Chapter 14. Flirty Match

Haloooo...!

Apa kabar?
Hehe...
Mau ngasih tau aja kalau akun instagramku yang kincirmainan19 dan followersnya 9k udah kukumpulin hampir 10 tahun akhirnya resmi dihapus sama instagram. Enam bulan lalu dibanned karena speak up for Palestine, setelah beberapa konten ditake down, akhirnya harapanku mendapatkan akun kembali lewat banding pun pupus sudah.

Nggak papa, semoga kehilangan akun ini worth it, ya. Semoga kita jadi generasi yang akan menyaksikan kemerdekaan Palestina. I dont give up, insta baruku juga aktif sharing. Jangan lupa donasi, boikot, dan jangan lupakan saudara2 kita di sana kalau kamu mengaku sebagai manusia.

Jangan lupa add akunku baruku

Anyway, ayoook ketemu lagi sama si sekmoy Cassie. Seksi Gemoy 😘😘😘

Di sini Cassie X Keb gemeeeeccc banget!!!

Jadi menurut kalian, siapa yg confess duluan?

Chapter 14

Flirty Match

Kalau Cassie-nya seseksi ini, nggak usah sok kuat iman, Keb

***

Aku baru aja duduk habis mandi sore. Menyalakan televisi, memproses adegan pembuka Only Murders in The Building season dua selama sepuluh menit dan memutuskan untuk melanjutkannya lain kali karena nggak mampu memusatkan pikiranku ke sana. Di pantulan layar televisi yang padam, kusadari alisku dari tadi mengerut.

Kalau kupikir-pikir, aku malah nggak pernah sepercaya diri seperti ketika mulutku sesumbar di depan Keb.

Aku emang selalu senewen kalau orang bilang, kamu gendut, tapi cantik, kok. Seolah-olah semua orang gendut itu otomatis jelek. Kalau cantik, ya cantik aja. Tapi, jujur, minimal, aku tetap punya pendapat, aku bakal lebih cantik kalau bodiku ideal. Bukan lantas aku nggak cinta diri sendiri, cuma yah... siapa sih yang nggak mau lebih sehat? Lebih lincah, lebih kecil ukuran celana dalamnya....

Mungkin, cuma aku yang menganggap kejadian tadi siang di dalam Jaguar Keb sangat emosional. Aku hampir mengira dia bakal turun dan mengejarku. Kalau dia melakukannya, aku pasti masuk lagi ke mobilnya. Entah karena malu dikejar-kejar, atau karena siang tadi benar-benar panas sampai rasanya mau pingsan. Tentu aja dia tetap melaju. Nggak pake lama. Semenit kemudian, Jaguarnya melintasiku dan turun ke jalan raya dengan pongahnya.

Sampai sekarang, aku masih melamun.

Mungkin buat Keb, aku cuma lagi main-main sama bargaining power-ku. Hm. Mungkin dia nggak sepenuhnya salah tentang itu. Aku memang kurang puas sama bantuannya yang setengah-setengah. Aku mau dia audisi dengan sungguh-sungguh, menurunkan harga yang ditawarkannya, dan jadi jalan keluarku kalau Ruben playing hard to catch. Aku khawatir Alec nggak mau nunggu lama-lama.

Kalau boleh milih, mending Keb yang jadi talent-ku. Toh mami nggak nuntut duitnya balik secepat mungkin. Duit lima puluh jutaku malah lebih baik ada di tangan Ruben dulu, biar Mamiku nggak bisa renov lantai dua dan bikin ruangan kedap suara.

Sekarang, aku merasa bersalah.

Aku sendiri yang selalu bilang ke Mila kalau dia berkomentar tentang kebebasan Mami buat bahagia lagi. No horny parents, no opinion. Sekarang dibalik. No devoted parents, no opinion. Kalau aku ngebiarin Mami nikah sama Papanya Keb, terus ternyata mereka gagal lagi, atau lebih parah, Papanya Keb yang udah renta meninggal saat masih ngejalin pernikahan sama Mami dan kuburannya nggak disandingin dengan istri pertamanya, lalu Mamiku nikah lagi sama orang lain, berarti aku udah misahin sepasang suami istri yang semasa hidupnya saling salah paham, padahal aslinya saling mencintai. Mereka perlu bersama di akhirat nanti buat meluruskan kesalahpahaman itu.

