Chapter 20. Match on Her Bed
Saat kamu baca ini, Unmatch The Parents di Karyakarsa udah update duluan sampai part 23, atau malah lebih, lebih panjang tiap part-nya, dan lebih seru, ya.
Tiap part nggak ada yang sama dengan versi wattpad karena berbayar. Jadi misal kamu menemukan cerita ini saat cerita ini udah tamat pun, kamu nggak akan rugi dukung di karyakarsa.
Tiap part-nya bisa didukung dengan IDR 5K, tapi aku bikin pilihan lebih hemat dengan dukung paket (tiap paket berisi minimal 10 part dengan harga lebih murah, IDR 35K)
Part-part special atau adegan dewasa nggak akan ada di wattpad nantinya, hanya di karyakarsa.
Silakan baca juga versi karyakarsanya kalau punya uang lebih, kalau enggak nggak apa-apa, semoga puas dengan versi wattpad, jangan lupa vote dan komen. Be a good reader.
Yang udah baca versi karyakarsa juga, silakan baca versi wattpad biar kerasa bedanya.
Selamat membaca!
Love youuu,
Kin
Chapter 20
Match on Her Bed
"Cassie? Cassie itu suara ribut-ribut apaan? Kamu enggak apa-apa?"
Lengan Keb masih melingkar erat di perutku. Kakiku juga masih melayang di udara setelah dia mengentakku ke atas supaya sekeping biskuit yang melintang di tenggorokan termuntahkan kembali. Kepingan biskuit itu masih utuh, cuma berlumur ludah kental. Aku meluat dan benda itu jatuh ke lantai. Mami sudah berhenti mengetuk. Aku dan Keb diam mematung. Tepat saat handle pintu mulai bergerak, Keb membuangku begitu saja. Aku nggak siap dan tubuhku berdebam di lantai. Bajingan itu melesat ke balik pintu, sehingga ketika Mami mengayun handle di tangannya, dia tersembunyi.
Mami mengerutkan alis, daun pintu tertahan tubuh Keb.
"Mami!!!" aku menjerit sebelum Mami melongok memastikan apa yang menahan pintu dan menemukan cowok itu di dalam kamarku tengah malam begini. Ngapain coba dia balik lagi terus manjat jendelaku segala? Kalau dia nggak ngagetin, aku nggak akan tersedak. Tapi coba aja ntar kalau aku nyalahin dia, dia pasti bilang aku nggak tahu terima kasih setelah dia menyelamatkan nyawaku.
Mami melupakan pintunya. "Kamu kenapa?"
"Aku... aku... kepleset," jawabku terbata.
"Are you okay?"
"Yes!" bentakku. "Please... aku nggak apa-apa... aku... aku cuma...."
"Oh, Cassie...," keluh Mami prihatin.
Kuikuti arah pandangan mata Mami yang tertuju ke bungkus biskuit dan serakan keping-keping biskuit di lantai. Aku nggak bisa lagi nyegah Mami masuk. Nyawaku hampir melayang saat melihat Keb dengan sigap menyelinap tepat di balik punggung Mami dan keluar kamar. Mami sama sekali nggak menyadari gerakan itu. Keb memang ahli bela diri, selain dia sanggup naik turun lewat jendela kamarku di lantai dua dengan mudah, dia gesit. Pasti dia punya ilmu meringankan tubuh. Entah dia sembunyi di mana di dalam rumah. Bisa jadi di ruang tamu, tapi kalau dia lebih cerdas, mungkin di dapur. Di sana banyak meja dan kursi buat sembunyi.
"Sudah Mami bilang... Keb itu jahat banget. Baru ketemu sama cewek udah nyuruh-nyuruh ngurangin nasi, ngajak jogging, nggak boleh bawa bekal sandwich," Mami merepet. "Akibatnya jadi gini. Kamu sugar craving. Mending makan nasi sampai kenyang daripada makan biskuit yang manis-manis sebelum tidur."
Mami menyalakan lampu.
