Chapter 12. Match Satu Milyaaar
Yuhuuu...
Apa kabar?
Komen yang kemarin oke sih, tapi yang komen itu-itu aja... yang lain hanya terdiam. Ada juga yang muncul komen cuma buat protes doang haha...
Komen lagi yang banyak, ya...
BTW buat yang rajin komen apalagi lucu-lucu, terus marah-marah, lanjutkeeeun lol you made my day 🤣🤣🤣
Anyway , kalau ada yang ngerasa annoyed karena aku suka repost, maaf, ya, tapi aku nggak akan minta maaf. Soalnya ini akunku. Kalau aku pengin repost, ya aku repost. Terus aku begini mah dari dulu, mau ceritanya meriah, kek, enggak, kek, emang suka2 aku aja.
Semoga kamu tetap seneng baca ceritaku.
Love setrilyun.
Chapter 12
Match Satu Milyar
Mila menyongsong begitu aku keluar dari ruangan Alec. Cewek itu melongok ke balik pundakku, mencoba mengintip ke dalam ruangan dari sela-sela gorden vertikal.
"Gimana caranya lu bisa nyeret dia kemari?" todongnya sambil berpindah dari kubikelnya ke kubikelku yang bersebelahan. "Apa gue bilang? Entah kenapa... gue yakin lu bakal bisa naklukkin dia. Gue bisa lihat itu dari sinar matanya. Walaupun nolak... dia kelihatan tertarik. Lu tuh montok, seksi, lagi, Cas. Lu, tuh—"
"Bacot ah," potongku ketus. "Ceritanya emang panjang, tapi nggak ada hubungannya sama kemontokan gue, apalagi seksi-seksian. Lu tuh kalau mangap emang suka asal.... Gue tahu apa yang lu bilang ke dia soal gue. Awas lu ya jual nama gue lagi nggak bilang-bilang!"
Mila meringis. "Gue kan cuma mau bantu elu, Ayaaang Tessiii... jangan marah, dooonggg...."
"Diiihhh... makin kurang ajar!" semprotku.
"Sini-sini, duduk. Udah sarapan? Tadi pagi gue beliin nastar. Gemuk-gemuk mengilat lagi nastarnya," rayunya. "Udah makan nasi belum tadi?"
Aku menggeleng. Kan emang belum. Tadi cuma donat dua biji, belum kemasukan nasi.
Dengan lesu, aku menarik kursi beroda di depan komputer dan duduk. Mila bersandar di meja setelah menyahut sekaleng nastar yang disembunyikannya di laci. Habis itu, dia melebarkan selembar tisu.
"Karena kalori tiga keping nastar sama dengan 100 gram nasi... dan elu belum makan nasi... jadi lu makan tiga aja. Nih," katanya, menata tiga butir nastar di atas selembar tisu tadi.
"Lu tuh ngerayu, apa ngeledek, sih?"
"Ini lebih ke hukuman, sih, sebenarnya," jawab Mila. Nadanya berubah keji. "Hukuman karena elu nggak ngasih gue kabar apa-apaan dari kemarin, tau-tau nongol bareng target yang meleset. Mana naik Jaguar.... Gimana rasanya naik Jaguar?"
"Sempit," jawabku jujur. "Enakan naik Avanza... luas. Paha gue nggak bergesekan."
"Oke, deh. Fokus jawab pertanyaan gue aja. Dia beneran mau dijadiin talent?"
Sebelum menjawab, aku lebih dulu memastikan nggak ada yang peduli pada perbincangan kami. "Can I trust you?" tanyaku. Retoris. Mana ada orang yang udah nunggu-nunggu informasi menjawab 'enggak' buat pertanyaan itu. "Dari Jaguarnya aja, lu mestinya tahu jawabannya. Dia cuman bakal bantuin gue sampai Ruben ditemukan."
"Untungnya apa buat dia?"
Lidahku mendecap. "Kami punya misi yang sama."
"Which is...?"
"Bapaknya dia... orang yang mau dikenalin Mami gue besok."
Mila cuma melongo.
"Kunyuk itu anaknya. Dia bakal jadi saudara tiri gue kalau sampai orang tua kami beneran nikah. Lu bayangin, dong... kalau gue kehilangan pekerjaan... gua nggak bisa bayar cicilan, bayar sewa... ekonomi negara lagi kayak gini, nyari kerjaan susah. Bisa-bisa gue terpaksa balik tinggal sama Mami. Gue nggak mau trauma lagi. Mami gue kalau ngewe berisik banget. Belum lagi... duh... gue udah dua hari ini ngobrol banyak sama cowok itu... astaga... hari ini gue masih waras aja udah bagus."