Tapi yah, aku kan nggak bilang itu artinya aku bakal jadi team sukses Mami buat nikah sama Papanya Keb. Aku masih bisa kok menghalanginya tanpa rencana macam-macam.

Tanganku kembali mengacungkan remote control ke arah televisi sewaktu ponselku bunyi.

Keb mengirim pesan. Aku membukanya. Video yang dia kirimkan langsung terputar. Mataku baru mengedip sehabis video kiriman Keb itu terulang sebanyak dua kali. Video pendek yang kayaknya diambil diam-diam di tengah kuburan. Mungkin laki-laki yang bicara sama batu nisan itu Papanya.

Pesan Keb menyusul. "Kamu makan siang apa tadi?"

Aku mau jawab, bukan urusanmu. Tapi, capek berantem melulu. "Salad wrap."

"Buka pintu."

Dadaku membusung dan mengempis. Nggak tahu kenapa, senyumku terulas tipis. Pintu depan jaraknya cuma beberapa langkah dari tempatku duduk di depan televisi. Aku sengaja berlama-lama supaya Keb nggak menganggap aku udah menunggu-nunggu kedatangannya.

"Belum jadi pacarku aja... kamu udah bisa bikin aku ngetuk pintu rumahmu sampai dua kali," katanya. "Hebat kamu."

"Coba kamu dari awal nggak nolak-nolak aku, pasti pintu ini bakal kubuka lebih lebar supaya kamu bisa masuk," balasku.

Keb diam, cuma senyum miringnya yang bicara.

"Atau kamu bisa turun dari Jaguarmu dan berusaha lebih keras. Di luar tadi panas banget tahu!" imbuhku cemberut.

Kali ini dia tertawa kecil. "Aku belum berubah pikiran. Aku mau orang tua kita nggak berjodoh. Aku ke sini buat mastiin... are you in, or are you out?"

"Ngapain papamu di kuburan?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan. "Minta izin ke istrinya mau kawin lagi?"

"Mungkin...."

"Kalau aku nggak in atau out, memangnya kenapa? Bukan lantas aku bakal bantuin Mamiku buat kawin sama Papamu, kan? Mamiku ahlinya gagal dalam hubungan, mungkin kamu nggak perlu khawatir-khawatir banget."

"Terus kerjaanmu?"

"Kamu juga tetep nggak mau bantuin aku kalau aku nggak ngikutin rencana gilamu?"

"Iya lah."

"Kenapa aku ngerasa di titik ini kamu malah justru nawarin diri buat bantuin aku, ya?"

"Aku cuma ngerasa prihatin kalau kamu beneran kehilangan pekerjaan."

"Aku maunya kamu beneran lolos audisi. Kalau cuma pura-pura, Alec juga lama-lama bakal kesel, ujungnya aku tetep dipecat. Turunin hargamu dan audisi dengan sungguh-sungguh. At least sampe Ruben muncul."

"Ternyata bener. Kamu emang lagi naikin bargaining power aja," decihnya. "Kupikir... apa yang terjadi di mobil tadi agak emosional. That's why aku ke sini. Aku ngerasain keterikatan sama kamu...."

Napasku tertahan. Apa aku harus ngaku aku juga ngerasain hal yang sama?

Keb terus mengoceh, "Just because kita hanya mau main pacar-pacaran, siapa yang nyangka kelanjutannya nanti gimana? You almost got me, Cas. Kamu boleh lupain tawaranku sama sekali. Selamat sore."

Shit.

Aku melangkah dari ambang pintu dan memanggilnya, "Keb...."

"Aku juga ngerasain hal yang sama...," ungkapku jujur. "Bukan cuma usaha buat naikin bargaining power."

