduk. Serumpun rambut lurus bersarang di bawah daguku. Refleks, kuangkat tangan kiriku dari batok kepala yang menempel tepat di perpotongan dadaku itu. Sebelum memastikan sesuatu yang berat menimpa dadaku adalah kepala Keb, aku sudah menjerit, "KYAAAHHH!!!"

Keb nggak sempat bangun. Aku menjambak rambutnya, lalu kubanting kepalanya di atas kasur. Dia tersentak bangun, tapi belum sepenuhnya sadar. Aku meraba-raba tubuhku dengan cepat, memeriksa kalau-kalau ada yang ternoda.

Keb bangkit duduk sambil mengucek matanya, "Kenapa, sih?"

Saat itu, aku sudah memelototinya dengan penuh kesumat. Soalnya, dia bukan cuma tidur-tiduran di susuku, tapi juga menelangkupkan telapak tangannya di sana. Kerasa banget, mana masih anget. Hidungku mendengkus penuh angkara murka. Ngelihat aku menangkup kedua belah dadaku sendiri dengan ekspresi seperti banteng, Keb langsung menyadari perbuatannya. Dia langsung menyadari perbuatannya! Itu artinya dia sengaja!

Keb mengangkat kedua tangannya ke udara, bermaksud menyuruhku tenang.

"You did it on purpose," raungku, mengubah posisi dan menyiapkan kuda-kuda dengan menekuk kedua lutut. Keb hanya bisa pasrah menerima jejakan dua telapak kakiku di dadanya. Dia terdorong mundur oleh entakan superpower-ku, tangannya menggapai-gapai di udara sebelum keseimbangannya hilang dan badannya terjungkal dari atas kasur. Suara berdebam di lantai kamarku teredam oleh bantingan pintu depan Mami yang menggetarkan dinding-dinding rumah. Dia selalu begitu kalau aku susah bangun.

Keb menggeram buas. Ilmu meringankan tubuh bikin badannya bisa bangkit dari serangan jauh lebih cepat. Dia langsung mengaum, "Cassieee! Dua kali!"

"Hsst!!!" desisku, menahan serangan baliknya.

"Kamu ngebanting aku dari kasur dua kali," repetnya.

"You slept on and touched my boobs," balasku membela diri.

Keb urung membantah. Dari bawah, terdengar suara pintu depan kembali terbuka. "Cassieee?!"

"Sembunyi!" perintahku.

"No!" bantah Keb sembari melompat naik ke atas tempat tidur tanpa menimbulkan suara dan mendarat dalam posisi squat rendah seperti Natasha Romanov. Lengan kirinya di depan dada, mencengkeram permukaan kasur. Otot-otot lengan kanannya mengencang, terentang agak ke belakang, siap mengayun ke arahku.

Aku mengacungkan jari telunjuk ke arahnya. "Kalau kamu pukul, aku teriak."

Mami menambah volume suara jeritannya, "CASSIEEE!!!"

Aku dan Keb sama-sama menahan napas. "Answer her question," perintahnya, rahangnya mengatup. "Cassie... kalau dia tahu aku di sini... kita sama-sama akan kena masalah."

"I AM OKAAAY!" jawabku lantang.

"Kamu jatuh lagi dari kasur?!!!"

"Iyaaa!"

"Mami perlu naik bantuin kamu bangun, enggaaak???!!!"

"ENGGAK USAH!!!"

Begitu Mami benar-benar pergi, jariku kembali menuding Keb, "You touched my boobs!"

"Kapan?" serunya. "Aku nggak ngerasa! Aku tidur. Kamu yang lagi-lagi banting-banting orang seenaknya, orang nggak tahu apa-apa! Kecuali aku sengaja pegang-pegang. Minta maaf, nggak!"

Aku pura-pura meludah, lalu berguling lincah di tepi kasur dan mendarat tepat di lantai.

"Permintaan maaf nggak akan berlaku kalau kamu lari, Cassie," ancamnya. "Kalau ketangkap, kamu dilarang marah kalau aku pegang beneran biar impas!"