"Tapi itu masih nggak jawab pertanyaan gue, sih. Apa untungnya buat dia mau ngebantuin permasalahan kita di kantor? Kan kalian punya tujuan yang sama soal misahin orang tua kalian. Iya, kan?"
"Gue bilang... gue nggak ada masalah Mami mau kawin lagi. Apalagi bokapnya kaya. Mantan dokter bedah, udah tua lagi, mungkin bentar lagi meninggal."
"Woooh...," desau Mila sebelum mengekeh puas. "Pinter emang lu. Ayo dimakan nastarnya. Gue juga punya berita bagus."
Lupain nastarnya. Aku memalingkan muka dari butir-butir montok dengan permukaan mengilap yang berasal dari olesan kuning telur terpanggang berhias butiran cengkeh itu. "Berita bagus apa?"
Mila menjeling ke nastarnya yang masih utuh. Curiga. "Nggak akan lu makan?"
"Eum... nanti aja... gue udah sarapan."
"Tapi ini kan cuma tiga butir. Kita biasa habisin sekaleng berdua habis makan siang. Lu diet? Bagus itu. Gue bungkus lagi, ya, sayang ini mahal!"
Dengan sigap, aku mencekal pergelangan tangan Mila dan mencengkeramnya erat. Nggak aku lepasin sampai cewek itu membiarkan tiga butir nastar ke tempatnya semula. "Biarin aja di situ," kata gue tegas. "Berita bagus apaan?"
Mila membungkuk. Dia membisik di telingaku. "Kayaknya gue bakal segera tahu... di mana lokasi persembunyian Ruben."
"Serius?!" pekikku tertahan.
"Hssst... jangan heboh dulu," desis Mila memperingatkan. Kepalanya celingukan. "Gue belum ngasih tahu siapa-siapa. Takutnya Alec keburu denger dan ngedesak kita nyergap si Ruben. Gue belum pasti banget soalnya, tapi akan gue update terus ke elu kelanjutannya. Gue ada temen gitu yang tempat kosnya lumayan gede jadi dia nggak kenal semua penghuninya. Beberapa kali, dia ngelihat Ruben keluar masuk di sana."
"Kos cewek?"
Mila mengangguk. Mukanya ditekuk buat memperlihatkan belas kasihan. "Sorry, Cas... but it seems... dia udah bohongin elu...."
"Taiklah," tepisku. "Yang penting dia balik, artinya duit gue juga balik."
"Laki-laki emang nggak bisa dipercaya," timpal Mila.
Aku termangu menatap kerut di antara alisku dari pantulan monitor yang padam. "Tapi... dia sempat bilang... duit itu buat berobat nyokapnya. Mungkin enggak...."
"Tuh, kan... lu tai-tai, tapi masih ngarep," tuding Mila. "Kosan itu kos karyawan di dekat daerah perkantoran."
"Ya siapa tau nyokapnya ngantor di daerah situ?"
"Yah... mungkin aja... tapi... temen gue nggak ngelihat ada penghuni seumuran nyokap-nyokap di sana."
Napas beratku terbuang paksa. "Ah, ya udahlah," kibasku. "Yang penting gimana caranya supaya dia bisa segera balik ke sini, tanda tanganin kontraknya, kerja buat kita, biar bisa mulangin duit Mami gue juga. Cuma itu yang bakal nyelametin nasib kita, Mil."
"Ya emang, sih..., tapi lu yakin, kan? Nggak apa-apa?"
Aku cepat-cepat menggeleng hanya supaya Mila kembali menjelaskan teori-teorinya tentang Ruben. Jujur, apa yang kurasain nggak seenteng omonganku. Sejak awal kenal Ruben, aku ngerasain sesuatu yang beda. Reaksi kimia. Hanya saja, seperti biasa, aku nggak percaya diri buat mengharapkan lebih. Pekerjaan memungkinkanku mendekati cowok-cowok berbakat dengan penampilan di atas rata-rata tanpa harus merasa rendah diri, atau dikira cari perhatian. Nggak jarang, sikap mereka yang awalnya ketus langsung berubah setelah mereka mendengar alasanku mendekat. Aku dan Ruben saling kenal dengan alasan yang sama. Kami dekat karena pekerjaanku. Dia butuh aku. Sampai akhirnya aku menyerahkan hampir semua isi tabunganku, kami hanya berciuman sekali.
Dibilang ciuman juga agak berlebihan.