Perlahan, Keb yang langsung berhenti mendengar panggilanku berbalik. "Menurutku... alasan kita nggak boleh jadi saudara tiri nggak harus karena aku bakal bikin hidupmu menderita," katanya. "Bisa jadi... justru sebaliknya."

"Maksudnya?"

"Kalau orang tuamu nggak jadian sama orang tuaku... kita bebas mau jadi apa aja, kan? Nggak harus teman berantem... bisa jadi teman yang lain?"

"Teman yang lain apa?"

Keb mengesah.

Aku nggak mau dia menjelaskan, soalnya pasti menjijikkan. "Habis kamu tuh kesannya... cuma mau ngencanin cewek-cewek seksi yang bakal asyik kamu ajak naik ke tempat tidur. Semacam... dating for sex, gitu...? Gimana pikiranku nggak macem-macem?"

"Jangan GR dulu, Cas, kubilang aku ngerasain hal yang emosional dan adanya keterikatan, bukan lantas aku naksir kamu, atau gimana.... Itu semua cuma hipotesis... kemungkinan...."

Pipiku bergetar karena cebikan. Tuh, kan, langsung berubah haluan. "Ya... ya... aku paham...," kubilang.

"Aku cuma mau bilang... standarku masih sama. Bukan masalah fisik, tapi kesehatan. Kalau kamu mau naik ke tempat tidurku, tekanan, gula darah, dan kolesterolmu harus normal. Aku hebat banget di atas ranjang,"—di sini aku udah mau muntah—"Itu artinya berat badan kamu harus turun kira-kira sepuluh, atau lima belas kilo lagi."

Aku udah siap-siap nutup pintu.

Keb mencegah, "Kalau pun enggak..., aktivitasmu harus ditambah. Setidaknya cardio. Durasiku bisa lama, kalau napasmu pendek... kamu bisa pingsan di tengah jalan."

Mati-matian, aku menjaga ekspresiku supaya nggak berubah. "Aku juga cuma mau bilang..., kalau memang kamu udah mulai naksir aku, syaratku buat jadi pacarmu cuma satu, jadi talent-ku. Selain itu... enggak dulu."

"Makasih udah mau jujur, Cas."

"Aku mungkin gendut dan belum pernah punya pacar, tapi itu karena cowok-cowok selalu berpaling dari cewek yang penampilannya nggak memenuhi standar mereka. Kalau mereka ngasih aku kesempatan... aku yakin... aku bisa matahin sepuluh hati sebelum aku ulang tahun yang ke-26."

Keb nggak bisa menahan semburan tawanya.

"Mau taruhan?" imbuhku.

"Nggak usah nambahin beban pikiran. Duitmu kan nggak ada."

Oh iya.

"Atau taruhannya nggak usah duit gimana?" sambungnya. "Misalnya... kalau aku udah naksir kamu, berarti kamu menang. Aku kalah. Yang kalah harus mau naik ke atas ranjang si pemenang."

Bola mataku memutar ke belakang sampai kelihatan hanya putihnya aja.

"Jangan kamu pikir semua laki-laki senang, lho, disuruh naik ke atas ranjang perempuan," imbuhnya.

"Tapi posisinya saat itu kan aku menang. Kamu kalah. Kamu udah naksir aku. Artinya kamu pasti menginginkan tubuhku yang seksi ini, kan?"

"Ternyata kamu cukup percaya diri, Cassie," ledeknya.

"Nggak juga, tapi aku orangnya lumayan cepat belajar. Semua guruku waktu sekolah ngomong begitu. Kalau aku ditaruh di sekeliling anak nakal, aku beradaptasi dengan cepat. Begitu juga sebaliknya. Pretty much, aku udah mengadaptasi kesongonganmu."

Keb mulai melangkah menghampiriku. Dia baru berhenti setelah jarak antara aku dengannya nyaris benar-benar nggak ada. "Aku senang sisi negatifku malah bisa ngasih nilai positif buatmu," katanya. Aku berusaha nggak mengedip dari manik matanya yang mengontakku intens. "Sebab kamu punya hak buat songong...."