Kali ini kubiarin aja dia meneliti ke balik pintu dan mengayun-ngayunnya. "Perasaan tadi ketahan sesuatu," gumam Mami. "Anyway... Mau mami panasin makanan lagi? Kamu masih laper?"
"Eng—nggak usah, Mam, aku mau tidur aja."
"Are you sure?"
"Yup. Seratus persen. Aku tadi cuma... eum... ngitung berapa jumlah keping biskuit dalam sebungkus... aku jadi penasaran... terus... nggak bisa tidur," cengirku sambil kupunguti keping-keping biskuit itu satu per satu dan kumasukin lagi ke bungkus plastiknya.
Mami menaikkan alis, lalu menukikkannya curiga. "Okay...," katanya, mengangguk tahu sama tahu. "Sekarang udah selesai diitung?"
"U—dah kok, Mam."
"Ada berapa keping sebungkus?"
Aku berdeham. "Em... sepuluh...?"
"Iya... soalnya yang dua lagi udah masuk ke perutmu!" tandas Mami sambil menyambar bungkus Oreo di tanganku. "Buat apa, sih, bohongin diri sendiri dan orang lain? Kalau memang kamu nggak niat diet, nggak usah aja. Diet itu harus atas dasar keinginan sendiri, bukan tekanan, atau motivasi orang lain."
"Mau Mami bawa ke mana biskuitku?" tanyaku panik.
"Kamu mau diet, kan? Okay Mami dukung. Biskuit ini bakal Mami buang ke tempat sampah di dapur!"
"Di dapur?!" ulangku dengan suara keras, just in case Keb ada di sana buat sembunyi. Mami menatapku heran, tapi lalu menggedikkan bahu dan keluar. Tanpa menutup pintu kamar, Mami turun sambil meremas bungkus biskuit di tangannya sampai hancur. Aku menanti di ambang pintu dengan was-was. Lampu menyala dari arah dapur, lalu padam kembali. Langkah-langkah Mami kembali terdengar mendekat. Sebelum Mami mulai menaiki tangga, aku menutup pintu kamarku diam-diam. Bayangan Mami melewati kamarku terlihat dari celah pintu. Aku masih bergeming sampai kudengar pintu kamar Mami berderit terbuka, lalu ditutup kembali.
Tanpa suara, aku menyusul dengan membuka pintu. Kepalaku melongok ke kiri, ke arah tangga, menunggu tanda-tanda kehidupan dari arah bawah. Aku berniat mendesiskan nama Keb, tapi ragu. Takut Mami belum tidur dan bisa dengar. Apa kususul aja ke bawah? Ya. Kususul aja ke bawah lalu kulempar lewat pintu belakang supaya dia nggak gangguin tidurku lagi.
Tapi, belum juga kaki kananku yang melangkah keluar menapak di lantai, suara deham Mami bikin tubuhku melonjak. Mami berdiri dengan lengan terlipat di depan dada. Geleng-geleng kepala.
"Mami mata-matain aku?" tuduhku duluan sebelum dituduh.
"Kamu mau Mami suportif, kan?" tanyanya. "Mulai sekarang, jangan suruh-suruh Mami bawain kamu cheese cake kalau Mami mau mampir ke paviliun. Sana masuk. Tidur!"
Aku mundur teratur.
Memasrahkan nasib Keb kepada Tuhan, aku naik ke atas ranjang dan menata bantal serta selimut. Termenung menunggu menatap langit-langit kamarku yang hitam kelam. Kedap-kedip bermenit-menit. Nggak ada yang terjadi. Pesan kukirim lewat WA nggak dibaca. Lama-lama aku ngantuk.
Beberapa saat kemudian sebelum kesadaranku benar-benar hilang, aku terjaga lagi karena mulutku dibungkam. Aku panik, meronta.