Ciuman kan pake lidah, ini mah enggak....
Jelas, dia bohong tentang perasaannya. Dia cuma mau manfaatin aku. Menurutku itu tindakan bodoh, sih. Lebih bodoh daripada aku yang nyerahin duit segitu banyak setelah kami ngelewatin malam bersama tanpa berbuat apa-apa. Buat apa dia bawa lari uang lima puluh juta, sedangkan kontrak yang menunggunya jauh lebih besar daripada itu?
Dia nggak perlu pergi, kok. Kapan aja dia bisa ninggalin aku setelah ngembaliin duitku. Memangnya aku bisa apa? Paling-paling diam dan maklum. Sama kayak gimana kencan-kencan pertamaku dari dating app, atau cowok-cowok yang gagal kuorbitkan berhenti menelepon tanpa alasan.
Dalam keadaan kayak begini, low self esteem suka menyerang psikisku. Mana ada cowok seganteng dan seberbakat Ruben ngedeketin aku tanpa maksud apa-apa? Selama Mila menyerocos tentang temannya yang yakin sudah ngelihat sosok Ruben, aku melamun memperhatikan jari-jari tanganku yang bulat seperti rantai sosis mini. Kadang suka kesemutan kalau aku banyak pikiran.
Mungkin Keb benar... ada yang harus diubah di dalam diriku. Aku harus berusaha mengontrol diri, terutama dalam keadaan seperti ini. Tanpa sadar, di tengah otakku yang lemah gara-gara serangan emosional, tangan dan mulutku bekerja jauh lebih cepat. Sekarang jariku sudah menjumput sebutir nastar dan melahapnya.
Sebutir... demi sebutir... bodo amat....
Gigi-gigi gerahamku mengunyah lambat dan khidmat. Nastar itu lumer di mulut dan lenyap di tenggorokan. Aku curiga mereka sama sekali tidak sempat menyentuh lambungku. Berceceran di usus dan membentuk timbunan lemak baru. Dadaku mengempis. Aku mendesah dan entah kenapa bola mataku melihat ke atas.
Di depanku, Keb sudah melipat tangannya sambil geleng-geleng kepala. "Tck.. tck... tck...," decap lidahnya terdengar nyaring. Tatapannya menghunjam menghakimiku. Sebelum mengatakan sesuatu, dia menoleh dan bersemuka dengan Mila yang langsung melambai kikuk padanya.
"Hey...," sapanya. "Inget gue nggak?"
Keb nggak menggubris pertanyaannya. "A feeder," cemoohnya. "Dia nggak bilang dia udah sarapan? Orang-orang kayak kamu ini ikut bertanggung jawab atas kasus-kasus obesitas dan diabetes di seluruh dunia."
"Cuma tiga butir nastar, kok," Mila berkelit membela diri. "Iya, kan, Cas?"
"Iya, lagian kamu apaan, sih?" rutukku cemberut. "Gimana wawancaranya sama Alec? Lancar?"
Sebelum Keb ngejawab, intercom di mejaku berdering singkat. Mila memencet tombol di dekat lampu yang menyala. Alec bicara, "Suruh Cassie ke ruanganku. Sekarang."
"Kamu bilang apa aja sama dia?" Aku langsung menyerang Keb. Berdiri dan memepetnya di sisi dinding kubikelku. "You better make sure kamu nggak menyulitkan posisiku, atau aku nggak akan bantuin kamu menuhin wasiat mamimu."
"Tegang banget, sih? Makanya kubilang jangan konsumi banyak gula, kamu jadi cepat marah. Aku lebih banyak dengerin penjelasan bos culasmu itu aja, kok. Selebihnya, kayak kesepakatan kita, tugasku cuma mengulur waktu. We will make sure rencananya ngorbitin aku jadi bintang film laga gagal, kan?"
"Ya tapi kamu dilarang terang-terangan sebelum aku nemuin Ruben. Dia kedengarannya nggak senang, Keb. Kamu ngomong apa ke dia?"
"Aku nggak ngomong apa-apa. Cuma ngejawab apa yang dia tanya. Malahan, aku ngasih dia informasi yang bakal menunjang minatnya buat nyariin aku audisi di film-film laga—"
"Menunjang minatnya gimana, sih?"
"Kamu, sih. Kerjaanmu selama ini sebenernya gimana? Nyisir gelandangan dan pengamen di jalan, lalu main kamu seret ke kantor tanpa pelajarin seluk beluk masa lalunya, gitu? Pantesan kamu kena tipu. Udah kayak gitu, nggak belajar sama pengalaman lagi. Selama kita ngobrol kemarin, kamu nggak nanya apa-apa soal latar belakangku di dunia martial arts, kan? Tuh... intercom-my bunyi lagi. Udah. Kutunggu di lobi, ya? Habis itu kita ke mal."