"Kenapa?"

"Right now..., you look... smoking hot...."

"Thanks. Kamu bukan orang pertama yang bilang gitu."

"Siapa yang bilang gitu?"

"Ruben pernah bilang begitu. Katanya, nggak semua cowok suka cewek langsing, atau berbadan kelewat bagus."

"Bisa jadi... itu salah satu caranya merogoh kantung dan menguras isi rekeningmu," ejek Keb.

"Kalau menurutku..., kebanyakan cowok nggak peduli pada bentuk badan cewek, apalagi kalau kami sudah telanjang, kecuali mereka sudah bosan."

"Balik lagi ke pujianku tadi. Kubilang 'right now', ya, Cassie..., artinya kalau dibiarkan... kamu akan kegemukan. Kegemukan bikin kamu nggak sehat. Nothing turn me on more than a healthy woman."

"Then do not make me healthier or I will turn you on."

"I will make you healthier and make sure you won't turn me on. Deal?"

"Not deal. Aku nggak mau ngorbanin diri hanya supaya Mami dan Papamu yakin kita benar-benar pacaran."

"Trust me... Cas... kamu nggak akan suka tinggal bareng sama orang tua yang baru nikah lagi di usia segini."

"Nggak usah ngasih tahu. Jelas-jelas aku lebih paham tentang itu dibanding kamu. Tahu apa kamu tentang itu?"

"Jadi kamu setuju sama omonganku, kan?"

Aku mengerang kesal.

Keb tersenyum makin lebar. "Nggak usah takut. Lakukan ini buat dirimu sendiri. Aku tahu caranya biar diet dan olah raga jadi menyenangkan. Udah banyak kucing persia dan anjing corgi gemuk yang ikut kelas dietku dan berhasil."

"Memangnya kamu bisa tahu kucing persia dan corgi gemuk itu senang, atau enggak ikut kelas dietmu?"

"Enggak, tapi aku akan segera tahu nanti kalau kamu udah ikut kelas dietku."

"Kamu harus tahu, sekarang ini aku sedang membakar seluruh kalori makan siangku buat menahan diri dari nyakar mukamu dan itu butuh energi yang sangat besar."

Keb meringis tapi manis. Dia lalu mundur selangkah dan ngulurin tangannya ke aku. "Okay. Come on... aku butuh bantuanmu," katanya.

Aku nggak nanya, tapi juga nggak menyambut uluran tangannya. Kukibasin gitu aja. Keb berjalan di depanku, aku mengekorinya. Dia sudah memarkir jaguarnya di halaman paviliun. Aku nanya apa yang dibawanya, tapi Keb cuma nyuruh aku membawa sebagian kotak yang dikeluarkannya dari mobil. Dia membawa lebih banyak di tangannya.

Meja ruang tamuku yang mungil nggak bisa menampung semua kotak itu. Jumlahnya ada tujuh, kalau enggak delapan. Belum lagi beberapa paper bag yang diletakkannya di sofa. Dari logo butik di atas kotak, aku menduga kami seharusnya berkunjung ke sana kalau aku tadi enggak ngambek. Keb membuka empat kotak dan menaruh kotak-kotak sisanya di lantai. Satu per satu, kertas pelapis di dalam kotak itu disingkap. Isinya gaun-gaun cocktail.

"Aku cuma mengira-ngira...," katanya. "Dari bentuk bokong dan dadamu yang sering terpapar... kayaknya ukuran-ukuran ini cocok."

"Bisa nggak sih kamu ngomongnya lebih sopan dikit?"

"Bukan aku yang turun dari mobil dan bersikap kekanak-kanakan. Kalau kamu tadi nurut... aku nggak perlu milih gaun perempuan sambil bayangin ukuran dada dan pinggulmu."