"HSSST... Diam!" bentak Keb tertahan sambil mendelikkan matanya. Aku menggeram dalam bekapan tangannya setelah menyadari betapa kurang ajarnya manusia satu ini. Dia sudah berbaring di atas kasurku, satu kakinya menimpa perutku. Sebagian berat badannya menindihku. Telapak tangannya yang lebar bukan cuma menutup mulut, tapi juga lubang hidung sebagai saluran pernapasanku. Mukaku membiru. Dengan usaha terakhirku, tanganku yang mengepal kuayun meninju pelipisnya.
Keb tersentak, berguling, dan jatuh berdebum ke lantai dari atas ranjang.
Aku bergeming. Refleks menahan napas meski belum sempat tarik napas setelah bebas dari bekapan tangannya.
Keb nggak kunjung muncul. Kami sama-sama menunggu adanya reaksi dari kamar sebelah. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Napasku terembus, lalu kutarik lagi dalam-dalam. Mami kayaknya udah tidur. Aku menyahut bantal dan melemparnya ke arah Keb. Baru setelahnya kulihat setengah kepalanya muncul dari balik tempat tidur.
"What the fuck are you doing in my room?!" hardikku, bantal kedua kulempar lagi, tepat mengenai mukanya. Keb terhuyung.
"Saving your life...?" katanya penuh percaya diri, persis seperti dugaanku. Dia memunguti dua bantal yang terlempar dan menaruhnya di atas kasur, lalu duduk bersila di depanku. Keb meraba pelipis dan tulang pipi kirinya, lalu meringis. "Jotosanmu lumayan."
"Mampus!"
"Hey... tersedak bisa menyebabkan kematian, meski nggak banyak orang yang cukup bodoh ngebiarin dirinya tersedak sampai mati! You punched me in the face for saving your life?!"
"Dasar tukang manipulasi ulung, kotor, brengsek, cabul!" serangku bertubi-tubi. "Pertama-tama, aku nggak akan kesedak kalau kamu nggak muncul tiba-tiba di jendela kayak perampok dan pemerkosa. Kalau sampai tetanggaku ada yang belum tidur dan ngelihat kamu, gimana?! Kedua, I am not punching your face for saving my life, I punched your face because you hampir bikin gue mati! Keb... ngapain kamu di sini?! Keluar sana!"
"Aku mau nginep di sini," katanya enteng, lalu dia berbaring telentang, menumpuk kedua kaki tanpa melepas sepatu. Menyangga kepala dengan kedua tangannya.
"Keeeb...," gertakku geregetan. Kudorong badannya ke tepi ranjang.
"Aku teriak, nih," ancamnya sebelum dia sempat bergeser. "Aku malas nyetir jauh. Capek. Besok masih harus ke sini pagi-pagi, ngajak kamu jogging."
"Salah gue?!" seruku gemas. "Kamu kan tinggal nggak usah dateng kalau capek."
"Terus? Rencana kita gimana? Aku harus memperlihatkan ke mereka berdua bahwa aku serius. Kalau enggak, mereka nggak akan percaya lagi sama ancaman kemesraan kita. Dikira malah kita cuman akan akrab sebagai calon saudara tiri. Aku udah mempersiapkan diri. Di balik kemejaku ini udah ada kaus buat besok and cycling pants. Aku ganti baju dulu—"
"Keb!!!"
"What? Kamu bisa bikin Mamimu bangun, Cassie!" katanya tanpa dosa. "Diem, bisa enggak? Act like an adult. Just because I sleep here, doesn't mean something is going to happen. Unless you want it."
Aku bahkan nggak mau membahas ketengilannya. "Kenapa kamu nggak tidur di rumah Papamu aja, sih? Kenapa ke sini?"
Keb mendengus, dia bangkit dan membuka kancing kemejanya satu per satu. "Nggak, ah. Aku masih jengkel sama dia. He blatantly threaten me on the way home. Dia bilang, kalau selama ini kamu ingin Papa ngelihat kamu nggak tertarik sama cewek-cewek, keep it that way. Jangan ganggu Cassie. Papa tahu apa yang ada di kepala kamu. Gitu."
Kemeja itu tanggal. Aku buru-buru melengos ke arah lain sebelum Keb turut menanggalkan kaus spandex ketat yang dia bilang buat lari pagi besok. "Jadi Papamu juga tahu soal wasiat itu?"