"Ngapain kita ke mal?"
"Belanja lah."
"Belanja? Buat apa?"
"Aku udah ngelakuin bagianku, gantian kamu. Kamu harus tampil meyakinkan besok Sabtu. Supaya Mamimu yakin aku naksir sama kamu. Kalau penampilanmu biasa aja, mereka nggak akan percaya. Jangan lama-lama, ya? Bilang aja kamu nggak bisa ngebiarin aku nunggu lama. I am a high maintenance talent."
"Mana bisa kayak gitu? Aku kan mesti kerja."
"Bisa aja. It's about bargaining power," katanya. Dia lalu diam sebentar, dan tahu-tahu ibu jarinya menyentuh sudut bibirku. Aku nggak sempat menghindar. Cuma bisa memaki dalam hati. Serpihan nastar yang kusantap menempel di ujung jarinya. "Apa yang harus kulakuin ke pacar bandel kayak kamu?"
"Pacar, pacar... enak aja... haep!"
Keb menjejalkan ibu jarinya yang dipake buat mengusap sudut bibirku tadi. Aku refleks mengempeng. Mana manis lagi jarinya... bekas nastar....
"Mulai makan siang hari ini, semua asupanmu aku yang kontrol," katanya.
Aku mengentakkan kaki kesal. Keb berlalu keluar setelah dengan semena-mena menyita kaleng nastar Mila di atas meja dan membuangnya ke tempat sampah. Cewek itu cuma bengong. Nggak bisa berbuat apa-apa.
"Masih bisa diambil, belum lima menit," cengir Mila.
"Anjing, jorok lu, Mil."
"Kan masih di dalam toples... lagian keranjangnya juga kosong."
Aku geleng-geleng kepala. Kami lantas ke ruangan Alec yang sudah menunggu dengan muka masam.
Begitu pintu tertutup, cowok botak itu langsung menyembur, "Lu pada tahu siapa yang kalian bawa ke sini?"
Aku dan Mila lihat-lihatan.
"Gue harus apain sih pegawai tolol kayak kalian berdua ini? Nggak bisa apa riset dikit sebelum ngambil keputusan? Orang yang kalian bawa kemari itu, tiga-empat tahun yang lalu punya karir kecil-kecilan di Hollywood sambil nyelesaiin sekolah kedokteran hewan di Pomona. Dia pernah jadi stunt double-nya Jason Statham sampai Liam Neeson!"
"Apa?"
"Opa-apa-opa-apa!" bentak Alec menyebalkan. "Gue udah kayak orang bego nggak tahu apa-apa. Dia nunjukin semua bukti kontraknya di beberapa film terkenal yang nggak main-main. Mukanya memang nggak pernah kelihatan, tapi dia punya referensi bagus dari banyak sutradara jempolan, bukan orang sembarangan. Pantesan waktu namanya gue kasih ke beberapa casting director, mereka langsung kenal dia dan mau dia datang ke audisi film-film mereka. Ternyata, udah lama dia diincar di kancah perfilman nasional."
"Oh... wow... terus... masalahnya di mana?" tanyaku heran.
"Lu tahu dia minta berapa buat kontrak kerja pertamanya? Semilyar!"
"Semilyar?!" pekikku dan Mila bersamaan.
"Gue nggak mau tahu, Cas. Gue mau dia kerja buat kita, tapi nggak mungkin dengan nilai setinggi itu. Nggak akan ada yang mau bayar. Tanggung jawab lu buat bujukin dia nurunin harga. Gue ada feeling... sebenernya dia sengaja pasang harga setinggi itu supaya kita nggak berani. Kalau dia mau, udah lama dia jadi bintang film laga."
Aku dan Mila kehabisan kata-kata, sedangkan Alec terus menyerocos dengan tirannya. Semua serba pokoknya. "Pokoknya, kalau sampai Ruben nggak balik, lu hanya akan bertahan di sini kalau bisa bujukin Cassidy Keb AlFaraji jadi talent kita."
"Tapi, Lec—"
"Nggak. Gu ralat. Meskipun Ruben balik, kalau lu mau naik gaji tahun ini... lu harus bikin orang itu jadi talent kita!"
"T—tapi—"
"TITIK!"
Baru juga mau posting part rahasia di flip IG, flipnya dah dihapus. Labil banget instagram.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top