Aku nekat lari, Keb mengejar. Dia hampir menerkamku di pintu, untungnya aku nggak kesulitan memutar kunci, dan lebih cepat berada di baliknya. Terjadi adu kekuatan mempertahankan handle pintu. Aku menariknya supaya menutup, Keb menariknya supaya tetap membuka. Aku menyerah, pintu kulepas. Keb terhempas.

Kumanfaatkan waktu yang sempit saat Keb berusaha mengembalikan keseimbangan tubuhnya dengan lebih dulu menuruni tangga. Tadinya aku mau meluncur di pegangan tangga supaya nyampe di bawah lebih cepat, tapi aku ingat berat badanku sekarang enam puluh kilogram lebih berat dibanding lima belas tahun lalu. Fokusku ke depan adalah masuk ke dapur, mengambil centong atau spatula yang bisa kupakai sebagai senjata. Sayangnya, aku terlalu bersemangat dan kurang mempertimbangkan panjang gaun tidurku. Di anak tangga terakhir, aku melompat. Ujung jempolku mendarat menginjak ujung gaunku sendiri, aku terpeleset dan jatuh. Mukaku terantuk lantai cukup keras.

Keb melayang di atas badanku seperti macan kumbang, berbalik dan berjongkok tepat di depanku yang belum sanggup mengangkat kepalaku sendiri.

Dia mengekeh penuh kemenangan sambil menusuk-nusuk ubun-ubunku dengan jari telunjuknya. "Siapa suruh lari-lari pakai rok panjang, hm? HP-ku di atas lagi, kalau barusan direkam, pasti bagus buat tiktok," gumamnya. "Ayo bangun! Kamu nggak jadi kuapa-apain karena udah jatuh duluan. Sebagai hukuman karena ngebanting calon kakak tirimu sampai dua kali, jogging pagi ini akan jadi jogging paling mengerikan sepanjang hidupmu! Aku laper... ada sarapan apa di dapur?"

"Keb...," aku merintih. "Sakiiit...."

"MAMPUS!" salaknya kejam.

"Sakit beneraaan," aku nangis sambil berusaha bangun dan duduk melantai.

Keb baru mau ketawa lagi, tapi tahu-tahu matanya malah membola. Begitu badanku duduk tegap, sesuatu yang hangat terasa mengalir dari hidungku. Aku meraba bibirku, menjilat. Asin. Tangisku pecah makin kencang melihat cairan merah di ujung jari-jariku. Aku mimisan. Mimisan pertamaku seumur hidup.

"Kamu, sih..., bandel," Keb menggerutu.

Setelah dia belingsatan sendiri ngelihat banyak darah mengotori muka dan gaunku, Keb menemukan lap di dapur dan menyumpal hidungku. Aku dilarang mendongak atau berbaring dan malah disuruh mencondongkan badanku ke depan. Kalau aku mendongak, katanya darah itu bisa menyumbat jalan nafas, atau tertelan, dan bikin aku cepat meninggal. Darahku mengalir semakin banyak. Setelah beberapa saat, dia mencubit cuping hidungku. Aku bernapas lewat mulut. Sekitar sepuluh menit kemudian, darahku berhenti mengalir. Keb membungkus beberapa keping es batu dengan lap baru dan mengompres batang hidungku.

"Sini, biar kuperiksa, ada yang patah enggak," katanya.

Aku diam menurut. Isak tangisku sudah reda.

"Nggak ada yang patah," katanya setelah memijat-mijat lembut batang hidungku. "Duduk dulu di sini, jangan berbaring seenggaknya sampai satu-dua jam ke depan. Bahaya. Pusing?"

Aku mengangguk.

"Beneran pusing apa nyeri doang habis jatuh? Kalau pusing beneran, sekarang juga kita ke rumah sakit. Takutnya kalau tengkorak kepalamu retak, kasihan otakmu yang tinggal dikit itu makin bececeran ke mana-mana."

Aku meninju lengannya.