"Aku nggak tahu," jawab Keb. Duduk memunggungiku dan melepaskan sepatu. "I was alone waktu Mama ngasih aku wasiat itu. "
"Kamu tidur di lantai," kataku. "Aku nggak mau tidur seranjang sama kamu."
"Kenapa, sih?" protesnya. "Kayak anak kecil aja. Kamu pasang bantal aja di tengah-tengah kalau takut terjadi apa-apa. Aku nggak mau tidur di lantai. Aku bukan kucing. Anyway... siapa yang nyuruh kamu cheating makan biskuit barusan? Kan aku udah bilang, mulai sekarang aku bakal ngawasin asupan makananmu."
"Aku nggak pernah ngasih izin kamu ngelakuin itu!"
"Cas...," suara Keb melembut. Dia naik lebih jauh ke atas ranjang dan merapat padaku. Aku menarik daguku yang dicubitnya. Waktu dia mencoba melakukannya lagi, ujung jarinya kugigit. "Bandel," cicitnya. "Dengerin... I care about you."
Bola mataku memutar.
"Serius... gemeees!" katanya sambil mencubit pipiku dan terkekeh-kekeh pelan. "As a partner in crime, I have to be care about you. Bukan hanya karena kita harus meyakinkan mereka tentang perubahanmu, tapi aku concern sama gaya hidupmu. Eating less in front of other people dan diam-diam stuffing your mouth with sweets is not healthy, Cas."
"Kalau gitu, jangan salahin aku, dong. Salahin kamu yang memperingatkanku di depan orang banyak dan bikin aku nggak punya pilihan apa-apa."
"Tapi yang kuperingatin ke kamu itu benar. If you neglect it, you are ignorant. Di depan semua orang, aku lah yang ignorant karena ngingetin kamu. Tapi kita sudah ketemu sebelumnya, sudah ngomongin itu, sudah saling memahami, we are pretty close. And yet... you're still cheating on me, cheating on yourself. Masih bilang aku nggak peduli sama kamu? Aku peduli tahu, Cas... aku tuh nggak pernah punya saudara, apalagi perempuan. Aku selalu sendirian. I wanna do something with you. Kamu kelihatannya... menyenangkan...."
"Ya udah... kalau gitu... kamu terima aja Papamu nikah sama Mamiku, biar kita jadi saudara beneran!"
"Nggak mau, ah," katanya, lalu menghempaska punggungnya ke belakang dan berbaring telentang seperti tadi. Terpaksa, aku menata beberapa bantal di jarak antara kami dan berbaring miring ngebelakangin dia.
"Mereka mau plesiran," kataku, ngasih tahu. "Aku butuh duit cepat, atau nyari Ruben dan nagih utangnya."
"Lupain Ruben, pakai uangku dulu. Cari tahu mereka mau ke mana, kita susul."
Aku membalik bagian atas tubuhku, "But Keb...."
"Cas... did you date Ruben?" tanya Keb memotongku.
"No...," jawabku.
"Good."
"Keb... soal plesiran itu, aku nggak bisa ikut. Aku punya kerjaan, aku nggak bisa—"
"We will figure it out later," putus Keb. "As long as Ruben is hidden, you can do whatever you want. Asal ada aku. Now... good night, Cassie."
Aku mendesah. Kembali berbaring memunggunginya.
"Cas...."
"Apaaa?"
"Setelah kenal kamu beberapa hari ini... aku bener-bener nggak mau kita jadi saudara tiri...."
"Aku juga nggak sudi!"
Keb mengekeh kecil, kemudian suaranya nggak terdengar lagi.
Chapter 21 sampai 23 udah update duluan di karyakarsa, jauh lebih panjang dari versi wattpad. Adegan pagi antara Keb dan Cassie bikin jumpalitan ketawa dan gemes wkwk
Oh iya... ini hari terakhir PO Trapping Mr. Mahmoud, ya!
Jangan lupa ikutan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top