Aku sama sekali kehilangan minat mendebat ucapan Keb. Siapa sih cewek yang nggak mupeng ngelihat gaun-gaun lucu warna-warni pastel dijejerin di depan mata? Keb mengangguk waktu aku membungkuk dan minta izin menyentuhnya dengan isyarat mataku. Sebuah gaun kubentangkan. Memang kelihatannya ukuranku.

"Gimana?" tanyanya.

"Ukurannya mungkin pas... tapi kan nggak semuanya aku suka... modelnya... warnanya...."

"Buang aja kalau nggak suka."

"Nggak bisa diretur? Katanya punya temenmu?"

"Justru karena punya temenku... jadinya malu kalau mesti retur. Kubilang... tadi aku beli buat pacarku. Kalau kubalikin... ketahuan aku nggak tahu seleramu."

"Terus... temenmu nggak ngejek seleramu soal cewek? Beli baju-baju sebesar ini? Sebawel itu soal kesehatan... cewekmu pasti langsing-langsing, kan?"

"Langsing is not equal with healthy... sama kayak gendut is not equal with jelek. Kupikir kamu paling paham soal itu."

Cih.

Mendongkol dikualiahi soal prinsip hidupku sendiri, aku memutuskan membuka-buka semua kotak dan kantung belanjaan Keb. Empat kotak yang terbuka itu kubawa ke kamar dan kucoba satu-satu. Setiap kali aku berhasil mengenakannya, aku keluar dan menunjukkannya ke Keb.

Gaun pertama pinggulnya terlalu sesak dan aku harus menahan perut sampai mukaku membiru.

Keb menyambar sebuah paper bag. "Coba pakai ini di dalamnya," katanya. "Ini bakal nyempitin perut dan pinggul, terus ngangkat dadamu ke atas. Kamu pasti kelihatan makin...."

"Makin apa?" tantangku.

"Makin bulet...," kekehnya. "Dadanyaaa... yang makin bulet. Kamunya jadi makin seksi lah, Cas...."

"Nggak mau ah. Aku nggak mau kelihatan kayak ani-ani."

Keb melesakkan korset itu kembali ke dalam kantung. "Kalau gitu, coba gaun yang ini."

Gaun berikutnya lebih longgar. Modelnya sederhana, tapi elegan. Terusan span selutut dengan model kemben yang lengan panjangnya terbuat dari bahan tembus pandang. Keb mengernyit nggak suka. "Kurang seksi," katanya. "Coba yang ini."

Aku menenteng gaun pilihannya. Mengernyit, "Ini nggak terlalu berlebihan?"

"Coba dulu."

Beberapa menit kemudian, aku keluar mengenakan gaun tipikal A-line biasa dengan belahan dada rendah. Bahannya bertekstur brokat bunga dengan elemen-elemen metalik. Panjangnya nggak menyentuh lutut, bikin pahaku yang besar terlihat. Keb mengeluarkan sepasang sepatu dengan hak setinggi lima senti dengan bagian depan dan tali di pergelangan kaki berhias manik-manik. Warnanya mirip sama gaunnya.

"Kenapa kamu nggak bilang dari awal kamu mau aku pakai yang ini?" tanyaku setelah melengkapi penampilanku dengan sepatu itu.

"No," katanya. "Aku tahu kamu bakal cocok pakai itu. Besok Sabtu kamu nggak akan pakai itu, terlalu berlebihan buat acara makan malam biasa."

"Terus?"

"Kamu boleh simpan yang itu."

"Kenapa?"

"Suatu saat kita mungkin memerlukannya."

"Buat apa?"

"I don't know... buat kencan betulan sama aku, misalnya?"

Aku lagi open po Trapping Mr. Mahmoud.
Cuma akan cetak satu kali. Pengalaman dulu bukuin Marrying Mr. Shark banyak yang telat, jangan kelewatan, ya. Jangan sampe beli bajakan apalagi dengan harga selangit.

Langsung ke olshop yang aku tag di Instagram, atau di cerita Trapping Mr Mahmoud

Warning: buku ini bermuatan dewasa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top