"Masih kuat mukul, berarti nggak apa-apa. Ada bagusnya emang badan gede kayak kamu gini, cadangan darah dan lemaknya banyak, jadi kalau cuma mimisan, nggak perlu khawatir," celanya enteng. Keb lalu menelengkan kepalanya ke kanan, lalu ke kiri. Dia mengangkat tangannya setinggi keningku yang terantuk. Aku agak mundur, tapi usapan jemari Keb tetap mendarat dan membelai kulitku lembut. "Sakit?"

"Dikit."

"Sayangnya cuma benjol dikit. Kalian ada yang sering mimisan?"

"Nggak ada."

"Berarti nggak akan ada dekongestan spray di kotak obat," katanya pelan. "Duduk situ dulu, aku beresin lantainya, lalu keluar bentar cari obat. Kamu mau sarapan apa? Apa aja yang kutemuin di jalan, ya?"

"Iyah."

"Kerikil-kerikil gitu mau, kan?" imbuhnya jahil.

Aku cemberut, pengin dia buru-buru enyah dari hadapanku. Soalnya, aku pengin ngusap keningku yang barusan disentuh Keb. Kok rasa hangatnya nggak mau pergi, sih? Bikin makin kesel aja. Mana hatiku menghangat lagi dengar nada suaranya berubah selama ngerawat mimisanku, meski kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap tengil dan nyebelin.

Lantai udah dibersihin, semua bekas darah udah dikumpulin jadi satu ke dalam plastik dan bakal ikut dibuang ke tempat sampah lain buat meninggalkan jejak. Keb pergi keluar buat jemput mobilnya yang diparkir di depan swalayan terdekat. Darahku sudah sepenuhnya berhenti mengalir, tapi aroma anyirnya masih ganggu. Aku ngebersihin bagian dalam hidungku pelan-pelan dengan lap basah. Meniup-niup supaya nggak ada darah kering yang tertinggal di dalam.

Setelah yakin aku nggak akan kenapa-kenapa, aku naik ke lantai dua dengan ekstra hati-hati. Di atas, kuganti gaunku dengan pakaian rumahan lain dan kusembunyikan gaun penuh noda darah itu ke dalam tas yang mau kubawa pulang. Mau kucuci di rumah aja. Gaun ini sebenernya emang bukan gayaku. Tidurku berantakan. Aku beli iseng aja karena ditawarin orang sekantor. Biasa, anak baru. Belum berani menolak. Ini juga kutinggal di sini karena aku nggak akan pakai beginian di kosan. Aku bisa diejekin Linda mirip Sundel Bolong kalau malam-malam nongkrong di teras pakai beginian.

Ponselku mengedip.

Keb mengirimiku pesan, "Don't shower with warm water."

Cuma kubaca. Aku baru ingat belum mengecek ponsel sehabis bangun tidur gara-gara insiden konyol barusan. Lagi-lagi nomor nggak dikenal. Mana nelponnya sampai belasan kali sejak semalam. Ada perlu apa, sih? Masa mau nipu orang aja segiat ini. Lagian, emang masih ada ya orang yang ketipu telepon iseng di zaman semaju ini? Mau kuabaikan, tapi penasaran. Dia nggak ninggalin pesan apapun lewat SMS atau pesan WA. Telepon. Nggak usah. Telepon. Nggak usah. Nggak usah aja, deh. Aku harus mandi. Bentar lagi Keb balik. Dia udah kirim pesan kayak gitu, berarti dia berharap aku sudah mandi waktu dia kembali.

Penelepon gelap itu ngehubungin sekali lagi waktu aku mandi.

Telingaku menangkap suara langkah Keb di bawah, dia melewati tangga, menuju dapur. Gemeresak plastik terdengar disusul langkah-langkah cepat Keb yang berhenti di ambang pintu kamar. Dia mengernyit. Ponsel ada di telinga kananku.

Di ujung sana, seseorang menyebut namaku.

"Ruben?" tanyaku.

Alis Keb menukik tajam.


Part ini lebih bikin happy versi karyakarsa-nya, lho... cuma 5K aja, kok ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top